Laila terperangah saat memindai penampilan wanita yang selalu terlihat cantik dan wangi di depannya. Wajah yang selalu terpoles make up mahal itu terlihat pucat. Matanya sembab seperti habis menangis berhari-hari.“Bu, apa ka_” Suara Laila tercekat saat wanita yang berpenampilan menyedihkan itu memeluknya dan terisak.Laila terdiam, membiarkan Belinda menangis dalam pelukannya. Perlahan tangannya terangkat dan mengelus punggung wanita tua itu.Setelah terlihat tenang, Laila membawa Belinda ke lantai dua. Tempat yang ia dan kedua rekannya gunakan sebagai tempat istirahat dan ibadah. Laila mempersilakan sahabat mertuanya itu untuk duduk di atas permadani yang sering digunakan untuk rebahan.Laila mengangsurkan tisu wajah ke hadapan Belinda guna mengelap air matanya yang tak kunjung surut. Entah apa yang terjadi dengan wanita di depannya itu.“Maaf,” lirih Belinda, “maaf sudah mengganggu waktumu.”Laila menggeleng, lantas tersenyum lembut. “Tidak apa-apa, kebetulan hari ini Cafe tak ter
“Kenapa baru pulang?” tanya Yudis tiba-tiba.Laila terlonjak kaget mendengar suara berat Yudis. Hampir saja gody bag berisi baju kotor miliknya terlepas dari genggamannya. Suasana kamar yang temaran, membuat Laila tak bisa melihat pria itu yang ternyata tengah duduk di sofa santai miliknya. Laila menyalakan lampu utama agar bisa lebih leluasa menatap Yudis. Mulai hari ini Café-nya tutup di jam sepuluh malam, dan itu sudah direncanakan jauh-jauh hari oleh Laila dan dua rekannya. Café Radya memang di siang hari akan sepi pengunjung. Namun, di malam hari begitu ramai. Jadi, Laila memutuskan untuk buka dari pukul sepuluh pagi dan tutup pukul sepuluh malam, kembali pada rute seperti dulu.“Mas Yudis sudah pulang?” tanya Laila, sembari meletakkan gody bag ke atas nakas dengan perasaan setenang mungkin.Laila sudah dapat menebak jika suaminya itu pasti akan marah, karena tak menghubungi Yudis lebih dulu kalau ia akan pulang malam.Laila juga tidak ingat untuk memberitahu Yudis. Sejak tadi
Bab 1: TaruhanDenting notifikasi pesan dari ponsel pria yang tengah fokus menatap layar laptop itu berbunyi. Yudistira Prasetya meraih benda pipih yang tergeletak di sampingnya.Jarinya menggulir pesan masuk dari grup chat yang dibuat oleh teman-temannya. Grup beranggotakan empat orang pria itu mulai ramai.Seperti biasa di akhir pekan teman-teman Yudis akan mengajaknya berkumpul. Namun, kali ini agak berbeda, bukan nongkrong di tempat biasa, melainkan di Cafe yang belum pernah mereka datangi.Tepat pukul delapan malam Yudis tiba di Cafe yang di maksud teman-temannya tadi. Netranya memindai bangunan ruko yang di sulap menjadi sebuah Cafe, dengan gaya desain minimalis berwarna putih abu. Lumayan, batinnya.Tak butuh waktu lama untuk menemukan ketiga temannya itu yang sudah lebih dulu tiba. Karena memang posisi meja yang mereka tempati tak jauh dari pintu masuk."Hai, Bro!” seru Rio. “Akhirnya datang juga loe, gue
Yudis menutup pintu kamarnya kasar, hingga menimbulkan bunyi debum yang cukup keras. Ia masih sangat kesal pada Rio yang membuat taruhan dan sialnya Yudis menyetujui.Bukan itu saja, ia juga marah dengan perempuan yang bekerja di Cafe tadi. Sombong sekali, batinnya."Sialan!" umpatnya, melempar vas bunga di atas meja kamarnya ke sembarang tempat dengan dada bergemuruh penuh amarah.Tangannya bergerak meraih botol wisky, menuangkannya ke dalam gelas, lantas menenggaknya hingga tandas.Ketukan pintu terdengar dari luar, diiringi suara Mbok Darmi yang memanggil namanya."Masuk!""Tuan, maaf mengganggu, Nyonya besar sudah datang dan sekarang beliau menunggu Anda di ruang keluarga." Mbok Darmi memberitahu sembari memindai keadaan kamar majikannya itu yang kacau. Pecahan beling berserakan di lantai.“Bilang padanya saya sibuk!”"Tapi, tu_”“Keluarlah!”“Baikl
Yudis menatap datar wanita yang terbaring lemah di atas brankar. Wajah yang biasa terlihat cerah itu kini tampak pucat.“Tuan muda, sudah datang?" ucap Mbok Darmi.Wanita itu baru saja keluar dari toilet. Lantas menghampiri majikannya sembari tersenyum lembut. “Tuan muda sudah makan?” tanyanya.Yudis tersenyum samar, lantas mengangguk pelan.“Syukurlah,” ucap wanita tua di depannya.Sudah menjadi kebiasaan pembantunya itu selalu mengingatkan makan dan istirahat.Hal itu terkadang membuat Yudis berpikir konyol, kenapa ia tak dilahirkan dari rahim mbok Darmi saja.“Syukurlah, kata dokter nyonya sudah baik-baik saja. Beliau hanya kurang istirahat.” Mbok Darmi memberitahu, tanpa ditanya oleh Yudis. Pembantunya itu sudah paham jika sang majikan tak akan pernah menanyakan keadaan sang . Jadi, ia berinisiatif sendiri untuk menceritakan kondisi Miranda.
Deringan ponsel di atas nakas mengusik tidur Laila. Dengan malas tangannya menyambar benda pipih itu. Di tengah malam seperti ini siapa yang menelepon, batinnya.Tanpa melihat nama si penelepon di layar yang berkedip-kedip, Laila langsung menyentuh tombol hijau dan menempelkan Handphonenya ke telinga."Ila, Om kamu, Ila!" suara isak kesedihan terdengar dari seberang sana.Refleks Laila terduduk. Matanya yang tadi masih terpejam, karena rasa kantuk yang berat, kini terbuka lebar dengan wajah bingung setelah mendengar suara si penelepon, Ismi istri dari pamannya."Tante, ada apa? apa yang terjadi dengan Om?" cecar Laila."Laila, Om kamu masuk rumah sakit!" kemudian sambungan terputus begitu saja.“Halo! Tan_”Tak pikir panjang, Laila beranjak dari tempat tidur menyambar kerudung dan sweternya yang tergantung di kapstok belakang pintu kamar.Tangannya meraih kunci di atas na
Yudis tersenyum menyeringai menatap kertas bertuliskan alamat Cafe Radya. Di otaknya terangkai berbagai rencana untuk mendekati gadis itu demi memenangkan taruhan. Perjuangannya akan segera dimulai, ia akan menjerat perempuan bernama Laila itu sampai bertekuk lutut di hadapannya. Suara ketukan pintu menyadarkan Yudis dari lamunannya. Sang asisten membuka benda persegi panjang itu setelah mendapat perintah masuk darinya. "Ada apa?" tanya Yudis sembari menyandarkan punggungnya di sandaran bangku kekuasaannya. "Ini informasi yang tuan minta." Sang asisten Jimmy meletakkan map di hadapannya. Yudis meraih map tersebut. Membukanya dan membaca lembar demi lembar jejeran huruf-huruf di atas kertas yang tersusun rapi. "Cafe itu sudah digadaikan pada pihak Bank, kemungkinan bulan depan akan di sita, karena pemiliknya belum membayar cicilannya selama tiga bulan." Jimmy menjelaskan secara terperinci. Asistennya tersebut bukan hanya
Yudis kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Hari ini ia menghadiri lima rapat sekaligus bersama para investor yang tertarik menanam saham di Prasetya Grup. Hingga menjelang malam lelaki itu belum juga bangkit dari duduknya di depan layar laptop yang berpendar menyorot wajah tegasnya. Hingga sang sekretaris masuk dan memberitahunya mengenai kepulangan Miranda besok. Jimmy memberitahu jika asisten rumah tangga dan sopir yang biasa mengantar jemput ibunya tak bisa mengurus kepulangan Miranda di rumah sakit, karena sang sopir izin mendadak harus pulang ke kampung halaman, sementara mbok Darmi sendiri sedang tak sehat. Yudis menutup laptopnya kasar, kenapa juga dirinya yang harus menjemput wanita itu. Sepertinya ibunya memang sengaja memanipulasi keadaan. Batinnya. Esok harinya sebelum berangkat ke kantor, Yudis ke rumah sakit terlebih dulu untuk mengurus kepulangan Miranda, sesuai informasi yang di sampaikan Jimmy kemarin. Saat tiba di l