Yudis terbangun dengan sakit kepala yang mendera. Satu botol wine semalam cukup membuatnya mabuk dan akhirnya tertidur hingga pukul delapan pagi. Semenjak misinya mendekati Laila, Yudis tak lagi menyentuh minuman itu. Namun, untuk menghilangkan rasa bersalahnya pada sang istri, karena ucapan kasarnya semalam, ia pun kembali menenggak wine yang memang tersimpan rapi di lemari ruang kerjanya tanpa sepengetahuan Laila.Yudis berdiri dari sofa santai yang memang ia siapkan khusus di ruang kerja. Pria yang masih mengenakan piyama tidur itu bergerak membuka pintu lantas keluar dan menuju kamarnya.Di sana Yudis tak menemukan Laila. Kamar sudah terlihat rapi dan wangi. Hanya ada setelan kerja dan perlengkapan lainnya yang sudah perempuan itu siapkan seperti biasanya di atas kasur. Yudis lantas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan bau alkohol dari tubuhnya.Selesai dengan ritual mandinya, Yudis mengenakan setelan kerja. Mengenakan jam tangan dan tak lupa menyemprotkan parfum. Selepas itu
Selesai membersihkan dan merapikan kembali Cafe, serta melakukan rapat bersama kedua rekannya itu, Laila beranjak menemui kediaman paman dan bibinya. Sudah lama sekali semenjak ia menikah belum sekali pun mengunjungi keluarganya itu. Laila rindu sayur asam dan sambal teri buatan bibinya itu, rindu memeluk pamannya, serta rindu menjadi pendengar setia Aldi mengenai cinta monyetnya.Kini Laila sudah tiba di depan kediaman sederhana itu dengan senyum berkembang menghiasi wajah ayunya. Walau suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja, setidaknya ada keluarga dan teman-temannya yang membuatnya tersenyum bahagia.Laila melangkah membuka pagar besi yang sudah berkarat, lantas berjalan melewati pekarangan yang banyak di tumbuhi aneka tanaman hias koleksi Om dan . Harum semerbak dari bunga-bunga yang tertiup angin melintasi indera penciumannya. Ia sangat rindu dengan suasana seperti ini kala memasuki rumah dua orang terkasihnya itu.Tangan Laila mengetuk pintu yang terbuat dari kayu itu per
Bab 37 Pukul lima sore Laila tiba di kediaman sang suami. Ia mengedarkan pandangannya ke garasi di mana biasannya mobil pribadi Yudis terpakir. Namun, netra indahnya tak menemukan kendaraan beroda empat itu di sana.Laila melangkah masuk ke dalam rumah dan langsung disambut oleh mbok Darmi. Wanita tua itu berkata jika ia sangat kesepian seharian ini, karena biasanya ia selalu menghabiskan waktu di dapur bersama sang majikan.Laila hanya tersenyum menyikapi perkataan mbok Darmi yang menurutnya terlalu berlebihan. Padahal di pagi hari keduanya akan bertemu saat Laila membuat sarapan untuk Yudis dan malam juga keduanya akan makan bersama sembari mengobrol ringan membahas hal-hal sederhana seputar masakan.“Mas Yudis tadi menghabiskan sarapannya, Mbok?” tanya Laila saat keduannya makan malam bersama. Sebenarnya mbok Darmi tidak mau karena terikat peraturan Yudis yang tidak boleh makan bersama majikan. Namun, Laila selalu memaksa untuk menemaninya makan dan akhirnya wanita tua itu menuru
Laila menyudahi sarapannya dengan meneguk sisa susu di depannya. Meraih tas Selempang miliknya yang sudah ia bawa bersamanya ke dapur, agar setelah selesai menyiapkan sarapan untuk Yudis nanti, dirinya tidak perlu lagi balik ke kamar untuk mengambilnya. Laila takut mengangganggu Yudis yang masih tertidur pulas, karena ulahnya yang masuk ke kamar untuk mengambil tasnya. Sementara pria itu sepertinya baru tertidur di pagi hari.Usai pertengkaran semalam, Laila tahu Yudis akan memilih mengurung diri di ruang kerjanya. Dan saat menjelang subuh tadi, Laila terbangun sudah mendapati sang suami berada di sampingnya. Masih dengan mengenakan pakaian kerjanya. Gurat wajah yang dipenuhi bulu-bulu halus itu terlihat begitu lelah. Laila tak tega, hanya karena pergerakannya membuat sang suami terganggu.Laila berangkat tepat pukul enam pagi. Sebelum menuju Café Radya, terlebih dulu perempuan berhijab itu akan menuju pasar tradisional untuk belanja kebutuhan menu Café. Di sana bahan-bahan yang di
Laila turun dari mobil, lantas bergegas masuk ke dalam Cafe dan memanggil dua rekannya untuk membantu membawa enam kantung belanjaan yang ada di bagasi mobil.Dua perempuan beda generasi itu pun keluar dan menghampiri Laila yang telah lebih dulu berada di dekat bagasi mobil yang baru saja ia buka. Perempuan berhijab itu mengeluarkan satu persatu kantung belanjaan yang lumayan berat.“Nah, kamu bawa yang ini, ya.” Laila menyerahkan dua kantung besar berisi gula dan terigu pada Siti. Gadis bertubuh mungil itu mengangguk, lantas tangannya meraih kantung belanjaan yang disodorkan pada dirinya.“Eh, ada Mas me sum?” sapa Siti yang tiba-tiba berpapasan dengan Yudis saat pria itu menghampiri ketiganya, dengan niat ingin membantu.Yudis tak menjawab, wajahnya terlihat datar, tak suka mendengar Siti memanggilnya dengan panggilan seperti itu. Gadis mungil itu sedari dulu memang menyebalkan. Yudis masih ingat, saat dirinya terciduk tengah memperhatikan Laila, karena itulah Siti terus memanggilny
Tiga Minggu sudah Laila menjalankan rutinitasnya sebagai pengelola Cafe. Seperti biasa sebelum subuh Laila akan bangun dan bersiap-siap untuk membuat sarapan dan menyiapkan semua keperluan kerja Yudis.Laila dan Yudis masih tidur dalam satu kamar dan kasur. Laila yang memang tak ingin pindah karena menurutnya tidak baik pisah ranjang dengan suami. Pun dengan Yudis yang tak pernah memintanya untuk tidur di kamar lain. Karena selain itu Laila pun tahu, suaminya itu tak ingin para pembantunya mengetahui masalah pribadinya.Semenjak kejadian di mana Yudis mengatakan perihal menyakitkan di malam itu, Laila sudah tak lagi mempermasalahkan hak batinnya. Ia sekarang memfokuskan diri pada Cafe. Membuat Cafe Radya jadi sukses dan dikenal banyak orang adalah tujuannya sekarang. Laila kembali memulas wajahnya dengan bedak, lantas mengenakan lipstik berwarna nued pada bibirnya. Setelah selesai, ia berdiri dan memindai kembali penampilannya apakah sudah sempurna.Tanpa Laila sadari sedari tadi Yu
Bab 41“Mbak, Mbak?” Laila tersentak kaget saat mendapati seorang pelanggan memanggilnya. “Eh, i-iya, Mbak, ada yang mau dipesan?”Si pelanggan perempuan itu tersenyum. “Saya mau bayar, Mbak. berapa totalnya?”“Ah, iya. Coffee Latte-nya dua dan dua porsi Sandwich. Jadi, total tujuh puluh ribu,” beritahu Laila dengan wajah menahan malu, karena tidak fokus.“Ini.” Si pelanggan wanita tersebut menyodorkan uang seratus ribuan ke hadapan Laila.Laila meraihnya lantas memberikan kembalian, dua lembar uang dua puluh ribuan.“Loh, ini lebih sepuluh ribu, mbak!” wanita tersebut meletakkan uang kertas warna hijau itu ke atas“Oh, iya. Maaf salah.” Laila menepuk jidatnya.Si wanita tersebut menggelengkan kepala seraya tersenyum samar melihat bagaimana Laila seperti orang linglung.“Ini sepuluh ribunya, Mbak. Maaf ya.” Laila menelungkup kan kedua telapak tangannya di depan dada.“Mbaknya jangan melamun terus, nanti salah lagi, beruntung saya bukan orang jahat. Bisa-bisa si Mbak rugi,” tegur si p
Bab 42Diam-diam Rio mengagumi wajah cantik Laila yang tengah tersenyum, hatinya berdesir, dan rasa ingin dekat serta memiliki perempuan di depannya itu semakin kuat. Ah, ia jadi tak sabar menunggu hari di mana Yudis menceraikan Laila. Dan dirinya akan datang menawarkan cinta untuk perempuan berhijab di hadapannya itu.Laila berdehem saat mendapati Rio tengah menatapnya intens. Rio terkesiap lantas tersenyum malu sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Maaf.” “Tadi kau mengatakan ingin menyampaikan sesuatu mengenai buk Belinda?” tanya Laila memastikan kembali apa yang tadi sempat Rio katakan padanya di telepon.“Duduklah, aku akan menyampaikan sesuatu padamu.” Rio menunjuk kursi kosong di hadapannya dengan gerakan dagunya.Laila mengangguk, lantas keduanya duduk di satu meja yang sama, saling berhadapan dengan meja sebagai penyekat. Untunglah keadaan Cafe tidak terlalu ramai, jadi ia bisa duduk mengobrol dengan pria yang kini tengah menyesap kopinya sembari menghirup aroma ca