Seperti biasa setelah selesai mengaji, Inayah dan Erni hanya duduk-duduk santai di ruang tengah. Tidak lama kemudian, datang Fatimah dengan membawa tiga gelas teh hangat dan makanan ringan.
Mereka bertiga menikmati malam dengan berkumpul di rumah saja, tidak ada pekerjaan yang lain untuk malam itu. Karena saat ini, Inayah sudah tidak mau lagi keluar rumah terkecuali menyangkut masalah pekerjaan atau bisnis yang sedang ia jalani bersama Erni.
Di antara mereka bertiga tidak ada batasan-batasan tertentu, tidak ada istilah bawahan atau atasan. Erni dan Fatimah sudah Inayah anggap sebagai kakaknya sendiri, mereka banyak membantu dalam hal pekerjaan dan bimbingan akhlak yang baik untuknya.
Di saat mereka sedang berbincang, terdengar suara ponsel berdering tanda panggilan masuk.
“Ada panggilan telepon masuk, Nay!” ucap Erni memberi tahukan Inayah.
“Angkat saja, Teh!” jawab Inayah meminta Erni untuk menerima panggilan telepon tersebut.
Erni hanya mengangguk dan segera menerima panggilan masuk tersebut.
“Dari Rangga, Nay,” bisik Erni sambil tersenyum menatap wajah Inayah.
Mendengar hal itu, Inayah tampak semringah. “Sini, Teh!” pintanya seraya meraih ponsel dari tangan Erni.
“Assalamu'alaikum. Ada apa, Ga?” tanya Inayah lirih.
"Wa'alaikum salam, Nay," jawab Rangga. "Besok aku mau main ke rumah kamu boleh, 'kan?” sambungnya lirih.
“Boleh sih, tapi jangan pagi! Soalnya kalau pagi aku banyak kerjaan!" jawab Inayah lirih.
“Jam tiga sore, Nay. Bisa, 'kan?” tanya Rangga lagi.
“Insya Allah bisa,” jawab Inayah.
“Ya, sudah. Terima kasih ya, Nay. Assalamu'alaikum,” pungkas Rangga mengakhiri panggilannya dengan sebuah kalimat salam.
“Wa'alaikum salam” jawab Inayah.
Inayah kembali meletakan ponselnya di atas meja dan fokus kembali ke laptop, karena masih ada beberapa pekerjaan yang belum ia selesaikan.
“Rangga yang tadi siang itu ya, Nay?” tanya Erni menatap wajah Inayah yang tampak berseri itu.
“Iya, Teh” jawab Inayah dengan senyuman manis melekat di bibirnya.
“Dugaan Teteh sih, Rangga itu naksir sama kamu, Nay. Terlihat dari tatapan matanya!” seloroh Erni menduga-duga.
“Ah, Teteh. Sok tahu!” sanggah Inayah tersenyum-senyum.
Erni terus menggoda Inayah dengan gurauan-gurauannya. Inayah hanya diam saja, ia tetap fokus pada laptop yang ada di pangkuannya itu.
Waktu terus berjalan, tidak terasa sudah memasuki waktu Isya. Mereka bertiga langsung melaksanakan berjamaah Salat Isya di Musala yang ada di dalam rumah tersebut.
Usai salat Inayah langsung masuk ke dalam kamar. Sementara Erni dan Fatimah masih bertahan di ruang tengah, mereka masih duduk santai menonton acara televisi kegemaran mereka.
Di dalam kamar, Inayah hanya melihat-lihat fashion terbaru dari desainer terkemuka, melalui unggahan mereka di internet.
Beberapa jam kemudian, rasa ngantuk pun mulai melanda, saat Inayah baru saja memejamkan mata. Tiba-tiba, ponselnya berdering, tanda ada pesan yang masuk, Inayah meraih ponsel yang diletakan di atas meja kamarnya, dan langsung membuka pesan masuk tersebut.
Ternyata pesan itu dari Rangga. [Selamat malam, Nay. Maaf aku mengganggu waktu istirahatmu, malam ini aku ingat kamu terus. Entah kenapa dalam pikiranku tumbuh rasa rindu kepadamu. Kamu sekarang sudah berubah menjadi gadis Muslimah, jujur aku suka penampilan baru kamu, Nay!] tulis Rangga.
Inayah hanya tersenyum-senyum sambil membaca pesan dari Rangga di ponselnya. Inayah tidak meresponnya dan tidak membalas pesan tersebut, karena dia paham dengan sifat Rangga.
Sewaktu masih duduk di bangku SMA, Rangga sangat terkenal sebagai pria playboy. Jadi, apa pun yang ia tulis dalam pesan tersebut, Inayah tidak menanggapinya dengan sungguh-sungguh.
"Dari dulu, Rangga itu senangnya bercanda saja," gumam Inayah tersenyum-senyum sendiri.
Inayah kembali meletakan ponselnya di atas meja dan segera membenamkan tubuh di dalam selimut besar yang ada di tempat tidurnya.
Esok paginya ....
Usai melaksanakan Salat Subuh, Inayah hanya duduk-duduk santai di teras rumah sambil menikmati secangkir kopi susu yang dibuatkan oleh Fatimah. Tidak lama kemudian Erni keluar dan melangkah menghampirinya.
“Nay, jam sembilan Teteh mau ke butik,” kata Erni duduk di hadapan Inayah.
“Kenapa harus ke butik? 'Kan, sudah ada Riska di sana. Ngapain repot-repot, cukup video call saja, Teh!” balas Inayah lirih.
“Masya Allah! Terus Teteh kerjanya kapan, Nay?” protes Erni.
"Kerjaan Teh Erni. Cukup mengikuti aku saja, ke mana pun aku pergi!" tandas Inayah dengan tersenyum-senyum.
“Iya, adikku yang cantik," jawab Erni sedikit mencubit pipi Inayah.
"Harusnya Teteh ini punya ilmu silat," kata Inayah bergurau.
"Maksud kamu, Teteh ini harus merangkap menjadi bodyguard kamu?" tanya Erni mengerutkan keningnya.
"Iya, Teh," jawab Inayah tersenyum lebar.
***
Pukul tiga sore, Rangga datang berkunjung ke kediaman Inayah, seperti yang ia janjikan dalam perbincangannya dengan Inayah melalui sambungan telepon tadi malam.
“Assalamu'alaikum,” ucap Rangga lirih, berdiri di beranda rumah tersebut.
“Wa'alaikum salam,” jawab Inayah yang kebetulan saat itu sedang berada di teras rumah.
“Silakan duduk, Ga!" sambut Inayah menambahkan. Raut wajahnya tampak semringah dan merasa senang dengan kedatangan pria tampan itu. Ia langsung bangkit dan tersenyum ke arah Rangga yang baru tiba itu.
“Iya, Nay. Terima kasih,” jawab Rangga balas melontar senyum ke arah Inayah, kemudian langsung duduk di hadapan Inayah.
“Teh, sini dulu!” panggil Inayah mengarah kepada Fatimah yang saat itu sedang mencuci mobilnya Erni.
“Iya, Neng,” jawab Fatimah bergegas menghampiri.
“Maaf, Teh. Tolong buatkan kopi hitam satu!” pinta Inayah lirih.
“Baik, Neng,” jawab Fatimah melangkah masuk ke dalam rumah, hendak membuatkan kopi untuk Rangga.
“Teh Erni, ke sini. Katanya mau kenalan!” teriak Inayah memanggil Erni yang sedang meneruskan pekerjaan Fatimah mencuci mobilnya sendiri.
“Nanti saja, tanggung!” jawab Erni sedikit menoleh ke arah Inayah yang sedang duduk di teras bersama Rangga.
Beberapa menit kemudian, Fatimah datang dengan membawa secangkir kopi hitam dan langsung meletakkan cangkir itu di atas meja tepat di hadapan Rangga.
“Silakan, Den!" ucap Fatimah dengan ramah tersenyum ke arah Rangga.
“Iya, Teh. Terima kasih,” jawab Rangga balas melontarkan senyum.
Rangga tampak semringah dan tersenyum-senyum sendiri saat menatap wajah cantik Inayah, entah apa yang ia pikirkan? Inayah hanya diam tidak mempedulikan sikap Rangga.
“Nay, maafkan aku, yah!” ucap Rangga lirih.
“Maaf kenapa, Ga? Memangnya kamu punya salah sama aku?” tanya Inayah terheran-heran sambil mengerutkan kening.
“Waktu SMA, aku sering usilin kamu, Nay,” jawab Rangga mengakui perbuatan buruknya di masa lalu.
Inayah hanya diam menyimak apa yang diutarakan oleh Rangga. Kemudian Rangga mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, benda kecil berupa tasbih kayu berwarna hitam mengkilat. “Ini buat kamu, Nay!” kata Rangga menyerahkan tasbih itu kepada Inayah. “Masya Allah! Terima kasih, Ga,” jawab Inayah meraih tasbih dari tangan Rangga. Inayah tampak terharu dengan hadiah yang diberikan oleh Rangga. Jarang sekali, seorang anak di zaman sekarang yang memberikan hadiah yang berkaitan dengan ibadah. “Aku ingin berubah seperti kamu, Nay. Tolong bantu bimbing aku!” ucap Rangga lirih. "Subhanallah!" bisik Inayah dalam hati. Ia menghela napas dalam-dalam, sejatinya Inayah merasa kaget dan terharu dengan kalimat yang diucapkan Rangga saat itu. Tentu sangat bertolak belakang dengan sikap Rangga yang selama ini dikenal sebagai seorang pemuda iseng, gemar hura-hura, dan selalu jahat kepada teman. Oleh sebab itu, Inayah masih ragu dengan kalimat-kalimat yang telah diucapkan oleh Rangga. Namun, Inayah te
Apa yang di utarakan Fatimah, sangat menambah pengetahuan untuk Inayah dan menjadi suatu pedoman tatkala Inayah dihadapkan dengan kerisauan memilih pasangan yang baik untuk menemani hidupnya kelak. Sangat berkesan, banyak sekali kalimat-kalimat nasihat bersumber dari hadits dan ayat-ayat Al-Qur'an, yang dituturkan oleh Fatimah. Sikap lugu dan pendiam dari sosok Fatimah, sangat bertolak belakang dengan kepintaran dan kecerdasan yang ia miliki, sejatinya Fatimah merupakan sosok wanita Muslimah yang patut dijadikan contoh sebagai panutan. Malam semakin larut, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, rasa ngantuk pun sudah melanda. “Teh, aku masuk kamar dulu yah, sudah malam,” pungkas Inayah lirih. “Iya, Neng,” jawab Fatimah sambil merapikan gelas dan piring serta dus sisa makanan yang ada di meja. Inayah langsung berlalu dari hadapan Fatimah, melangkah menuju kamarnya untuk segera beristirahat, merehat tubuh yang seharian disibukkan dengan berbagai aktivitas. Di dalam
Satu jam kemudian, rombongan dari LBUKD (Lembaga Bantuan Untuk Kaum Dhuafa) dari Purwakarta sudah tiba di lokasi. Mereka membawa ratusan paket sembako untuk diserahkan langsung kepada Kartika sebagai ketua panitia penyelenggra bantuan sosial tersebut. Pak Kades dan Kartika sebagai perwakilan dari panitia, langsung menyambut hangat kedatangan rombongan tersebut. Tampak sosok pemuda berkopiah putih dengan mengenakan kemeja jasko warna biru langit berdiri dan bersalaman dengan Pak Kades. Inayah hanya mengamati pemuda tersebut dari kejauhan, pemuda itu berdiri dalam posisi membelakanginya, sehingga wajahnya tidak terlihat jelas. “Masya Allah! Kok, orang itu mirip dengan Rangga ya, Nay?" desis Erni bertanya kepada Inayah yang duduk di sampingnya. Kemudian Erni bangkit pandangannya terus mengarah kepada orang-orang yang ada di tenda tersebut. Terutama kepada pemuda yang dianggap mirip sekali dengan Rangga. “Ah, Teteh. Hanya mirip saja, Teh!” jawab Inayah lirih sambil meraih ponsel yan
Kemudian, mereka langsung melangkah menuju ke sebuah Masjid terdekat yang ada di desa itu, untuk segera melaksanakan Salat Zuhur. Usai melaksanakan Salat Zuhur, sekitar pukul satu, acara bansos tersebut dimulai dengan membagikan ratusan paket sembako kepada masyarakat yang ada di desa tersebut. Acara berjalan dengan lancar tanpa kericuhan. Pukul setengah empat sore, acara pun sudah selesai dilaksanakan. Inayah dan rekan-rekannya langsung melaksanakan berjamaah Salat Asar. "Alhamdulillah, akhirnya selesai juga," ucap Inayah penuh rasa syukur. Setelah itu, Inayah dan yang lainnya langsung pamit kepada kepala desa setempat dan kepada para panitia yang ada di tempat tersebut, dan langsung kembali ke Bandung. Dalam perjalanan, Inayah terus kepikiran tentang Rangga. Rangga benar-benar sudah berubah dan berpenampilan sebagai pria Muslim sejati. Entah kenapa perasaan Inayah mulai gundah? Ia merasakan getaran-getaran cinta yang perlahan mulai merasuk jiwa dan pikirannya. “Nay, kita mampir
Inayah hanya diam terpaku, menahan rasa haru mendengar kalimat yang diucapkan oleh Rangga. Inayah sudah tak bisa berkata apa-apa lagi, ia hanya diam di antara rasa kagumnya terhadap perubahan sikap Rangga. Teman sekolah yang dulu sangat ia benci, berubah menjadi sosok Arjuna yang berbudi pekerti baik. “Kamu mau, 'kan, aku halalkan?” tanya Rangga memandang bias wajah Inayah. “Insya Allah, aku bersedia. Semoga Allah meridhoi niat baik kamu,” jawab Inayah dengan raut wajah berbinar-binar. Rangga tampak semringah mendengar jawaban dari Inayah. "Terima kasih ya, Nay," ucap Rangga lirih. Apa yang Inayah harapkan akhirnya terkabul juga, ia sangat berharap niat baik dari Rangga mendapatkan kemudahan dari Allah, serta hubungan mereka bisa berlanjut hingga jenjang pernikahan. "Simpan baik-baik tasbih itu, karena itu merupakan pemberian dari Ustadz Rafie!" Rangga terus menerus menebar senyum, memandang wajah gadis nakal yang kini sudah berubah menjadi seorang gadis Muslimah yang berbudi pe
Setelah itu Erni kembali masuk ke dalam rumah, membantu Fatimah menyiapkan makanan untuk makan malam mereka bertiga. Inayah hanya duduk termenung, pandangannya menerawang ke atas langit yang tampak indah dengan pancaran sinar bulan dan gemerlapnya bintang-bintang. Seakan-akan alam ikut merayakan dan menyambut hari pertama Inayah menjalin kasih asmara dengan Rangga Al-Fatih. Tak ada yang tidak mungkin, jika Allah sudah menghendaki, terjadi maka terjadilah. Sebagai mana kisah hidup Inayah yang diawali dengan sifat buruk dan tabiat yang tidak terpuji. Namun, Allah telah memberikan hidayah melalui ujian besar dengan meninggalnya kedua orang tua Inayah. Secara perlahan, Inayah mampu merubah segala sifat dan sikap buruknya menjadi sifat dan sikap yang baik. Meskipun masih belum sempurna. Namun, Inayah yakin dengan niat yang sungguh-sungguh, ia bisa menjadi wanita Muslimah yang berakhlak dan tetap bergaul dengan orang-orang yang baik yang selama ini turut andil dalam membimbingnya ke arah
Inayah bangkit dan langsung melangkah menghampiri Fatimah yang saat itu sedang menyetrika pakaian di ruangan yang bersebelahan dengan kamarnya. "Teh!" kata Inayah lirih dengan bola mata berkaca-kaca. "Ada apa, Neng?" tanya Fatimah memandang wajah Inayah. "Tidak apa-apa, Teh." Inayah berusaha menyembunyikan kesedihannya kala itu. Kemudian, ia bertanya tentang Erni, "Teh Erni ke mana ya, Teh?" "Erni tadi berangkat ke butik. Katanya sih hanya sebentar," jawab Fatimah tampak penasaran dan terheran-heran melihat sikap Inayah yang tampak bersedih itu. "Terima kasih, Teh." Inayah kembali melangkah menuju ke lantai dua untuk menenangkan pikiran di sebuah ruangan khusus tempat kerjanya itu. "Ada apa dengan Inayah? Sepertinya ia sedang dalam keadaan sedih?" gumam Fatimah bertanya-tanya. Satu jam kemudian, Erni sudah tiba di rumah. Ia langsung menghampiri Fatimah dan segera menanyakan tentang keberadaan Inayah. "Inayah ke mana, Fat?" "Tadi sih naik ke atas, Er," jawab Fatimah lirih. "Oh
Selepas menunaikan kewajibannya sebagai Muslimah, Erni meminta Fatimah segera belanja kebutuhan untuk acara masak nasi liwet yang akan diadakan nanti malam di rumah tersebut. "Kamu belanja dulu ke pasar ya, Fat!" pinta Erni lirih. "Minta antar sama Pak Andri saja!" sambung Erni berdiri di belakang Fatimah yang saat itu sedang merapikan pakaian. "Iya, Er," jawab Fatimah. "Ya, sudah. Ini uangnya. Aku mau menemani Inayah dulu!" Erni menyerahkan tiga lembar uang pecahan seratus ribuan kepada Fatimah. Setelah itu, ia kembali melangkah menghampiri Inayah yang sedang duduk termenung di antara kepedihan dan duka yang sedang dirasakannya saat itu. "Bagaimana acara masak nasi liwetnya. Jadi tidak, Teh?" tanya Inayah menatap wajah Erni. "Jadi, Cantik." Erni duduk di sebelah Inayah sembari mengeluarkan laptop dari dalam tas yang tergeletak di atas meja di hadapannya. "Bantu ini, Nay! Teteh kesulitan membuat desain baru untuk hijab kekinian!" pinta Erni lirih. Erni sengaja berinisiatif sepe