Bab 18
Laila menatap tak percaya pada sang paman. Memintanya mengundang Yudis untuk makan malam di rumah.Sejatinya yang Laila tahu, kemarin-kemarin Hamid melarang dirinya agar tidak menemui pria yang kini sudah mengisi relung hatinya itu.Bahkan usai kejadian di kedai kopi kemarin, bagaimana Yudis melamarnya. Laila belum sempat untuk membicarakannya lagi dengan sang paman untuk meminta restunya, karena ia masih takut, jika nanti sang paman justru marah terhadapnya.Namun, entah ada angin apa, tiba-tiba Hamid memintanya agar Yudis menemui pria itu besok malam. Apakah sang paman akan menerima lamaran Yudis untuknya. Batin Laila terus bertanya-tanya mengenai ucapan pamannya itu.“Bagaimana, bisa tidak kira-kira pria itu menemui om besok?” tanya Hamid.Pria gempal itu ingin memastikannya, jika memang tak bisa besok malam, mungkin pekan depan lagi.“Laila, sana! bantu tantemu di belakang!” Titah Hamid, yang kemudian diangguki oleh sang ponakan. Lantas Laila masuk melewati tubuh pamannya itu yang berdiri di depan pintu antara ruang tengah dan ruang tamu. Usai kepergian Laila, Hamid lantas mempersilakan Yudis duduk. Tak ada keramahan sama sekali yang tampak dari wajah pria paru baya itu. Yudis tahu, pria yang kemungkinan besar akan menjadi pamannya itu sangat kesal terhadap dirinya. Tentu saja karena ancamannya dua hari lalu, mengenai bukti kejahatan Hamid. Yudis pun sebenarnya tak menyangka jika pria yang terlihat begitu menyayangi Laila, ternyata memiliki masa lalu yang bisa di katakan sangat mengerikan. Sudah pasti Laila akan kecewa jika tahu siapa pria yang selama ini ia anggap baik, bak malaikat dalam hidupnya itu. Benar-benar memprihatinkan. Ada sedikit nyeri dalam dada Yudis. Entahlah, ke
“Nambah, Nak Yudis?” Ucap Ismi. Yudis mengangguk, menampilkan senyum ramah. Sedari tadi dirinya hanya memperhatikan keluarga Laila yang menurutnya aneh dan udik. Makan di atas karpet, menggunakan tangan kosong, dan apa itu ada baskom berisi air, dipakai untuk cuci tangan bersama. Benar-benar menjijikkan. Entah keanehan apalagi yang akan di perlihatkan keluarga ini pada dirinya. “Kok, dikit banget makannya?” Ismi kembali bersuara melihat Yudis menyudahi makannya. Wanita itu menatap ke piring Yudis yang masih tersisa nasi. Bahkan ayamnya masih terlihat utuh. Yudis hanya memakan nasi dan kuah saja. Bukan tak suka, tapi melihat keluarga Laila makan dengan cara yang menurut Yudis aneh itu, membuat selera makannya hilang. Ini bukanlah kebiasaan makannya, seumur baru kali ini makan duduk di atas karpet bersama-sama orang menengah. Kalau bukan karena taruhan Yudis tak mau
Yudis mendesah kasar saat dirinya mendapat sebuah pesan dari Hamid. Paman Laila itu ingin kembali bertemu dengan dirinya di luar hanya empat mata. Entah apa yang akan di sampaikan oleh pria itu. Padahal sudah jelas Hamid menerima lamaran dirinya untuk Laila. “Jimmy, handle meeting siang ini olehmu, aku akan pergi menemui seseorang!” Titah Yudis tak ada penolakan dan bantahan sama sekali. Pria klimis itu hanya mengangguk mengiyakan, dari aura wajahnya saja Jimmy sudah dapat memastikan sang bosnya itu tengah kesal, entah karena apa. Intinya jangan sekali-kali menyangkal apalagi membantah perintahnya. “Ah, iya satu lagi, cek keberadaan Miranda sekarang dan jangan sampai wanita itu pulang dalam waktu dekat.” “Baik Tuan.” Kemudian Yudis melangkah keluar ruangannya untuk menemui Hamid di salah satu restoran yang terkenal di Jakarta. Dua puluh menit Y
Senyum simpul dari bibir berpulas lipstik merah muda itu tak henti terukir. Laila terus menatap dirinya di cermin. Begitu berbeda dari biasanya. Gaun pengantin putih dipadu dengan kerudung panjang menjuntai. Di kepalanya bertengger mahkota cantik dari mutiara. “Cantik banget ponakan Tante!” Seru Ismi yang baru datang. Wanita yang mengurus Laila sejak kecil itu ingin memastikan sang ponakan sudah siap dengan riasannya. Hari ini pernikahan Yudis dan Laila akan dilangsungkan di hotel ternama di ibu kota. Ijab kabul akan di laksanakan pada pukul sepuluh pagi dan selanjutnya diteruskan dengan resepsi. Usai percakapan sengit antara Yudis dan Hamid sebulan lalu, berakhir dengan kesepakatan antara keduanya. Yudis berjanji akan melenyapkan semua bukti-bukti tentang campur tangan Hamid atas kematian Aditama, jika dirinya dapat menikahi Laila. Hamid yang memang dalam posisi terancam ma
Pesta telah usai tepat di jam sepuluh malam. Yudis memasuki kamar hotel sweet room khusus ia pesan untuk pasangan pengantin baru. Netraya menyusuri ruangan mencari sosok Laila yang tak terlihat di sana. Lantas kakinya bergerak melangkah menuju pintu kamar mandi dan ternyata di kunci. Terdengar gemercik air yang keluar dari sower. Istrinya tengah membersihkan diri. Yudis bergerak menuju balkon dan menyalakan sebatang rokok. Ia duduk di kursi besi yang menghadap keluar, dengan kaki menopang. Dari dalam ia mendengar suara jeritan sang istri yang kemudian di susul dengan suara pintu kamar mandi yang ditutup kasar. Yudis menoleh, bingung dengan apa yang terjadi. Sementara di balik pintu kamar mandi, Laila tengah menetralkan degup jantungnya yang berdetak cepat. Ia tak tahu jika sang suami berada di dalam kamar. Ah, kenapa juga dirinya lupa membawa baju g
Laila terperangah saat tiba di kediaman Yudis. Ini sih bukan rumah melainkan istana. Batinnya. Laila tak menyangka, Yudis memiliki rumah sebesar ini, yang hanya ditempati oleh sang suami dan para pekerjanya saja. “Silakan, Nyonya?” Sang sopir mempersilakan Laila untuk turun. Di depan teras sudah berjejer enam orang yang terdiri dari tiga wanita dan tiga pria—tersenyum ramah padanya. Dilihat dari penampilannya Laila dapat menebak jika ke enamnya itu adalah pekerja di rumah ini. “Selamat datang Nyonya muda?” Sambut salah seorang wanita paling tua yang sudah ia kenal sebelumnya, mbok Darmi. Sementara yang lainnya mengangguk hormat pada Laila. Laila balas mengangguk sopan sembari tersenyum ramah. Lantas mbok Darmi memperkenalkan semua pekerja di rumah ini. Dua orang wanita bertanggung jawab beres-beres seperti mencuci dan merapikan rumah, dan mbok Darm
Sudah hampir sepekan Yudis berada di Singapura bukan hanya urusan bisnis. Melainkan dirinya sengaja menghindari Laila. Yudis tak menyangka, jika Laila ternyata benar-benar cantik dan memesona. Selama ini ia mengira Laila yang selalu mengenakan pakaian yang menurutnya kedodoran itu, lantaran ingin menutupi salah satu bagian fisiknya yang mungkin saja cacat. Dan Yudis yakin dirinya tak akan pernah tergoda oleh Laila, ternyata salah besar. Sang istri begitu sempurna, dan dirinya bukan hanya tergoda, tapi juga rasanya ingin memiliki gadis itu seutuhnya. Malam setelah resepsi pernikahannya dengan Laila seminggu lalu. Yudis semalaman tak bisa tidur, karena menahan keinginannya untuk tidak menyentuh Laila. Istrinya begitu wangi dan cantik. Karena tak bisa memejamkan mata, Yudis pun menghubungi Jimmy agar mempercepat keberangkatan mereka ke Singapura untuk urusan bisnis esok hari. Beruntung ia memiliki sekreta
Hangat tubuh Laila mampu menciptakan debaran dalam dada Yudis. Pria yang masih ragu untuk membalas dekapan sang istri itu menelan ludah. Seraya mencium aroma tubuh sang istri yang sudah sangat akrab di Indra penciumannya. Yudis mengurai pelukan Laila dari tubuhnya. Menatap ke netra sayunya itu yang berbinar bahagia menyambut kedatangannya yang tiba-tiba. Yudis tersenyum, lantas mencium kening Laila lembut. Harum tubuh Laila menyeruak di Indera penciumannya. Ia tahu parfum yang digunakan sang istri bukan parfum mahal, tapi entah mengapa begitu memabukkan. Yudis melepas kecupannya dari kening mulus Laila. “Aku mandi dulu.” Laila mengangguk, lantas membantu Yudis melepaskan jasnya. “Mas mau dibuatkan makanan?” tanya Laila. “Tidak usah, aku sudah makan, lagi pula aku sudah lelah mau langsung tidur saja.” Yudis menjawab sembari berjalan masuk kamar