Rhea yang tampak mengabaikannya membuat Benjamin sedikit kesal. Apa yang dipikirkan oleh wanita didepannya ditengah dia yang sedang mencumbunya? Lantas Benjamin mengigit bibir Rhea.
“Ah! au…” rintih Rhea, menatap Benjamin yang kian melumat bibirnya.Benjamin mengusap lembut bibir Rhea dengan jemarinya, tangannya menyentuh dagunya. Dia mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka saling bersentuhan. “Ya, harusnya kau menatapku seperti ini bukan malah mengalihkan pikiran dan pandanganmu.”“Yaampun mereka tampak membara.” ucap seseorang yang berpapasan dengan pasangan yang penuh gairah, mereka tampak terkejut.“Stt! itu tanda cinta, karena baru mendaftarkan pernikahan.” timpal yang lainnya dengan terkekeh.Rhea tersadar mereka masih berada didepan gedung kantor catatan sipil dan banyak orang berlalu lalang dan melihat mereka bercumbu. Bagaimana bisa Benjamin melakukan hal memalukan itu disini.Bergegas Rhea menjauh dari Benjamin. Tangannya mengusap kasar bibir yang baru dicumbu Benjamin.Rhea marah, kesal, dan malu. Semua bercampur menjadi tak tertahankan. Dia berjalan dan meninggalkan Benjamin disana.Rhea menyentuh bibirnya, dia terus berjalan sembari mengomel marah. “Berapa kali dia mencuri bibirku. Mencium seenaknya bak miliknya.” wajahnya memerah penuh emosi.Mata Rhea berkaca-kaca. Kejadian sebelumnya dia bahkan belum memaafkan pria sialan itu dan sekarang pria itu terus berusaha melangkah melewati batas.“Dia sangat kelewatan dengan terus menerus menginginkan lebih!!” Rhea tak tahu bagaiman menghadapi pria sialan itu.“Mengapa aku harus setuju menandatangani pendaftaran pernikahan?! Huh, aku memang bodoh.” Rhea tampak putus asa.Benjamin menyentuh bibirnya yang baru saja mencumbu bibir Rhea. Wajahnya merona, harusnya dia tak berekspresi malu-malu seperti ini.Benjamin menyibak rambutnya. “Sialan! Mengapa dia begitu manis.”Benjamin dengan perasaan yang bahkan tak dia pahami. Dia memang tertarik dengan Rhea, memastikan keamanan dan kenyamananya. Namun perasaan penuh kenyamanan dan kesenangan ini rasanya berbeda.“Ini aneh.” Benjamin menyentuh dadanya yang berdegup menggebu-gebu. “Seumur hidup aku tak pernah mengalami hal ini.” Dia mencengkeram kuat dadanya.Senyum manis tak mampu Benjamin sembunyikan dari bibirnya. Dia menenangkan perasaanya yang dibuat kacau oleh Rhea. Dia lantas bergegas mengejar Rhea yang mulai menjauh.Langkah kaki yang lebar membuat Benjamin dengan cepat menyusul Rhea.Benjamin lantas menarik lengan Rhea. “Kau meninggalkanku setelah mengacaukan ku!”“Huh?!” dahi Rhea mengernyit.Rhea mendongak menatap wajah Benjamin. Anehnya wajahnya bersemu merah.Rhea ingin mencerca pria ini. Namun, dia mengurungkan niatannya itu. Tampaknya kondisi Benjamin tampak tak baik.Harusnya dia tak mempedulikan apapun mengenai Benjamin, namun sebagai seseorang yang memiliki hati nurani dia membuka mulutnya. “Mm, ka-kau tengah sakit?” tanyanya.“Sakit? Aku?!” Benjamin menunjuk dirinya sedikit terkejut.Rhea menatap Benjamin kian lekat, menunjukan bahwa kalimatnya ditunjukan memang untuk Benjamin.“Tentu tidak.” jawab Benjamin.“Lalu mengapa wajahmu memerah?” tanya Rhea ragu.Benjamin menyentuh wajahnya. Lalu dia sedikit menunduk menatap Rhea yang mendongak kearahnya. “Ini karena mu. Tidakkah kau sadar hatiku kau porak-porandakan dengan pesonamu.”“What?! Itu tidak masuk akal.” ucap Rhea cepat.“Kau selalu menyangkal hal yang mungkin.” Benjamin kembali menunjukan ketenangan sikap dan menekan kegundahan hati yang disebabkan oleh Rhea.“Ya! Karena hal-hal yang mendadak ini sungguh tak masuk akal.” jawab Rhea lirih sembari memalingkan wajahnya.Rhea masih sulit menerima kenyataan, terkadang dia berharap ini hanyalah mimpi dan suatu saat akan terbangun.Namun, dia tak pernah terbangun. Karena ini kenyataan dalam hidupnya.Kemudian suasana menjadi canggung. Selama perjalanan keduanya lebih banyak diam.Beberapa menit menyusuri jalanan, Benjamin menghentikan mobilnya disebuah gedung indah.Rhea menoleh kearah Benjamin. Dia ingin bertanya namun kembali memilih menutup rapat mulutnya.Benjamin tahu bahwa Rhea orang yang sangat penasaran kemana dia akan dibawa. Dia juga tahu bahwa Rhea ingin menanyakannya namun berakhir mengurungkan niatnya karena situasi canggung tadi.Benjamin menyeringai. “Rupanya dia bisa tak berontak.”Pintu tiba-tiba dibuka oleh seorang pria. Pria bertubuh tinggi besar dengan jas hitam yang dikenakannya, juga tak lepas dari kaca mata hitam. Dia tampak menakutkan, meski bersikap sopan.Tentu saja jantung Rhea hampir copot karena kemunculan pria itu secara mengejutkan.Benjamin terkekeh. “Jangan takut orang-orang ini bawahanku.”Perhatian Rhea kemudian tertuju ke kaca mobil depan. Ada beberapa orang-orang seperti pria itu, rasanya lebih dari sepuluh berdiri didepan dengan rapi, beberapa berkemeja hitam adapula yang menggenakan batik. Rasanya mereka tengah menyambut kedatangan orang penting.“Jadi apa semua ini?” Rhea bergidik.“Kau akan melakukan apa padaku huh?!” ketakutan kembali menjalar menuhi dirinya, dia bahkan terlihat panik. Entah mengapa pikirannya dipenuhi hal-hal negatif.“Tenanglah.” suruh Benjamin.“Bagaimana bisa aku tenang!” Rhea tampak kacau.“Mereka semua orang-orangku yang kelak tak akan menyakitimu.” Benjamin menyakinkan lagi.Rhea berusaha mengatur napasnya yang tak stabil, dia menatap Benjamin dan ya dia berusaha percaya.Lalu Benjamin keluar lebih dulu dari mobil, dia meminta pria yang membuka mobil tadi kembali ketempatnya.Sekarang Benjaminlah yang membukakan pintu untuk Rhea, dia mengulurkan tangannya. Tentunya agar Rhea tetap percaya bahwa disini dia tak berniat buruk dan hal-hal negatif dalam pikirannya tak akan terjadi.Ragu-ragu Rhea meraih tangan Benjamin. Lalu pria-pria besar itu menyambut Benjamin dengan sopan.“Selamat datang.” sapa mereka.“Kami telah menyiapkan hal yang anda minta.”“Ini sedikit mendadak namun kami berhasil mendapatkan tempat.” Kata salah satu dari mereka.Lalu perhatian mereka tertuju kearah Rhea, mereka menyambutnya dengan ramah.“Ah! Jadi wanita cantik ini.”“Selamat datang Nyonya.” sapa mereka ramah.Rhea tak mengerti dengan situasi ini. Namun, dia hanya menyunggingkan bibirnya.Kemudian mereka masuk kedalam gedung dengan Benjamin yang menggengam erat tangan Rhea.Saat masuk kedalam gedung Rhea dikejutkan dengan tampilan dekorasi simple namun indah didalamnya.“Ah! Pasangan pengantin kami akhirnya tiba.” ucap seorang pria dengan rambut pajang sebahu yang terikat.Wajah pria itu tampak berbeda dari orang-orang bertubuh besar, wajahnya jauh lebih lembut.“Hai, cantik.” sapanya pada Rhea sembari mengamatinya."Rupanya wanita yang meluluhkan seorang Benjamin adalah nona ini."Benjamin menatap pria itu tajam. “Hentikan Charles! jangan menggodanya.” Tekan Benjamin.Pria yang dipanggil Charles itu menaikkan bahunya dan dengan mudah menurut. “Mm, baiklah.”Charles Blanco adalah tangan kanan Benjamin yang memiliki tugas membantu mengurus permasalahan internal maupun eksternal organisasi. Dia pria yang lebih mementingkan organisasi dari apapun.Charles pria yang sedikit humoris, namun disisi lain dia pria kejam yang tak berbeda dengan Benjamin.Charles tak suka ikut campur yang bukan urusannya. Namun, jika Benjamin yang meminta, dia tak akan pernah menolak karena dia tau konsekuensi nya."Sebentar! pengantin apa maksudnya itu?!" tanya Rhea yang tampak bingung.Benjamin dan Charles saling menatap dan kemudian saling memberi anggukan, yang kian membuat Rhea kebingungan.Di balik kain penutup wajahnya, Rhea hanya bisa mendengar suara langkah, desahan napas berat, dan keheningan yang terasa seperti ancaman tak kasat mata.Mobil berguncang sesekali. Jalanan yang dilalui tampak bukan jalan utama—mungkin sengaja dipilih untuk menghindari perhatian.Dalam kegelapan, Rhea mencoba menghitung waktu, menebak arah berdasarkan belokan, durasi, dan kecepatan. Ia mengandalkan naluri yang telah terasah oleh berbagai ancaman sejak terlibat dengan Benjamin.Dia berusaha berani di tengah ketakutan. Jantungnya berdetak kencang, jemarinya bergetar, dan keringat membasahi dahinya. Ia hanya bisa mengepal jemarinya, menahan ketakutannya, sembari berharap Benjamin segera datang.Saat-saat seperti ini, satu hal yang diyakininya—suaminya akan datang lebih cepat."Ben... segeralah datang," gumam Rhea dalam hati.Tiba-tiba, suara Lili terdengar dari bangku depan. "Kau tahu, aku membenci wajahmu sejak dulu. Terlalu sempurna. Semua orang memujimu. Sialan!!"Rhea terdiam, tak ingi
Saat tiba di halaman depan, Ray sudah menunggunya di samping mobil yang akan membawanya pergi. "Silahkan masuk nyonya," Ray tersenyum tipis. Ia kemudian membukakan pintu mobil untuk Rhea. Begitu Rhea naik, beberapa pelayan-Ina dan Caca juga bersiap di tempat mereka masing-masing, kali ini pelayan Marie tidak ikut. Rhea menghela napas, menyandarkan tubuhnya di kursi. Akhirnya, ia akan bertemu dengan neneknya lagi....Begitu memasuki Equator cafe, aroma kopi yang khas langsung menyambutnya, bercampur dengan wangi vanilla dan sedikit kayu manis. Kafe itu memiliki suasana hangat dan elegan, dengan pencahayaan temaram dari lampu gantung berdesain vintage yang menggantung rendah di atas meja-meja kayu mahoni.Dindingnya dihiasi dengan rak buku berisi novel-novel klasik, beberapa lukisan bernuansa tropis, serta jendela besar dengan tirai berwarna krem yang membiarkan cahaya matahari sore masuk dengan lembut. Di sudut ruangan, ada grand piano yang di mainkan dengan melodi jazz ringan, men
Benjamin menyibak kasar rambutnya, tampak berpikir keras. Dia masih ragu memberi izin Rhea untuk keluar sekalipun di temani Ray atau pelayan lain. Rhea melihat suaminya bimbang segera menyentuh ujung bajunya, "Kau harus menepati janji mu." katanya dengan mata membulat penuh harap. "Ugh! itu curang." dengus Benjamin. Dia benar-benar lemah terhadap istrinya. Namun, senyum kecil akhirnya terukir di bibirnya. "Aku memintamu mencium pipi, bukan bibir. Artinya, kesepakatan kita tidak sah."Rhea menyipitkan mata, jemarinya menyentuh bibirnya sendiri dengan lembut. "Sayang sekali, padahal aku masih ingin mengecup bibirmu. Baiklah, aku berubah pikiran. Aku akan mengecup pipimu saja."Sedikit berjinjit, Rhea melingkarkan tangannya di leher suaminya, lalu mengecup pipi Benjamin tanpa aba-aba.Benjamin mematung. Istrinya tidak biasa bersikap agresif seperti ini. Biasanya, Rhea hanya akan bersikap manja atau menyentuhnya lebih dulu jika menginginkan sesuatu darinya. Mengingat hal itu, Benjamin
"Mau sampai kapan memelukku seperti ini?" Rhea menatap Benjamin dengan malas. Mentari mulai meninggi, sinarnya menembus tirai jendela, namun Benjamin tampaknya tak berniat beranjak dari kasur. Sebaliknya, pelukannya justru semakin erat, seolah enggan melepaskannya. "Sebentar lagi," gumamnya manja. "Kau tahu, pertikaian kemarin membuatku lelah. Aku butuh pelukanmu untuk mengisi tenaga."Rhea mendengus pelan. "Kau begitu berlebihan," ujarnya, berusaha melepaskan diri. Dia meraih ponsel di atas meja, alisnya sedikit berkerut saat layar terus bergetar. "Ini berisik sekali. Tampaknya orang-orangmu mencari. Mungkin masalah pekerjaan."Dia menyodorkan ponsel itu pada Benjamin, tapi alih-alih menerimanya, pria itu justru bangkit dari posisi tidurnya dan menyandarkan dagunya di bahu Rhea, kembali memeluknya dari belakang. "Biarkan saja, itu tidak penting," ujarnya santai, lalu meletakkan ponsel sembarangan di atas ranjang. Rhea menghela napas, tapi sebelum sempat berkata apa-apa, ses
Hendra mencengkeram kuat pundak Lili, jemarinya menekan hingga terasa nyeri. Matanya menusuk tajam, menatap putrinya tanpa belas kasihan. "Mengapa tak ada hasil, huh?! Banyak bulan terlewati, tapi kau tak mampu membujuk kakak mu!!" Suaranya menggelegar, memenuhi ruangan dengan amarah yang tak tertahan."Aku merugi! Reputasi hancur, dan film-film ku gagal!!" teriak lantang Hendra. Kemarahannya semakin meledak-ledak. Lili tersentak, bahunya bergetar, matanya berkaca-kaca. Ketakukan menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia tak berani menatap mata Ayahnya, hanya bisa menunduk dalam ketakutan. Hidupnya tak tenang. Hari-harinya di penuhi amarah Ayahnya, dan dia masih menyalahkan Rhea atas situasinya sekarang.Jemari Lili mengepal erat, menahan gejolak emosinya. "Karena Rhea hari ku berubah seperti neraka." benaknya di penuhi kekesalan membara."Kegagalan yang paling ku takutkan, semuanya terjadi karena putri bodoh!!" Hendra semakin mencengkeram pundak Lili, genggamannya kian kuat. Tatapannya ber
Rhea termenung di atas kasur nya. Sampai pagi menyapa, Benjamin benar-benar tak menemuinya. Ya! ketenangan yang dia inginkan sejak kemarin. "Namun, mengapa aku sedikit kecewa?" Entah mengapa hatinya terasa resah sejak semalam. Keseharian yang tak biasa Rhea lewati tanpa adanya kehadiran Benjamin. Rhea ingat bahwa setidaknya setiap Benjamin pergi untuk mengurus pekerjaannya. Dia tak pernah pergi tanpa menemuinya lebih dulu. Dia akan datang dengan kata manis yang di rangkai indah, lalu bersikap manja padanya. Marah sekalipun pada akhirnya Benjamin akan menemuinya bak tak terjadi hal apapun, dan hari-hari akan berjalan seperti biasa. "Untuk apa aku memikirkannya." Rhea tak akan ambil pusing tentang Benjamin lagi. Lagipula pria yang membawa wanita yang katanya di cintai namun tak berniat menjadikannya rumah. Rasanya sia-sia. Rhea menghabiskan waktu nya seperti biasa. Dia sibuk dengan kegiatan barunya merajut baju. Hingga malam tiba, Benjamin benar-benar tak terlihat.