Share

BAB 2

Aku sudah memutuskan untuk meminum racunnya hari ini, di sekolah, tepatnya sehabis jam pelajaran olahraga. Mengapa aku memilih tempat di sekolah, karena aku tidak memiliki tempat privasi di rumahku sendiri. Jika aku minum di tempat umum, aku kesulitan untuk memasukkan racunnya ke dalam minumanku, belum lagi rasa takut jika aku ketahuan, itu akan menimbulkan kecurigaan bagi orang yang melihatku sedang ketakutan di tengah keramaian. Namun di sekolah itu berbeda, setidaknya di sini ada tempat aman bagiku untuk menaruh racunnya ke dalam minumanku. Dan alasan mengapa aku memilih sehabis jam pelajaran olahraga, itu karena sehabis olahraga aku pasti akan merasa sangat kehausan sehingga aku bisa meminumnya sampai habis dalam sekali teguk.

Aku sudah memperhitungkannya dan aku yakin ini pasti akan berhasil.

Kriiinggg ...

Bel pergantian jam pelajaran pun berdenting. Kini tiba saatnya jam pelajaran olahraga. Semua pun mulai mengambil baju olahraga mereka di dalam tas, para laki-laki keluar kelas untuk mengganti pakaian mereka di tempat lain, sementara para perempuan berdiam diri di kelas, menunggu para laki-laki untuk keluar kelas. Aku pun bangkit dan berjalan menuju mejaku kemudian mengeluarkan baju olahragaku dari dalam tas dengan hati yang berdebar. Sebentar lagi. Yah ... sebentar lagi aku akan menjalankan rencanaku tersebut.

"Fey, tolong pegangin dong." Kathia memberikan baju olahraganya padaku untuk aku pegang.

Kadang-kadang aku tidak menyukai sifatnya yang manja seperti ini, terlalu menyusahkan. Padahal dia bisa menaruh baju olahraganya di meja, tapi dia justru malah menyuruh teman yang berdiri di dekatnya untuk memegang bajunya,  tentu saja dengan alasan bajunya takut kotor jika ditaruh di meja. Kejadian ini bukan baru kali ini saja, aku sering melihatnya menyuruh teman yang lain untuk sekedar memegang bajunya.

Aku pun dengan terpaksa memegang bajunya. Entahlah aku juga tidak mengerti mengapa aku menuruti perkataannya, mungkin karena aku tidak ingin mencari masalah dengannya. Ya itu bisa saja.

"Hari ini materi tentang apa ya?" Fannia pun bertanya di sela-sela kegiatannya memakai bajunya.

"Materi tentang basket." Nita pun menjawabnya sambil menguncirkan rambut panjangnya menjadi satu.

Aku yang sudah selesai mengganti baju hanya berdiri diam sambil memandangi mereka yang tampak asik mengobrol membahas tentang materi basket yang akan dipelajari nanti.

"Fey, bajunya mana?" panggilan Kathia membuatku menoleh ke arahnya dan memberikan baju miliknya yang sedang aku genggam.

Ia pun mengambil bajunya kemudian memakainya dengan sangat hati-hati. Setelahnya tak lupa ia juga menyemprotkan parfum di bajunya hingga wangi parfumnya pun menyebar ke seluruh ruangan.

"Hmm ... wangi banget sih," ucap Chalista mengejek.

"Iyalah mesti wangi."

"Nanti juga wanginya hilang, soalnya kan kita bakal panas-panasan dan keringatan," timpal Gita.

Kathia tampaknya tidak peduli karena ia tidak menjawab ucapan Gita. Setidaknya itulah yang aku duga dari ekspresinya yang aku perhatikan.

Jujur saja aku suka sekali memperhatikan ekspresi wajah orang lain. Itu dapat memudahkanku untuk memahami mereka. Selain itu aku juga suka melihat pergerakan dari orang lain, kadang-kadang aku merasa seperti bisa melihat masa depan hanya dengan melihat pergerakan dari mereka.

"Oii ... udah ditungguin Pak Gery tuh." Ucapan Fais yang berdiri di depan pintu membuat kami -para perempuan yang masih di kelas- menoleh ke arahnya. Setelahnya kami pun cepat-cepat membereskan meja kami dan menuju ke lantai bawah, tepatnya ke lapangan sekolah.

                                         ***

Hampir selama satu jam aku berada di lapangan basket hanya untuk berlatih basket. Inilah yang aku benci dari pelajaran olahraga saat di mana siswa yang tidak bisa dipaksa untuk bisa selagi fisik mereka masih kuat. Sementara mereka yang bisa diperbolehkan untuk istirahat terlebih dahulu. Mau dipaksa bagaimana pun aku tetap tidak akan bisa melakukan teknik dasar seperti dribble atau bahkan shooting. Beruntung aku tidak sendirian. Ada Kathia dan Fannia bersamaku. Sisanya adalah teman-teman kelasku yang lain yang jika dihitung berjumlah delapan orang, tentu saja kami semua adalah perempuan. Akan sangat lucu jika ada teman kelasku yang seorang laki-laki tidak dapat melakukan teknik dasar permainan bola basket. Akanku pastikan jika ada, ia pasti sudah menjadi bahan candaan untuk anak laki-laki di kelasku.

Setelah bel jam istirahat berbunyi, aku pun bernapas lega. Karena selain aku boleh beristirahat, jam pelajaran olahraga pun juga telah selesai. Kami pun diperbolehkan untuk istirahat dan ganti baju. Namun sebelum dibubarkan, Pak Gery memberi peringatan bahwa minggu depan adalah waktunya untuk pengambilan nilai materi basket, kami pun diharuskan untuk bisa menguasai dasar-dasar dari permainan bola basket.

Jujur saja aku tidak peduli.

Tanpa menunggu waktu lama lagi, aku pun pergi ke kantin dan membeli botol minuman untuk kuminum. Setelahnya aku pergi ke lantai dua, tepatnya ke kamar mandi yang tersedia di sana. Kabarnya kamar mandi yang berada di lantai dua terkenal angker. Selain itu, kamar mandi itu pun juga jarang dibersihkan seperti kamar mandi di lantai lainnya. Aku sering ke sana untuk menenangkan diri, namun tidak pernah terjadi apapun. Dan yang lebih menguntungkannya lagi, jarang ada siswa yang pergi ke sana bahkan hanya untuk sekedar lewat.

Sesampainya di sana aku pun meletakkan botol minumanku dan mengambil racun yang kubawa ini. Racun ini tidak berbahaya untuk dibawa kemana-mana dan aman untuk diangkut. Aku memilih racun ini karena racun ini tidak langsung membunuh sesaat setelah meminumnya. Racun ini adalah pembunuh lambat yang di mana jika seseorang yang terkena racun ini akan mati secara perlahan dalam waktu beberapa bulan atau minggu, tergantung seberapa banyak dosis yang diberikan. Ciri-ciri seseorang yang terkena racun ini pun gejalanya layaknya orang yang terkena penyakit kanker stadium akhir. Hal itulah yang membuatku memilih racun ini, karena saat kematianku tiba, tidak akan ada yang mengira bahwa aku melakukan bunuh diri.

Setelah mencampurnya dengan dosis 200 kali lebih tinggi dari dosis umum yang sudah mematikan, aku pun menutup botolnya dan menunggu racun itu larut dalam air. Entah mengapa jantungku kini bedetak dengan cepat dari biasanya, layaknya orang yang sedang jatuh cinta. Aku tidak pernah benar-benar merasa berdebar seperti ini. Aku tidak mengerti mengapa, mungkin karena sebentar lagi aku akan pergi dari dunia yang kejam ini.

Jujur saja, rencana bunuh ini sudah aku rencanakan sejak aku kelas 9 dulu. Sementara sekarang aku sudah kelas 11, itu berarti sudah dua tahun aku merencanakan aksi bunuh diriku ini. Aku menyadari ada yang berbeda dariku sejak itu, dan lagi aku juga sudah mulai merasa bosan dengan hari yang terus sama setiap harinya.

Alasan bunuh diriku ini memang terdengar konyol, itu sebabnya aku tidak ingin orang lain mengetahui kalo aku bunuh diri, karena aku tidak ingin dianggap sebagai gadis yang lemah.

Setidaknya oleh keluargaku sendiri.

Bisa dibilang aku memiliki keluarga yang lengkap. Ada ayah, ibu, kakak dan adik. Tapi aku tidak menyukai mereka.

Mengingat tentang keluargaku aku jadi ingin cepat-cepat meminum racun ini. Aku rasa sudah saatnya aku meminumnya. Lagi pula aku juga merasa sangat haus. Aku pun membuka tutup botolnya dan hendak meminumnya namun ...

Braaakk ...

Aku dikagetkan dengan seorang gadis yang membanting pintu kamar mandi dengan kencang. Gadis itu berlari dan memasuki salah satu bilik kamar mandi. Terdengar suaranya yang muntah dari sana. Aku yang masih terkejut hanya mampu terpaku di tempatku berdiri dan menutup kembali botol minumanku.

Tak lama kemudian aku melihat Chalista datang dan memasuki kamar mandi. Ia pun menyapaku.

"Loh Fey, kau di sini?" aku mengangguk.

" Thia kenapa?" tanyaku setelahnya.

"Aku juga gak tahu. Tadi dia bilang dia merasa mual sehabis olahraga. Kayaknya dia kecapaian deh, terus di tambah lagi dia juga terlalu lama di bawah sinar matahari, jadi ya gitu deh."

"Terus kenapa dia di bawa ke sini bukan ke UKS?"

"Aku tadi mau anter dia ke UKS, tapi dia merasa mual dan mau muntah. Karena di lantai dua hanya ada kamar mandi ini, jadi Thia lari ke sini. Tapi untung deh daripada dia muntah di koridor atau depan kelas orang, kan? Kan jadi malu kalo gitu." Aku pun hanya menganggukkan kepala menerima pernyataannya.

Tak lama kemudian Kathia pun keluar dari salah satu bilik kamar mandi. Wajahnya pucat dan rambutnya pun sedikit berantakan.

"Ya ampun Thia, wajahmu pucat sekali," seru Fannia.

"Aku kayaknya tadi pagi salah makan deh. Mual banget."

"Emang mualnya dari tadi pagi?" aku pun bertanya. Kathia menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaanku, setelahnya ia pun menjelaskan, "Awalnya kukira hanya mual biasa, aku masih bisa tahan. Tapi tadi waktu olahraga, perutku terasa dikocok, aku jadi pengen muntah,"

Setelah selesai bercerita, kulihat Kathia tengah memperhatikan botol minuman yang sedang kupegang ini.

"Fey bagi minumnya dong," aku panik tentu saja.

"Ehh ... ja-jangan Thi, aku belikan saja ya," ujarku gugup.

"Kelamaan Fey."

"Ta-tapi ... "

"Sudahlah kasih saja, Fey. Kautidak lihat wajah Thia sudah sangat pucat sekarang, dia pasti sangat membutuhkan air. Nanti kaubisa membelinya lagi."

Ini bukan masalah aku bisa membelinya lagi atau tidak. Ini masalah nyawa seseorang tahu. Thia bisa mati jika meminum minuman ini.

Aku menggerutu dalam hati dengan wajah panikku ini. Aku penasaran, apakah mereka tidak sadar dengan perubahan ekspresiku ini?

"Bu-bukan begitu, ini ... " aku masih berusaha untuk mencegahnya agar tidak meminum minumanku. Namun Kathia sudah lebih dulu merebut botol minuman itu dari genggamanku tanpa mendengarkan penjelasanku.

"Gapapa kok kalo itu bekas kamu. Aku sudah haus banget nih, tenggorokanku juga sudah kering."

Kathia meminumnya. Tanpa pikir panjang ia meminumnya, bahkan sampai habis tak bersisa.

"Yah Fey ... sudah habis. Gapapa, kan?" tanyanya dengan wajah polosnya tanpa tahu bahwa hanya dalam waktu tiga minggu lagi, ia akan meninggal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status