“Bagaimana, Dok, kondisi suami saya?” tanya Ismi saat dokter yang bertanggung jawab atas Hamid keluar dari ruang UGD. Dokter itu terlihat tenang sembari tersenyum hangat. “Ibu tenang saja, pak Hamid tidak apa-apa hanya sedikit syok saja.” Terdengar helaan napas lega dari Laila dan Ismi. Yudis masih di sana menemani keduanya. Tadi saat Laila tengah berteleponan dengan Hamid Yudis datang dan ia lupa mematikan sambungan dengan sang paman. Alhasil, Hamid pun syok mendengar kenyataan yang Yudis katakan. Ternyata Laila sengaja menutupi kebenaran soal Cafe yang di segel. Gadis itu tak mampu menutupi hutang Bank dengan pendapatan harian yang memang akhir-akhir ini Cafe Radya sangat sepi. Laila pun meminta Yudis mengantarnya ke rumah Hamid. Sesampainya di sana Laila kaget melihat tak sadarkan diri dan akhirnya harus dilarikan ke rumah sakit. Padahal bar
Sontak Laila memejamkan mata, saat suara sang paman terdengar dari belakang. Hamid menghampiri Laila, lantas menatap Yudis tak suka, pria empat puluh lima tahun itu dapat menebak jika pria kaya itu memiliki niat buruk terhadap ponakannya. “Laila! Masuk!” titah Hamid. Laila terkejut, lantas berbalik dan menuruti perintah sang paman. Gadis itu tak benar-benar masuk, ia justru berdiri di balik gorden jendela. Sementara Yudis diam dengan tenang. Lelaki tiga puluh tahun itu sudah dapat menebak jika paman Laila tidak menyukainya. It’s oke, I like it. Batinnya. Tantangan kembali untuknya. Ia sudah dapat mengambil hati Laila. Sekarang tinggal pamannya yang mungkin akan cukup sulit. Dilihat dari rautnya sepertinya Hamid adalah orang yang sangat tegas. “Sebaiknya kau pulang, tidak baik seorang pria mendatangi seorang wanita yang bukan mahramnya.” Hamid berucap t
Yudis sedari tadi berdiri di luar minimarket tempat Laila berbelanja, dari sejak pagi dirinya sengaja menguntit hingga rela kepanasan menunggu gadis itu hingga selesai dengan urusannya. “Mas Yudis!” Seru Laila, terkejut; sesaat dirinya telah keluar dari dalam minimarket yang tak begitu jauh dari rumah sang paman. Semenjak Hamid tahu Laila bergaul dengan Yudis, pria itu semakin protektif padanya. Buktinya sekarang ia tinggal kembali bersama sang paman. “Ada yang mau aku bicarakan sama kamu,” ucap Yudis langsung pada intinya. “Bicaralah,” jawab Laila. “Tapi tidak di sini, mau minum kopi denganku?” ajak Yudis. Laila terlihat tengah menimbang sesuatu. Yudis tahu gadis yang tengah menenteng satu plastik belanjaan di tangannya itu ragu untuk menerima tawarannya barusan. “Please!” mohon Yudis, yang kemudian diangguki oleh Laila.
Mata Laila membelalak saat mendengar suara Yudis membahana memenuhi ruangan kedai. Semua mata tertuju pada dirinya. Rasanya Laila ingin sekali menyembunyikan wajahnya yang begitu malu jadi perhatian banyak orang. “Tidak ada yang salah, karena menikah itu ibadah, daripada zina!” Sahut seorang ibu-ibu berhijab. “Sudah terima saja, jika saling suka.” Sekarang suara seorang pria yang duduk di sebelah meja ibu-ibu berhijab tadi. Lantas terdengar suara riuh dari semua pengunjung, menyerukan kata ‘Terima’. Laila benar-benar sangat malu, dan bingung harus jawab apa. Apakah ia tolak saja, tapi logikanya itu berbeda dengan hatinya yang ingin sekali menerima. Laila menatap Yudis yang masih berdiri angkuh di hadapannya. Dari ekspresi pria itu seolah berkata ayo jawab. “Mas Yudis, aku mohon jangan begini,” bisik Laila. “Ini bisa kita bicaraka
Bab 18 Laila menatap tak percaya pada sang paman. Memintanya mengundang Yudis untuk makan malam di rumah. Sejatinya yang Laila tahu, kemarin-kemarin Hamid melarang dirinya agar tidak menemui pria yang kini sudah mengisi relung hatinya itu. Bahkan usai kejadian di kedai kopi kemarin, bagaimana Yudis melamarnya. Laila belum sempat untuk membicarakannya lagi dengan sang paman untuk meminta restunya, karena ia masih takut, jika nanti sang paman justru marah terhadapnya. Namun, entah ada angin apa, tiba-tiba Hamid memintanya agar Yudis menemui pria itu besok malam. Apakah sang paman akan menerima lamaran Yudis untuknya. Batin Laila terus bertanya-tanya mengenai ucapan pamannya itu. “Bagaimana, bisa tidak kira-kira pria itu menemui om besok?” tanya Hamid. Pria gempal itu ingin memastikannya, jika memang tak bisa besok malam, mungkin pekan depan lagi.
“Laila, sana! bantu tantemu di belakang!” Titah Hamid, yang kemudian diangguki oleh sang ponakan. Lantas Laila masuk melewati tubuh pamannya itu yang berdiri di depan pintu antara ruang tengah dan ruang tamu. Usai kepergian Laila, Hamid lantas mempersilakan Yudis duduk. Tak ada keramahan sama sekali yang tampak dari wajah pria paru baya itu. Yudis tahu, pria yang kemungkinan besar akan menjadi pamannya itu sangat kesal terhadap dirinya. Tentu saja karena ancamannya dua hari lalu, mengenai bukti kejahatan Hamid. Yudis pun sebenarnya tak menyangka jika pria yang terlihat begitu menyayangi Laila, ternyata memiliki masa lalu yang bisa di katakan sangat mengerikan. Sudah pasti Laila akan kecewa jika tahu siapa pria yang selama ini ia anggap baik, bak malaikat dalam hidupnya itu. Benar-benar memprihatinkan. Ada sedikit nyeri dalam dada Yudis. Entahlah, ke
“Nambah, Nak Yudis?” Ucap Ismi. Yudis mengangguk, menampilkan senyum ramah. Sedari tadi dirinya hanya memperhatikan keluarga Laila yang menurutnya aneh dan udik. Makan di atas karpet, menggunakan tangan kosong, dan apa itu ada baskom berisi air, dipakai untuk cuci tangan bersama. Benar-benar menjijikkan. Entah keanehan apalagi yang akan di perlihatkan keluarga ini pada dirinya. “Kok, dikit banget makannya?” Ismi kembali bersuara melihat Yudis menyudahi makannya. Wanita itu menatap ke piring Yudis yang masih tersisa nasi. Bahkan ayamnya masih terlihat utuh. Yudis hanya memakan nasi dan kuah saja. Bukan tak suka, tapi melihat keluarga Laila makan dengan cara yang menurut Yudis aneh itu, membuat selera makannya hilang. Ini bukanlah kebiasaan makannya, seumur baru kali ini makan duduk di atas karpet bersama-sama orang menengah. Kalau bukan karena taruhan Yudis tak mau
Yudis mendesah kasar saat dirinya mendapat sebuah pesan dari Hamid. Paman Laila itu ingin kembali bertemu dengan dirinya di luar hanya empat mata. Entah apa yang akan di sampaikan oleh pria itu. Padahal sudah jelas Hamid menerima lamaran dirinya untuk Laila. “Jimmy, handle meeting siang ini olehmu, aku akan pergi menemui seseorang!” Titah Yudis tak ada penolakan dan bantahan sama sekali. Pria klimis itu hanya mengangguk mengiyakan, dari aura wajahnya saja Jimmy sudah dapat memastikan sang bosnya itu tengah kesal, entah karena apa. Intinya jangan sekali-kali menyangkal apalagi membantah perintahnya. “Ah, iya satu lagi, cek keberadaan Miranda sekarang dan jangan sampai wanita itu pulang dalam waktu dekat.” “Baik Tuan.” Kemudian Yudis melangkah keluar ruangannya untuk menemui Hamid di salah satu restoran yang terkenal di Jakarta. Dua puluh menit Y