Share

Bab 6: Bubur Ayam

Yudis kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Hari ini ia menghadiri lima rapat sekaligus bersama para investor yang tertarik menanam saham di Prasetya Grup.

Hingga menjelang malam lelaki itu belum juga bangkit dari duduknya di depan layar laptop yang berpendar menyorot wajah tegasnya.

Hingga sang sekretaris masuk dan memberitahunya mengenai kepulangan Miranda besok.

Jimmy memberitahu jika asisten rumah tangga dan sopir yang biasa mengantar jemput ibunya tak bisa mengurus kepulangan Miranda di rumah sakit, karena sang sopir izin mendadak harus pulang ke kampung halaman, sementara mbok Darmi sendiri sedang tak sehat.

Yudis menutup laptopnya kasar, kenapa juga dirinya yang harus menjemput wanita itu. Sepertinya ibunya memang sengaja memanipulasi keadaan. Batinnya.

Esok harinya sebelum berangkat ke kantor, Yudis ke rumah sakit terlebih dulu untuk mengurus kepulangan Miranda, sesuai informasi yang di sampaikan Jimmy kemarin.

Saat tiba di lobi, langkah kakinya terhenti kala melihat Laila tengah berbicara dengan seorang wanita di bagian administrasi.

Wajah gadis itu terlihat serius, ada gurat kesedihan di sana. Otaknya mulai dipenuhi pertanyaan dan rasa penasaran mengenai apa yang dibicarakan gadis itu dengan salah satu karyawan rumah sakit tersebut. Namun, ia harus menahan keingintahuannya, karena tak mungkin dirinya tiba-tiba muncul di hadapan Laila yang ada perempuan itu justru tak suka terhadap dirinya.

Setelah Laila pergi, Yudis pun menghampiri wanita paru baya itu, kemudian menanyakan apa yang terjadi dengan Laila.

Wanita berseragam khas rumah sakit itu pun menceritakan, jika Laila meminta penangguhan waktu untuk membayar biaya operasi yang akan di laksanakan besok sore pukul empat. Namun, pihak rumah sakit hanya memberinya waktu sampai pukul dua siang gadis itu harus melunasi biaya administrasinya.

Usai mendengar penuturan si wanita tersebut Yudis tersenyum menyeringai, sepertinya pria dengan setelan jas abu itu mempunyai rencana hebat untuk menjerat Laila.

***

“Terima kasih kamu sudah mau meluangkan waktu untuk menjemput Mama.” Miranda berucap saat keduanya sudah berada dalam perjalanan pulang dari rumah sakit menuju kediaman Prasetya.

Yudis bergeming tak menanggapi ucapan terima kasih dari Ibunya, sedari tadi ia hanya fokus pada layar Ipad yang berisi pekerjaannya.

Tak mendapat respons dari sang anak, Miranda menghela napas sembari menyandarkan kepalanya pada sandaran jok, sementara wajahnya menatap keluar jendela.

Di luar sana ia melihat sesuatu yang membuat wanita tua itu teringat masa lalu yang sempat terukir indah dalam hidupnya, sebelum pengkhianatan yang dilakukan suaminya itu terjadi dan menyisakan luka cukup dalam.

“Jim, tolong berhenti sebentar!” seru Miranda pada sekretaris pribadi Yudis, saat mobil melintasi pedagang yang berjualan di pinggir jalan.

Jimmy mengangguk, lantas menepikan mobil mendekati gerobak bubur ayam yang dikerumuni beberapa kaum ibu-ibu.

Miranda membuka pintu dan keluar. Hal itu membuat Yudis mengalihkan tatapannya dari Ipad.

Mata elang Yudis menatap keluar apa yang akan dilakukan ibunya. Tak mau peduli ia kembali memfokuskan diri pada pekerjaannya.

Tak lama Miranda kembali dengan membawa bungkusan plastik berisi dua sterofon.

“Gadis yang manis,” gumam Miranda saat sudah masuk ke dalam mobil dibantu oleh Jimmy.

“Ini untukmu.” Miranda mengulurkan sterofon satunya pada Yudis. Namun, pria itu sama sekali tak merespons.

Miranda mendesah kasar, kemudian berkata lirih. “Ini dulu makanan kesukaanmu,” ceritanya.

Tangannya membuka tutup sterofon berwarna putih. “Dulu, kamu sering sekali meminta dibelikan ini setiap kita joging pagi di taman, bubur ayam tanpa kecap.”

Yudis tak menggubris tawaran Miranda. Lelaki tiga puluh tahun itu masih fokus pada benda pipih miliknya. Seolah ucapan Miranda hannyalah angin lalu.

Terdengar wanita di sebelahnya itu menghela napas berat.L Yudis tahu sikapnya ini begitu kejam terhadap sang ibu. Namun, ia hanya ingin mantan istri dari mendiang ayahnya itu merasakan bagaimana sakitnya diabaikan.

“Sudahlah, tak perlu repot-repot peduli padaku.” Yudis pun akhirnya buka suara. “Aku sudah terbiasa mengurus hidupku sendiri,” lanjutnya, sengaja menyindir Miranda yang masih mengangsurkan penganan dari beras itu.

Entah untuk yang ke berapa kalinya, hati Miranda merasa tercubit.

“Kamu ingin Mama melakukan apa, untuk bisa membayar semua kesalahan yang sudah Mama lakukan.” Suara Miranda bergetar menahan isak. Entah sudah yang ke berapa kalinya Miranda mengucapkan hal itu.

Miranda berharap Yudis mau memaafkan kesalahannya. Namun, ia belum bisa berdamai dengan hatinya untuk memaafkan sang ibu.

“Tidak ada, aku sudah terbiasa hidup sendiri,” jawab Yudis tanpa mengalihkan wajahnya ke arah Miranda.

Tetesan bening meluncur begitu saja di pipi tirus Miranda. Hatinya sakit mendengar Yudis tak membutuhkan dirinya lagi.

Ucapan Yudis begitu tajam melukai hatinya, sehingga ia tak sanggup lagi untuk menahan buliran-buliran bening yang sudah merebak memenuhi pipinya.

Usai mengantarkan sang ibu ke rumah, Yudis pun kembali ke kantornya, sudah banyak pekerjaan yang menantinya di sana.

Jimmy selaku sekretarisnya mengikuti Yudis dari belakang dengan membawa beberapa dokumen yang harus di tanda tangani.

Saat jemarinya hendak meraih pena, ia terdiam melihat pena milik Laila yang diletakkan di tempat khusus alat tulisnya.

Yudis meraih pena itu dan membubuhkan tanda tangan di atas dokumen yang dibawa Jimmy.

Setelah kepergian sang sekretaris, Yudis meraih ponselnya, lantas ia mencoba menghubungi nomor Laila. Akan tetapi ponsel gadis itu tidak aktif. Entah ke mana perempuan itu.

Ah, iya Yudis baru ingat, sudah pasti Laila tengah mencari uang untuk membayar biaya operasi keluarganya yang sudah dibayar lunas oleh Yudis tanpa sepengetahuan gadis itu.

Yudis tersenyum, tak perlu dicari, gadis itu pasti akan datang sendiri menemuinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status