Inayah hanya diam menyimak apa yang diutarakan oleh Rangga. Kemudian Rangga mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, benda kecil berupa tasbih kayu berwarna hitam mengkilat.
“Ini buat kamu, Nay!” kata Rangga menyerahkan tasbih itu kepada Inayah.
“Masya Allah! Terima kasih, Ga,” jawab Inayah meraih tasbih dari tangan Rangga.
Inayah tampak terharu dengan hadiah yang diberikan oleh Rangga. Jarang sekali, seorang anak di zaman sekarang yang memberikan hadiah yang berkaitan dengan ibadah.
“Aku ingin berubah seperti kamu, Nay. Tolong bantu bimbing aku!” ucap Rangga lirih.
"Subhanallah!" bisik Inayah dalam hati.
Ia menghela napas dalam-dalam, sejatinya Inayah merasa kaget dan terharu dengan kalimat yang diucapkan Rangga saat itu.
Tentu sangat bertolak belakang dengan sikap Rangga yang selama ini dikenal sebagai seorang pemuda iseng, gemar hura-hura, dan selalu jahat kepada teman.
Oleh sebab itu, Inayah masih ragu dengan kalimat-kalimat yang telah diucapkan oleh Rangga. Namun, Inayah tetap bersikap bijak dan positif dalam menanggapinya.
'Semoga saja, Rangga benar-benar ingin merubah kehidupannya supaya lebih baik lagi dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang selama ini menyelimuti kehidupannya,' bisik Inayah dalam hati penuh dengan pengharapan.
“Tasbih ini akan menjadi saksi, atas ucapan-ucapanku ini Nay," kata Rangga sembari menghela napas dalam. "Simpan baik-baik ya Nay! Besok aku akan ke Purwakarta untuk belajar agama di sebuah pesantren yang dekat rumah pamanku!” sambung Rangga, tampak jelas dua bola matanya berkaca-kaca.
Inayah tersenyum lebar memandang wajah Rangga, kemudian berkata, "Asal kamu konsisten dan mempunyai niat yang sungguh-sungguh. Insya Allah! Dalam waktu singkat kamu akan berubah, dan mendapatkan ilmu agama sesuai keinginan kamu, Ga!" tandas Inayah penuh dukungan.
"Iya, Nay. Aku ingin membersihkan jiwa ini dari kotoran dosa masa laluku," desis Rangga suaranya terdengar berat, tanpa terasa air matanya menetes.
Seakan-akan pikiran Rangga kembali ke masa lalu yang ia jalani dengan penuh kemaksiatan.
Inayah hanya diam, terharu mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Rangga. Bagaikan sebuah mimpi, Rangga yang dulu Inayah kenal sebagai sosok pemuda yang arogan sombong dan usil, kini menangis di hadapannya menyesali segala keangkuhan dan kesombongannya.
'Semoga saja Rangga benar-benar mendapatkan hidayah dari Allah,' kata Inayah dalam hati, penuh harap agar Rangga bisa hijrah mengikuti jejaknya.
Saat itu, Rangga sudah bertekad hendak meninggalkan semua yang sudah menjadi kebiasaannya, hanya untuk memperdalam ilmu agama.
"Semoga Allah melapangkan niat baik kamu, Ga," ucap Inayah tersenyum memandang wajah Rangga.
"Insya Allah. Kamu doakan saja, supaya aku tetap istiqamah!" jawab Rangga tersenyum lebar memandang wajah Inayah.
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dihendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman,” (QS. Al An’am [6]:125).
Setelah menyerahkan tasbih kepada Inayah, Rangga langsung pamit dan berlalu dari hadapan Inayah.
Inayah terus berdiri menatap laju mobil warna putih yang dikemudikan oleh Rangga, perlahan melaju keluar dari halaman rumah mewah tersebut. Setelah itu, Inayah melangkah masuk ke dalam rumah.
Rangga berusaha mengambil sikap dan mencoba menempuh jalan hidup yang baru, semua itu mengingatkan Inayah kepada masa lalunya. Di mana Inayah pernah mengalami hal serupa seperti yang sekarang dialami oleh Rangga sahabatnya itu.
Malam harinya, Rangga kembali menelepon Inayah, ia memberi tahukan kepada Inayah bahwa besok pagi dirinya akan langsung berangkat ke Purwakarta. Inayah sebagai sahabat selalu berdoa untuk kebaikan Rangga.
"Semoga apa yang Rangga niatkan menjadi satu amalan kebaikan dan semakin dipermudahkan dalam menggapai hidayah Allah," ucap Inayah lirih.
Setelah itu, ia langsung bangkit dan segera melaksanakan Salat Isya berjamaah bersama Fatimah.
Di kediamannya, malam itu Inayah hanya berdua saja dengan Fatimah . Sementara Erni sedang pergi ke Rangkasbitung mengantarkan Riska pulang, karena orang tua Riska mengalami sakit keras dan sedang dirawat di rumah sakit.
“Maaf, Teh, boleh aku tanya sesuatu?” desis Inayah lirih mengawali pembicaraan.
“Silakan, Neng! Mau tanya tentang apa?” jawab Fatimah tersenyum menatap Inayah.
“Aku mau tanya tentang masalah jodoh yang baik, pria seperti apakah yang harus kita jadikan calon imam atau suami?" kata Inayah mengajukan pertanyaan kepada Fatimah yang duduk di sampingnya.
Kemudian, Fatimah menjawab lirih dan secara rinci pertanyaan yang diajukan oleh Inayah.
“Dalam pernikahan tidak hanya mengandalkan cinta saja. Banyak sekali faktor yang harus dipertimbangkan sebelum menentukan pilihan."
Fatimah terdiam sejenak, kemudian melanjutkan kembali perkataannya, "Pada dasarnya, tidak hanya pria yang memiliki impian untuk mempunyai istri yang baik ketika menikah nanti. Setiap wanita pun juga pasti memiliki impian yang sama, yaitu mempunyai suami yang baik ketika kelak menikah,” imbuh Fatimah menuturkan.
“Terus tipe pria yang seperti apakah yang menurut Agama Islam bisa dijadikan sebagai suami yang baik, Teh?” tanya Inayah lagi, pandangannya terus terarah ke wajah Fatimah.
“Yang pertama adalah pria yang beragama Islam. Kedua pria yang taat dalam beragama, seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi Muhammmad SAW yang artinya, “Bila datang seorang laki-laki yang kamu ridhoi agama dan akhlaknya, hendaklah kamu nikahkan dia, karena kalau engkau tidak mau menikahkannya, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.” (H.R. Tirmidzi dan Ahmad)
Kriteria yang ketiga adalah, seorang laki-laki yang senantiasa menjauhkan dirinya dari kemaksiatan. Karena apabila seseorang mendekati kemaksiatan maka biasanya orang tersebut akan cenderung melakukan kemaksiatan.
Oleh karena itu alangkah lebih baik bila seorang muslim menjauhi kemaksiatan. Seperti yang tertera pada firman Allah SWT yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah atas perintah Allah kepada mereka dan selalu taat pada apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahriim: 6).
Kriteria yang keempat adalah seorang laki-laki yang berasal dari keluarga baik-baik. Bukan hanya laki-laki yang menginginkan hal itu, namun seorang wanita pun pastilah menginginkan hal tersebut.
Lingkungan keluarga biasanya akan mencerminkan bagaimana kepribadian seseorang. Oleh karena itu sebelum memilih laki-laki cobalah untuk mengetahui bagaimana kehidupan keluarganya atau kamu bisa mencoba untuk mengakrabkan diri dengan keluarganya terlebih dahulu.
Kriteria yang ke lima adalah seorang laki-laki yang taat dan santun kepada kedua orang tua. Karena hal ini bisa menunjukkan bagaimana nantinya kepribadian seorang laki-laki setelah berumah tangga denganmu. Apabila iya taat dan santun kepada kedua orang tuanya khususnya ibunya maka dapat di pastikan bahwa laki-laki tersebut akan menghormatimu dan menyayangimu seperti ibunya sendiri. Seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi Muhammmad SAW yang artinya :
“Dari Mu’awiyah bin Jahimah, sesungguhnya Jahimah berkata: “Saya datang kepada Nabi SAW untuk meminta izin kepada beliau guna pergi berjihad, namun Nabi SAW bertanya:
“Apakah kamu masih punya Ibu-Bapak (yang tidak bisa mengurus dirinya)?”. Saya menjawab: “Masih” Beliau bersabda: “Uruslah mereka, karena surga ada di bawah telapak kaki mereka.”” (H.R. Thabarani, adapun ini adalah hadits Hasan (baik).
“Dari Ibnu Umar RA, ujarnya: “Rasulullah SAW bersabda: “Berbaktilah kepada orang tua kalian, niscaya kelak anak-anak kalian berbakti kepada kalian; dan periharalah kehormatan (istri-istri orang), niscaya kehormatan istri-istri kalian terpelihara.”” (H.R. Thabarani, adapun ini adalah hadits Hasan).
Kriteria yang keenam adalah seorang laki-laki yang mandiri dalam ekonomi. Maksud dari mandiri dalam berekonomi adalah seorang laki-laki yang sudah memiliki penghasilan sendiri.
Kriteria yang ke tujuh adalah seorang laki-laki berjiwa pemimpin. Seperti yang di syariatkan dalam Islam bahwa seorang insan harus bisa menjadi seorang khalifah minimal untuk dirinya sendiri. Sama halnya dalam berumah tangga.
Kriteria yang ke delapan adalah memiliki tanggung jawab.
Kriteria yang ke sembilan adalah seorang laki-laki yang berperilaku lemah lembut. Karena bagaimana pun kodrat seorang wanita selalu ingin diperhatikan dan di manja oleh seorang laki-laki yang ia cintai.
Kriteria yang kesepuluh adalah laki-laki yang suka berketurunan dan subur. Setiap mahkluk hidup pastilah berkeinginan untuk memiliki keturunan dan dengan memiliki keturunan maka hubungan keluarga akan terus terjalin.
Sebenarnya inilah yang membedakan Islam dengan agama lainnya. Dalam Islam diwajibkan untuk menikah dan bercampur apabila sudah waktunya sedangkan di agama lain membebaskan umatnya untuk tanpa pasangan dan tanpa keturunan sekalipun," ujar Fatimah menjawab pertanyaan Inayah secara detail.
Usai memberitahukan Rafie, Fahmi dan kedua rekannya segera bersiap untuk mendatangi rumah yang dicurigai menjadi tempat disekapnya Lina. Mereka sangat yakin kalau Lina ada di rumah itu, sesuai dengan apa yang dilihat oleh Fahmi. "Aku sangat berharap tidak terjadi apa-apa dengan Lina," kata Fahmi lirih sembari mengemudikan mobilnya menuju ke sebuah komplek yang tidak jauh dari tempat mereka berkumpul tadi. "Aku yakin, pelakunya adalah Alex." Andra mulai menaruh kecurigaan terhadap Alex yang merupakan orang dekat Lina. Karena akhir-akhir ini, Alex sedang bermasalah dengan Lina, semua dipicu oleh sikap Lina yang sudah menolak pinangan Alex. "Jangan su'udzon dulu. Kita buktikan saja nanti!" sahut Riko. Andra menoleh ke arah Riko, kemudian berkata lagi, "Aku berkata seperti ini, karena aku mendengar sendiri bahwa Alex mengancam Lina," tandas Fahmi. Setibanya di persimpangan jalan yang dekat jembatan yang tembus ke pintu gerbang komplek yang dituju, Fahmi menghentikan laju mobilnya sej
Secara tidak langsung Inayah mempunyai tugas dan kepercayaan dari almarhum kedua orang tuanya untuk mengelola beberapa perusahaan peninggalan mereka. Mulai dari pengelolaan keuangan dan pemanfaatannya, Inayah yang harus mengurusnya. Karena Inayah merupakan putri semata wayang dari Almarhum Tommy dan Celly. Akan tetapi, setelah Erni paham dan mengerti dengan tatanan bisnis yang dikelola Inayah. Inayah pun langsung mempercayai Erni sepenuhnya dalam mengelola perusahaan peninggalan dari kedua orang tuanya itu. Saat itu, yang mengurus semuanya adalah Erni dengan dibantu beberapa staf kepercayaannya dan Inayah sudah jarang ikut campur, dan ia sangat percaya dengan kinerja Erni, karena selama ini Erni sudah dinilai baik dalam menjalankan tugas jujur dan amanah. Pukul setengah lima sore, Inayah hanya duduk santai bersama Fatimah dan Jubaedah di ruang tengah kediamannya itu. Rafie sore itu masih belum pulang, karena masih berada di lokasi pondok pesantren yang saat itu masih dalam tahap pe
Sebulan setelah itu, Rafie dan keluarga Tiara sudah menentukan hari pernikahannya dengan Tiara. Hal tersebut sudah sepenuhnya disetujui oleh Inayah yang merupakan istri pertama Rafie. Pukul setengah enam sore, Rafie sudah berada di kediamannya. Ia tampak murung dan merasa kurang bahagia sore itu. Entah apa yang membalut jiwa dan pikirannya saat itu? "Aa kenapa? Mau nikah kok malah murung seperti ini sih?" tanya Inayah duduk di sebelah suaminya. Rafie menoleh ke arah Inayah, kemudian memandang wajah istrinya. "Aa tidak dosa, 'kan kalau menikah lagi?" Rafie menjawab dengan sebuah pertanyaan. Inayah tersenyum sambil memandang wajah suaminya. "Tidak ada yang bisa dikatakan dosa. Ini semua sudah menjadi keputusan aku, dan jika Aa benar-benar mencintaiku. Maka penuhi permintaan ini!" kata Inayah tersenyum. Ucapan Inayah sungguh sulit dimengerti, hal itu membuat Rafie jatuh ke kubangan dilema besar. Entah apa lagi yang hendak ia perbuat saat itu, tidak ada niat untuk menolak. Bukan berar
Beberapa hari kemudian, Inayah mengajak Rafie untuk berkunjung ke rumah Tiara. Dalam rangka menengok Tiara yang saat itu baru saja pulang dari rumah sakit, setelah hampir satu Minggu ia dirawat. Tiara masih dalam proses pemulihan setelan dilakukan perawatan di rumah sakit, ia mengalami gangguan lambung akibat keseringan telat makan dan juga mengalami depresi yang sangat hebat. "A, nanti sore kita ke rumah Tiara yuk!" ajak Inayah lirih. Rafie hanya tersenyum, kemudian menganggukkan kepala sebagai tanda menyetujui ajakan dari istrinya. Lalu Inayah bangkit dan segera bersiap untuk melaksanakan makan siang bersama dengan suaminya. "Ayo, A. Kita makan dulu!" kata Inayah lembut. "Iya, Neng." Rafie segera bangkit dan langsung berjalan mengikuti langkah sang istri menuju ruang makan. "Bedah ... Teh Fatimah!" panggil Inayah. "Iya, Neng. Ada apa?" tanya Fatimah bersikap ramah di hadapan majikannya itu. Inayah tersenyum, lalu menjawab, "Kita makan bareng di sini. Sekalian ajak bedah!" "N
Pagi hari sekitar pukul 03:30, Inayah sudah terbangun dari tidurnya. "Masya Allah!" Inayah tampak kaget setelah sadar kalau suaminya sudah tidak ada di kamar, ia bangkit dan bergegas keluar. Inayah tampak khawatir, mengingat Rafie sedang dalam kondisi tidak sehat, Inayah mencari ke ruang tengah Rafie tidak ada di ruangan tersebut. Kemudian Inayah melangkah ke arah ruang Musala, tersenyumlah ia, ketika mendapati suaminya sedang berdzikir khusyu. "Alhamdulillah ...! Ya Allah, suami hamba sudah sembuh," ucap Inayah penuh rasa syukur. Bukan hanya Inayah dan Rafie saja yang sudah bangun, Fatimah dan Jubaedah pun saat itu sudah terbangun dari tidur mereka. "Neng, mau Teteh buatkan teh manis?" tanya Fatimah mengarah kepada Inayah. "Tidak usah, Teh. Aku mau mandi dulu, tanggung sebentar lagi subuh!" tolak Inayah halus. "Oh ... iya, Neng," kata Fatimah langsung menuju ruang dapur. Inayah pun langsung melangkah menuju kamar mandi dan segera membersihkan diri, bersiap untuk melaksanakan S
Kemudian, Icha langsung merapikan hijab. Ia bangkit dan langsung pamit kepada Inayah. Setelah mengucapkan salam, Icha langsung berlalu dari hadapan Inayah. Inayah hanya berdiri menatap mobil putih yang Icha kemudikan, melaju keluar dari halaman rumahnya. Setelah itu, Inayah bergegas masuk ke dalam untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Membuat desain dan merapikan data-data yang sudah dilaporkan oleh Erni. *** Malam harinya selesai Salat Magrib, Inayah dan suaminya langsung makan malam bersama. “Teh Erni pulangnya kapan, Neng?” tanya Rafie menatap wajah Inayah. “Kalau sedang makan tidak boleh berbicara!” ucap Inayah sedikit bergurau. "Oh, iya. Lupa ... maaf Bu Ustadzah," jawab Rafie tersenyum-senyum. Inayah hanya menganggukan kepala kemudian melanjutkan makannya. Selesai makan Inayah mendampingi suaminya yang sedang mengerjakan tugas kantor membantu dirinya. "Neng, bisa buatkan Aa kopi!" bisik Rafie menoleh ke arah Inayah yang duduk di sebelahnya. "Iya, A." Inayah bangkit da
Inayah tersenyum dan menganggukkan kepalanya perlahan ia pun berkata dengan nada rendah. "Aku percaya A. Namun, jika ada rasa cinta dalam diri Aa terhadap Tiara sebaiknya Aa katakan saja! Percayalah ... jika niat Aa baik untuk menikahi Tiara, Inayah ikhlas kok, A!" ujar Inayah mengejutkan. Sejatinya, Inayah tidak merasa benci terhadap Tiara. Dia hanya khawatir Tiara akan berbuat nekat jika tidak berhasil bersanding dengan suaminya. Inayah sudah paham dengan sifat Tiara, ia tidak mau hijrahnya Tiara harus luntur karena merasa sakit hati tidak berhasil menikah dengan Rafie. Rafie tampak kaget dengan kalimat yang diucapkan oleh istrinya itu. Dengan segenap rasa penasaran, Rafie kemudian bertanya, "Maksud kamu apa, Neng?" Inayah hanya diam saja ketika mendengar pertanyaan suaminya. "Tidak sepantasnya kamu bicara seperti itu!" imbuh Rafie masih tetap lembut bertutur kata. Inayah tersenyum dan kembali berkata penuh dengan kebijaksanaan, "Aa tak seharusnya menjawab pertanyaanku sekaran
Pukul setengah sembilan, Rafie dan Inayah sudah berangkat ke tempat proyek pembangunan pondok pesantren. Sementara Erni, pagi itu sudah berada di kantor baru yang tidak jauh dari kediaman Inayah hanya berjarak beberapa meter saja, karena kantor tersebut berada tepat di depan halaman rumah. Dua puluh menit kemudian ... Inayah dan Rafie sudah berada di lokasi proyek. Tiara pun sudah tiba di lokasi proyek itu bersama Icha dan para donatur lainnya. Salah seorang arsitek didatangkan oleh Tiara untuk merancang bangunan pesantren tersebut, memang terkesan baik dan sangat dermawan sikap Tiara saat itu. Ia mendukung sepenuhnya proses pembangunan pondok pesantren tersebut. Meskipun, pada dasarnya ada kemauan yang tersimpan dalam pikiran Tiara dan niat kuat pula dalam benaknya. "Assalamualaikum, selamat pagi, Pak Ustadz," ucap pria paruh baya dengan mengenakan helm putih dan berkacamata hitam, menyapa lirih Rafie yang saat itu sedang duduk bersama istrinya. Rafie dan Inayah menjawab ucapan
Entah kenapa Icha menjadi benci seketika terhadap prilaku Tiara, yang berusaha memanfaatkan kedekatannya dengan Rafie dengan maksud dan tujuan untuk meraih simpati dari Rafie. Sepulang menemani Tiara dan Rafie, Icha langsung memberitahu Inayah tentang kedekatan Tiara yang menurut Icha ada sesuatunya, dan Icha sangat yakin kalau Tiara itu punya perasaan lebih terhadap Rafie bukan hanya dari sekadar persahabatan saja. "Kamu yakin, Cha?" tanya Inayah setelah mendengar laporan dari Icha. Dua bola matanya menatap tajam wajah Icha. Icha merupakan sahabat dekat Inayah sewaktu masih duduk di bangku SMA sama seperti Tiara dan juga Almarhum Rangga, dulu mereka sama-sama satu angkatan. "Masya Allah, Nay! Aku tidak mungkin bohong, aku bicarakan ini semua kepada kamu, karena aku tidak mau melihat kamu terluka," jawab Icha meyakinkan sahabatnya itu. "Terus, A Rafie sekarang ke mana?" tanya Inayah lagi. "Rafie pergi ke kantor cabang, katanya mau menemui Reno." Icha menjawab lirih pertanyaan Ina