Yudis tersenyum menyeringai menatap kertas bertuliskan alamat Cafe Radya. Di otaknya terangkai berbagai rencana untuk mendekati gadis itu demi memenangkan taruhan.
Perjuangannya akan segera dimulai, ia akan menjerat perempuan bernama Laila itu sampai bertekuk lutut di hadapannya.
Suara ketukan pintu menyadarkan Yudis dari lamunannya. Sang asisten membuka benda persegi panjang itu setelah mendapat perintah masuk darinya.
"Ada apa?" tanya Yudis sembari menyandarkan punggungnya di sandaran bangku kekuasaannya.
"Ini informasi yang tuan minta." Sang asisten Jimmy meletakkan map di hadapannya.
Yudis meraih map tersebut. Membukanya dan membaca lembar demi lembar jejeran huruf-huruf di atas kertas yang tersusun rapi.
"Cafe itu sudah digadaikan pada pihak Bank, kemungkinan bulan depan akan di sita, karena pemiliknya belum membayar cicilannya selama tiga bulan." Jimmy menjelaskan secara terperinci. Asistennya tersebut bukan hanya cerdas dan sigap dalam melakukan pekerjaan, tapi juga memiliki loyalitas yang tinggi terhadap perusahaannya.
Usai mendengar laporan dari sang asisten, Yudis pun memerintah pria berbadan kurus itu untuk keluar melanjutkan pekerjaannya.
Setelah kepergian Jimmy, Yudis kembali tersenyum menyeringai, ia sudah tak sabar untuk memenangkan taruhan itu.
***
Sore ini Yudis pulang cepat, sengaja untuk mendatangi Cafe Radya, ia ingin menagih janji Laila yang akan mengganti kopinya.
Sesampainya di sana, gadis itu terenyak saat menemukan Yudis tengah berdiri di hadapannya. Ia tersenyum menatap Laila yang terlihat kesal, karena ulahnya yang muncul tiba-tiba.
"Aku ingin menagih janjimu," ucap Yudis. Kedua tangannya diletakkan di atas meja kasir. Tubuhnya sedikit condong menghadap Laila.
Laila dengan sigap mundur satu langkah, lantas menatap datar pada Yudis.
"Maaf Tuan, saya lupa. Silakan duduk di sana.” Tangan Laila bergerak mempersilakan Yudis untuk menunggu di kursi kosong.
Yudis tersenyum. "Baiklah, saya tunggu."
Laila tak menjawab, gadis itu bersikap acuh terhadap dirinya. Yudis tersenyum miring, ia menertawakan dirinya sendiri yang diabaikan.
Mungkin jika perempuan lain akan merasa salah tingkah diperhatikan secara intens seperti itu, tapi Laila berbeda. Yudis sempat berpikir apakah gadis itu tak menyukai lawan jenis, atau memang sengaja sok jual mahal.
Jika memang gadis itu hanya jual mahal, Yudis yakin dalam kurun waktu beberapa hari saat mereka sudah dekat, perempuan itu akan memujanya.
Sepuluh menit kemudian, Yudis menatap Laila berjalan ke arahnya dengan membawa kopi di tangannya.
Yudis menoleh pada secangkir kopi yang diletakkan di hadapannya.
"Ini kopinya, dan hutang saya lunas," ucap Laila, kemudian berbalik hendak pergi. Namun, langkah gadis itu terhenti saat Yudis mengatakan sesuatu yang membuat Laila kembali menoleh.
“Ini bukan kopi yang seperti kemarin.”
Laila bergerak meraih cangkir itu. "Baiklah akan saya ganti, katakan kopi apa yang Anda inginkan?"
"Sepertinya di sini tidak ada."
"Anda belum menyebutkannya, jadi jangan berasumsi di sini tidak ada." Suara Laila terdengar mulai ketus. Hal itu membuat Yudis semakin tertantang.
"Nona, saya ke sini memang ingin menagih kopi yang Anda tumpahkan kemarin malam, tapi bukan di sini.”
Terlihat Laila mengerutkan keningnya. “Jadi, saya harus mentraktir Anda kopi di tempat lain?”
Yudis menarik sudut bibir, hingga membentuk sebuah senyum samar. Perempuan di depannya itu memang cerdas, cepat menangkap maksudnya.
"Jadi, bagaimana?" tanyanya, “apa Anda bersedia?”
Gadis berhijab biru langit itu terlihat tengah menimbang ajakan Yudis.
"Jika Anda tidak mau, selamanya Anda akan terikat hutang pada saya. Bukankah dalam agama hutang itu harus dibayar?" Yudis kembali memprovokasi.
"Baiklah hanya tiga puluh menit." Laila menjawab, lantas bergegas masuk ke Pantry. Dalam hati Yudis bersorak riang. Langkah pertamanya berhasil mengajak Laila jalan.
Yudis meraih gawainya, membuka grup dan mengetikkan sesuatu di sana.
“Kemarin Gue dapat namanya, hari ini Gue berhasil mengajak dia minum kopi bersama. Siap-siap saja kalian bertiga jatuh miskin!” papar Yudis disertai emoticon menyeringai.
“Wuidih, gercap amat Bro! Ckckck.” Bobi menimpali.
“Sekalian ajak ngamar! Loe berani, enggak!” Rio muncul, seperti biasa menantang.
“Enggak boleh, dosa Bro Rio. Kalau mau nikahin aja, Bro Yudis, itu lebih baik.” Adrian cepat menjawab kata-kata Rio.
Yudis tersenyum miring, membaca pesan dari teman-temannya itu. Menikah? Dilihat secara pisik gadis itu memang cantik dengan make up tipisnya.
Tak lama gadis itu keluar dengan membawa tas selempang miliknya. Laila terlihat berjalan menuju meja Yudis dan mengatakan jika dirinya sudah siap.
Cepat Yudis mengantongi kembali gawainya, lantas berdiri dan mempersilakan Laila untuk jalan lebih dulu menuju parkiran.
Di parkiran Laila bergerak menuju motor Matic miliknya. Yudis yang melihat hal itu langsung mendekat dan mencegah Laila yang akan mengeluarkan kendaraan beroda dua itu.
"Naik mobilku saja!" cegah Yudis tangannya menahan jok motor belakang.
Laila menoleh. "Maaf, sebaiknya kita pergi masing-masing saja, karena tak baik pria dan wanita hanya berdua saja dalam satu mobil."
"Memangnya kenapa?" tanya Yudis, "kamu takut saya berbuat macam-macam?" Yudis tak habis pikir, ada perempuan yang tak tertarik menaiki mobil mewahnya, sedangkan di luar sana banyak wanita yang menginginkan duduk bersanding di dalam mobil berdua.
"Walaupun Anda tak ada niat buruk, tetap saja tidak boleh," jawab Laila tegas. "Jika Anda ingin saya membayar hutang tolong hargai keputusan saya."
Yudis hampir saja kehabisan kesabaran menghadapi penolakan Laila. Sungguh ia bukanlah pria yang suka dibantah, siapa pun itu harus mengikuti perintahnya.
Baiklah untuk saat ini sepertinya ia memang harus mengalah, ingat ini demi memenangkan taruhan, demi harga diri seorang Yudistira Prasetya.
Yudis menghela napas, kemudian menarik sudut bibirnya membentuk senyum terpaksa. "Baiklah."
"Silakan Anda jalan lebih dulu, saya akan mengikuti mobil Anda dari belakang." Laila mulai mengenakan helmnya yang tergantung di kaca spion motor.
Sumpah, baru kali ini ada orang yang berani mengaturnya. Yudis benar-benar tidak menyukai hal itu. Selama ini dialah sang pengatur, semua berjalan atas kehendaknya. Lihat saja nona sebentar lagi kau akan bertekuk lutut di hadapanku. Batin Yudis.
Lima belas menit keduanya sampai di sebuah bangunan bernuansa Jawa.
Usai memarkirkan mobilnya, Yudis bergerak menghampiri Laila yang terlihat tengah mengamati gedung dua lantai di hadapannya.
“Ayo!” seru Yudis menyadarkan Laila dari rasa kagumnya.
Tak ada jawaban dari gadis itu, ia hanya mengangguk mengiyakan ajakan Yudis. Seperti mengerti apa yang dipikirkan Laila. Pria yang kini berdiri dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana bahan hitamnya itu mulai bercerita.
"Cafe ini dibangun lima tahun lalu, pemiliknya asli orang Inggris."
Laila tak bisa menahan kekagetannya. Orang luar tapi bisa membuat Cafe bernuansa Jawa. Sungguh unik.
"Istrinya orang Indonesia asli," lanjut Yudis, menjawab setiap pertanyaan di kepala Laila. Walaupun gadis itu tak menanyakannya.
Yudis cukup cerdas dalam membaca pikiran seseorang. Makanya ia sering mendapatkan tender dengan mudah, karena mampu membaca karakter lawannya.
"Waktu istirahat saya hanya sisa dua puluh menit." Laila mengingatkan, jika dirinya tidak bisa berlama-lama di luar. Kedua rekannya akan kerepotan jika ia tak ada di Cafe.
"Baiklah, mari?" Yudis mempersilakan gadis di hadapannya lebih dulu dengan suara seramah mungkin.
Yudis memilih meja di pojok kanan dekat jendela kaca dengan pemandangan kolam kecil dan aneka tanaman hias yang berjejer di rak kayu di sisi kolam tersebut.
Sungguh suasana di Cafe ini benar-benar sangat asri. Hingga siapa saja yang berkunjung pasti akan merasa nyaman.
"Satu Americano dan ...." Yudis menatap ke arah Laila, menunggu perempuan berhidung bangir di depannya mau memesan apa.
"Green tea." Laila menyahut cepat.
"Baik, ada lagi?" tanya wanita yang mengenakan apron cokelat dengan gambar cangkir kopi dengan asap mengepul.
"Cukup, itu saja!" sahut Yudis, karena tahu Laila tak ingin berlama-lama berada di sini dengannya.
Kemudian si pelayan tersebut undur diri dari hadapan keduanya dengan tersenyum ramah.
Yudis menatap gadis di depannya itu tengah menatap ke luar jendela, di mana ikan berwarna-warni itu tengah berenang di dalam kolam tersebut.
"Kau menyukainya?" tanya Yudis, yang sedari tadi memperhatikan arah pandang gadis di depannya.
Laila mengalihkan tatapannya dari kolam tersebut, menoleh pada Yudis yang menunggu jawaban dari mulutnya.
“Apakah jawabanku adalah salah satu syarat lunasnya hutang kopi saya?” tanya Laila sarkas.
Yudis menaikkan sebelah alisnya mendengar jawaban gadis yang menurutnya sok jual mahal itu.
“Apakah sikap Anda selalu seperti ini pada setiap orang, terutama pria?”
“Tergantung,” jawab Laila cepat
“Contohnya?” seperti tak kehabisan akal, Yudis kembali mengajukan pertanyaan.
Pria karismatik itu ingin tahu sampai di mana gadis di depannya ini mendebat setiap ucapannya.
“Apa saya harus menjawab alasannya?” Laila balik bertanya.
Keduanya bertatapan saling menyelami isi hati masing-masing. Sampai seorang pelayan mengantarkan pesanan mereka.
“Selamat menikmati.”
Keduanya saling memutus tatapannya masing-masing. Yudis meraih cangkir kopi dan meminumnya, begitu pun dengan Laila.
Yudis memuji keberanian Laila, gadis itu selain pandai mendebat, juga tak mudah terintimidasi olehnya.
Permainan taruhan jadi lebih menarik tak seperti yang ia bayangkan. Sepertinya Yudis butuh sedikit kerja keras untuk menaklukkan hati Laila.
“Waktu saya sudah habis dan saya harus segera kembali bekerja.” Gadis itu berucap setelah menoleh pada jam di pergelangannya.
“Oke, silakan!” Yudis mempersilakan gadis di depannya.
Laila mengangguk, lantas berdiri dan hendak melangkah. Namun, tanpa ia sadari hampir saja menabrak seorang pelayan yang membawa kopi panas di atas nampan, kalau saja Yudis tak menariknya cepat.
Yudis menghirup aroma vanila di tubuh gadis yang ia peluk. Sungguh menenangkan, walaupun tahu parfum yang digunakan perempuan yang kini beringsut melepaskan diri darinya itu murahan, tapi bisa membuatnya nyaman.
“Maaf,” ucap Yudis, melepas kedua lengannya yang sempat membekap tubuh Laila.
Laila tak menjawab. Gadis itu lekas menyambar tasnya yang sempat terjatuh, kemudian melangkah pergi.
Yudis tersenyum, menatap punggung Laila sampai hilang di balik pintu Cafe.
Yudis menghela napas, lantas kembali duduk di tempatnya semula. Kakinya tak sengaja menyentuh sesuatu.
Sebuah pena bertuliskan Aditama Bakhtiar. Yudis merasa tak asing dengan nama itu.
Yudis mengantongi pena itu ke dalam saku jasnya, ia yakin jika benda panjang kecil itu milik Laila.
Yudis tersenyum miring, di kepalanya muncul ide untuk kembali bertemu dengan Laila.
Yudis kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Hari ini ia menghadiri lima rapat sekaligus bersama para investor yang tertarik menanam saham di Prasetya Grup. Hingga menjelang malam lelaki itu belum juga bangkit dari duduknya di depan layar laptop yang berpendar menyorot wajah tegasnya. Hingga sang sekretaris masuk dan memberitahunya mengenai kepulangan Miranda besok. Jimmy memberitahu jika asisten rumah tangga dan sopir yang biasa mengantar jemput ibunya tak bisa mengurus kepulangan Miranda di rumah sakit, karena sang sopir izin mendadak harus pulang ke kampung halaman, sementara mbok Darmi sendiri sedang tak sehat. Yudis menutup laptopnya kasar, kenapa juga dirinya yang harus menjemput wanita itu. Sepertinya ibunya memang sengaja memanipulasi keadaan. Batinnya. Esok harinya sebelum berangkat ke kantor, Yudis ke rumah sakit terlebih dulu untuk mengurus kepulangan Miranda, sesuai informasi yang di sampaikan Jimmy kemarin. Saat tiba di l
Keluar dari rumah sakit, Laila tak langsung ke Cafe. Untuk menghilangkan penat ia pergi ke taman yang sering gadis itu kunjungi bersama kedua orang tuannya, saat dirinya berusia lima tahun. Laila mendaratkan bokongnya di kursi taman, menatap sekitar di mana banyak pasangan yang tengah bersenda gurau bersama buah hatinya. Ada juga yang tengah joging dengan berlari kecil memutari luasnya taman. Padahal bukan hari libur, tapi taman ini tak pernah sepi. Selain pemandangannya yang indah dan asri, juga ada beberapa permainan untuk anak-anak, seperti ayunan dan perosotan yang membuat betah si kecil. Laila tersenyum kala melihat seorang anak berlari kemudian ditangkap oleh sang ayah. Melihat hal itu ia jadi teringat pada almarhum kedua orang tuannya. Rasa rindu menyeruak begitu saja dalam batinnya. Laila mengangkat kepalanya ke atas kemudian menghembuskan napas, berusaha menghalau rasa sedih, karena rindunya kepada kedua orang tuannya. Setelah
Laila terkesiap saat melihat bukti lunas pembayaran Operasi sang paman dari wanita kemarin yang bertanggung jawab di bagian administrasi.“Si-siapa yang melunasinya?” tanya Laila masih tidak percaya dengan kenyataan di depannya. Tangannya yang memegang amplop cokelat berisi uang itu bergetar, lantaran tak percaya ada seseorang yang sudah baik membayarkan biaya operasi yang sangat besar itu.Kemudian wanita paru baya itu menjelaskan tentang seseorang yang telah melunasi semua biaya operasi sekaligus perawatan sang paman sampai sembuh.“Kenapa Anda tidak menanyakan hal ini kepada saya lebih dulu.” Laila masih tak mengerti.“Tapi orang ini bilang dia teman Anda, dan dia mengenal Anda,” jelas sang wanita dengan name tag Winda.“Teman?” gumam Laila bingung. Teman yang mana yang dimaksud wanita di depannya itu. Seingatnya tidak ada teman atau kerabat lainnya yang diberitahu perihal keadaan sang paman.Laila tipe orang yang tak ingin di kasihi.
Yudis tersenyum. “Saya hanya ingin membantu Anda Nona?”“Tapi saya tidak perlu bantuan Anda, saya bisa menyelesaikan masalah saya sendiri. Lagi pula apa urusan Anda?” Laila mulai tersulut emosi. Ia menduga jika Yudis melakukan semua ini karena menginginkan sesuatu darinya.“Maaf, jika saya sudah lancang. Tadi pagi saya tak sengaja mencuri dengar pembicaraan Anda dengan pihak rumah sakit mengenai biaya operasi. Dan saat itu juga saya ingin membantu Anda,” jelas Yudis panjang lebar.Ia berharap Laila dapat menerima alasannya.“Kenapa tidak bertanya pada saya lebih dulu?”“Jika saya bertanya pada Anda, sudah pasti Anda akan menolak, jadi saya putuskan untuk melunasinya tanpa sepengetahuan Anda.”Laila menghela napas kasar, lantas berdiri dari duduknya. “Baiklah Tuan, karena semua sudah terlanjur, jadi saya akan mengembalikan uang itu secepatnya.”“Tidak perlu, Anda tidak perlu melunasinya, saya ikhlas,” cegah Yudis.“Tidak Tuan, s
Pukul empat sore Yudis menyudahi pekerjaannya. Jimmy memberitahukan jika sore ini tak ada jadwal meeting dengan para investor.Karena tak ada lagi yang mesti di kerjakan Yudis pun berniat mengunjungi Cafe Radya, sekalian mau mengembalikan bolpoin milik Laila yang ia temukan lima hari lalu.Sesampainya di depan Cafe usai menepikan mobil, Yudis mengamati dari luar, sepertinya Cafe sedang ramai pengunjung, karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Sudah pasti banyak orang yang mengunjungi Cafe untuk sekedar melepas penat usai bekerja dengan secangkir kopi Yudis membuka pintu lantas berpapasan dengan seorang pelayan Cafe yang belum ia ketahui namanya.“Tuan tampan!” seru gadis itu, terlihat begitu antusias. Bola matanya membulat seolah hendak melompat dari tempatnya. Kedua tangan gadis itu menggenggam erat bungkusan plastik hitam besar yang dapat Yudis tebak itu adalah sampah.Yudis tak merespons, ia justru menunjukkan muka datar. Lalu de
“Biar aku yang membayarnya,” ucap Yudis nyaris seperti perintah.Mendengar perkataannya, seketika Laila terkejut. “Jangan! Saya tidak ingin merepotkan Anda lagi.”“Aku tidak merasa direpotkan,” sanggah Yudis. “Biarkan aku membantumu sebagai seorang teman,” tambahnya.Laila menatap netra hitam milik Yudis, di sana ia menemukan keseriusan. Tapi, dirinya tak ingin terus berhutang budi pada pria di depannya itu.“Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, karena Anda sudah membantu. Tapi, untuk kali ini saya ingin menyelesaikannya sendiri,” lanjut Laila.“Panggil saja Yudis.” Yudis menimpali perkataan Laila yang menurutnya terlalu kaku. Ia berharap cepat akrab dengan gadis itu, sesuai harapannya untuk memenangkan taruhan.“Tapi ... sepertinya itu tidak sopan,” jawab Laila.“Tidak apa-apa, bukankah kita sudah berteman?” “Baiklah, sa-eh, aku panggil Mas Yudis saja ya?”Yudis mengangguk sembari tersenyum mengiyak
Bab 12 Pagi ini Yudis ingin memenuhi janjinya bersepeda bersama Laila. Ia sudah siap dengan pakaian olahraga, kaos hitam dan celana training lengkap dengan sepatu dan handuk di lehernya. Mbok Darmi yang melihat penampilan majikannya itu cukup kaget. Biasanya di hari libur seperti ini, kalau tidak bekerja lembur ya tidur. Namun, berbeda untuk kali ini. “Tuan, mau ke mana?” tanya Mbok Darmi. “Olah raga,” jawab Yudis. Mbok Darmi merasa aneh dengan majikannya itu, biasanya sang majikan hanya nge-gym atau berenang di rumah untuk olah raga. Sebaliknya jika tidak olah raga, maka sang majikan akan menghabiskan waktunya di ruang kerja dari pagi hingga menjelang malam. “Saya pergi, Mbok. Kemungkinan pulang siang,” ucap Yudis yang diangguki sopan oleh pembantunya itu. “Tuan Yudis mau di masakin apa buat makan siang?” tanya mbok Darmi ya
“Aw!” jerit Laila saat tubuhnya mendarat di atas rerumputan. Ban sepedanya menabrak pohon besar dan penyok. “Laila kamu enggak apa-apa?” Yudis menghampiri Laila yang masih terduduk menahan sakit di pergelangan kakinya. Laila melepaskan diri, karena Yudis menyentuh lengannya. “Maaf,” ucap Yudis, baru sadar jika Laila tak suka disentuh. “Aku enggak apa-apa,” jawab Laila. Lantas wanita berhijab itu mencoba bangun sendiri. Namun, ia terduduk kembali karena merasakan sakit yang begitu parah di pergelangan kakinya yang terkilir. Yudis hendak meraihnya kembali, namun urung, saat teringat Laila tak mau disentuh. Yudis mengumpat dalam hati, saat dirinya hanya bisa melihat Laila kesakitan. Cepat ia merogoh Handphone lalu menghubungi seseorang. “Taman Agria cepat!” titah Yudi