Share

BAB 5

Hari demi hari pun berlalu, kini sudah tepat satu minggu setelah kejadian di mana Kathia meminum racunnya. Banyak hal yang sudah terjadi, namun tidak ada yang menyadari bahwa Kathia telah keracunan.

Sambil menunggu kematian Kathia tiba, aku mempersiapkan alibi agar tidak dicurigai serta menghapus semua bukti-bukti yang ada. Aku yakin sesaat setelah kematian Kathia, semua orang pasti akan merasa curiga, terutama Kakaknya. Harus aku akui bahwa satu-satunya orang yang harus aku hindari adalah Kak Gara. Dia adalah orang yang paling berbahaya untukku. Itu sebabnya selama menunggu kematian Kathia, aku tidak boleh terlihat mencurigakan dihadapan Kak Gara.

"Ikut lomba makan kerupuk enak kali ya," ujar Chalista saat kami sedang berkumpul di kantin sekolah guna membahas tentang acara lomba 17 Agustusan yang akan diadakan minggu depan.

"Jangan! Lomba memindahkan tepung aja, kan pake anggota tuh, enam orang lagi anggotanya. Pas banget sama kita berenam," usul Fannia. Aku yang tidak tahu harus mengikuti lomba apa hanya diam sambil mendengarkan teman-temanku yang mulai berdebat.

"Gak asik. Mending lomba rebut bangku aja. Kan enak tuh sambil joget-joget," kini Nita pun juga ikut memberikan usul.

Saat mendengar usul dari Nita, aku pun juga memberikan usul agar tidak terlihat terlalu pendiam. "Kalo mau joget-joget, mending joget balon aja."

Aku tidak pernah membayangkan teman-temanku akan langsung menyetujui usul dariku yang kuberikan dengan asal tersebut.

"Bener juga apa kata Fey, kenapa kita gak kepikiran, yah?"

"Tapikan anggotanya cuman dua orang," sanggah Gita.

"Nah kita pas tuh bisa dua-dua, ya gak?" Kathia melirik ke arahku setelah mengucapkan hal itu. "Kau sama aku ya, Fey?"

"Eh?"

"Ya ... ya?"

Aku pun mengangguk.

"Yaudah kalo gitu aku sama Nita."

"Nita dan Gita, pas banget. Berarti aku tinggal sama Chalista dong."

"Ya adanya tinggal sama aku, emangnya kau mau sama yang lain?" Fannia memeluk Chalista dihadapanku sambil berujar, "Gak lah, Ta."

Kadang-kadang aku merasa pertemanan mereka memang patut dicurigai. Namun anehnya, orang lain terlihat biasa-biasa saja ketika melihat hal seperti itu.

Mungkin mereka menganggap hal itu wajar dalam pertemanan, tapi tidak bagiku. Menurutku ada batas-batas tertentu jika kita berteman, yang pasti tidak untuk hal seperti peluk memeluk.

"Aku mau beli minuman lagi nih, ada yang mau nitip?" Chalista bangkit dari duduknya sambil bertanya kepada kami berlima, mereka menggeleng, menjawab pertanyaan dari Chalista. "Yaudah. Tapi jangan pada minta minumanku loh." Chalista berbalik dan berjalan menjauhi kami. Aku yang merasa bosan pun bangkit berdiri dan pergi menyusul Chalista tanpa berpamitan. "Aku ikut, Ta." Seruanku pun membuat Chalista berhenti di tempatnya guna menungguku.

Sesampainya aku di sebelah Chalista, kami pun berjalan ke salah satu warung yang menjual minuman di sana.

"Kau juga mau beli minuman, Fey?" aku menggeleng.

Di saat Chalista sibuk berpikir ingin membeli minuman apa, tiba-tiba datanglah Kak Gara yang sepertinya juga ingin membeli sesuatu.

"Hai, Ta. Hai juga Fey," sapanya pada kami.

Aku hanya tersenyum kecil kepadanya. Berbeda dengan Chalista yang memperlihatkan senyum manisnya disertai dengan jawaban dari sapaan Kak Gara.

"Kakak mau beli apa?" tanya Chalista, mungkin hanya untuk sekedar basa basi agar ia bisa berbicara pada Kak Gara, pikirku.

Dan terjadilah percakapan panjang di antara mereka. Pada kesempatan itu, kugunakan untuk terus memperhatikan Kak Gara. Aku pernah membaca, jika kita ingin mengenal seseorang melebihi ia mengenal dirinya sendiri, maka kita harus terus memperhatikan orang tersebut. Aku memperhatikannya untuk mencari tahu kelemahannya, karena siapa tahu di masa depan aku bisa menggunakannya untuk menyelamatkan diriku sendiri.

Di tengah pengamatanku, aku terkejut ketika Kak Gara menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya. Dia pun terkekeh menatapku dan dengan percaya dirinya ia pun mengatakan, "aku tahu aku tampan Fey, tapi kau juga jangan terlalu serius begitu melihatku."

Sial aku ketahuan.

Aku menunduk malu-malu seperti sikap seorang gadis pada umumnya yang ketahuan memperhatikan seseorang yang disukainya. Itu aku lakukan agar aku tidak terlalu dicurigai. Entahlah aku tidak tahu tindakan aku ini tepat atau tidak, yang aku tahu aku harus bersikap seperti selayaknya seorang gadis yang berada di sekitar pria tampan pada umumnya. Yah, itulah yang aku pikirkan.

"Feyya emang suka gitu Kak kalo ngelihatin orang, apalagi kalo cowok. Pernah teman sekelasku, Randy, dia cerita selalu dilihatin Feyya terus, sampe dia ketakutan."

Kak Gara tertawa karena ucapan Chalista pun begitu pula dengan Chalista. Padahal aku sama sekali tidak menangkap letak kelucuannya di mana. Entah mengapa dari kejadian ini aku jadi berpikir bahwa Kak Gara orangnya memang sangat ramah. Tipe orang yang senang menyenangkan orang lain.

"Oh iya, saya jadi lupa nih mau beli apa," ucap Kak Gara.

"Sama nih Kak, saya juga jadi ikutan lupa."

Mereka pun tertawa seperti menertawakan kekonyolan mereka. Entah mengapa aku jadi suka melihat kedekatan mereka. Jika kupikir-pikir mereka ini memang cocok, lagipula di antara teman-temanku yang lain, Chalistalah yang paling sering berbicara dengan Kak Gara. Hal itu karena Chalista yang paling dekat dengan Kathia. Tetapi jika saja ini drama romantis, mungkin mereka yang akan menjadi pemeran utama dari kisah ini. Tapi sayangnya kisah ini milikku, akulah yang paling tahu alur cerita ini hingga menuju ke konflik. Bisa dibilang akulah yang menentukan takdir ini, akhir dari cerita ini. Karena akulah pemenangnya.

"Senang berbicara dengan kalian, sampai jumpa." Tanpa aku sadar, mereka pun sudah selesai berbicara.

"Hati-hati, Kak!" kata Chalista.

Kak Gara mengangguk dan pergi meninggalkan kami.

"Fey, jantung aku gak bisa berhenti berdetak, Fey. Huaa ... Kak Gara emang benar-benar orang yang bisa mengguncangkan hatiku."

"Lebay kau, Ta."

"Kau memang tidak menyukainya, ya?"

"Tidak tahu."

"Aku tidak percaya. Kau pasti suka dengannya juga, kan? Secara siapa sih yang tidak menyukai Kak Gara."

"Aku tidak tahu."

"Oh iya, kau kan sukanya dengan Banu," aku memutar bola mataku malas, apalagi saat Chalista membicarakan soal Banu.

"Sudahlah Ta aku tidak ingin membahasnya." Bertepatan dengan aku yang berhenti bicara, kami pun sampai di meja tempat teman-temanku berkumpul. Mereka yang saat ini sedang membahas tentang hal yang sedang viral masih terus berlanjut meskipun mereka melihat kedatang kami dan duduk bergabung dengan mereka.

Sesaat setelahnya, Chalista pun dengan heboh menceritakan pertemuannya dengan Kak Gara beberapa menit yang lalu. Lagi dan lagi aku harus menahan bosan mendengar obrolan tidak penting mereka.

                                        ***

Seperti biasa saat pulang sekolah aku akan menulis semua dialog yang sudah harus aku hafal setelah kematian Kathia tiba. Tak hanya itu, aku juga harus menyusun rencana agar tidak masuk ke dalam daftar tersangka. Jujur saja, semakin hari aku selalu dilanda rasa takut dan bersalah. Meski aku mempersiapkan semuanya dengan matang-matang, tapi aku hanyalah manusia biasa yang hanya bisa berencana. Tapi aku sangat berharap rencana aku akan berhasil. Masalahnya aku juga tidak ingin hidup di penjara. Hidup bebas seperti ini saja sudah membuatku sangat tersiksa dan merasa seperti tercekik apalagi hidup di dalam penjara.

Tapi tidak, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Selama satu minggu aku sudah banyak menghapus jejak, termasuk jejak pembelian racunnya. Aku hanya berharap aku tidak melakukan satu kecerobohan. Hanya satu kecerobohan saja, itu dapat membawaku pada kematian. Tapi aku sudah pernah membuat satu kecerobohan dan belajar dari kecerobahan itu sendiri. Bukankah pengalaman adalah guru terbaik?

Kini, jika dugaanku benar keluarga Kathia akan membawa kasus kematiannya kepada polisi, maka kasus itu akan menjadi kasus yang tidak terpecahkan. Yah ... semoga saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status