Share

Menolak melahirkan anak?

Ceklek!

Pintu dibuka. Seorang pelayan laki-laki dengan menggunakan pakaian polos, sederhana, dan tampak tak menarik perhatian. Pelayan itu kemudian masuk, ekspresinya tampak terkejut kala melihat Tuannya dan seorang wanita cantik yang tengah berada di situasi tak baik.

Pelayan itu menebak dalam benak. "Mungkin mereka tengah bertengkar." Rasanya dia tahu bahwa kedatangannya tidak diwaktu yang tepat.

Benjamin lantas meraih nampan berisi sarapan dan segelas susu yang dibawa pelayan itu.

Pelayan itu menelan ludah kala tatapan menusuk tuannya terarah padanya. Dia tertunduk takut.

"Apa lagi yang kau tunggu. Keluar sekarang!" suruhnya terdengar tegas.

Pelayan itu bergegas keluar dengan menutup pintu rapat-rapat.

“Tidak! Tunggu,” Rhea ingin memanggil kembali pelayan itu, dia ingin meminta bantuannya.

Jika hanya dia dan Benjamin disini, situasi tak akan berubah baik untuknya. Dia ingin menghindari pria sialan ini.

Benjamin yang tengah meletakan nampan diatas meja meliriknya dengan tajam. Itu berhasil menghentikan niat Rhea.

Rhea prustasi atas ketidakmampuannya melawan pria ini. Lalu dia menatap marah Benjamin. Dengan keyakinan bahwa mungkin pria ini menahannya karena anak dalam perutnya.

“Aku tak akan melahirkan anak ini!!” ucapnya lantang, meski begitu matanya berkaca-kaca.

Benjamin tampak tak terkejut. Dia duduk diatas kasur dengan tenang karena dia tau itu hanya kemarahan sesaat wanita yang sedang kacau.

“Kemari. Ini dibuatkan untukmu.”

Hati Rhea terasa pedih, Benjamin dengan mudah mengabaikan kalimatnya.

“Anak yang ada karena kesalahan harusnya tidak lahir. Dia tak harusnya menanggung dosa. Jadi tak ada alasan kau menahan ku lama!!” lirihnya dengan mencengkeram erat roknya.

“Jadi kau memilih membunuhnya begitu?! Karena kau berpikir demikian atau karena itu anakku?!” suara Benjamin terdengar menekan.

Lalu Benjamin mengacak kasar rambutnya. Dia beranjak bangun dari duduknya dan mendekati Rhea. “Pikirkan dengan hati-hati. Anak kita juga berhak atas hidupnya selepas dari kesalahan yang kau katakan itu.”

Rhea tertunduk dengan perasaan gusar. Dia tahu bahwa dia tampak seperti orang jahat yang dengan lantang berkata ingin mengugurkan anak dalam perutnya. Dia hanya ingin pergi dari pria ini. Sejujurnya dia belum memutuskan dengan benar.

Tiba-tiba tangannya ditarik oleh Benjamin.

“Jangan bersikap kekanakan.” Benjamin menarik kursi dan mendudukannya disana.

“Aku akan pergi hanya ketika kau menghabiskan makananmu.” paksanya dengan meletakan secangkir susu digengaman tangan Rhea.

“Kau menolak aku bersikap lembut, maka aku akan sedikit kasar.” ucap Benjamin tegas.

Rhea menatap Benjamin sekejap setelahnya perhatiannya tertuju pada secangkir susu digengamannya. Dia tak mempercayai pria ini. Tapi, perutnya juga terus berisik meminta segera diisi.

Tak ada pilihan, dan ada kehidupan lain diperutnya. Pria ini tak akan memberikan sesuatu yang berbahaya dalam makanannya, bagaimanapun dia tengah mengandung anaknya.

Kemudian Rhea menegak cepat susu itu. Dia lantas menikmati sup kacang merah yang telah disiapkan untuknya. Rasanya dia bisa menelannya dengan baik.

Benjamin puas Rhea menurut dan tampak menikmatinya. Dia menepati janjinya keluar dari kamar dan membiarkan Rhea beristirahat agar lebih tenang. Karena kehadiran dirinya masih belum diterima dan membuat Rhea terguncang.

Setelah yakin Benjamin sudah menjauh, tiba-tiba tangis Rhea pecah. Dan kebencian dengan situasinya kembali memenuhi. Hatinya terasa pedih.

Meski berpikir Benjamin telah pergi jauh. Nyatanya Benjamin masih berdiri didepan pintu dengan mendengar tangisan wanitanya.

“Hanya perlu waktu sampai dia beradaptasi.”

“Bantu wanitaku bersiap.” Suruh Benjamin pada dua pelayan wanita yang sudah bersiap menjalankan tugasnya.

Ditengah Rhea yang kacau, tiba-tiba dua pelayan wanita sudah berada disebelahnya.

Satu pelayan dengan rambut pendek dan satunya dengan rambut sedikit panjang terikat. Dua pelayan dengan pakaian yang sama dengan pelayan sebelumnya.

Rhea yang tenggelam dalam kesedihan bahkan tak menyadari kapan tepatnya pelayan itu masuk.

“Pria itu menyuruhmu?” tanya Rhea sembari mengusap kasar air matanya.

Dua pelayan itu memberikan anggukan sebagai jawaban.

Kemudian salah satu pelayan berambut pendek berkata. “Kami akan membantu anda bersiap.”

“Ya! Lagipula aku tidak akan bisa menolak meski aku ingin.” Rhea tampak muak.

Pelayan itu bekerja secara profesional. Semua yang mereka lakukan sangat diperhitungkan dan penuh kehati-hatian. Tak satupun keluar pertanyaan tak penting dari mulut mereka. Siapa dia dan mengapa menitikkan air mata?

Meski tak banyak bicara dengan ekspresi cenderung datar, namun sikap yang mereka tunjukan sangat hangat.

"Tempat ini kediaman Benjamin?" tanya Rhea memecah keheningan.

"Benar ini kediaman Tuan Benjamin." jawab pelayan berambut pendek, Ina.

"Tampaknya dia pria yang disegani. Siapa dia?" tanya Rhea lagi.

"Beliau orang hebat." balas pelayan berambut panjang, Marie.

"Kalian tak berniat memberitahuku, bukankah begitu?!"

Kedua pelayan itu terdiam. Tebakan Rhea benar telak.

Rhea tak mendapatkan jawaban yang diinginkan. Jelas orang-orang ini tak akan berpihak pada orang baru sepertinya.

“Anda terlihat sangat indah.” sanjung Marie dengan senyum manisnya.

Rhea yang tengah sibuk dengan pikirannya dikejutkan dengan kalimat Marie. Kemudian Rhea menatap dirinya di cermin. Dress dengan warna Baby Pink dia kenakan.

Dress yang memberikan nuansa manis pada penampilannya. Warna yang cocok untuk tampilan yang feminism dan ceria. Ah! ceria apanya? Dia bahkan sangat kacau sekarang. Lalu rambutnya ditata dengan rapi dan dibiarkan terurai.

Selesai mendandani, kedua pelayan saling memandang dengan senyum manis dibibir mereka, bak puas dengan apa yang mereka lakukan.

"Cantik sekali." puji Ina lagi.

"Itu benar, terlihat menawan." timpal marie.

“Bukankah ini sedikit berlebihan? Setidaknya beritahu aku mengapa aku didandani seperti ini?” tanya Rhea, penasarannya sangat besar.

“Kami hanya menjalankan tugas. Kami tak mengetahui tepatnya alasan yang anda tanyakan. Tuanlah yang tahu dan memiliki hak memberitahu anda.” ucap Marie sopan.

Rhea mengepal kuat jemarinya. Pelayan-pelayan ini bahkan tak tergoyah untuk memberi tahunya. Sikap mereka seperti tuanya, bersikap hangat agar dipercaya lalu bersikap dengan misterius yang mengesalkan.

Setelah selesai dengan tugas mereka. Kedua pelayan dengan sopan undur diri. Tentu saja Rhea tak bisa menahan atau memaksa mereka menjawab penasarannya.

Kedua pelayan itu tetap bungkam mengenai pertanyaan-pertanyaan tentang pria itu. Sedikitpun mereka tak berniat menjawab.

Rhea tak bersemangat, dia memandangi dirinya lekat-lekat. Entahlah, dia tak merasa puas atau senang.

Rhea menunduk memandanggi perut datarnya. Dia mengelus perutnya lembut. “Dunia ini tak adil, namun lebih tak adil jika aku bertahan dengan keegoisanku. Kau berhak untuk melihat dunia. Ibu akan menjagamu.”

Setelah pikir Panjang. Rhea memutuskan melahirkan anaknya, seperti apa akhir hidup nantinya? Kesedihan, kemalangan, atau kebahagiaan? Dia akan memilih melewatinya dan tak akan melarikan diri setidaknya untuk dirinya dan anak yang tak bersalah.

Beberapa menit setelah Rhea selesai berdandan Benjamin masuk kedalam kamar. Dia berdiri tepat dibelakang Rhea yang tengah sibuk memandangi dirinya dicermin.

Perhatian Rhea teralih, dia memandangi Benjamin dari pantulan cermin. Tampak Benjamin menggenakan celana hitam dengan ditimpali kemeja putih. Dengan gaya rambut yang disibak kesamping dengan rapi.

Dia tampak gagah. Wibawanya sangat terasa dengan ketenangan tegas yang selalu pria itu tunjukan.

Benjamin mendekat, dia sedikit membungkukkan badannya. “cantik.” pujinya didekat telinga Rhea.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status