Share

Bab 2: Penyesalan

Yudis menutup pintu kamarnya kasar, hingga menimbulkan bunyi debum yang cukup keras. Ia masih sangat kesal pada Rio yang membuat taruhan dan sialnya Yudis menyetujui.

 Bukan itu saja, ia juga marah dengan perempuan yang bekerja di Cafe tadi. Sombong sekali, batinnya.

"Sialan!" umpatnya, melempar vas bunga di atas meja kamarnya ke sembarang tempat dengan dada bergemuruh penuh amarah.

Tangannya bergerak meraih botol wisky, menuangkannya ke dalam gelas, lantas menenggaknya hingga tandas.

Ketukan pintu terdengar dari luar, diiringi suara Mbok Darmi yang memanggil namanya.

"Masuk!"

"Tuan, maaf mengganggu, Nyonya besar sudah  datang dan sekarang beliau menunggu Anda di ruang keluarga." Mbok Darmi memberitahu sembari memindai keadaan kamar majikannya itu yang kacau. Pecahan beling berserakan di lantai.

“Bilang padanya saya sibuk!”

"Tapi, tu_”

“Keluarlah!”

“Baiklah, saya permisi."

Yudis mendesah kasar. Tadi siang mamanya sudah memberitahu lewat pesan, jika wanita berusia lebih dari setengah abad itu sudah sampai bandara dan akan pulang ke rumah, setelah setahun lamanya menetap di pelosok daerah antah berantah sebagai relawan untuk membantu para korban virus.

Kedua orang tua Yudis bercerai sejak usianya menginjak sepuluh tahun. Di mana saat itu dirinya masih membutuhkan figur kedua orang tua. Namun, keegoisan Miranda dan Agung Prasetya membuat pria dominan itu menjadi korban broken home.

Hari-hari Yudis hanya ditemani para pembantu. Pria itu seolah tak memiliki kehidupan normal seperti anak-anak lainnya yang mendapat perhatian dan kasih sayang penuh dari kedua orang tuannya.

"Tuan muda, masuk, yuk?” ajak Mbok Darmi kala itu.

 Bocah kecil yang sedari tadi menatap gerbang besar di depannya tak menggubris ajakan sang pengasuh yang setia menemaninya.

“Ayo, kita masuk?” Lagi wanita bernama lengkap Darmiyati itu kembali membujuknya. Sejatinya ia khawatir dengan sang majikan, jika di luar terus nanti masuk angin.

Kali ini Yudis kecil menggeleng, seraya menolak ajakan mbok Darmi. Kedua lengan kecilnya terus memeluk piala  juara satu putra lomba Lari yang di adakan sekolahnya.

Yudis masih ingat perkataan gurunya, jika menang kedua orang tuanya pasti akan pulang dan bangga pada dirinya.

Mendengar perkataan sang guru saat memotivasi anak didiknya, Yudis pun bertekad untuk mendapatkan juara. Dan akhirnya terbukti ia menjadi juara. Namun, sampai saat ini kedua orang tuannya belum juga datang.

Hingga  menjelang malam, kedua orang tuanya tak juga pulang. Yudis  pun beranjak dari teras masuk ke dalam rumah dengan wajah sendu.

Semua pelayan di rumah itu tak tega menyaksikan kesedihan di wajahnya. Mbok Darmi yang memang sudah menganggap Yudis seperti anaknya sendiri selalu jadi orang pertama yang akan memeluk dan menghibur dirinya.

***

"Pagi sayang!" sapa Miranda saat sampai di ruang makan.

Tubuh ramping itu lantas mendekat pada sang anak dan hendak mendaratkan kecupan. Namun, saat itu juga Yudis bergerak mengambil telur dadar yang cukup jauh dari jangkauannya.

Miranda mendesah pasrah. Ia tahu Yudis sengaja menghindar.

Miranda sudah terbiasa dengan sikap Yudis yang acuh terhadapnya dan menganggap wanita berkulit putih itu seperti makhluk tak kasat mata.

Miranda sadar, bahwa ini semua adalah hukuman dari kesalahannya terdahulu. Di mana dirinya sudah menelantarkan sang anak demi egonya.

Dua puluh tahun lalu, ketika Miranda mendapati sang suami berselingkuh dengan seorang wanita. Ia begitu hancur dan frustrasi. Hingga akhirnya memutuskan untuk berkeliling dunia, melanjutkan kariernya yang sempat terhenti, karena sang suami yang tak mengizinkan.

Selain demi karier, Miranda pun ingin mengubur rasa sakit hatinya, karena telah dikhianati. Namun, keputusannya itu ia juga harus membayar mahal dengan mengorbankan putra semata wayangnya.

"Sayang, hari ini Mama mau masak makanan kesukaan kamu, makan siang nanti pulang, ya?” pinta Miranda.

"Aku sibuk, banyak yang dikerjakan di kantor!” jawab Yudis ketus.

Miranda berusaha untuk tidak sakit hati mendengar jawaban putranya itu yang masih fokus menghabiskan sarapan.

"Kalau begitu, nanti Mama antarkan ke kantor saat jam makan siang." Miranda tak kehabisan ide untuk bisa meluluhkan hati anaknya.

"Tidak perlu!" tolak Yudis.

Kemudian ia memanggil mbok Darmi untuk berpamitan berangkat kerja.

"I-iya, Tuan, hati-hati!” seru mbok Darmi.

Kemudian ia menatap tak enak pada Miranda saat mendapati wajah majikannya itu berubah sendu. Di mana Yudis hanya berpamitan pada dirinya, sedangkan pada Miranda tidak.

Hati Miranda merasa tercubit melihat Yudis lebih memilih berpamitan pada pembantunya ketimbang pada dirinya. Ternyata seperti ini rasanya diabaikan oleh anak. Lebih sakit saat di khianati oleh mantan suami.

***

Sudah hampir tengah malam, tapi Yudis masih berkutat dengan tumpukan dokumen di depannya. Padahal kantor sudah sepi. Para karyawan sudah lebih dulu pulang sejak pukul lima sore tadi.

 Sang asisten sudah berulang kali mengingatkan dirinya agar tidak memforsir pekerjaan hingga larut.

Namun, tak digubris. Yudistira Prasetya memang seorang workholic. Terbukti dari perusahaan yang dipimpin olehnya sekarang berkembang pesat, padahal dulu hampir bangkrut ketika masih di pegang oleh mendiang ayahnya, Agung Prasetya yang  mati dibunuh oleh istri keduanya, karena ketahuan menjalin hubungan dengan wanita muda yang tak lain adalah kekasih putranya sendiri.

Hal itu juga menjadi pemicu rusaknya hubungan Yudis dengan sang kekasih yang nyaris ia nikahi.

Semenjak kejadian itu dirinya menutup hati untuk tidak jatuh cinta lagi. Sekali pun ada wanita yang ingin ia miliki, maka perempuan itulah, yang harus bertekuk lutut di hadapannya. Bukan dirinya.

Yudis sangat menyayangkan hal itu. Di mana seharusnya seorang ayah menjadi panutan untuk anak-anaknya, justru pria itu menjadi sosok yang paling menjijikkan baginya.

Jari-jarinya terhenti di atas keyboard saat mendengar notifikasi pesan dari pembantunya.

Mbok Darmi memberitahu jika Miranda pingsan dan sekarang telah dibawa di rumah sakit.

Yudis mendesah kasar, meletakkan kaca mata kerjanya di atas meja. Menyugar rambut hitamnya frustrasi. Sekuat apa pun Yudis menyangkal perasaannya untuk tidak peduli pada Miranda, tetap saja pria dengan jabang halus di  dagunya itu merasa khawatir saat terjadi sesuatu pada sang Mama.

Yudis menyambar kunci mobil dan keluar gedung dengan perasaan campur aduk.

Di jalan Yudis mengendarai kendaraan beroda empat itu dengan kecepatan di atas rata-rata. Beruntunglah jalanan tidak macet, mungkin karena sudah malam. Berbeda saat pagi dan siang hari, kemacetan seolah menjadi hal yang biasa di ibu kota.

Jarak kantor dan rumah sakit tak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk sampai ke sana.

Saat akan memasuki lobi, di pintu masuk Yudis melihat dua orang perawat pria dan security, serta seorang wanita paru baya yang tengah terisak. Ketiganya terlihat kesulitan memindahkan pasien dari dalam mobil ke brankar.

Melihat hal itu Yudis segera menghampirinya dan membantu memindahkan pasien pria bertubuh gempal yang terbaring dengan alat pernapasan yang menempel di mulutnya.

Setelah berhasil memindahkannya. Pasien itu kemudian segera di bawa ke IGD.

Saat hendak melangkah seseorang menarik lengan Yudis. Ia pun tersentak kaget dan menoleh.

Matanya beradu dengan tatapan sendu wanita berhijab di depannya. Selintas ia teringat dengan gadis penjaga cafe itu.

“Terima kasih,” ucap wanita itu tersenyum.

“Siapa pun yang menjadi orang tuamu pasti sangat bangga memiliki putra seperti dirimu.”

Yudis tersenyum mengangguk, lantas berpamitan untuk melanjutkan langkahnya mencari ruangan di mana ibunya di rawat.

Ucapan wanita tadi terus berputar di kepalanya, benarkah orang tuannya bangga dengan dirinya?

Yudis berdecih, menertawai dirinya sendiri. Memiliki orang tua, tapi seperti anak sebatang kara. Tak pernah ada pujian, sanjungan atau apa pun itu, yang ia dapatkan dari kedua orang tuannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status