Share

Taruhan Berujung Cinta
Taruhan Berujung Cinta
Penulis: Bicatik

Bab 1: Taruhan

Bab 1: Taruhan

Denting notifikasi pesan dari ponsel pria yang tengah fokus menatap layar laptop itu berbunyi. Yudistira Prasetya meraih benda pipih yang tergeletak di sampingnya.

Jarinya menggulir pesan masuk dari grup chat yang dibuat oleh teman-temannya. Grup beranggotakan empat orang pria itu mulai ramai.

Seperti biasa di akhir pekan teman-teman Yudis akan mengajaknya berkumpul. Namun, kali ini agak berbeda, bukan nongkrong di tempat biasa, melainkan di Cafe yang belum pernah mereka datangi.

Tepat pukul delapan malam Yudis tiba di Cafe yang di maksud teman-temannya tadi. Netranya memindai bangunan ruko yang di sulap menjadi sebuah Cafe, dengan gaya desain minimalis berwarna putih abu. Lumayan, batinnya.

Tak butuh waktu lama untuk menemukan ketiga temannya itu yang sudah lebih dulu tiba. Karena memang posisi meja yang mereka tempati tak jauh dari pintu masuk.

"Hai, Bro!” seru Rio. “Akhirnya datang juga loe, gue kira masih asyik kerja,” lanjut pria berambut cat pirang itu.

"Yudis juga manusia kali, bukan robot." Daniel menimpali, sembari menyesap rokoknya.

"Kalau dia bukan robot dan maniak kerja. Enggak mungkin diselingkuhi Mona." Tawa Rio membahana, dan saat itu juga mendapat ancaman bogem dari Yudis.

"Eh, santai Bro!” Rio mengangkat kedua telapak tangannya di depan dada, seraya meminta ampun.

"Sudah, sudah! jangan menggoda Yudis terus!" Adrian melerai, lantas memanggil pelayan wanita berkerudung pasmina hijau. "Pesan apa, Bro?" tanyanya pada Yudis yang baru datang.

Yudis pun menyebutkan salah satu menu kopi yang tertera pada kertas menu di hadapannya.

Tak lama pesanan tiba. Empat cangkir Espresso beserta kudapan yang terbuat dari roti tawar dengan isi daging dan selada itu tersedia di atas meja berbentuk kotak.

"Kenapa enggak ke tempat biasa saja!" komentar Yudis.

"Sorry, Bro, gue udah insaf," jawab Adrian.

"Insaf apa takut ama istri," timpal Daniel.

Adrian menggeleng sambil tersenyum lebar. "Alen gak suka lihat gue pulang mabuk. Yang kemarin itu terakhir."  

Semenjak menikah, Adrian memang sudah banyak berubah, tak lagi bebas nongkrong di klub seperti biasa. Istrinya memberi pengaruh kuat atas dirinya.

"Dasar ISTI, loe!" ejek Yudis.

"Ikatan Suami Takut Istri!" sambar Rio dan Daniel diikuti gelak tawa keduanya. Sementara Yudis hanya menarik sebelah sudut bibirnya.

"Iya, gue emang takut. Takut kehilangan istri paket komplit, udah cakep berakhlak pula. Beruntung banget gue yang nilai agama aja gak nyampe enam, bisa dapetin istri kek Alena." Senyum Adrian terukir, wajahnya menyiratkan sebuah kebahagiaan sekaligus kebanggaan.

Mendengar penuturan Adrian mengenai sang istri, Yudis menganggap itu semua hanya omong kosong. Baginya semua wanita di dunia ini sama saja, munafik. Kecuali Mbok Darmi, pembantu yang mengurus dirinya dari kecil hingga dewasa.

Ah, ia benci jika mengingat kembali masa lalu di mana kedua perempuan yang sangat ia cintai, pergi meninggalkan dirinya hanya untuk kepentingan pribadi, tanpa melihat ada seseorang yang menderita karenanya.

"Gue enggak mengerti jalan pikiran loe, semua wanita itu sama saja. Munafik!" tandas Yudis.

"Cieee, curahan hati!" ejek Rio.

"Penilaian tergantung pengalaman.” Daniel pun ikut menimpali.

"Ah, diam Loe berdua!" sewot Yudis menanggapi kelakar kedua temannya itu.

Adrian tersenyum menggeleng. “Enggak semua wanita seperti apa yang loe pikir."

“Bulshit!” Yudis berdecih.

"Begini saja kalau Loe enggak percaya tentang ucapan gue, Loe coba deh, ajak kenalan penjaga kasir itu." Adrian menunjuk seorang gadis berseragam khas Cafe Radya lengkap dengan kerudungnya. Gadis itu terlihat tengah sibuk melayani pengunjung yang akan membayar.

Ketiganya mengikuti arah pandang Adrian.

"Gue yakin, loe pasti bakal ditolak," tebaknya percaya diri.

Adrian yakin gadis kalem berhijab itu tidak mudah didekati, seperti Alena.

Yudis memerhatikan gadis yang di maksud teman paling kalem di antara ketiganya itu. Tampilan gadis itu terlihat biasa saja, tak ada yang menarik sama sekali.

Perempuan dengan berpenampilan seperti itu, bisa di pastikan hannyalah seorang gadis miskin yang hidup seadanya. Dan ia yakin, dapat merayunya dengan mudah, secara tak ada yang bisa menolak pesona CEO Prasetya Grup.

"Bagaimana kalau kita taruhan saja!" sambar Rio.

Membuat ketiganya menoleh ke arah pria yang rambutnya di cat pirang itu.

 "Kita buat taruhan, jika Yudis berhasil mengajak kenalan gadis itu, gue kasih mobil kesayangan gue buat loe." Rio meletakkan kunci mobilnya ke atas meja. Lantas diikuti oleh Adrian dan Daniel

Yudis tersenyum mengejek. Hanya itu yang berani mereka pertaruhkan. Sungguh, tidak ada apa-apanya di bandingkan taruhan yang akan ia pertaruhkan.

"Dua puluh lima persen keuntungan dari perusahaan gue," ucapnya pongah.

 Tentu saja hal itu membuat ketiga temannya saling tatap dengan mulut menganga.

Di antara mereka berempat Yudis yang paling sukses sebagai pengusaha muda dengan segudang prestasi yang tak main-main.

Perusahaannya yang bergerak di bidang otomotif itu banyak mendapat penghargaan baik nasional maupun internasional.

Bukan hanya milyaran keuntungan dari perusahaan miliknya melainkan triliunan. ketiganya tak bisa membayangkan berapa banyak keuntungan dari dua puluh lima persen tersebut.

Setelah meneguk habis sisa kopinya Yudis berdiri. Merapikan setelan Jas yang melekat ditubuhnya yang sedikit kusut. Kemudian bergerak menuju target.

Yudis berdehem untuk mengalihkan tatapan perempuan di depannya itu dari mesin komputer, dan benar saja gadis itu beralih menatapnya.

"Hai, gue Yudistira." Yudis mengulurkan tangannya ke hadapan perempuan itu.

Satu detik, dua detik, tiga detik hingga sepuluh detik, tangan yang masih menggantung di udara itu tak juga disambut oleh gadis bermata indah yang menatap datar ke arahnya.

Dalam hati, Yudis mengumpat ketika telinganya menangkap suara tawa teman-temannya.

Sombong sekali perempuan ini? Batinnya.

"Jika tidak ada yang dipesan, silakan duduk kembali!" ujar perempuan itu. Suaranya terdengar lembut. Namun, tegas. Baru kali ini Yudis ditolak bahkan diusir oleh seorang wanita.

Sebelum pergi Yudis tersenyum menyeringai pada gadis yang masih menatapnya datar. Untuk pertama kalinya ia diacuhkan seorang wanita.

Biasanya Yudis yang di kejar oleh para wanita dari yang muda sampai yang tua, karena memiliki wajah yang memesona tak ayal dirinya menjadi dambaan semua kaum hawa.

"Loe kalah, bro!” Tawa Rio membahana.

Tak terima dengan ejekan temannya, sontak Yudis mencengkeram kerah kemeja pria itu.

"Berengsek!” umpat Yudis.”

 “Dengar! gue belum kalah dan tidak akan pernah kalah!” Lanjutnya sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menghabisi temannya itu.

Refleks Daniel dan Adrian berdiri untuk melerai, khawatir terjadi baku hantam di antara keduanya.     

Beruntung Cafe ini tidak terlalu ramai jadi mereka tidak harus jadi tontonan gratis.

Yudis melepaskan cengkeraman tangannya kasar dari kerah kemeja Rio sehingga tubuh temannya itu sedikit terhuyung.

 "Gue enggak takut apa pun. Dan mengenai kegagalan barusan itu baru permulaan ...." ucapnya terjeda. "Gue pertaruhkan dua puluh lima persen lagi buat kalian, tapi beri gue waktu satu bulan untuk mendapatkan perempuan itu.”

Rio dan Adrian terbelalak mendengar pernyataan Yudis barusan. Sedangkan Daniel hampir tersedak kopi yang ia minum.

Yudis kembali menatap gadis berparas cantik itu yang kini menatap ke arahnya juga. Namun, sedetik kemudian dengan cuek perempuan itu memutus tatapannya dari Yudis dan kembali fokus bekerja.

Dalam hati Yudis berdecih, gadis itu benar-benar sudah melukai egonya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status