Share

Bab 5: Prasetya Grup

Yudis tersenyum menyeringai menatap kertas bertuliskan alamat Cafe Radya. Di otaknya terangkai berbagai rencana untuk mendekati gadis itu demi memenangkan taruhan.

Perjuangannya akan segera dimulai, ia akan menjerat perempuan bernama Laila itu sampai bertekuk lutut di hadapannya.

Suara ketukan pintu menyadarkan Yudis dari lamunannya. Sang asisten membuka benda persegi panjang itu setelah mendapat perintah masuk darinya.

"Ada apa?" tanya Yudis sembari menyandarkan punggungnya di sandaran bangku kekuasaannya.

"Ini informasi yang tuan minta." Sang asisten Jimmy meletakkan map di hadapannya.

Yudis meraih map tersebut. Membukanya dan membaca lembar demi lembar jejeran huruf-huruf di atas kertas yang tersusun rapi.

"Cafe itu sudah digadaikan pada pihak Bank, kemungkinan bulan depan akan di sita, karena pemiliknya belum membayar cicilannya selama tiga bulan." Jimmy menjelaskan secara terperinci. Asistennya tersebut bukan hanya cerdas dan sigap dalam melakukan pekerjaan, tapi juga memiliki loyalitas yang tinggi terhadap perusahaannya.

Usai mendengar laporan dari sang asisten, Yudis pun memerintah pria berbadan kurus itu untuk keluar melanjutkan pekerjaannya.

Setelah kepergian Jimmy, Yudis kembali tersenyum menyeringai, ia sudah tak sabar untuk memenangkan taruhan itu.

***

Sore ini Yudis pulang cepat, sengaja untuk mendatangi Cafe Radya, ia ingin menagih janji Laila yang akan mengganti kopinya.

Sesampainya di sana, gadis itu terenyak saat menemukan Yudis tengah berdiri di hadapannya. Ia tersenyum menatap Laila yang terlihat kesal, karena ulahnya yang muncul tiba-tiba.

"Aku ingin menagih janjimu," ucap Yudis. Kedua tangannya diletakkan di atas meja kasir. Tubuhnya sedikit condong menghadap Laila.

 Laila dengan sigap mundur satu langkah, lantas menatap datar pada Yudis.

"Maaf Tuan, saya lupa. Silakan duduk di sana.” Tangan Laila bergerak mempersilakan Yudis untuk menunggu di kursi kosong.

Yudis tersenyum. "Baiklah, saya tunggu."

Laila tak menjawab, gadis itu bersikap acuh terhadap dirinya. Yudis tersenyum miring, ia menertawakan dirinya sendiri yang diabaikan.

Mungkin jika perempuan lain akan merasa salah tingkah diperhatikan secara intens seperti itu, tapi Laila berbeda. Yudis sempat berpikir apakah gadis itu tak menyukai lawan jenis, atau memang sengaja sok jual mahal.

Jika memang gadis itu hanya jual mahal, Yudis yakin dalam kurun waktu beberapa hari saat mereka sudah dekat, perempuan itu akan memujanya.

Sepuluh menit kemudian, Yudis menatap Laila berjalan ke arahnya dengan membawa kopi di tangannya.

Yudis menoleh pada secangkir kopi yang diletakkan di hadapannya.

"Ini kopinya, dan hutang saya lunas," ucap Laila, kemudian berbalik hendak pergi. Namun, langkah gadis itu terhenti saat Yudis mengatakan sesuatu yang membuat Laila kembali menoleh.

“Ini bukan kopi yang seperti kemarin.”

Laila bergerak meraih cangkir itu. "Baiklah akan saya ganti, katakan kopi apa yang Anda inginkan?"

"Sepertinya di sini tidak ada."

"Anda belum menyebutkannya, jadi jangan berasumsi di sini tidak ada." Suara Laila terdengar mulai ketus. Hal itu membuat Yudis semakin tertantang.

"Nona, saya ke sini memang ingin menagih kopi yang Anda tumpahkan kemarin malam, tapi bukan di sini.”

Terlihat Laila mengerutkan keningnya. “Jadi, saya harus mentraktir Anda kopi di tempat lain?”

Yudis menarik sudut bibir, hingga membentuk sebuah senyum samar. Perempuan di depannya itu memang cerdas, cepat menangkap maksudnya.

 "Jadi, bagaimana?" tanyanya, “apa Anda bersedia?”

Gadis berhijab biru langit itu terlihat tengah menimbang ajakan Yudis.

"Jika Anda tidak mau, selamanya Anda akan terikat hutang pada saya. Bukankah dalam agama hutang itu harus dibayar?" Yudis kembali memprovokasi.

"Baiklah hanya tiga puluh menit." Laila menjawab, lantas bergegas masuk ke Pantry. Dalam hati Yudis bersorak riang. Langkah pertamanya berhasil mengajak Laila jalan.

Yudis meraih gawainya, membuka grup dan mengetikkan sesuatu di sana.

“Kemarin Gue dapat namanya, hari ini Gue berhasil mengajak dia minum kopi bersama. Siap-siap saja kalian bertiga jatuh miskin!” papar Yudis disertai emoticon menyeringai.

“Wuidih, gercap amat Bro! Ckckck.” Bobi menimpali.

“Sekalian ajak ngamar! Loe berani, enggak!” Rio muncul, seperti biasa menantang.

“Enggak boleh, dosa Bro Rio. Kalau mau nikahin aja, Bro Yudis, itu lebih baik.” Adrian cepat menjawab kata-kata Rio.

Yudis tersenyum miring, membaca pesan dari teman-temannya itu. Menikah? Dilihat secara pisik gadis itu memang cantik dengan make up tipisnya.

Tak lama gadis itu keluar dengan membawa tas selempang miliknya. Laila terlihat berjalan menuju meja Yudis dan mengatakan jika dirinya sudah siap.

Cepat Yudis mengantongi kembali gawainya, lantas berdiri dan mempersilakan Laila untuk jalan lebih dulu menuju parkiran.

Di parkiran Laila bergerak menuju motor Matic miliknya. Yudis yang melihat hal itu langsung mendekat dan mencegah Laila yang akan mengeluarkan kendaraan beroda dua itu.

"Naik mobilku saja!" cegah Yudis tangannya menahan jok motor belakang.

Laila menoleh. "Maaf, sebaiknya kita pergi masing-masing saja, karena tak baik pria dan wanita hanya berdua saja dalam satu mobil."

"Memangnya kenapa?" tanya Yudis, "kamu takut saya berbuat macam-macam?" Yudis tak habis pikir, ada perempuan yang tak tertarik menaiki mobil mewahnya, sedangkan di luar sana banyak wanita yang menginginkan duduk bersanding di dalam mobil berdua.

"Walaupun Anda tak ada niat buruk, tetap saja tidak boleh," jawab Laila tegas. "Jika Anda ingin saya membayar hutang tolong hargai keputusan saya."

Yudis hampir saja kehabisan kesabaran menghadapi penolakan Laila. Sungguh ia bukanlah pria yang suka dibantah, siapa pun itu harus mengikuti perintahnya.

Baiklah untuk saat ini sepertinya ia memang harus mengalah, ingat ini demi memenangkan taruhan, demi harga diri seorang Yudistira Prasetya.

Yudis menghela napas, kemudian menarik sudut bibirnya membentuk senyum terpaksa. "Baiklah."

"Silakan Anda jalan lebih dulu, saya akan mengikuti mobil Anda dari belakang." Laila mulai mengenakan helmnya yang tergantung di kaca spion motor.

Sumpah, baru kali ini ada orang yang berani mengaturnya. Yudis benar-benar tidak menyukai hal itu. Selama ini dialah sang pengatur, semua berjalan atas kehendaknya. Lihat saja nona sebentar lagi kau akan bertekuk lutut di hadapanku. Batin Yudis.

Lima belas menit keduanya sampai di sebuah bangunan bernuansa Jawa.

Usai memarkirkan mobilnya, Yudis bergerak menghampiri Laila yang terlihat tengah mengamati gedung dua lantai di hadapannya.

“Ayo!” seru Yudis menyadarkan Laila dari rasa kagumnya.

Tak ada jawaban dari gadis itu, ia hanya mengangguk mengiyakan ajakan Yudis. Seperti mengerti apa yang dipikirkan Laila. Pria yang kini berdiri dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana bahan hitamnya itu mulai bercerita.

"Cafe ini dibangun lima tahun lalu, pemiliknya asli orang Inggris."

Laila tak bisa menahan kekagetannya. Orang luar tapi bisa membuat Cafe bernuansa Jawa. Sungguh unik.

"Istrinya orang Indonesia asli," lanjut Yudis, menjawab setiap pertanyaan di kepala Laila. Walaupun gadis itu tak menanyakannya.

Yudis cukup cerdas dalam membaca pikiran seseorang. Makanya ia sering mendapatkan tender dengan mudah, karena mampu membaca karakter lawannya.

"Waktu istirahat saya hanya sisa dua puluh menit." Laila mengingatkan, jika dirinya tidak bisa berlama-lama di luar. Kedua rekannya akan kerepotan jika ia tak ada di Cafe.

"Baiklah, mari?" Yudis mempersilakan gadis di hadapannya lebih dulu dengan suara seramah mungkin.

Yudis memilih meja di pojok kanan dekat jendela kaca dengan pemandangan kolam kecil dan aneka tanaman hias yang berjejer di rak kayu di sisi kolam tersebut.

 Sungguh suasana di Cafe ini benar-benar sangat asri. Hingga siapa saja yang berkunjung pasti akan merasa nyaman.

"Satu Americano dan ...." Yudis menatap ke arah Laila, menunggu perempuan berhidung bangir di depannya mau memesan apa.

"Green tea." Laila menyahut cepat.

"Baik, ada lagi?" tanya wanita yang mengenakan apron cokelat dengan gambar cangkir kopi dengan asap mengepul.

"Cukup, itu saja!" sahut Yudis, karena tahu Laila tak ingin berlama-lama berada di sini dengannya.

Kemudian si pelayan tersebut undur diri dari hadapan keduanya dengan tersenyum ramah.

Yudis menatap gadis di depannya itu tengah menatap ke luar jendela, di mana ikan berwarna-warni itu tengah berenang di dalam kolam tersebut.

"Kau menyukainya?" tanya Yudis, yang sedari tadi memperhatikan arah pandang gadis di depannya.

Laila mengalihkan tatapannya dari kolam tersebut, menoleh pada Yudis yang menunggu jawaban dari mulutnya.

“Apakah jawabanku adalah salah satu syarat lunasnya hutang kopi saya?” tanya Laila sarkas.

Yudis menaikkan sebelah alisnya mendengar jawaban gadis yang menurutnya sok jual mahal itu.

“Apakah sikap Anda selalu seperti ini pada setiap orang, terutama pria?”

“Tergantung,” jawab Laila cepat

“Contohnya?” seperti tak kehabisan akal, Yudis kembali mengajukan pertanyaan.

Pria karismatik itu ingin tahu sampai di mana gadis di depannya ini mendebat setiap ucapannya.

“Apa saya harus menjawab alasannya?” Laila balik bertanya.

Keduanya bertatapan saling menyelami isi hati masing-masing. Sampai seorang pelayan mengantarkan pesanan mereka.

“Selamat menikmati.”

Keduanya saling memutus tatapannya masing-masing. Yudis meraih cangkir kopi dan meminumnya, begitu pun dengan Laila.

Yudis memuji keberanian Laila, gadis itu selain pandai mendebat, juga tak mudah terintimidasi olehnya.

Permainan taruhan jadi lebih menarik tak seperti yang ia bayangkan. Sepertinya Yudis butuh sedikit kerja keras untuk menaklukkan hati Laila.

“Waktu saya sudah habis dan saya harus segera kembali bekerja.” Gadis itu berucap setelah menoleh pada jam di pergelangannya.

“Oke, silakan!” Yudis mempersilakan gadis di depannya.

Laila mengangguk, lantas berdiri dan hendak melangkah. Namun, tanpa ia sadari hampir saja menabrak seorang pelayan yang membawa kopi panas di atas nampan, kalau saja Yudis tak menariknya cepat.

Yudis menghirup aroma vanila di tubuh gadis yang ia peluk. Sungguh menenangkan, walaupun tahu parfum yang digunakan perempuan yang kini beringsut melepaskan diri darinya itu murahan, tapi bisa membuatnya nyaman.

“Maaf,” ucap Yudis, melepas kedua lengannya yang sempat membekap tubuh Laila.

Laila tak menjawab. Gadis itu lekas menyambar tasnya yang sempat terjatuh, kemudian melangkah pergi.

Yudis tersenyum, menatap punggung Laila sampai hilang di balik pintu Cafe.

Yudis menghela napas, lantas kembali duduk di tempatnya semula. Kakinya tak sengaja menyentuh sesuatu.

Sebuah pena bertuliskan Aditama Bakhtiar. Yudis merasa tak asing dengan nama itu.

Yudis mengantongi pena itu ke dalam saku jasnya, ia yakin jika benda panjang kecil itu milik Laila.

Yudis tersenyum miring, di kepalanya muncul ide untuk kembali bertemu dengan Laila.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status