Share

Bab 5. Calon pelakor

Mas Gibran berhenti melangkah, "Mas gak tau, sayang, nanti kita cari tau lagi. Sekarang lebih baik Mas antar kamu pulang dulu, baru setelah itu Mas kembali kerja. Kalau ada apa-apa, ingat kamu harus hubungi mas, ok!"

"Iya, Mas." Aku menjawab patuh.

Saat aku turun dari motor mas Gibran, aku bertemu Dvina yang terlihat baru keluar dari dalam rumahnya. Lagi-lagi Devina memandang baby Aydan dengan tatapan yang menurutku aneh, tapi segera kutepis pemikiran buruk yang mampir ke pemikiranku.

"Mbak Las, dari mana?" Devina bertanya sambil tersenyum tipis. Namun, aku tahu sesekali dia selalu curi-curi pandang pada baby Aydan dipangkuanku.

"Habis dari klinik, Vin." Jawabku apa adanya.

Aku menangkap raut terkejut dari wajah Devina. Namun, itu hanya sekilas karena Devina sangat apik menyembunyikan ekspresinya itu.

Devina kembali mengulas senyuman tipis, "siapa yang sakit, Mbak Las?"

Devina ini anak pendiam, mendapati dia bertanya-tanya seperti sekarang membuat aku sedikit aneh dan curiga. "Oh, gak ada yang sakit kok. Mbak cuma lagi periksa baby Aydan doang."

"Syukurlah," Devina menghembuskan napas lega.

Aku melihat Devina yang sudah rapi seperti hendak bepergian. Namun, fokusku sedikit teralihkan saat melihat payudara Devina yang tampak agak besar. Padahal Devina ini masih anak SMA kelas 11. Bukan sok tahu, memang ada sebagian anak sesusia Devina ini yang payudaranya sudah tumbuh besar, tapi kebanyakan pasti baru tumbuh. Apa mungkin kalau Devina ini sebenarnya ibu yang melahirkan baby Ayadan? Kalau diperhatikan lagi, memang wajah Devina ini ada mirip-miripnya dengan baby Aydan.

Aku menatap Devina penasaran, "kamu mau ke mana? Kayak mau keluar, memangnya kamu sudah sembuh?"

"Vina ada janji sama teman, Mbak Las. Sakitnya juga sudah mendingan. Kalau gitu, Vina duluan ya Mbak Las, Mas Gibran."

"Ya, Vin." Aku mengangguk saat Devina melewati aku dan mas Gibran.

Aku masih menatap Devina sampai menghilang di belokan jalan, lalu menghembuskan napas sedikit lelah. Kenapa aku semakin curiga dengan gerak gerik Devina? Ditambah lagi dia pergi menemui seseorang dengan keadaan tubuh masih sakit. Apa bu Yulis tidak khawatir pada anaknya yang bepergian dengan kondisi seperti itu?

"Sudah! Jangan dipandang mulu! Nanti mata kamu perih kalau tidak kedip-kedip dari tadi." 

Aku melirik mas Gibran yang tengah nyengir geli sambil melihatku. Aku manyun sebal, lalu meninggalkan mas Gibran yang masih terkikik di belakang.

"Mas berangkat ya, sayang." 

Aku berhenti dan sedikit menyampingkan badan untuk melihat dengan jelas mas Gibran, "iya, hati-hati."

Setelah mas Gibran berangkat, aku melanjutkan langkahku yang sempat terhenti barusan guna masuk ke dalam rumah. 

Tibalah waktu saatnya aku memberikan baby Aydan minum susu. Namun, ternyata prediksi bu Bidan memang benar, baby Aydan mau menyusu setelah waktunya dia lapar. Berarti memang ada yang sengaja memberi baby Aydan minum susu sebelumnya.

Aku menelan saliva susah payah. Apa mungkin yang memberi minum susu baby Aydan itu ibu kandungnya? Kalau memang benar dugaanku itu, bebarti ibu kandung baby Aydan ada di sekitar sini waktu tadi aku menjemur pakaian.

Segera aku mengecek semua jendela yang ada di kamar ini. Benar, ada satu jendela yang selotnya terbuka. Berarti orang itu masuk lewat sini tadi. Ya Allah, kenapa hatiku malah makin tidak tenang. Hamba takut ibu kandung baby Aydan ada niat untuk mengambil kembali anaknya, sedangkan hamba dan suami hamba sudah terlanjur menyayangi babay Aydan.

"Aku harus menelpon mas Gibran."

Segera kuambil handphon-ku untuk menelpon mas Gibran. Aku kembali menyimpan handphon-ku karena mas Gibran tidak mengangangkat telponku. Sekarang aku hanya bisa menenangkan diri, nanti setelah mas Gibran pulang akan kuveritakan.

Waktu yang kutunggu akhirnya tiba. Jam menunjukan pukul lima dan sebentar lagi mas Gibran pulang. Aku mendengar pintu diketuk. Aku mengernyit heran karena tidak biasanya mas Gibran kalau pulang suka ketuk pintu dulu. Biasanya kan dia langsung masuk.

Saat aku membuka pintu, ternyata kecurigaanku benar. Yang datang bukan mas Gibran, melainkan mamah mertua dengan seorang wanita yang tidak aku kenali.

Aku memindai penampilan wanita ini yang terlihat seperti toko emas berjalan. Bagaimana tidak, dari mulai gelang, anting, kalung, gelang kaki, sampai hidungnya pun di tindik pakai emas.

Aku menggeser badan karena takut terseret badan mamah dan wanita ini. Dengan lembut dan sopan mamah mempersilahkan wanita yang datang bersamanya ini untuk duduk di sopa ruang tamu.

"Ini loh rumahnya Gibran. Gimana menurut Fika? Sederhana banget, ya?" Mamah meringis seolah tidak enak karena memperkenalkan rumah butut pada wanita yang baru aku ketahui bernama Fika ini.

Sedangkan aku sengaja masih berdiri di ambang pintu untuk melihat sampai sejauh mana mereka tak menganggapku ada.

"Kalau masalah rumah sederhana mah aku sama sekali gak masalah loh, Tan. Lagian aku punya banyak uang, rumah ini nantinya bisa aku renovasi jadi tiga tingkat."

Sombong sekali, aku mencibir dalam hati.

Mamah tertawa renyah, "ih, kamu memang calon menantu idaman banget. Gak salah Tante jodohkan kamu dengan Gibran anak Tante. Sudah baik, punya penghasilan sendiri, cantik lagi. Pasti Gibran tidak akan menolak kamu."

Mamah meliriku dengan seringaian puas. Namun, aku sama sekali tidak terpengaruh. Mau bagaimanapun mamah berusaha, karena aku tahu mas Gibran tidaka akan pernah mau dijodohkan lagi.

"Ya, pastikan juga Fika ini tidak mandul. Kalau mandul, nanti mamah dapat zonk, dong." Aku ikut mendudukan tubuh di sopa tunggal yang berhadapan langsung dengan mamah dan Fika.

"Yang sopan kalau bicara!" Mamah memelototiku. Namun, aku hanya mengangkat bahu acuh.

"Lihatkan kelakuan istri pertama Gibran ini! Gak ada sopan santunnya bicara di hadapan mertua. Bagaimana bisa saya menyukai orang seperti dia. Jauh banget sama kamu." Mamah menoleh ke arah Fika sambil tersenyum manis.

Fika melemparkan seringaian sinis ke arahku, lalu merubah raut wajahnya saat menghadap mamah. "Tentu saja beda, Tan. Orang pendidikan saya lebih tinggi dari dia, jelas kelakuannya juga akan beda. Tante juga tenang saja, saya ini subur, tidak mandul seperti menantu Tante saat ini."

"Iya, semoga saja setelah kamu menikah dengan Gibran nanti, kalian cepat dikasih momongan. Sudah tidak sabar rasanya Tante ini ingin segera menggending cucu sendiri, bukan malah mungut bayi haram."

Ya, kalau mas Gibrannya mau sama Fika. Kalau mas Gibran nolak, mau dikata apa? Aku menyeringai dalam hati. 

"Assalamualaikum."

Aku menoleh ke arah suara mas Gibran yang baru saja datang. "Waalaikum sallam." Aku menjawabnya. Namun, ketika aku hendak menghampiri mas Gibran, Fika sidah mendahuluiku. Dengan menampilkan senyum manis yang malah berakhir terlalu lebar, Fika mengasongkan tangan hendak meminta tangan mas Gibran untuk dia cium.

Ck, kasihan sekali Fika ini, aku membatin iba. Aku tertawa puas dalam hati saat mas Gibran melengos dari hadapan Fika dan menghampiri mamah untuk mencium tangannya. Selanjutnya mas Gibran menghampiriku yang langsung menerima tangannya aku cium, setelah itu barulah mas Gibran mencium keningku.

Aku melirik Fika yang masih mematung di depan pintu. Kulemparkan seringaian ke arahnya untuk mentertawakan kekalahannya. Huh, mamah saja berani aku lawan, apalagi kamu yang bukan siapa-siapanya mas Gibran. Masih ada hati ingin merebut mas Gibran, dasar pelakor!

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status