Kehidupan malam, mabuk-mabukan, nongkrong di bar, perlahan-lahan ditinggalkan oleh Inayah sejak kematian kedua orang tuanya. Ia lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah saja. Itu semua berkat nasihat dari Erni sang asisten rumah tangga di kediamannya. Erni sangat menyayangi Inayah, meskipun selama ini Inayah selalu bersikap kasar terhadap dirinya. Ia tidak pernah mempedulikan itu, Erni sudah menganggap Inayah sebagai adiknya sendiri. Beberapa bulan kemudian, Inayah memutuskan untuk terjun ke dunia bisnis dibantu oleh Erni. Hingga pada akhirnya, bisnis Inayah pun mulai berkembang pesat dan mengalami kemajuan yang luar biasa hanya kurun waktu beberapa bulan saja. Berkat bantuan dari Erni, dia bisa menjadi pebisnis yang hebat. Namun, salah seorang saingan bisnisnya berusaha untuk menghancurkan bisnis yang dijalankan Inayah bersama Erni. Akan tetapi, Inayah dan Erni masih dapat mempertahankan bisnis tersebut. Hingga pada akhirnya, bisnisnya itu semakin meroket dan membuat Inayah menjadi seorang wanita sukses. Di awal-awal kesuksesannya itu, Inayah dipertemukan dengan seorang pria tampan, mereka menjalin hubungan spesial hingga ke jenjang pernikahan. Pria itu adalah Rafie sahabat baik Rangga teman sekolah Inayah sewaktu duduk di bangku SMA.
Lihat lebih banyakPukul sembilan pagi, Tommy dan Celly sudah bersiap hendak berangkat ke bandara. Karena pukul sepuluh, mereka harus berada di bandara. Satu jam berikutnya mereka langsung terbang dengan menggunakan pesawat komersial langsung menuju ke Bali.
"Sebentar, Mas! Aku mau menemui Inayah dulu," kata Celly lirih.
"Iya, tapi jangan lama-lama takut telat!" jawab Tommy.
"Iya, Mas tunggu saja di luar! Ada yang mau aku bicarakan dengan Inayah."
Tommy pun langsung melangkah keluar rumah, sementara Celly langsung menemui Inayah di kamarnya.
Setibanya di depan kamar putrinya, Celly langsung mengetuk pintu kamar tersebut.
Tok! Tok! Tok!
"Nay!" panggil Celly kepada putri semata wayangnya
"Iya, Bun." Inayah bangkit dan langsung membuka pintu kamarnya. "Ada apa, Bun?" tanya Inayah.
"Kok, tanya ada apa? Bunda sama ayahmu, hari inikan mau berangkat ke Bali."
"Iya, dari kemarin juga Nay tahu, Bunda."
"Bunda hanya mau pesan sama kamu, selama Bunda dan ayahmu berada di Bali, kamu jangan nakal!"
"Iya," jawab Inayah bersikap biasa-biasa saja.
Celly hanya tersenyum, kemudian memeluk erat tubuh putrinya itu, hal yang sangat aneh menurut Inayah. Karena tidak seperti biasannya Celly bersikap seperti itu. Inayah tidak bereaksi apa-apa, ketika ibunya memeluk dan menciumnya. Ia hanya diam dan tidak menanggapi sikap ibunya itu.
Tak ada firasat sedikit pun yang Inayah rasakan saat itu, karena menurutnya kepergian kedua orang tuanya merupakan kesempatan emas baginya. Ia bisa bebas melakukan apa saja dengan teman-temannya tanpa harus dilarang-larang oleh ibu dan ayahnya.
Setelah itu, Celly pun pamit kepada Inayah dan langsung berlalu dari kamar putri semata wayangnya itu.
"Yes! Akhirnya ayah dan ibuku berangkat juga, semoga mereka lama di Bali," desis Inayah dengan raut wajah semringah.
Inayah sangat bahagia dengan kepergian kedua orang tuanya ke pulau Dewata. Seakan-akan, ia merasa bebas jika kedua orang tuanya tidak ada di rumah dalam waktu lama.
Erni yang kebetulan sedang berada di dekat kamar Inayah. Hanya tersenyum-senyum saja mendengar ucapan gadis itu.
'Ya, Allah! Hamba mohon ... berikanlah hidayah kepada Inayah, agar sikap dan kelakuannya berubah, tidak melawan lagi kepada kedua orang tuanya,' kata Erni dalam hati.
Setelah itu, Erni langsung memanggil Inayah, "Nay!"
"Iya, ada apa, Teh? Mau ceramah lagi, yah?" Inayah menjawab sedikit menyindir sang asisten rumah tangganya.
Karena selama ini Erni selalu memberikan nasihat kepada dirinya. Padahal, Inayah itu keras kepala, susah dinasihati. Ia tak pernah nurut dengan nasihat-nasihat yang diberikan Erni.
Meskipun demikian, Erni tetap sabar dan tawakal dalam menghadapi sikap gadis tersebut. Erni tidak pernah putus asa dalam menghadapi sikap keras kepala Inayah.
"Bukan, Nay! Teteh hanya ingin mengajak kamu makan," jawab Erni tetap bersikap sabar dan tersenyum lebar memandang wajah Inayah yang ketus.
"Iya, sebentar!"
"Ya, sudah. Teteh tunggu di ruang makan, yah."
"Iya, Teh. Nanti aku turun."
Setelah itu, Erni langsung turun ke lantai bawah. Sementara Inayah masih saja duduk-duduk santai di atas tempat tidurnya.
"Nay!" teriak Erni dari bawah.
"Iya, tunggu sebentar!" sahut Inayah bangkit dan langsung turun ke bawah.
Kemudian, Inayah melangkah menghampiri Erni yang sudah berada di ruang makan.
"Masak apa, Teh?" tanya Inayah.
"Ikan mas kesukaan kamu," jawab Erni lembut.
"Nah, ini ... baru aku suka. Jangan seperti kemarin, masak ikan gurame," desis Inayah.
"Iya, kemarin itu Teteh lupa."
"Lupa terus, itu tandanya Teteh mau cepat-cepat nikah."
"Ah, kamu. Nikah sama siapa?" Erni mendelik ke arah Inayah.
"Ya, sama siapa saja yang Teteh suka."
Mendengar perkataan Inayah, Erni hanya tersenyum sembari geleng-geleng kepala.
Inayah langsung duduk berhadap-hadapan dengan Erni, dan langsung menikmati makan bersama.
Meskipun nakal dan keras kepala, Inayah tetap menganggap Erni sebagai kakaknya sendiri, karena semenjak dulu, hanya Erni yang banyak memberikan kasih sayang untuknya. Sementara kedua orang tuanya, hanya sibuk mengurus pekerjaan mereka.
***
Pukul tiga sore, telepon rumah berdering. Inayah tidak mau mengangkatnya, dia malas untuk keluar kamar. Sehingga suara dering telepon rumahnya itu dibiarkan begitu saja, dan terus berbunyi berulang-ulang, membuat gaduh telinga. Kemudian mati dengan sendirinya.
"Siapa, sih? Berisik banget!" gerutu Inayah merasa terganggu dengan suara dering telepon rumahnya.
Selang beberapa menit kemudian, suara dering telepon kembali terdengar. Inayah tidak beranjak dari tempat tidurnya dan tak mau mengangkat telepon tersebut. Ia hanya berteriak-teriak memanggil Erni.
''Teh Erni! Angkat teleponnya! Berisik!" teriak Inayah dari dalam kamar.
Setelah mendengar teriakan keras dari Inayah, Erni yang baru saja selesai melaksanakan Salat Asar bergegas keluar dari kamarnya dan langsung melangkah menuju ke ruang tengah. Erni pun langsung mengangkat telepon itu.
"Berisik banget, aku jadi tidak bisa tidur," gerutu Inayah bangkit dan langsung keluar dari dalam kamar.
Dengan raut wajah kusut, ia melangkah menuruni anak tangga menuju ke ruang tengah.
Setibanya di ruang tengah, Inayah langsung duduk di sofa mewah dengan kedua kaki terangkat. Sikapnya benar-benar tidak terpuji, dia meletakkan kedua kakinya di atas meja menjulur ke depan.
''Siapa sih, Teh?" tanya Inayah tampak kesal. "Berisik banget, sore-sore ganggu orang," sambung gadis itu ketus.
Erni menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab dengan lembut pertanyaan Inayah, "Dari bandara, Nay."
"Bandara!" Inayah menatap wajah Erni dengan kedua alis naik dan saling bertautan.
"Mau ngapain orang bandara telepon, Teh? Tidak ada kerjaan." Inayah melanjutkan perkataannya.
"Petugas bandara memberitahukan kabar tentang bapak dan ibu," jawab Erni pelan. Suara Erni terdengar sedikit bergetar.
Tubuhnya pun gemetaran, seketika wajahnya berubah pucat. Entah apa yang tengah dipikirkan Erni saat itu?
Inayah tidak peka terhadap sikap sang asisten rumah tangganya itu. Ia tidak mengetahui jika Erni pada saat itu sedang dalam kondisi shock ketika menerima telepon dari petugas bandara.
''Iya, ayah dan bunda memangnya kenapa, Teh?'' tanya Inayah tampak biasa-biasa saja sembari bersandar ke sofa.
Kecantikan wajahnya tidak senada dengan sikap dan perilakunya, ia bersikap seakan-akan tidak peduli dengan kedua orang tuanya. Inayah benar-benar tidak peka melihat sikap Erni yang berubah setelah menerima telepon dari petugas bandara.
''Pesawat yang bapak dan ibu tumpangi mengalami kecelakaan, Nay," jawab Erni suaranya datar hampir tidak terdengar.
Inayah tampak tercengang dan merasa kaget setelah mendengar jawaban Erni. "Sungguh? Teteh tidak sedang bercanda, 'kan?" tanya Inayah menatap tajam wajah Erni yang sudah terlihat memucat.
"Iya, Nay," jawab Erni, suaranya bergetar dan terdengar berat.
Seketika itu, jiwa dan perasaan gadis manja dan keras kepala itu guncang. Pandangannya mulai redup terhalang bulir bening yang perlahan menutupi bola matanya dan mengalir membasahi pipi.
"Tapi, ayah dan bunda baik-baik saja, 'kan, Teh?"
Usai memberitahukan Rafie, Fahmi dan kedua rekannya segera bersiap untuk mendatangi rumah yang dicurigai menjadi tempat disekapnya Lina. Mereka sangat yakin kalau Lina ada di rumah itu, sesuai dengan apa yang dilihat oleh Fahmi. "Aku sangat berharap tidak terjadi apa-apa dengan Lina," kata Fahmi lirih sembari mengemudikan mobilnya menuju ke sebuah komplek yang tidak jauh dari tempat mereka berkumpul tadi. "Aku yakin, pelakunya adalah Alex." Andra mulai menaruh kecurigaan terhadap Alex yang merupakan orang dekat Lina. Karena akhir-akhir ini, Alex sedang bermasalah dengan Lina, semua dipicu oleh sikap Lina yang sudah menolak pinangan Alex. "Jangan su'udzon dulu. Kita buktikan saja nanti!" sahut Riko. Andra menoleh ke arah Riko, kemudian berkata lagi, "Aku berkata seperti ini, karena aku mendengar sendiri bahwa Alex mengancam Lina," tandas Fahmi. Setibanya di persimpangan jalan yang dekat jembatan yang tembus ke pintu gerbang komplek yang dituju, Fahmi menghentikan laju mobilnya sej
Secara tidak langsung Inayah mempunyai tugas dan kepercayaan dari almarhum kedua orang tuanya untuk mengelola beberapa perusahaan peninggalan mereka. Mulai dari pengelolaan keuangan dan pemanfaatannya, Inayah yang harus mengurusnya. Karena Inayah merupakan putri semata wayang dari Almarhum Tommy dan Celly. Akan tetapi, setelah Erni paham dan mengerti dengan tatanan bisnis yang dikelola Inayah. Inayah pun langsung mempercayai Erni sepenuhnya dalam mengelola perusahaan peninggalan dari kedua orang tuanya itu. Saat itu, yang mengurus semuanya adalah Erni dengan dibantu beberapa staf kepercayaannya dan Inayah sudah jarang ikut campur, dan ia sangat percaya dengan kinerja Erni, karena selama ini Erni sudah dinilai baik dalam menjalankan tugas jujur dan amanah. Pukul setengah lima sore, Inayah hanya duduk santai bersama Fatimah dan Jubaedah di ruang tengah kediamannya itu. Rafie sore itu masih belum pulang, karena masih berada di lokasi pondok pesantren yang saat itu masih dalam tahap pe
Sebulan setelah itu, Rafie dan keluarga Tiara sudah menentukan hari pernikahannya dengan Tiara. Hal tersebut sudah sepenuhnya disetujui oleh Inayah yang merupakan istri pertama Rafie. Pukul setengah enam sore, Rafie sudah berada di kediamannya. Ia tampak murung dan merasa kurang bahagia sore itu. Entah apa yang membalut jiwa dan pikirannya saat itu? "Aa kenapa? Mau nikah kok malah murung seperti ini sih?" tanya Inayah duduk di sebelah suaminya. Rafie menoleh ke arah Inayah, kemudian memandang wajah istrinya. "Aa tidak dosa, 'kan kalau menikah lagi?" Rafie menjawab dengan sebuah pertanyaan. Inayah tersenyum sambil memandang wajah suaminya. "Tidak ada yang bisa dikatakan dosa. Ini semua sudah menjadi keputusan aku, dan jika Aa benar-benar mencintaiku. Maka penuhi permintaan ini!" kata Inayah tersenyum. Ucapan Inayah sungguh sulit dimengerti, hal itu membuat Rafie jatuh ke kubangan dilema besar. Entah apa lagi yang hendak ia perbuat saat itu, tidak ada niat untuk menolak. Bukan berar
Beberapa hari kemudian, Inayah mengajak Rafie untuk berkunjung ke rumah Tiara. Dalam rangka menengok Tiara yang saat itu baru saja pulang dari rumah sakit, setelah hampir satu Minggu ia dirawat. Tiara masih dalam proses pemulihan setelan dilakukan perawatan di rumah sakit, ia mengalami gangguan lambung akibat keseringan telat makan dan juga mengalami depresi yang sangat hebat. "A, nanti sore kita ke rumah Tiara yuk!" ajak Inayah lirih. Rafie hanya tersenyum, kemudian menganggukkan kepala sebagai tanda menyetujui ajakan dari istrinya. Lalu Inayah bangkit dan segera bersiap untuk melaksanakan makan siang bersama dengan suaminya. "Ayo, A. Kita makan dulu!" kata Inayah lembut. "Iya, Neng." Rafie segera bangkit dan langsung berjalan mengikuti langkah sang istri menuju ruang makan. "Bedah ... Teh Fatimah!" panggil Inayah. "Iya, Neng. Ada apa?" tanya Fatimah bersikap ramah di hadapan majikannya itu. Inayah tersenyum, lalu menjawab, "Kita makan bareng di sini. Sekalian ajak bedah!" "N
Pagi hari sekitar pukul 03:30, Inayah sudah terbangun dari tidurnya. "Masya Allah!" Inayah tampak kaget setelah sadar kalau suaminya sudah tidak ada di kamar, ia bangkit dan bergegas keluar. Inayah tampak khawatir, mengingat Rafie sedang dalam kondisi tidak sehat, Inayah mencari ke ruang tengah Rafie tidak ada di ruangan tersebut. Kemudian Inayah melangkah ke arah ruang Musala, tersenyumlah ia, ketika mendapati suaminya sedang berdzikir khusyu. "Alhamdulillah ...! Ya Allah, suami hamba sudah sembuh," ucap Inayah penuh rasa syukur. Bukan hanya Inayah dan Rafie saja yang sudah bangun, Fatimah dan Jubaedah pun saat itu sudah terbangun dari tidur mereka. "Neng, mau Teteh buatkan teh manis?" tanya Fatimah mengarah kepada Inayah. "Tidak usah, Teh. Aku mau mandi dulu, tanggung sebentar lagi subuh!" tolak Inayah halus. "Oh ... iya, Neng," kata Fatimah langsung menuju ruang dapur. Inayah pun langsung melangkah menuju kamar mandi dan segera membersihkan diri, bersiap untuk melaksanakan S
Kemudian, Icha langsung merapikan hijab. Ia bangkit dan langsung pamit kepada Inayah. Setelah mengucapkan salam, Icha langsung berlalu dari hadapan Inayah. Inayah hanya berdiri menatap mobil putih yang Icha kemudikan, melaju keluar dari halaman rumahnya. Setelah itu, Inayah bergegas masuk ke dalam untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Membuat desain dan merapikan data-data yang sudah dilaporkan oleh Erni. *** Malam harinya selesai Salat Magrib, Inayah dan suaminya langsung makan malam bersama. “Teh Erni pulangnya kapan, Neng?” tanya Rafie menatap wajah Inayah. “Kalau sedang makan tidak boleh berbicara!” ucap Inayah sedikit bergurau. "Oh, iya. Lupa ... maaf Bu Ustadzah," jawab Rafie tersenyum-senyum. Inayah hanya menganggukan kepala kemudian melanjutkan makannya. Selesai makan Inayah mendampingi suaminya yang sedang mengerjakan tugas kantor membantu dirinya. "Neng, bisa buatkan Aa kopi!" bisik Rafie menoleh ke arah Inayah yang duduk di sebelahnya. "Iya, A." Inayah bangkit da
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen