“Ustaz tidak perlu khawatir. Berapa pun biayanya akan saya usahakan dengan tangan saya sendiri,” sambung Affan. Dia pikir, Ustaz Alif yang hening di ujung telepon, pasti berpikir jika menolak tawaran sopir itu, akan menyulitkanku dalam hal biaya.Mungkin, Affan memang miskin. Namun, ini soal keadilan dan harga diri. Lelaki bertubuh jangkung dengan kulit kecoklatan itu tak mau, Sarah terus berada di sekitarnya karena tak tenang, sebab orang yang menabrak tidak punya itikad baik bertemu dan menjelaskan. Dia tahu, kecelakaan itu telah melenyapkan nyawa, tapi dengan mudahnya hanya memberi uang dan menitip pesan. Tak seberharga itu kah nyawa korbannya?“Ya, baiklah, Mas. Kalau itu memang keputusan Mas Affan.” Pria itu terdengar pasrah. “Saya akan mengembalikan uangnya agar Pak Joko bisa bicara ke pada sopirnya.”Mau bagaimana lagi, Alif bukanlah siapa –siapa yang bisa memaksa apa lagi menekan Affan agar mengikuti kemauan sopir itu saja dan Pak Joko. Agar masalah tidak berlarut –larut dan m
“Ap –apa yang kamu katakan?” Wahono tercekat. Ia menelan saliva, seolah yang bicara barusan bukanlah Tomy –putranya sendiri.“Ya?” Tomy menoleh. Ia tersentak kala Wahono mempertanyakan apa yang dikatakannya tadi. “Ada apa, Pak?”“Apa yang kamu bicarakan barusan?” tanya Wahono mengulang pertanyaanya.“Aku?” Tomy mengarahkan telunjuk ke wajah. “Aku ngomong apa, Pak?” Pemuda itu malah balik bertanya yang membuat bapaknya makin bengong. Ia merasa ada yang tak beres dengan anaknya itu.Bagaimana tidak? Sebelumnya Tomy terlihat begitu ketakutan bahkan sampai minta antara ke toilet saat kebelet. Lalu duduk dempet –dempet sang bapak. Dan sekarang, dia malah mengatakan sesuatu yang mengerikan dengan ucapan tegas dan berani mengenai Sarah.“Kenapa Bapak melihatku seperti itu?” Tomy melebarkan ke dua matanya menatap Wahono. Seolah dia memang tak sadar sudah mengatakan sesuatu yang menakutkan.Pemuda itu celingukan. Mencari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk, maksud dari ucapan pria tua yang be
“Saya hanya memiliki ini.” Affan mengeluarkan uang yang baru saja ditarik dari ATM.Petugas mengambilnya dan mulai menghitung. Affan menghela napas berat. Uangnya jelas tak cukup, melihat pada rincian tagihan yang diberikan ke padanya tadi. Ia berharap setidaknya pihak rumah sakit memberinya keringanan. Bisa membayar dengan mencicil dan membiarkannya membawa jenazah sang istri untuk lekas dimakamkan.Petugas itu menghela napas panjang kala menemukan jumlah nominal 9700.000 rupiah. “Ini tidak sampai seper empatnya, Mas.”“Bu, tolonglah. Biarkan kami membawa jenazah istri saya. Anak kami kan masih di inkubator. Jadi saya tidak akan kabur dan pasti akan mengusahakan segala cara membayarnya setelah ini.” Affan memelas. Hanya memakamkan Sarah segera yang ada di pikirannya.“Sebentar.” Wanita itu menelepon seseorang untuk menyampaikan pernyataan sekaligus permintaan keluarga pasien itu._______________Sementara itu di lorong rumah sakit yang menghubungkan dua gedung.Pria yang merasa kakin
“Di kamar mayat? Tidur di sana? Ngapain, Pak?” Ia tentu saja tak mau berada di tempat menyeramkan seperti itu.Wahono tidak menjawab, dan berjalan melewati Tomy begitu saja ke arah kamar mayat. Sedang Tomy sendiri, seperti sebelum –sebelumnya pasrah mengikuti sang bapak. Dia merasa terkadang hidup ini sangat kejam karena tak memberinya pilihan.“Pak tunggu!”Dua petugas sudah merapikan tubuh Sarah di tempatnya. Bersebelahan dengan mayat –mayat lain yang lebih dulu ada di sana.Wahono masuk dengan tekad tanpa rasa takut sedikit pun. Sementara Tomy merapalkan doa –doa, komat kamit kala kakinya mulai menjejak ruangan yang terasa dingin.berjingkat sesekali karena harus melalui ranjang –ranjang yang berisi tubuh kaku di atasnya. Untungnya tubuh –tubuh itu ditutupi, kalau tidak akan terlihat semakin menyeramkan.“Sial, yang begini saja menakutkan. Bagaimana tidak ditutupi?” dengkus Tomy dengan nada menggumam.“Apa yang Anda lakukan?!” tanya petugas ketika Wahono menyusul mereka sampai ke r
“Mas!” Suara seseorang menghentikan langkah Affan. Pria itu pun menghentikan langkah dan menoleh. Alangkah terkejutnya pria itu saat melihat sosok yang memanggil.“May, sedang apa kamu di sini?” tanya Affan yang tak menyangka akan bertemu mantannya di tempat itu. Apa dia membuntutinya usai tahu kematian sang istri.“Oh, aku lagi nganter anak aku, Mas. Ehm, aku tinggal kerja malah sakit.” Maya mengulas senyum tipis. Dia sendiri bahkan juga tak menyangka akan bertemu pria itu di rumah sakit.“Ehm itu apa, Mas?” Maya menunjuk sesuatu di tangan Affan dengan matanya.“Ah, ini.” Affan mengangkat kertas itu dengan canggung.Ia tentu saja malu jika memperlihatkan kelemahannya ke pada seorang wanita, kalau dia tak mampu membayar biaya rumah sakit istri dan anaknya. Apa lagi jika itu adalah mantan kekasihnya, yang jelas –jelas dulu mencampakkan juga karena uang. Lalu, sekarang ... Affan kembali muncul juga masih dalam keadaan miskin.Pria itu malu. Uang telah melukai harga dirinya di depan wani
‘Aku harus apa, Sarah?’ Affan menatap nanar dua amplop di tangannya. Ia membatin seolah wanita itu bisa mendengar dan mereka saling berkomunikasi.Kalau saja tak ada pertimbangan lain, dua amplop itu sudah bisa melunasi hutangnya di rumah sakit dan membawa jenazah Sarah pulang. Tanpa beban dan kendala apa pun lagi.“Mas,” panggil ustaz Alif yang melihat lawan bicaranya membeku. Entah, apa yang membuat Affan begitu berat menggunakan uang dari orang lain?“Saya harus bagaimana Ustaz?” tanya Affan perlahan mendongak menatap ke kedua mata pria yang memakai kopyah di hadapan.Pria yang ikut pontang panting karena musibah besar yang terjadi di dalam hidupnya. Dan bahkan baginya, ini adalah musibah paling besar yang harus ia hadapi dengan sisa –sisa kekuatannya, kala rasa bersalah memenuhi relung hatinya.Kalau saja dia yang mati, tentu Affan tidak akan dihadapkan pada pilihan –pilihan yang menyulitkan seperti sekarang.Ia merasa buntu.Affan hanya bisa memandangi amplop tebal berisi uang it
Sekejap pun Indah tak bisa memejamkan mata. Meski ia sudah berusaha keras meringkuk di bawah selimut. Pikirannya terus mengembara pada kejadian -kejadian ganjil yang ditemuinya. Tubuh kurus itu bangun dan terduduk di atas ranjang. Menoleh ke arah dinding dan sudah menunjukkan pukul 12.30. "Ya Allah sudah sangat malam. Kenapa aku tidak mengantuk sama sekali?" Wanita berparas cantik itu mengembus napas berat. Lalu bergerak ke arah dapur dan mengisi perutnya dengan sesuatu. Tak bisa tidur membuat perut Indah terasa lapar, dan membiarkannya terasa sangat menyiksa. Saat mengaduk minuman hangat di meja, ia mendengar suara -suara dari luar. Wanita itu tentu saja terkejut. Siapa yang melakukan aktivitas di tengah malam begini. "Siapa itu?" tanyanya sembari berjalan mendekat ke arah jendela untuk melihat siapa yang ada di sana. ______________“Tom, aku sudah membayar biaya rumah sakit. Jenazah Sarah sudah bisa dibawa pulang. Kamu di mana?” Suara di seberang mengejutkan Tomy tapi juga men
“Assalamu alaikum! Pak! Pak Joko!” teriak Hasan dan pemuda lain secara bergantian.“Pak!”“Pak Joko!”“O ... Mang Joko! Ini ada Pak RT.”“Assalamu alaikum!”“Assalamu alaikum.”“Hes, sudah. Bukannya batas mengucap salam itu cuma tiga kali? Kenapa kalian terus berteriak dan mengganggu,” tegur Wisnu, salah seorang pemuda yang memahami adab bertamu itu.Sedang Pak RT sendiri, sibuk. Ia berusaha keras menghubungi nomor Pak Joko yang baru sejam lalu aktif. Namun, berkali mencoba tetap saja suara seorang perempuan yang tak lain adalah operator menjawabnya.“Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan!”Pria paruh baya itu menghela napas berat. Ia sangat khawatir terjadi sesuatu ke pada tetangganya itu. Tidak mau menyerah, pria itu kemudian berusaha menghubungi nomor lain yang terhubung dengan Pak Joko. Pertama, pria itu masuk grup arisan Ibu –ibu. Untungnya, Pak Joko dimasukkan grup itu untuk memantau kegiatan Ibu warga kampung Batu Besi secara langsung.Sete