“Ren, masih inget sama gue?” sapa seorang perempuan dengan seragam juri.
“Hai, lo Gladis kan? Cewek cupu di SMA Taruna Jaya, gila ya lo banyak berubah sekarang. Maksud gue ya … lo udah gak cupu lagi,” canda Varen membalas sapaan Gladis.
“Ren, lo masih inget aja siapa gue, padahal udah lama banget gue lupa dengan tingkah aneh gue pada jamannya itu.” Gladis membalas ucapan Varen dengan tawa yang renyah.
Gladis adalah teman Varen di masa SMA, Gladis juga pernah jatuh cinta dengan Varen, namun Varen lebih memilih Kinan. Ya, tentu karena Kinan juga gadis populer di sekolahnya, sangat cocok jika berdampingan dengan Varen.
Saat itu bahkan Varen tidak pernah sekalipun menoleh perempuan-perempuan di sekolahnya, meski siapapun pasti berharap bisa dekat dengan pria tampan bernama Varen.
“Hhhmmm … kayaknya kita mesti cari tempat yang enak buat ngobrol ya, Ren. Lo nggak sibuk, kan?”
“Boleh, Dis! Tapi gue mau nyamperin nyokap sama bokap dulu. Lo tunggu bentar, ya!”
Varen lantas bergegas menghampiri mama dan papanya, juga Aerin.
“Ma, Pa!” panggil Varen kepada kedua orang tuanya, mereka lantas menoleh bersamaan ke arah anaknya.
“Ren, kamu baru datang? Bisa banget ya kamu selalu buat anak kamu kecewa. Aerin tadi bagus banget loe nyanyinya, mama aja sampe terharu. Iya kan, Pa?” ucap Ellina kepada suaminya mencari pembenaran akan kata-katanya.
Belum sempat Varen menjawab ucapan mamanya, tiba-tiba Aerin datang dan memecah kecanggungan itu.
“Papa, makasi ya udah dateng. Aerin tahu pasti Papa akan menepati janji, karena di mata Aerin Papa adalah Papa yang hebat.
Ellina dan Rama saling pandang, mereka tidak tahu kalau Varen sudah datang dari tadi.
“Sudah-sudah, mama sama papa mau ada acara. Mama titip Aerin ya, Ren?” Lalu mamanya pergi meninggalkan mereka berdua tanpa menunggu jawaban Varen.
Varen sangat canggung berhadapan dengan Aerin saat ini, lantaran mereka juga jarang berkomunikasi. Varen lantas mengajak Aerin untuk keluar dari gedung aula, sementara Gladis masih menunggu Varen di depan sekolah. Menangkap sosok Varen, Gladis langsung menghampirinya.
“Hai, ini pasti Aerin, kan?” Sembari menunduk agar sejajar dengan Aerin dan menyodorkan tangannya ke arah gadis kecil itu.
“Wah, Ren, anak lo mirip Kinan ya? Cantik seperti ibunya.” Alih-alih menjawab omongan Gladis, Varen lalu menelepon sekretarisnya untuk menjemput Aerin.
Mereka tiba di sebuah kafe yang tidak terlalu banyak pengunjung, lantaran ini sudah lewat jam makan siang. Hanya beberapa orang yang terlihat bersantai sambil menikmati secangkir kopi. Seorang barista datang menghampiri mereka berdua.
“Selamat datang di Bean Palace Café, ada yang bisa kami bantu?” sapa seorang barista muda yang usianya mungkin sekitar 20 tahun.
“Lo mau minum apa?” tanya Varen kepada Gladis.
“Gue ngikut aja, Ren.”
“Okay, cappucino 2 dan sacher cake 2!”
Sang barista kembali membungkukkan tubuhnya tanda hormat, lalu pergi meninggalkan Varen dan Gladis untuk segera menyiapkan pesanan mereka.
Sambil menunggu pesanan datang, Gladis membuka pembicaraan, “Setahun yang lalu gue bertemu Kinan di London, bersama laki-laki yang gue pikir itu lo. Mungkin lo bisa cerita apa yang terjadi dengan hubungan kalian. Tapi gue gak maksa buat lo cerita karena lo punya pilihan untuk tidak menjawab pertanyaan gue.”
“Terlalu rumit untuk gue cerita, Dis, ada baiknya lo mencari tahu sendiri perihal kehidupan gue belakangan ini.”
Di tengah perbincangan Gladis dan Varen, tiba-tiba handphone Varen berdering. Varen akan selalu berharap jika itu bukan mamanya yang akan selalu ngomel dan menceramahinya.
Namun …
“Papa!”
“Aerin?” Suaranya berbeda dengan tadi, kata ‘Aerin’ diucapkan penuh perasaan.
“Ini Aerin, Papa ada di mana?” Aerin tidak bisa berhenti ketika mulai bicara.
Varen yang ada di ujung telepon mendengarnya dengan tenang untuk sementara waktu, ketika dia memastikan bahwa nada bicara Aerin terdengar normal, dia baru berkata, “Berikan telepon kepada kakak yang meneleponku.”
Alexa merasa terkejut,bagaimana dia bisa tahu jika yang membantu putrinya menelepon adalah seorang kakak. Aerin memberikan teleponnya dengan patuh kepada Alexa, “Kakak, telepon!”
Alexa mengambil teleponnya dan meletakkannya di telinga, lalu memanggil, “Tuan?”
“Nona, tolong kirim alamat padaku dan aku akan segera pergi menjemputnya.” Suaranya terdengar sangat tenang, nada bicaranya seperti seorang atasan memberikan perintah kepada bawahannya dan tanpa sadar membuat orang mendengarkannya.
Alexa menjawab, “Baik.”
Dia selesai menjawab dan Varen menutup teleponnya. Alexa sedikit kaget, apakah dia tidak perlu mengatakan selamat tinggal kepada Aerin? Dia menutup teleponnya begitu saja?
Varen meninggalkan Gladis yang masih belum paham akan situasinya, Varen berjanji akan mengatur waktu untuk bertemu Gladis di lain waktu dengan alasan hari ini ada hal penting yang harus Varen selesaikan.
Barusan dia tidak bertanya kepada wanita yang meneleponnya, mengapa dia bisa bersama dengan Aerin. Bahkan dia tidak perlu bertanya, dia juga bisa menebaknya sedikit.
Setelah menutup teleponnya, Varen menemukan bahwa di depannya sedang macet dan dia tidak bisa segera tiba. Dia mengambil ponsel dan menghubungi wanita itu lagi. Alexa menunggu beberapa saat di restoran dan masih belum melihat Varen, tapi dia menerima panggilan telepon darinya.
“Aku di sini agak macet, tolong tunggu sebentar lagi, jika benar-benar tidak bisa kamu bisa mengantarnya ke kantor polisi dulu.” Tidak ada ketegangan di dalam suara pria itu, sikapnya sangat tenang tidak seperti seorang ayah yang akan datang mencari putrinya.
Alexa berkata dengan marah, “Aku sedang tidak ada urusan.”
Varen tega menyuruhnya mengantar anak sekecil ini ke kantor polisi. Setelah menutup teleponnya, Alexa membawa Aerin keluar dari restoran. Alasan utamanya karena anak kecil tidak bisa duduk diam dan suka bergerak.
Varen terjebak macet untuk waktu yang lama, ketika dia tiba, Alexa sudah membawa Aerin pergi ke taman terdekat.
Alexa dan Aerin sedang berjongkok di taman untuk melihat semut yang sedang bergerak, terdengar suara berat seorang pria yang lumayan enak dari belakang, “Aerin.”
Aerin sedang berkonsentrasi penuh melihat semut dan dia tidak mendengar Varen memanggilnya.
Sebaliknya Alexa berbalik dulu, dia berbalik dan melihat seorang pria tinggi melangkah mendekat, pandangan matanya terfokus pada pria itu.
“Pria yang sangat tampan!” gumamnya dalam hati.
Wajah Varen memang tampan dan sangat enak dilihat, di bawah lampu taman wajah yang terlihat dingin menjadi lembut. Alexa menjadi tertegun melihatnya.
Varen mendekat dan sedikit membungkuk, dia mengulurkan tangan untuk menggendong Aerin yang sedang berjongkok. Aerin menjadi bingung sejenak, kemudian ketika dia melihat dengan jelas orang yang memeluknya adalah Varen, dia memanggilnya dengan gembira, “Papa!”
Alexa tertegun, mengatupkan bibirnya dan tersenyum. Wajah Varen terlihat sangat dingin.
Varen memegang kepalanya, dia melihat Aerin dengan teliti. Ketika dia memastikan bahwa Aerin baik-baik saja, dia baru berbalik melihat wanita yang berdiri disampingnya. Sepintas, dia merasa wanita ini sangat akrab tapi dia tidak ingat dia pernah melihatnya di mana.
“Karena kamu sudah datang menjemput Aerin, maka aku akan pergi dulu.” Meskipun dia berkata seperti itu, tapi kakinya tidak bergerak, Bukannya dia tidak mau pergi tapi karena Varen tidak berbicara maka dia tidak berani pergi.
“Terima kasih karena kamu sudah menjaga Aerin, hadiah apa yang kamu inginkan?” Varen akhirnya berbicara, meskipun itu kata terima kasih tapi wajahnya tanpa ekspresi sehingga membuat Alexa tidak merasa dia sedang mengucapkan terima kasih.
Dia mengangkat telpon sambil membaringkan Aerin di atas ranjang.Seseorang diseberang sana kembali bersuara, “Kakak bodoh kamu itu tiba-tiba lari, aku juga tidak tahu lari kemana.” Suara Aurel terdengar sangat datar, tanpa ada rasa sedih sedikitpun padahal itu juga adalah kakaknya.Alexa merasa suhu tubuhnya mendadak menjadi dingin. Hujan sebesar ini, kakak bisa-bisanya hilang. Apa yang sebenarnya mereka lakukan terhadap kakaknya? Dari dulu kakaknya tidak akan keluar dari rumah tanpa sebab.Dia mengidap autis, bagaimana kalau kakaknya bertemu orang jahat. Alexa tidak berani memikirkan kemungkinan terburuk yang terjadi terhadap kakaknya.“Aku harus pergi, Ren!”“Kamu mau kemana? Hari masih gelap, bertemu orang juga tidak mungkin di jam-jam begini”Namun Alexa tidak mendengarkan ucapan Varen, bahkan dia juga tidak berniat untuk menjelaskan. Saat ini yang ada di otaknya adalah kakak dan kakak.Alexa langsung keluar dari apartemen Varen, dia berlari di tengah hujan seperti orang gila. Unt
Alexa masih berjongkok sambil menutup matanya dengan kedua telapak tangan, hatinya bergetar hebat dan dia tidak merespon ucapan Varen.Varen merasa ada banyak luka yang wanita ini sembunyikan, bahkan luka 4 tahun terakhir tidak sebanding dengan tekanan psikis yang Alexa alami. Varen masih jauh lebih beruntung karena ada keluarga dan sahabat yang mensuportnya. Sedangkan Alexa, dia harus berjuang sendiri dari kecil.Varen mengulurkan tangan dan memapahnya untuk berdiri, mata Alexa sembab karena menangis. Menambah kesan iba dari diri Varen terhadap wanita dihadapannya.“Kita pergi dari sini?” tanya Varen.“Tolong antarkan aku pulang!”“Kamu mau pulang kemana? Sebaiknya kamu ikut ke apartemenku, apalagi jika kamu sudah memiliki jawaban atas tawaranku kemarin. Besok kita bisa langsung mencari apartemen yang cocok buatmu dan segera menjemput kakakmu.”Alexa terdiam beberapa saat, sebenarnya ada keraguan yang mengganjal dihatinya namun dia tidak bisa membohongi hatinya kalau dia sangat menya
“Ada urusan.” Nada suara Varen yang rendah dan jernih terdengar sedikit berat. Alexa mengedipkan matanya dan merasa kantuknya menghilang.Aku ingin meminta jawaban yang kemarin.” Nada suaranya masih terlihat dingin seperti biasanya.Alexa menggeserkan selimutnya dan bangun dari tempat tidurnya dengan satu tangan memegang handphone. Pria ini menelepon larut malam begini hanya untuk menanyakan jawaban atas tawarannya kemarin, sungguh pria yang pemaksa.“Aku ingin bertemu denganmu.” Varen berkata lagi.Alexa, “……….”Mengajak bertemu pada larut malam, permintaan ini agak kelewatan.“Bagaimana kalau aku tidak mau dan kita tidak perlu bertemu?”Varen mengangkat kepalanya dan menatap ke lampu jalan yang bercahaya, ekspresi dingin di wajahnya semakin terlihat karena disorot oleh lampu jalan yang terang.“Tunggu aku di luar, aku akan menjemputmu!” Selesai berkata dengan nada memerintah dan memaksa, Varen langsung menutup teleponnya tanpa aba-aba.“Apakah dia tidak perlu menanyakan di mana diri
Varen hanya mengedip-ngedipkan matanya seolah-olah sudah paham arah pembicaraan mereka kemana. Tidak berapa lama bagaikan sudah disetting seperti sinetron yang biasa Bi Minah tonton di apartemennya, Vita pun datang mendekat.Satu hal yang pertama kali Vita lihat adalah wajah Varen yang tampan, dia sampai tidak bisa mengedipkan matanya lantaran kagum akan semua yang melekat pada diri Varen.Nanea lantas menyadarkan Vita dari lamunannya, “Vit, kenalin ini Varen. Kamu masih ingat Varen kan teman masa kecilmu? Varen udah banyak berubah lo sekarang, udah sukses pula. Nanti kamu harus banyak belajar dari Varen cara mengurus perusahaan, jadi mulai sekarang kamu harus lebih sering berinteraksi dengan Varen,” ucap mamanya yang berhasil membuat Vita tersipu malu.Tapi tidak bagi Varen, dia justru muak dengan acara seperti ini. Sekarang dia sudah tahu sasaran perjodohannya kali ini adalah Vita, tetangganya semasa kecil.“Kalian ngobrol dulu deh berdua, mama sama Tante Nanea mau ketemu teman-tema
“Oke.” jawab Aerin sembari mengacungkan ibu jarinya tanda setuju.Varen dan Alexa pun bangkit dan berjalan beriringan keluar dari kamar, mereka menuruni tangga menuju ruang tamu. Alexa merasa canggung dengan kegilaannya semalam, entah kenapa dirinya hilang kendali karena mabuk.Demi mengubah kecanggungan, dia lalu menawarkan teh untuk Varen.“Kamu mau aku buatkan chamomile tea? Lumayan untuk menghilangkan mabuk dan menenangkan pikiran,” ucap Alexa“Boleh.” Varen inginnya to the point saja, namun dia bingung harus memulai darimana percakapan ini.Alexa pun kembali ke sofa dengan dua chamomile tea, satu untuk dirinya dan satu untuk Varen.“Maaf!” Mereka serentak mengucapkan kata maaf, seperti sedang paduan suara saja.Varen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan tersenyum canggung, begitu juga dengan Alexa yang tidak kalah canggungnya. Dalam hatinya sangat-sangat malu, sudah menumpang malah bikin masalah pula.“Ladies first” ucap VarenAkhirnya Alexa mulai berbicara dan pertama-tama
Sontak Varen kaget dan berniat mengembalikan Alexa ke posisi semula atau membaringkannya di atas sofa. Namun tindakannya terhenti kala Alexa mulai meracau.“Kamu juga menghinaku, semua menghinaku, apa salahku! Aku bukan wanita jalang yang menghibur banyak pria, aku memang tidak memiliki pekerjaan tetap. Tapi aku bukan pelacur! Aku sudah berusaha mencari uang untuk pengobatan kakak!”“Papa, aku janji akan membawa kakak pergi. Papa, kenapa kamu tidak membawaku dan kakak pergi ke surga sana. Papa, besok aku akan mencari pekerjaan! Aku janji, Pa!” Dia lalu menangis di pelukan Varen, tanpa terasa kemeja yang dikenakan Varen sudah basah oleh airmata.Varen seperti merasakan sakit dan beban yang dirasakan Alexa, melihat wajahnya yang indah Varen merasa tenggorokannya sangat kering. Menggunakan keberanian karena pengaruh alkohol, tiba-tiba dia pun kelihangan kendali dan menciumnya.Alexa yang belum sepenuhnya sadar tiba-tiba berkata, “Panas sekali.” Kedua matanya tertutup rapat, tapi tubuhnya