Retno memandang bukit Paralayang yang sore ini terlihat indah dengan matahari berwarna oranye yang sudah mulai kembali ke peraduannya. Disekitarnya ia melihat para muda mudi sedang duduk bersama pasangannya.
“Tante, kita disini aja ya?” Kata Rio yang membuat Retno menoleh kepadanya.
“Iya.”
Retno melihat Rio mulai duduk disampingnya dan ia masih berdiri karena tidak ada kursi disekitarnya. Apalagi ia menggunakan dress yang sepertinya akan kurang nyaman jika digunakan untuk duduk lesehan.
“Tante, duduk dong," kata Rio sambil menepuk pelan konblok disampingnya.
Retno hanya nyengir, seolah sadar dengan apa yang ditakutkan Retno yaitu kotor pada dressnya, segera Rio melepas sepatu new balance board yang ia kenakan. Kemudian mendekatkan dua sepatu itu.
“Tante Retno, sini duduk pakai alas sepatu aku.”
Mencoba menghargai apa yang Rio lakukan untuknya, Retno mencoba duduk diatas sepatu itu walau tidak terlalu nyaman. Mereka duduk berdampingan dan saling diam, tidak ada yang mengeluarkan sepatah katapun. Retno menutup matanya ketika merasakan semilir angin membelai wajah serta rambutnya. Kini pikirannya melayang kepada keadaannya kali ini. Apakah wajar seorang majikan pergi berdua dengan supirnya untuk melihat salah satu keindahan alam disore hari. Bahkan Retno tidak pernah meminta kepada supirnya yang dahulu untuk mengantarnya menyepi dan merenungi nasib.
Dirinya pernah mencoba untuk menarik perhatian Wisnuaji yang notabennya adalah duda, namun seorang Wisnuaji Widiatmaja tidak pernah meliriknya barang beberapa detik saja. Kini Retno mengetahui alasannya, karena ternyata wanita yang Wisnuaji cari untuk mendampinginya adalah wanita yang bisa menyanyangi dan mencintai anak, menantu, ibu bahkan cucunya sepenuh hati. Belum tentu ia bisa menjadi Nayla Samira Huri jika ingin menjadi pendamping Wisnuaji.
Rio memandang Retno yang sedang menutup matanya dan air matanya menetes membasahi pipinya. Ingin ia menghapus air mata Retno, namun ia tidak mau disebut lancang.
“Ya Tuhan, sempurna sekali ciptaanmu,” gumam Rio dalam hati.
Rio masih memandangi Retno dalam diam hingga akhirnya Retno membuka matanya dan melihat bahwa Rio sedang memandang dirinya sambil menempatkan kedua tangannya pada lutut dan menyandarkan kepalanya diatasnya. Baru Retno sadari jika Rio cukup tampan dan wajahnya memiliki kharisma yang akan membuat wanita bertekuk lutut kepadanya.
“Kamu kenapa lihatin Tante begitu?” Tanya Retno yang membuat Rio tersentak dan kaget. Ia akhirnya menarik kepalanya untuk tegak dan merubah posisi duduknya menjadi bersila.
“Tante cantik, tapi kenapa Tante seperti punya banyak beban pikiran?”
Retno hanya tersenyum dan mengalihkan tatapannya ke arah sunset indah sore ini.
“Sebagai seorang Janda berusia 39 tahun yang hidup tanpa anak dan memiliki kecenderungan hiperseks seperti Tante ini, hidup sendiri bukanlah hal yang menyenangkan, Rio. Terlebih tuntutan keluarga untuk segera menikah kembali masih sering Tante dapatkan.”
Rio mengangkat kedua alisnya karena kaget dengan jawaban Retno. Hiperseks? Hanya itu yang masuk ke kepala Rio saat ini, kata-kata Retno yang lain hanya masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Pikiran Rio sedang berkelana tentang bagaimana Retno bisa memvonis dirinya sendiri sebagai seorang hiperseks?
“Sampai Tante kadang harus jajan hanya untuk mendapatkan klimaks karena main dengan berbagai macam alat bantu sex itu berbeda sensasinya dengan main sama yang asli."
Jajan? Jajan yang dimaksud Retno tentu saja Rio tau. Kini Rio hanya bisa menganga mendengar perkataan Retno. Tidak takutkan Retno dengan penyakit kelamin atau mungkin HIV AIDS karena berganti ganti pasangan.
“Tante nggak takut sama resikonya?” Akhirnya pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Rio tanpa ia sadari sebelumnya.
Retno hanya tertawa kecil di sebelah Rio.
“Biasanya Tante selektif milihnya. Nggak asal Ri. Ada kenalan yang biasanya ngasih berondong-berondong berkualitas gitu, memang sih harganya lebih mahal. Kadang juga Tante diajakin swing couple, gangbang atau threesome,” kata Retno dan setelahnya ia tertawa getir. Persetan jika Rio akan ilfeel atau mungkin jijik kepadanya. Namun inilah dirinya.
“Threesome? Swing couple?" Bikini Rio telah membeo mengulang perkataan Retno.
“Yes. Sensasinya berbeda.”
Kepala Rio mendadak pusing mendengar pengakuan Retno. Ia tidak pernah menyangka kehidupan Retno segila ini. Baginya kost Las Vegas saja sudah gila, apalagi kehidupan Retno ini, ia kira kehidupan seperti ini hanya ada dalam drama atau novel saja, siapa sangka ada di dunia nyata.
“Tante nggak ada keinginan merubah semuanya? Ngeri nggak sih, Tan?”
“Ngeri, tapi gimana lagi? Tante kan nggak punya pasangan sedangkan kebutuhan batin nggak bisa puasa lama juga.”
Tiba-tiba muncullah sebuah ide dikepala Rio.
“Tan, Tante pingin nyoba kegiatan yang bisa bikin Tante nggak fokus sama kaya gitu lagi nggak?”
“Ya pingin sih, dulu pernah ke psikolog juga biar nggak jadi ketergantungan terus sama sex tapi Tante aja yang lama-lama males.”
“Pernah hiking?”
“Hiking?”
“Iya Tante. Sifat asli seseorang atau egonya akan terlihat ketika ia mendaki gunungm yang egois, yang nggak sabaran atau rasa kesetiakawanan, serta kemanusiaan juga kelihatan.”
“Duh, apa Tante masih bisa sampai puncak?”
Kini Rio tertawa di sebelah Retno. Retno melihat bagaimana menawannya wajah Rio ketika ia tertawa.
“Tujuan orang mendaki itu kembali pulang kerumah, Tante. Bukan puncak. Puncak cuma bonus dan nggak akan pergi kemana-mana.”
“Tante belum pernah sih, kamu sering naik gunung?”
“Hmm, lumayan juga sih, Tante. Apalagi kalo ada yang minta temani dan gratisan. Makin semangat naik.”
“Gunung apa yang pernah kamu naiki?"
“Hampir semua gunung di pulau Jawa sudah semua. Sumatra juga sudah, karena orang tua aku transmigrasi kesana dulu.”
Retno dan Rio terus mengobrol hingga matahari terbenam dengan sempurna. Saat cahaya sudah mulai meredup Rio mengajak Retno turun kebawah dengan menuntunnya pelan-pelan. Entah kenapa ada perasaan haru dan bahagia yang Retno rasakan di dalam hatinya. Ia tidak pernah diperlakukan semanis ini selain saat berada di atas ranjang oleh seorang pria. Satu-satunya yang pernah manis kepadanya adalah Handi dulu sebelum mereka menikah, namun setelah menikah lebih dari dua tahun, semuanya telah berubah. Pernikahan mereka hanya sebatas diatas kertas saja.
***
Setelah merasa cukup menikmati pemandangan gunung Prau yang indah ini, akhirnya Rio dan teman-temannya memutuskan untuk membongkar tenda dan segera turun ke bawah. Saat turun, Rio berada di paling belakang dengan Retno yang ada di depannya.Jika semalam yang terlihat di sisi kanan kiri Retno adalah gelapnya malam, maka kini semua terlihat jelas. Pemandangan siang hari yang cerah dengan teriknya sinar matahari adalah teman perjalananya kali ini. Di depannya ada Prima yang sedang mendengarkan lagu dari handphonenya. Retno baru menyadari satu hal, jika ia lebih cepat lelah ketika naik semalam daripada pagi ini. Karena kali ini mereka baru beristirahat ketika telah sampai di pos tiga."Jangan lama-lama dong, soalnya anak-anak gue sudah nunggu di basecamp," kata Nada sambil mulai membuka botol minumnya.Retno melihat Nada sambil tersenyum. Retno tau dan mempercayai jika Tuhan itu adil, namun kenapa dirinya tidak bisa memiliki kehidupan seperti Nada. Kehidupan rumah tangga yang adem tentrem
Retno duduk di depan tenda sambil melihat pemandangan gunung Sumbing dan Sindoro yang ada di hadapannya. Kedua gunung yang tampak indah dan mirip dengan salah satu gambar di logo air mineral. Seumur hidupnya ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di gunung. Riuh suara dari para pendaki menghiasi pagi buta ini. Bahkan saat ia menoleh ke sisi sebelah samping tampak Manda yang sedang men-setting kamera DSLR miliknya."Lo ngapain sih, Man?" Tanya Prima sambil mulai duduk di sebelahnya."Lagi setting kamera. Pingin jualan hasil foto. Siapa tau aja jadi cuan.""Jual diri lebih cepat laku, Man," kata Prima santai setelah itu ia menyeruput coklat panasnya.Plak.....Manda menepuk bahu Prima yang membuat minuman di tangan Prima tumpah sedikit."Segawon tenan, wedangku tumpah iki*." (*Beneran anjing, minumanku tumpah ini)"Lambemu koyo ora tau di sekolahin*." (*Bibirmu seperti tidak pernah disekolahkan.)Mendengar perdebatan Manda dan Prima, Retno hanya bisa tersenyum kecil. Sungguh be
"Kita istirahat di sini dulu, 5 menit," kata Juna ketika mereka sampai di pos dua yang disebut canggal walangan. Retno mengikuti semua yang memilih duduk dan menyelonjorkan kakinya."Gimana, Tante, capek nggak?" Tanya Rio ketika ia mulai duduk di sebelah Retno sambil menyelonjorkan kakinyaRetno menoleh dan tersenyum. Baru pertama kalinya Retno melihat laki-laki yang seharusnya jauh dari tipenya tapi justru sanggup membuatnya merasa nyaman. Kali ini Rio terlihat berkeringat, kucel karena debu yang menempel pada wajahnya."Cukup menyenangkan juga. Btw, Tante doang ini yang nggak bawa cerrier?""Nggak pa-pa, semua logistik Tante sama aku sudah ada di tas ini. Mau minum nggak, Tan?" Tanya Rio sambil membuka cerrier 80 liternya."Boleh," jawab Retno singkat.Rio lalu mengeluarkan botol air minum berukuran satu setengah liter."Ini, Tan," kata Rio sambil mengulurkan botol air itu."Thanks," kata Retno sambil menerima botol air tersebut."Duh, duh, duh, mupeng gue lihat Rio manis banget sa
Retno tidak pernah menyangka jika malam hari di kawasan Dieng ini bahkan mungkin lebih dingin daripada suhu AC 16 derajat. Ia tidak bisa membayangkan, bagaimana bisa para warga di sini tidak masuk angin setiap hari? Dirinya saja sampai menggigil tadi. Retno berfikir bahwa Rio akan memeluknya, namun yang ada justru Rio malah meminta maaf kepadanya, ingin marah, tapi apa yang dikatakan Rio tadi ada benarnya.“Tante, maafin aku ya, aku nggak bisa meluk Tante di sini, walau Tante kedinginan. Jadi aku kasih sleeping bag sama Tante pakai jaket dobel ya? Pakai aja ini punya aku,” Retno sedikit kaget karena tidak biasanya Rio menggunakan bahasa, “aku” biasanya ia lebih formal dengan menggunakan kata ”saya".Bagaimana Retno bisa marah kalo Rio sudah meminta maaf terlebih dahulu? Tentu saja tidak bisa. Baru beberapa saat Retno memejamkan mata, alarm milik teman mendaki Rio sudah bernyanyi dengan riangnya. Mau tidak mau Retno ikut bangun dan bersiap siap. Sebelum memulai pendakian mereka sempat
Retno menatap penampilannya di cermin dan ia tersenyum bahagia. Sesuatu yang sederhana namun baginya begitu manis. Ia belum pernah di perlakukan seperti ini, apalagi dengan seorang berondong. Selama ini ia membeli berondong untuk memuaskan napsunya, namun baru Rio-lah satu-satunya berondong yang bisa mengisi jiwanya yang kosong dan tidak pernah terjamah sejak ia bercerai dari Handi.Setelah merasa cukup untuk mematut diri di depan cermin, Retno kembali keluar dan di sana terlihat Rio yang sudah menunggu dengan motornya. Segera saja Retno menghampiri Rio."Ri," panggil Retno yang membuat Rio menoleh.Kali ini Rio terpesona melihat janda satu ini yang telah memberinya surga kenikmatan dunia untuknya. Bagaimana rasanya memuja dan dipuja dengan begitu liar namun tak terlupakan. Retno terlihat muda dengan jaket gunung, celana gunung, bahkan sepatu gunungnya. Jika dulu ia merasa Retno terlihat seksi saat mengenakan bikini, namun itu semua telah terganti. Retno berubah menjadi luar biasa sek
Rio menatap Retno yang tengah berbaring disampingnya. Ia tersenyum melihat Retno yang sedang tertidur setelah percintaan panas mereka beberapa saat lalu. Rio tau apa yang ia lakukan dengan Retno sudah menyalahi aturan, namun ia tidak bisa menghentikan hasratnya. Apalagi ketika ia mendengar setiap desahan, lenguhan, hingga teriakan Retno saat mereka menyatukan seluruh partikel-partikel kecil di tubuh mereka berdua. Rasanya ia ingin mencobanya lagi dan lagi. Rio tidak tau harus bagaimana menyingkirkan perasaan ini dari dalam hatinya. Bila ia memang serius dengan Retno maka ia harus berjuang hingga ia pantas bersanding dengannya.Rio memajukan kepalanya dan ia cium kening Retno sekilas.Cup....."Makasih, Tante. Tante luar biasa, aku janji bakal lakuin apa aja asal Tante bahagia."Tanpa sepengetahuan Rio, Retno masih bisa mendengar apa yang Rio ucapkan. Entah kenapa hati Retno merasa bahwa apa yang dikatakan Rio begitu tulus. Pelan-pelan Retno membuka matanya dan pemandangan pertama yang