Share

Ranah sang Tuan

Penulis: Babytiran
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-08 15:00:57

Tapi Rhea tak senang atas pujian itu. Dia memandang Benjamin tanpa gentar lagi. "Aku tak akan tersanjung atau berterimakasih," jawabnya ketus.

Benjamin balik menatapnya dari cermin kaca lekat-lekat, "Aku mengatakan sesuai dengan apa yang ku lihat. Senang atau tidaknya itu pilihanmu."

Rhea menjadi geram, selalu saja pria ini tak mau kalah darinya dan terus membalas kalimatnya.

"Mendandani ku dengan rapi kau akan membawaku kemana?" tanya Rhea yang jauh tampak stabil.

"Mm, kau ingin bermain menebak?! jika kau benar aku akan mengabulkan satu permintaanmu dan jika salah kau tak bisa menolak kemanapun ku bawa?" Benjamin menawarkan sesuatu.

"Lucu sekali! Kau pikir aku akan percaya. Benar atau salah bukankah itu menjadi keputusanmu."

Dahi Benjamin berkerut, sedetik kemudian dia tertawa. “Rupanya kau tidak bodoh. Aku suka.”

Lalu perhatian Benjamin tertuju ke perut datar Rhea, dia menyentuh lembut perut Rhea.

Rhea mencengkeram erat tangan yang lebih besar darinya itu. Berhasil membuat Benjamin berhenti mengelus perut Rhea.

"Aku tak mengizinkanmu menyentuhku sembarang!!” ucap Rhea marah.

Benjamin tampak tenang menghadapi kemarahan dan kebencian yang ditunjukan secara terang-terangan. Dia menjawab, “Aku sudah menyentuh dan melihat semuanya.”

Rhea menepis kesal tangan pria yang tak sopan menyentuhnya itu. Dan kalimatnya itu membuat Rhea kian membencinya. “Berhenti mengingatkan kejadian itu!”

“Aku sangat membenci itu.” Rhea bangkit dari duduknya, dia memperotes. “Itu terjadi karena ulahmu. Menculikku dan menjamahku dengan paksa. Apa yang bisa dibanggakan dari tindakan pengecut tak terpuji itu huh?!”

“Aku hanya ingin pergi dari tempat ini. Jika kau berpikir aku tak berterimakasih padamu yang membantuku sejauh ini! Kau salah besar, karena kau yang membuatku berada dititik ini.” ucap lantang Rhea sembari menunjuk tepat wajah Benjamin dengan amarah menggebu.

Tapi pria yang berdiri dengan tegap ini hanya menatap kearahnya dengan mata hitam legamnya. Kemudian dia sedikit menunduk, tangannya meraih pinggang Rhea membuat tubuh mereka menempel. 

Rhea mendongak menatap wajah Benjamin yang sangat dekat dengannya. Matanya tak menunjukan ketakutan lagi, sebaliknya rasanya dia tengah menunjukan bahwa dia tak akan kalah darinya.

Situasi yang tampak serius, Rhea bahkan kebingungan untuk memperotes lagi. Kepalanya menjadi membeku. Meski dia membenci pria ini, namun secara sadar dia mengakui pesona yang luar biasa dari pria ini.

Lalu Benjamin tiba-tiba saja memeluknya erat-erat, dia berkata dengan lirih. “Tidakkah kau lelah terus menerus berusaha melarikan diri dariku?! Tidakkah kau bisa tenang dan tetap berada disisiku saja. Ya, aku tahu perbuatanku hari kemarin padamu tak terpuji dan pegecut, jadi biarkan aku menebusnya.”

Rhea sungguh tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar, dia pula tak tahu harus menjawab apa.

Terlepas pria ini bersungguh dengan kalimatnya atau hanya permainan kata untuk menahannya. Namun, perkataanya terasa menyentuh hati dan terdengar tulus.

“Aku tidak mempercayaimu!” kalimat itu spontan keluar dari mulut Rhea, mungkin karena dia merasa masih waspada pada pria ini.

“Aku akan membuatmu mempercayaiku, namun perlahan.” ucap Benjamin berusaha menyakinkan.

Rhea tak menjawab. Entahlah, dia tak yakin mengenai kepercayaan. Bahkan untuk sedikit berharap dia tak berani lagi. Dia selalu dipatahkan dengan ekspetasi bahwa suatu hari kesedihannya akan lenyap dengan didekap oleh kebahagiaan tak terputus.

Terngiang kalimat mendiang Ibunya didetik akhir hidupnya. Kala air mata tak henti menetes disela mata Rhea, Ibunya menghibur dengan berkata. “Kesalahan seorang jangan membuatmu membenci semuanya. Tidak semua pria jahat, kebetulan Ibu salah memilih. Ibu selalu yakin putri Ibu akan menemukan pria yang cintanya lebih besar dan tak ada tangis menyesakkan yang menghantui dimalam hari.”  bahkan dipenghujung hidupnya dia tak menyalahkan penuh suaminya. Bukankah hati Ibunya begitu lapang?

Tapi Rhea berbeda, dia tak selapang hati Ibunya. Dia pula tak percaya bahwa seorang pria akan memberikan hati dan cinta lebih besar untuk wanitanya.  Dia tak ingin hal sama menimpanya karena seorang pria. Tapi sungguh sial, dia berakhir terperangkap bahkan dengan pria yang tidak dia kenal.

“Apa kau sudah memutuskan mengenai bayinya?” tanya Benjamin.

Rhea terperanjat, “Ah! Aku akan melahirkannya.” jawabnya.

Seketika Benjamin memeluknya lebih erat, rasanya dia sangat senang mendengar itu.

Sedikit perdebatan tadi dan Rhea tak bisa memilih, mau tak mau mengikuti kemana dia akan dibawa. Jikapun dia menolak, pria ini tak akan mendengarkannya.

Bukan rumah sakit, bukan juga kediaman Dominic, melainkan Kantor Catatan Sipil. Tentu saja Rhea bertanya-tanya dalam benak mengapa mereka kemari?

Seperti kata Benjamin sebelumnya. “Bukankah dia ingin melihat janin dalam perutnya? harusnya mereka menemui dokter.” Rhea tak mengerti.

“Nyonya silahkan tanda tangan.”

Ucap petugas wanita itu memecahkan lamunan Rhea. Ya, sekarang dia sudah berhadapan tepat dengan petugas yang tampak mengurus berkas-berkas dan sesekali menekan-nekan keyboard komputernya.

Rhea menatap Benjamin meminta penjelasan, namun Benjamin hanya menaikkan alisnya dan meminta agar Rhea segera menandatangani kertas berisi namanya itu.

Seketika Rhea membelalak, sekarang dia mengerti Benjamin berniat mendaftarkan pernikahan.

“Aku menolak!”

“Kau bahkan tak mendiskusikannya pada ku dulu. Apa kau pikir aku sudah pasti menyetujuinya?!” Rhea tampak naik pitam. Benjamin selalu bersikap seenaknya padanya.

“Kau mengira aku akan memohon agar kau tanggung jawab? Aku tak butuh itu! Aku memang memutuskan melahirkan anak ini tapi sedikitpun tak terbesit keinginan untuk menikah dan hidup denganmu!!” ucap Rhea pelan namun penuh penekanan dan amarah.

Seklibat Rhea melihat sorot mata tajam Benjamin yang rasanya siap menekan siapapun yang berani menolaknya. Sedetik kemudian tatapannya berubah sedikit lebih tenang. Rasanya dia berupaya menekan diri agar tak menunjukan sikap mengendalikan seseorang.

“Ah! Aku lupa berada diranah pria itu.” Rhea mengepal kuat jemarinya.

Benjamin tersenyum kecil, Dia berbisik. “Pencatatan pernikahan akan membawa akibat untuk anak kita dan pemenuhan hak-hak dasarnya dengan jelas. Maka kita mulai dari mendaftarkan pernikahan. Kau memang tak menginginkannya, namun tindakan egois itu akan merugikan. Lalu, tidakkah kau berpikir akan dipandang buruk berada satu atap dirumah pria tanpa status jelas.” bisiknya.

Benjamin memang tampak memberikan solusi. Tapi, itu tindakan liciknya untuk menahan Rhea dan membuat Rhea merasa bahwa dia telah terikat lebih erat dengan Benjamin. Baik pemikiran Rhea karena anaknya atau nanti selepas mereka sah berstatus suami-istri. Dia akan sulit lepas darinya.

Rhea tampak berpikir sejenak. “Itu benar.” gumamnya.

Terlebih jika Ayah dan Lili tahu bahwa dia dibawa oleh pria asing tanpa status jelas. Maka mereka akan terus mencemoohnya. Lalu ketika dia memutuskan melahirkan anaknya maka dia harus siap terus berurusan dengan Benjamin yang merupakan Ayah dari anak yang dikandungnya.

Rhea mengusap wajahnya kasar. Dia benci situasi Dimana tak memiliki pilihan.

Petugas wanita tampak binggung dengan dua pasangan yang tampak belum siap. Terlebih wanitanya tampak tak menyetujui rencana ini.

“Tuan dan Nyonya, maaf menyela. Jika salah satu pihak berkeberatan maka kalian bisa datang dihari lain sampai kalian berdua sudah memantapkan hati. Pernikahan bukanlah perkara mudah. Perlu keyakinan dan persetujuan keduanya.” ucapnya dengan penuh kehati-hatian agar tak menyinggung.

“Ah! Itu sedikit kesalahpahaman dan sayangku ini telah menyetujuinya, bukankah begitu?” Benjamin memandang Rhea lekat.

Kata ‘sayang’ yang diucapkan Benjamin membuat Rhea bergidik.

Rhea menghela napas, rasanya sangat berat untuk menyetujui ucapan Benjamin. Lalu dia mengangguk sebagai jawaban setujunya.

Pada akhirnya Rhea menandatangani surat pendaftaran pernikahan itu.

Rhea menoleh kearah Benjamin. “Mendaftarkan pernikahan bukankah memerlukan informasi kedua belah pihak. Bagaimana kau dengan cepat mendapatkan informasi tentang ku? Dan tidak mungkin kau membawaku tanpa tau identitasku? Jadi siapa kau sebenarnya?!”

Benjamin menutup mulut Rhea pelan. Tentu saja berbicara dihadapan petugas seperti ini akan menimbulakan kecurigaan. “Stt! Jangan berbicara seperti itu disini.”

Benjamin lantas membawa Rhea menjauh dari tempat itu. Meski sedikit merasa aneh, namun petugas itu memilih tak memikirkannya lagi. Pertengkaran adalah hal wajar bagi pasangan yang akan menikah.

Rhea melepas cepat tangan Benjamin yang mendekap mulutnya. Dia menatapnya lekat meminta jawaban.

Senyum seringai menakutkan khas Benjamin terukir dibibirnya. “Kau pikir aku hanya membawa wanita kerumahku tanpa tau siapa wanitaku?"

"Aku tidak sembarang menyentuh wanita dan bahkan aku memilihnya dengan hati-hati." Benjamin menarik lengan Rhea, menariknya kedalam pelukannya. Lalu tangannya menyentuh dagu lancip wanitanya, perlahan dia mengecupnya dengan lembut.

Mata Rhea membulat, dia terkejut dengan tindakan berani Benjamin.

Jantungnya berdegup lebih kencang.

Rhea sadar ini bukanlah hal baik. Berlama-lama berurusan dengan pria ini akan membuatnya terseret kejurang curam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tanda Cinta Tuan Benjamin   Berikan pelukan

    Rhea termenung di atas kasur nya. Sampai pagi menyapa, Benjamin benar-benar tak menemuinya. Ya! ketenangan yang dia inginkan sejak kemarin. "Namun, mengapa aku sedikit kecewa?" Entah mengapa hatinya terasa resah sejak semalam. Keseharian yang tak biasa Rhea lewati tanpa adanya kehadiran Benjamin. Rhea ingat bahwa setidaknya setiap Benjamin pergi untuk mengurus pekerjaannya. Dia tak pernah pergi tanpa menemuinya lebih dulu. Dia akan datang dengan kata manis yang di rangkai indah, lalu bersikap manja padanya. Marah sekalipun pada akhirnya Benjamin akan menemuinya bak tak terjadi hal apapun, dan hari-hari akan berjalan seperti biasa. "Untuk apa aku memikirkannya." Rhea tak akan ambil pusing tentang Benjamin lagi. Lagipula pria yang membawa wanita yang katanya di cintai namun tak berniat menjadikannya rumah. Rasanya sia-sia. Rhea menghabiskan waktu nya seperti biasa. Dia sibuk dengan kegiatan barunya merajut baju. Hingga malam tiba, Benjamin benar-benar tak terlihat.

  • Tanda Cinta Tuan Benjamin   Kesabaran dan ambang batas

    “Wajah tertekuk dengan dahi mengkerut tak cocok dengan mu!” tukas Benjamin. “Ha! Memang siapa yang membuatku begini?” gumam Rhea. Rhea berusaha keras terlepas dari genggaman tangan Benjamin, namun apa daya genggamannya sangat kuat.Kesal! jelas itu tergambar di wajah Rhea. Dia ingin mencaci, memarahinya, dan memukul kuat pria yang mengekangnya dengan perhatian yang membuatnya kebingungan dan sulit berkutik.Pada akhirnya dia mengurungkan niatnya, sudah jelas pria besar ini tak akan pernah berniat kalah darinya hal sekecil apapun itu. Dia menatap datar wajah Benjamin yang bahkan tampak santai dengan senyum yang terukir indah dibibirnya. Bak tak menyadari kekesalan diwajah istrinya atau dia pura-pura tak tahu bahwa istrinya tengah menahan amarahnya? Kesabaran ada ambang batasnya dan diperlakukan seperti orang bodoh, memilih tetap diam juga melelahkan.Rhea menghela napas, dia lelah dan tak ingin berdebat lagi. Berdebat dengan Benjamin hanya membuat tensinya naik. Senyum terpaksa Rh

  • Tanda Cinta Tuan Benjamin   Berikan kecupan!

    Bayangan bahwa semua perkataan Benjamin akan di tepati, nyatanya janji-janjinya hanya angin lalu yang terhembus begitu saja. Bertemu dengan keluarga Benjamin? Tak pernah sekalipun itu terjadi. Ketika Rhea menanyakan perihal tersebut. Selalu saja Benjamin mengalihkan pembicaraan. Semua berlalu hingga lima bulan, dan kehamilan Rhea telah memasuki delapan bulan. Tak sekalipun kalimat Benjamin terealisasikan. Hingga Rhea lelah untuk menanyakan hal itu lagi dan memilih diam. Kehamilan 8 bulan membuat Rhea kesulitan berjalan, terlebih pergerakan bayinya menjadi lebih aktif. Rhea lebih banyak menghabiskan harinya berjalan-jalan di sekitar halaman rumah. Meski dia bosan, namun dia merasa jauh lebih aman untuknya tetap berada di sekitar rumah. Rhea duduk di kursi taman belakang rumah. Dia menghela napas pelan sembari mengelus-elus perutnya yang membesar, sesekali terasa pergerakan bayinya yang menendang-nendang. “Sebentar lagi kau akan lahir. Itu tak terasa sekali.” Rhea tersenyum ma

  • Tanda Cinta Tuan Benjamin   Membangunkan adik kecil

    “Bagaimana, aku sudah wangi bukan?!” Benjamin tersenyum nakal. Rhea menarik dirinya sedikit menjauh. “Ya, kau sudah wangi.” jawabnya. “Tak perlu sampai mencumbu ku, dari jauh aku bisa mencium bau sabun dari mu.” uap Rhea sembari mendorong pelan Benjamin menjauh darinya. “Ah! Kau perlu merasakan langsung diriku yang sudah wangi ini.” goda Benjamin, dia menunduk menatap Rhea yang terlihat kesal padanya. Rhea bangkit dari duduknya. Dia tampak menghindari situasi yang jelas akan terarah kemana. “Ben sangat berbahaya jika menuruti godaan nya. Mengapa dia bertelanjang dada dan hanya menutupi bagian bawahnya dengan handuk kecil. Otot-otot dadanya sangat menarik perhatianku.” benak Rhea. Dia berdiri didekat jendela, menghindari Benjamin dengan wajah merona merah. Meski Rhea terkesan menolak dan menghindar, nyatanya pikirannya tengah kacau dan tertuju pada dada bidang Benjamin. “Pikiran mesum apa ini.” Rhea berusaha memblokir pikirannya yang terus tertuju pada Ben. Dia bahkan memukul

  • Tanda Cinta Tuan Benjamin   Karena Bunga

    Sepanjang hari Rhea termenung dikursi dengan menatap kearah luar jendela, menatap langit, cuaca yang berubah-ubah, lalu lalang burung yang berterbangan, dan pesawat yang melintas beberapa kali.Semua itu adalah upayanya mengalihkan pikirannya.“Apa yang tengah kau lakukan?!” Rhea tersentak lantas menoleh, disebelahnya dia mendapati Benjamin. Dia bahkan tak menyadari kapan tepatnya kedatangannya. “Ini untukmu.” Benjamin memberikan buket bunga pada Rhea. Benjamin memberikannya begitu saja dengan wajah datarnya. Dia terlihat kaku.Mata Rhea membulat dengan ragu-ragu dia menyentuh buket bunga itu. “Kebetulan sekali aku menyukai mawar merah.” benak Rhea. “Ini sangat indah.” puji Rhea. “Aku senang kau menyukainya.” tukas Benjamin lantas menatap lekat wajah istrinya. “Mengapa tiba-tiba bunga?!” tanya Rhea penasaran. “Tak ada alasan.” jawab Benjamin.“Mm, biasanya bunga di berikan pada hari spesial. Mungkin ulang tahun, anniversary, Valentine, ya hari semacam itu. Aku tak tengah beru

  • Tanda Cinta Tuan Benjamin   Club

    Setengah hari berlalu dan Rhea lebih banyak berdiam dikamarnya. Setelah mengetahui bahwa yang kakek itu katakana bohong. Rhea merasa bodoh, percaya dengan ucapan dari orang asing. Rhea lebih banyak merebahkan diri diatas kasur dengan mata terpejam, namun tak mampu tertidur. Itu adalah bentuk kekhawatiran dan stres berlebihan tanpa dia sadari. Kemudian Rhea bangkit dari kasurnya, dia duduk di kursi dan mulai membaca buku yang sebelumnya telah dia minta ambilkan pada pelayan Ina. Rhea ingin mengalihkan pikiran-pikiran yang membuatnya frustasi, terlebih tentang Benjamin. Sedetik kemudian air mata Rhea menetes begitu saja. “Bohong jika aku tak khawatir, bohong jika aku tak takut.” Rhea menyeka air matanya dan berusaha menenangkan diri. Lalu pembahasan mengenai Vantoni yang masih belum menemukan titik temu membuat kekesalan dalam diri Benjamin kian memuncak. Ditambah dengan Rhea yang semakin penasaran dan bergerak untuk mencari tau tentangnya. "Saat ini aku masih bisa menyembunyi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status