Mika menatap interaksi Rio dan Retno yang terlihat cukup akrab tidak seperti interaksi Retno kepada karyawan-karyawannya yang lain. Semakin terasa nyeri hati Mika melihat kedekatan Rio dengan sang Tante. Tidak kuat melihat itu semua, segera ia keluar dari butik batik milik Retno dan melajukan mobilnya menuju ke rumah Kania, sahabatnya. Saat sampai disana ia segera keluar dari mobil dan membanting pintunya. Kania yang melihat itu dari balkon kamarnya di lantai dua hanya bisa menghela nafas dan menggelangkan kepalanya. Sudah cukup seminggu ini ia mendengar keluhan Mika tentang sang gebetan, Mas Rio. Sampai ingin muntah rasanya Kania mendengarkan curhat Mika tentang duo R, Rio dan Retno.
Brruukk….
Pintu kamar Kania di buka dengan kasar dan ia melihat Mika sudha menghempaskan tubuhnya diatas ranjang berukuran King.
“Lo kenapa lagi?” Tanya Kania sambil berjalan masuk kedalam kamarnya.
“Sebel gue lihat Mas Rio yang sok perhatian sama Tante Retno. Mana si Tante juga mancing-mancing mulu. Dikira Mas Rio ikan kali dipancing pancing terus tiap hari?” Omel Mika setelah itu ia menepuk nepuk bedcover yang berada dibawah tubuhnya. “Makan hati terus gue tiap hari. Gue mesti gimana, Kan?”
“Relain aja kenapa, sih? Sama Tante sendiri juga.”
“No, no, no. Gue sudah demen sama Mas Rio dari awal gue kuliah, enak aja kalo Tante Retno yang dapetin dia. Ikhlas gue kalo dia sama siapa aja, asal jangan sama Tante Retno. Harga diri gue dong, masa gue kalah sama Janda, mana Tante gue sendiri pula. Gue kurang apa coba? Cantik, kaya, gaul, plus-nya gue cinta sama dia.”
“Ya sudah Lo kawinin aja si Rio, kalo Lo bunting dia pasti tanggung jawab. Kan Lo sudah kaya, nggak perlu dong kejar materi.”
Mika melirik ke arah Kania, mempertimbangkan ide gila Kania.
“Caranya gimana?” tanya Mika dengan polosnya
“Ya Lo pikirin lah, gimana caranya. Masa tanya gue."
***
Hari ini Rio cukup senang karena Retno memberikan bonus kepadanya uang empat ratus ribu rupiah sebagai uang makannya setelah bekerja selama seminggu. Yang membuat Rio senang, adalah ketika Retno mengatakan jika uang itu adalah uang untuk mengganti uang kopi selama seminggu saat ia menunggu Retno beraktivitas. Semua itu di luar gaji dan yang makan bulanan yang akan ia terima saat awal bulan besok. Saat ia sampai di kostnya, ia melihat mobil Mika ada disana. Segera saja ia menuju ke kamar kostnya. Saat berjalan mendekati kamar kostnya, sayup-sayup ia mendengar perdebatan dua orang dari dalam kamarnya.
“Lo dikasih tau ngeyel amat sih, Rio nggak ada di kost.”
“Inikan malam Minggu, masa Mas Rio masih kerja?"
“Lo tanyalah sama Tante Lo, kan dia majikan Rio. Lagian Lo perempuan, ngapain sih Lo pakai acara ngapelin laki-laki? Malu gue kalo jadi lo. Lo perempuan, Mik.”
“Berisik banget sih, Lo jadi laki!"
“Gue kasih tau Lo beneran. Bukannya makin luluh yang ada Rio makin ilfeel sama Lo.”
Karena enggan untuk berbasa basi dengan Mika akhirnya Rio memilih untuk membalikkan badan dan berjalan menjauhi kamar kostnya lagi. Baru juga ia sampai di parkiran kost-nya. Suara Mika sudah memanggil namnya berkali kali.
“Mas Rio, Mas, Mas Rio,” panggil Mika sambil berlarian kecil mengejar Rio.
Rio menutup mata dan menghela nafas. Sepertinya usahanya untuk kabur dari Mika sudah gagal. Ia membalikkan badannya dan melihat sosok Mika yang cantik sudah berdiri di belakangnya dan menatapnya sambil tersenyum dengan manis. Mikhaila Ameera Violeta, perempuan cantik, manis, imut namun sayang entah kenapa Rio tidak menaruh hati kepadanya sedikitpun selain sebagai teman, justru Tante dari Mika yang sudah menyedot pikirannya sejak seminggu yang lalu. Rio merasakan kenyamanan saat bersama Retno, bahkan saat ia harus mengantarkan Retno kesalah satu hotel hanya untuk menyalurkan syahwat dengan laki-laki yang ia sewa. Hubungannya dengan Retno pun masih profesional, tidak seperti anggapan Mika walau mereka cukup dekat karena sering mengobrol berdua.
“Ada apa?” Tanya Rio sambil memandang Mika.
“Mas Rio mau kemana lagi?”
“Pergi.”
“Iya, pergi kemana?”
Mungkin saat ini ia harus tegas kepada Mika tentang batasan hubungan mereka.
“Kemanapun gue pergi, nggak ada kewajiban buat gue ngasih tau Lo. Lo itu teman gue, bukan pacar apalagi istri.”
Dibalik tembok Prima yang menguping pembicaraan Rio serta Mika berusaha menahan tawanya.
“Syukurin Lo, dasar ulat bulu,” kata Prima pelan.
“Ta, Tapi, Mas?”
“Nggak ada tapi-tapian. Gue sudah cukup bersabar selama seminggu ini menghadapi Lo yang kepo sama kehidupan pekerjaan gue. Gue kemana, lagi sama siapa, pulang jam berapa? Ingat Mik, Lo teman gue, bukan istri gue.”
Mika menelan ludahnya dan rasanya ia ingin menangis ketika mendengar kata-kata Rio tadi. Kini ia harus bertanya kepada Rio tentang apa yang ada didalam kepalanya selama ini.
“Mas, aku boleh tanya satu hal dan tolong dijawab dengan jujur.”
“Lo mau tanya apa?”
“Apa Mas Rio suka sama Tante Retno?”
Suka? Sepertinya andai Rio bisa mengatakan yang sebenarnya, kata suka bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya kepada Retno, mungkin naksir adalah kata yang saat ini cocok menggambarkan perasannya. Peduli setan dengan anggapan orang jika Retno lebih pantas menjadi kakak atau Tantenya. Pada kenyataannya ia merasa nyaman bersama Retno. Dengan Retno ia merasa nyambung untuk mengobrol, bercanda bahkan berbagi rasa di hati yang tidak pernah ia ceritakan kepada orang lain.
“Iya,” Jawab Rio singkat.
Seketika Mika terdiam dengan mulut sedikit terbuka. Setetes air matanya jatuh membasahi pipi. Tidak ia sangka, Rio justru akan menaruh hati kepada wanita yang usianya lebih tua darinya. Andai ia bisa mengulang waktu, tidak akan pernah Mika mengambil jalan mencarikan pekerjaan untuk Rio terlebih untuk menjadi supir Tantenya sendiri. Karena kini justru itu yang membuatnya patah hati sebelum berkembang.
***
Siang ini Retno akhirnya mendarat di Bandara Radin Inten II bersama keluarga dan teman-teman suaminya. Sejak tadi Retno mencoba menulikan telinganya karena ia masih mendengar keluhan kakak iparnya tentang pilihan penerbangan kelas ekonomi yang harus mereka naiki siang ini dari Jogja ke Lampung."Kita mending sewa private jet aja, Ret kalo kaya gini. Kasian Mama sama Papa harus desak-desakan di kelas ekonomi kaya tadi. Aku enggak tega lihatnya.""Ini cuma penerbangan domestik. Lagipula rugi keluar uang banyak-banyak untuk sewa private jet, Mbak. Mama sama Papa juga happy aja naik kelas ekonomi. Mereka enggak ngeluh sama sekali.""Aku yang bayarin andai kamu mau bilang jauh-jauh hari tentang masalah ini."
Mikha membuka kedua matanya kali ini dan hal pertama yang ia rasakan adalah pusing hebat yang mendera kepalanya. Ia pegang kepalanya dan ia mencoba fokus pada apa yang ada di sekitarnya. Akhirnya Mikha bisa melihat jika sang Tante ada di sofa kamarnya dan sedang tertidur dengan pulas.Tidak mau mengganggu Retno, Mikha mencoba bangun dari atas ranjangnya. Seketika kepalanya menjadi pusing dan ia hampir saja nyungsep jika saja dirinya tidak berhasil memegang tembok. Kini pelan-pelan Mikha mulai berjalan menuju ke kamar mandi. Saat sampai di sana ia segera melakukan apa yang biasa ia lakukan setiap kali bangun tidur.Retno yang sayup-sayup mendengar suara air dihidupkan dari arah dalam kamar mandi segera membuka matanya. Pelan-pelan ia mencoba untuk menegakkan tubuhnya dan ia langsung bangun karena melihat ranjang Mi
"Yang, pokoknya selama aku pergi kamu jaga kesehatan baik-baik. Nanti kita video call kalo aku sudah sampai di kost lagi," ucap Rio sambil mengemudikan mobil istrinya untuk menuju ke bandara.Retno menguap dan setelah menguap, ia hanya menjawab pendek, "Iya, Ri.""Kamu tidur aja hari ini. Beberapa hari ini kamu sudah aku gempur habis-habisan."Retno menganggukkan kepalanya. Tanpa Rio memintanya saja ia sudah tahu bahwa dirinya akan tidur seharian. Nanti setelah bangun ia akan mandi dan menuju ke tempat spa. Badannya terasa remuk redam hingga butuh pijat.Beberapa saat Rio menunggu jawaban Retno namun tidak ada sama sekali. Ketika ia berhasil memarkirkan mobil di parkiran Yogyakarta Internasional Ai
Entah berapa lama Retno tertidur hingga ia akhirnya terbangun kala merasakan remasan pada salah satu gunung kembarnya dari arah belakang tubuhnya. Awalnya Retno berpikir itu hanya sebuah mimpi, namun kala ia membuka matanya, ternyata tangan Rio sudah ada di sana. Tangan Rio benar-benar bergerak dengan begitu lincahnya seakan sudah tahu tugasnya."Ri?" Panggil Retno pelan dengan suara khas orang bangun tidur."Hmm....""Jam berapa sekarang?""Jam dua pagi, Yang." Jawab Rio di dekat telinga Retno. "Yang, dedek udah bangun. Satu ronde, ya?"Retno menghela napas panjang. Andai saja hari ini Rio tidak akan pergi ke Jakarta, pasti ia akan menolaknya. Rasanya
Mengingat besok pagi-pagi buta ia harus mengantarkan Rio ke Yogyakarta Internasional Airport, maka malam ini setelah makan malam di rumahnya untuk pertama kali setelah mereka resmi menjadi suami istri, Retno memilih mengajak Rio untuk segera tidur. Ia benar-benar memiliki hutang jam istirahat yang banyak sejak beberapa hari yang lalu. Bahkan ia sudah memiliki agenda untuk tidur seharian setelah Rio kembali pulang ke Jakarta. Waktu cutinya yang masih tersisa sekitar sepuluh hari lagi tidak akan Retno sia-siakan begitu saja. Ia juga akan menggunakannya untuk mengunjungi salon & spa untuk memijat seluruh tubuhnya setelah tubuhnya di bolak balik oleh Rio selama beberapa hari ini."Yang, apa kamu tega sama aku? milih tidur daripada kita olahraga malam?" Tanya Rio untuk yang kesekian kalinya pada Retno."Besok aku harus n
Untuk pertama kalinya sejak Rio dan Retno menikah, akhirnya mereka merasakan tidur dengan nyenyak tanpa diselingi acara olahraga malam atau pagi. Mungkin karena sejak kemarin mereka menginap di rumah orangtua Retno. Setelah tadi pagi keluarga Reynaldi dan Chandra pulang, maka sore ini Retno juga mengajak Rio untuk pulang ke rumah mereka.Meksipun Hartono dan Yuni melarang mereka, namun Retno tetap bersikukuh untuk pulang. Mengingat besok pagi juga Rio sudah kembali ke Jakarta menggunakan penerbangan paling pagi. Kini setelah Retno berhasil pamit kepada orangtuanya, ia segera masuk ke mobil bersama Rio.Saat mobil sudah meninggalkan halaman rumah Hartono dan Yuni, barulah Retno membuka percakapan kembali dengan suaminya yang sejak berada di rumah orangtuanya lebih banyak diam. Terutama kala berkumpul bersama keluarganya.