Share

BAB 4

Sesampainya aku di rumah, aku pun langsung membersihkan diriku dan berganti baju dengan baju tidurku, meskipun sekarang masih sore. Ibuku pun terlihat sedang menonton televisi dan adikku pergi bermain di luar. Ayah dan Kakakku sedang pergi bekerja,itu artinya aku masih punya kesempatan untuk sendirian di kamar Ibuku

Memang benar aku masih tidur dengan Ibuku, terdengar memalukan memang, tapi itulah faktanya dan aku tidak ingin teman-temanku tahu. Itulah sebabnya aku tidak pernah mengizinkan teman-temanku untuk bermain di rumahku.

Rumahku ini terbilang sederhana, namun tidak sesederhana yang terlihat. Ayahku pemilik bengkel motor dan mobil yang lumayan terkenal di kalangan atas. Hampir setiap hari bengkel ayahku pasti ramai pelanggan yang ingin memperbaiki kendaraannya.  Bersama dengan Kakak laki-lakiku, Kak Yuga, mereka membangun bengkel tersebut hingga bisa sampai berhasil seperti sekarang, dan kini sudah ada banyak karyawan yang bekerja di sana. Hal itu juga berpengaruh dengan pendapatan kami yang terbilang cukup banyak, namun alih-alih membeli rumah lagi, mereka justru malah membeli mobil atau motor baru. Hampir setiap bulan mereka ganti-ganti mobil untuk kepuasan mereka. Ibuku yang tidak menyukai sifat boros ayahku kerap kali sering bertengkar dengannya ketika ayahku pulang ke rumah. Sementara kami yang hanyalah seorang anak yang sering dianggap tidak mengerti apa-apa ini hanya bisa diam di tempat sambil melihat mereka yang bertengkar. Terus seperti itu sampai aku bosan melihat adegan yang sama di setiap pertengkaran mereka.

Pernah sewaktu-waktu Ibu menyuruhku untuk meminta Ayahku membeli rumah dengan alasan Ayah pasti akan mendengarkanku dan menuruti permintaanku. Aku yang saat itu masih berumur 14 tahun langsung saja menuruti permintaan Ibuku tanpa pikir panjang. Alhasil akulah yang kena marah oleh Ayahku, menganggap bahwa aku tidak mengerti dirinya dan selama dua jam Ayah menceramahiku hanya karena aku menyetujui pendapat Ibuku. Sejak itu, aku tidak lagi ingin peduli, tidak lagi ingin ikut campur, dan tidak lagi ingin mau tahu. Aku sudah mulai bersikap tak acuh.

Tapi jika aku boleh jujur, aku memang lebih menyetujui pendapat Ibuku. Dibanding membeli kendaraan baru yang tidak selalu bermanfaat, lebih baik membeli rumah yang lebih besar lagi. Rumahku ini bisa dibilang kecil untuk ditinggali kami berlima. Hanya ada dua kamar tidur dan satu kamar mandi, dapurnya pun tidak terlalu besar, kami juga tidak memiliki halaman rumah, hanya ada garasi mobil dibalik pintu pagar kami yang terhubung dengan pintu utama rumah ini. Kamar yang di depan diisi oleh aku dan Ibuku, sementara kamar belakang di tempati oleh Kakak dan Adikku, kadang-kadang ayahku pun juga tidur di sana. Di tambah banyaknya perabotan rumah membuat rumah ini menjadi semakin sempit.

Namun apa daya? Kita tidak bisa mengubah pikiran orang lain meskipun orang itu adalah keluarga kita sendiri, bukan?

Kini aku sudah berada di kamar Ibuku sejak lima menit yang lalu tanpa melakukan apapun dan tanpa memikirkan apapun. Diriku sudah lebih tenang dari sebelumnya. Aku hanya tidak mengerti mengapa ketidaksengajaan itu bisa terjadi, apa mungkin karena aku memilih hari yang salah? Tapi jika aku melakukannya besok atau di hari-hari lainnya, mungkinkah kejadian seperti ini tidak akan terjadi?

Semakin aku menduga semakin aku dibuat pusing karenanya. Daripada aku menyesali apa yang sudah terjadi, lebih baik aku memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa menyelesaikan masalah yang kubuat ini, setidaknya untuk diriku sendiri.

Pikiranku pun mulai mengingat kejadian tadi siang saat di kamar mandi, tepatnya ketika Kathia meminum air minumku yang telah dicampur racun itu. Jika dipikir-pikir aku memang tidak bersalah. Kathia sendirilah yang meminum minuman tersebut dengan suka rela, aku tidak memaksanya. Chalista pun tahu akan hal itu. Bahkan dia juga yang menyuruhku untuk memberikan minuman itu kepada Kathia, lalu mengapa harus aku sendiri yang menanggungnya?

Benar. Jika aku jujur apa yang sebenarnya terjadi, bukan aku yang akan disalahkan, tapi Chalista dan juga Kathia sendiri, hal itu akan dianggap sebagai bunuh diri. Apa sebaiknya aku jujur saja, ya?

Tapi tunggu, bagaimana dengan racunnya? Aku yang menaruh racun itu ke dalam minumanku, jika mereka melibatkan polisi, polisi akan menanyakanku dari mana aku mendapatkan racun tersebut. Sama saja aku bunuh diri kalo begitu ceritanya. Lalu apa yang harus aku lakukan?

Apa aku tetap melakukan bunuh diri saja sekarang. Otomatis saat kematian Kathia tiba dan racun itu diketahui, maka polisi tidak bisa melacak siapa pembunuhnya dan akan menjadi kasus yang tak terpecahkan karena pelakunya sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Aku menggelengkan kepalaku guna mengenyahkan pikiran konyol tersebut. Jika aku bisa belajar dari setiap kejadian tak terduga yang ada, maka seharusnya aku tahu bahwa aku tidak diizinkan untuk pergi lebih cepat dari dunia ini. Bisa dibilang aku diberikan kesempatan untuk hidup. Namun haruskah aku menganggap ini sebagai kesempatan atau sebagai hukuman?

Oh astaga ... kepalaku sakit memikirkannya. Rasanya kepalaku ingin pecah.

Saking tidak tahannya aku dengan rasa sakit di kepalaku, aku pun mengambil ponselku yang aku taruh di meja, kemudian membuka salah satu aplikasi yang ada di sana. Kucari aplikasi hiburan yang bisa menghiburku dari kekacauan yang melanda diriku sekarang.

Beberapa menit kuhabiskan dengan bermain ponsel, namun tidak dapat membuat pikiranku teralihkan. Saking bosannya aku pun melempar ponselku ke kasur dan duduk tegak di pinggir ranjang. Manik mataku menatap buku-buku yang aku susun rapih di atas meja belajarku. Entah ada daya tarik apa, aku pun berjalan mendekati meja belajarku tanpa aku tahu apa yang ingin aku lakukan di sana. Kuperhatikan setiap buku non-fiksi yang pernah aku beli di perpustakaan. Sebagian ada yang sudah aku baca dan sebagiannya lagi belum. Namun aku tertarik pada satu buku yang pernah asal aku beli sehingga aku berhenti membacanya di pertengahan cerita.

Di antara bukuku yang lain, ini adalah buku fiksi. Buku fiksi bergenre fantasi yang ceritanya sungguh tidak masuk akal. Aku tidak habis pikir mengapa aku membelinya saat itu. Seingatku buku ini pernah ada di rak buku best seller, mungkin itu juga yang menyebabkan aku membeli buku ini. Karena rasa penasaran, aku pun mengambil buku tersebut dan membuka secara acak halaman bukunya. Kubaca kata demi kata yang tertulis di buku tersebut, hingga ada satu kalimat yang membuatku jadi tertegun saat membacanya.

"Tetaplah hidup, meskipun itu menyakitkan. Tetaplah hidup meskipun itu menghancurkan jiwamu. Tetaplah hidup meskipun mentalmu telah hancur. Tidak ada alasan dan aku tidak ingin memberikan alasannya. Sama seperti penyesalan yang sudah terjadi dan kau diharuskan untuk tetap menjalaninya, begitu pula dengan hidupmu. Jalani saja karena kau telah hidup."

Apa yang tertulis di buku ini benar, aku harus tetap hidup.

                                       ***

Esok harinya aku kembali bersekolah. Dibanding kemarin, aku merasa lebih tenang sekarang. Sudah kuputuskan  bahwa aku akan tetap hidup. Hidup itu penuh misteri, dan tujuan aku hidup adalah membongkar setiap misteri demi misteri yang ada dalam kehidupanku. Toh ... nyatanya aku masih diberikan kesempatan untuk hidup sekarang.

"Fey ... udah ngerjain PR matematika belum?" sesaat setelah aku masuk kelas, aku pun langsung mendapatkan pertanyaan seperti itu dari temanku, Kathia.

"Sudah," jawabku.

"Lihat dong."

"Gita emang belum?"

"Udah. Aku lihat punya kamu buat jadi bahan koreksi aja. Siapa tahu ada yang beda."

Dan kalo beda kau membandingkan siapa yang paling benar di antara kita, lalu kemudian kau akan isi jawaban yang paling benar. Basi banget.

Aku pun menyerahkan buku tugasku kepada Kathia yang dia terima dengan sangat antusias. Meskipun sejujurnya aku sangat kesal, tapi biarlah. Lagipula hidupnya juga tidak akan lama lagi.

"Fey, jawaban kamu emang sama sih sama jawaban Gita. Tapi beda cara."

"Ya terus kenapa?"

"Kamu gak ngikutin cara dari guru ya, Fey?"

"Jawabannya kan sama saja, aku hanya mempersingkat jawabannya saja biar gak terlalu panjang. Aku mempelajarinya dari aplikasi video belajar online yang kebetulan gratis. Dan saat aku menontonnya, aku lebih paham sama cara mereka daripada cara yang diajarkan oleh Bu Wati."

Kathia tampak mengangguk-anggukan kepalanya mengerti sambil memperhatikan buku tugasku.

"Aku ... " Kathia tidak melanjutkan kata-katanya, ia mulai menutup mulutnya. Wajahnya pun terlihat seperti ingin muntah.

"Thia, kau kenapa?" tanyaku yang melihatnya seperti itu.

"Gak tahu tiba-tiba pengen muntah. Padahal tadi baik-baik saja."

Jangan-jangan racunnya sudah mulai menyebar ke seluruh organ tubuhnya lagi.

"Tapi aku gapapa kok," Kathia tersenyum dan menyerahkan buku tugas milikku. "Ini bukunya, makasih ya Fey."

Kathia pergi menghampiri Nita dan Chalista yang tampak seperti sedang mengobrol sesuatu. Aku terus memperhatikannya dari tempatku. Kini racunnya sudah mulai menyebar, sebegitu cepatnya sehingga aku merasa takut bahwa perkiraanku salah. Aku memperkirakan waktu kematiannya itu tiga minggu dari sekarang, tapi bagaimana jika waktu kematiannya itu lebih cepat dari yang aku perkirakan?

Memang benar, dunia ini selain kejam namun juga dipenuhi dengan hal yang tak terduga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status