"Untuk apa main-main ke luar? Lebih baik temani Ibu di rumah. Kalau Ibu ada apa-apa, siapa yang tahu?" ucap Emily, nadanya terdengar lebih serius sekarang. Kekhawatirannya akan kondisi ibunya di rumah memang sering menghantui pikirannya.
"Sudah-sudah. Muka kamu jadi jelek lagi tuh kalau terus marah-marah. Ingat waktu, jangan sampai kamu terlambat," ucap ibunya sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
Emily cemberut, tapi tidak bisa menahan senyumnya. "Iya, Bu. Kalau Ibu yang bilang, aku nggak bisa protes."
"Sudah, siap-siaplah. Jangan terlambat, Kak," ujar ibunya lagi, nada penuh perhatian itu membuat hati Emily terasa lebih ringan.
"Iya, Bu. Jangan lupa makan, ya. Aku tutup dulu, ya, Bu," pamit Emily, melambaikan tangan ke layar.
"Iya, Kakak. Jaga dirimu, ya," balas ibunya, senyum hangatnya masih terpancar hingga panggilan berakhir.
Emily menutup panggilan dan menghela napas panjang. Ia meletakkan ponselnya di meja dan memandangi wajahnya di cermin. Rasanya sedikit lebih tenang setelah mendengar suara ibunya. Ibu memang selalu punya cara untuk mengingatkannya bahwa ia tidak sendiri.
…
Emily memesan taksi online. Kota besar di jam sibuk memang tidak bersahabat, dengan kemacetan yang seolah tidak ada habisnya. Sepanjang perjalanan, ia hanya bisa berharap agar tiba di restoran tepat waktu.
Namun, setelah setengah jam berlalu, mobil yang ditumpanginya baru menempuh setengah perjalanan. Emily mulai gelisah.
"Masih lama, ya, Pak?" tanyanya cemas kepada sopir.
"Neng, kayak baru pertama kali aja ke kota ini. Jam segini emang lagi padet-padetnya," jawab pengemudi santai, tanpa menunjukkan tanda-tanda terburu-buru.
Lima menit berlalu, tetapi mobil masih saja terjebak di tempat yang sama. Emily mulai panik. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk turun dan mencari alternatif.
"Pak, saya turun di sini saja. Terima kasih!" ucapnya sambil membayar ongkos perjalanan.
Ia segera berjalan cepat menuju stasiun kereta terdekat. Meski kelelahan, Emily tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara agar ia bisa sampai tepat waktu. Lima menit kemudian, ia tiba di stasiun dan langsung naik kereta menuju lokasi yang lebih dekat dengan restoran.
Setibanya di stasiun tujuan, ia memesan ojek online. Beruntung, ojek datang dengan cepat, dan perjalanan ke restoran terasa jauh lebih lancar. Ketika akhirnya ia tiba, Emily melihat jam di ponselnya. Masih ada 10 menit sebelum waktu yang dijadwalkan.
"Syukurlah," gumam Emily lega. Namun, tubuhnya terasa lelah, dan ia memutuskan untuk pergi ke toilet untuk merapikan diri.
Di dalam toilet, Emily memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan akibat perjalanan tergesa-gesa. Ia juga menyegarkan wajahnya dengan sedikit semprotan face mist. Setelah merasa lebih siap, Emily mengecek ponselnya. Senyumnya langsung menghilang ketika melihat deretan panggilan tak terjawab dan belasan pesan dari manajernya, Boy, dan beberapa rekan kerja.
"Astaga! Kenapa mereka sudah mulai?" pikirnya panik.
Ia buru-buru membaca pesan terakhir dari Boy yang memberitahunya bahwa makan malam dimajukan.
Tanpa membuang waktu, Emily mengambil tasnya dan segera menuju ruangan VIP tempat makan malam berlangsung. Sesampainya di depan pintu, dengan napas yang masih tersengal-sengal karena tergesa-gesa, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
Ketika pintu terbuka, semua mata langsung tertuju padanya. Emily berusaha tersenyum tipis meskipun dadanya terasa sesak.
"Maafkan saya, saya tidak tahu bahwa acara makan malamnya dipercepat," ucapnya dengan kepala tertunduk.
"Tidak apa-apa, Emily. Duduklah," sambut Beni, asisten Mr. Whiteller, dengan senyum ramah.
Emily menunduk dan berjalan menuju kursi paling ujung. Namun, dalam keterburuannya, ia tidak menyadari bahwa seorang pelayan sedang membawa nampan berisi piring makanan di dekatnya.
Brukk... pranggg!
Suara pecahan piring bergema di seluruh ruangan. Semua orang terdiam. Piring dan makanan berserakan di lantai, potongan kaca menyebar ke segala arah. Emily terpaku di tempat, wajahnya memerah seketika.
"Ya Tuhan... maafkan aku... maaf..." gumam Emily, suaranya bergetar. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi.
Leni yang duduk tidak jauh dari tempat kejadian langsung berbisik dengan nada sinis. "Perempuan sembrono, pengacau... bikin malu saja," ucapnya pelan
Namun, suara Leni segera tenggelam oleh suara berat yang terdengar dari ujung meja.
"Tanganmu memerah. Pergilah ke kamar mandi dan siram dengan air dingin," ujar pria itu dengan nada tenang namun penuh otoritas.
Deg.
Emily mengangkat wajahnya perlahan, mencari sumber suara. Itu adalah Mr. Whiteller. Untuk pertama kalinya, ia mendengar suaranya—dalam, tenang, dan berwibawa. Emily merasa seolah waktu berhenti sejenak.
Beni segera mengambil alih situasi. "Leni, bisakah kau antarkan Emily? Dia terlihat sedikit syok."
"Baik, Pak," jawab Leni singkat, meskipun wajahnya menunjukkan ketidaksukaan.
Dengan kasar, Leni menarik tangan Emily dan membawanya keluar dari ruangan. Emily tidak melawan, tubuhnya terasa lemas. Hanya rasa malu yang memenuhi pikirannya. Di tengah perjalanan ke toilet, Leni mendesis dingin, "Dasar merepotkan."
…
"Kau nggak punya otak, Emily?!" bentak Leni dengan suara tajam begitu mereka tiba di toilet. Matanya menyala penuh kemarahan, dan suaranya bergema di ruangan yang sepi. "Kau tahu betapa susahnya meyakinkan perusahaan mereka untuk menggunakan jasa kita, hah? Sekarang kau bikin tim kita kelihatan ceroboh di depan mereka!"
Emily hanya bisa menunduk, menahan napas. Ia merasa lehernya seperti dicekik oleh rasa malu dan bersalah.
"Maaf, Kak," bisiknya pelan, hampir tidak terdengar di antara napasnya yang terputus-putus.
Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk meredakan amarah Leni. "Maaf?! Apa maafmu bisa memperbaiki semua ini, hah? Kalau sampai kejadian ini merusak hubungan kerja sama kita, habis kau, Emily!" Leni menuding tajam ke arahnya, seolah kemarahan itu adalah paku yang menghujam langsung ke hatinya.
Emily tidak berani mengangkat wajah, bahkan tidak sanggup membalas. Ia hanya berdiri kaku, membiarkan rasa bersalah menyelimuti dirinya.
Tanpa menunggu respons lebih lanjut, Leni mendengus kasar. Ia berbalik dan melangkah keluar dari toilet, membanting pintu hingga suaranya memantul di sepanjang lorong.
Emily tetap berdiri diam di tempatnya
…
Sementara itu, di dalam ruangan VIP, suasana mulai kembali tenang setelah para pelayan membersihkan kekacauan akibat insiden tadi. Leni duduk di kursinya, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya memulai percakapan dengan Beni, asisten pribadi Mr. Whiteller.
"Pak Beni," kata Leni dengan senyum tipis yang terkesan sopan. "Saya ingin meminta maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi tadi. Emily memang... pekerja keras, tapi kadang dia bisa sedikit ceroboh, terutama dalam situasi seperti ini."
"Kalau saya boleh jujur," Leni melanjutkan, suaranya sedikit diturunkan agar terdengar lebih pribadi, "Emily memiliki potensi, tapi... bagaimana ya, kadang dia membuat situasi menjadi sedikit... sulit bagi tim kami."
Beni mengangguk pelan, tapi tidak memberikan respons yang langsung mengiyakan. Tatapannya justru terlihat lebih tajam, seolah mencoba membaca maksud tersembunyi di balik kata-kata Leni.
Mereka duduk berdampingan, membiarkan keheningan membungkus mereka seperti selimut hangat. Hanya suara detik jam dan hembusan angin malam yang menemani. Sylvester memandangi Emily, seolah masih tak percaya bahwa wanita ini—yang telah melewati luka, kehilangan, dan bahaya—kini berada di sampingnya. Dan lebih dari itu, akan menjadi istrinya.Emily meletakkan cangkirnya di meja kecil di samping tempat tidur, lalu menyandarkan kepala di dada Sylvester."Kau selalu membuatku merasa dicintai," ucapnya pelan, "bahkan ketika dunia seolah menentang kita."Sylvester membelai pipi Emily, menyibakkan helai rambut yang menutupi wajahnya."Aku mencintaimu karena kau membuatku ingin menjadi pria yang lebih baik. Bukan hanya untuk diriku… tapi untukmu, dan untuk keluarga kecil kita."Emily menahan napas sejenak, lalu mengangguk dengan mata yang sedikit berkaca."Dan aku mencintaimu... karena kamu membuatku merasa seperti pulang."Sylvester membungkuk, mencium bibir Emily dengan lembut—sebuah ciuman y
Kembali di rumah sakit…Sylvester duduk di luar ruang tindakan, kepalanya tertunduk. Ketika dokter akhirnya keluar, wajahnya serius."Kondisinya stabil. janinnya lemah, tapi ada peluang bertahan jika tidak terjadi pendarahan lagi. Kami akan awasi 24 jam ke depan."Sylvester menghela napas, hampir roboh oleh lega dan ketakutan sekaligus.Ia masuk ke ruang rawat, duduk di samping Emily yang terbaring lemah namun sadar."Aku takut, Syl…" bisiknya pelan.Sylvester meraih tangannya dan mengecupnya lembut.…Beberapa jam telah berlalu…Langit di luar rumah sakit mulai cerah, pertanda pagi menjelang. Cahaya matahari yang lembut menembus tirai kamar rawat, membasuh wajah Emily yang kini tertidur tenang di ranjang.Di sampingnya, Sylvester masih duduk setia, matanya sembab namun kini lebih tenang. Ia belum beranjak sejak Emily masuk ke ruang perawatan.Pintu kamar terbuka pelan. Seorang dokter wanita masuk dengan tablet data di tangan, tersenyum ramah.“Tuan Sylvester?”Sylvester langsung berd
BRAK! BRAK!Tembakan terus meletus dari berbagai sudut rumah. Kayu-kayu pecah, dinding bergetar, dan debu berterbangan di udara. Asap tipis mulai memenuhi ruang tamu akibat granat asap yang dilemparkan.“ASAP!! DIA MAU KABUR!!” teriak Sylvester sambil menunduk, melindungi Emily yang memeluk perutnya erat-erat, ketakutan.Salah satu pria bertopeng menerobos masuk dari jendela samping. Ia berlari melintasi lorong menuju dapur sambil melepaskan tembakan ke segala arah. Tapi Sylvester sudah siap. Dengan gerakan cepat, ia berbalik, mengangkat pistol dan—DOR!!Pria itu terhempas ke belakang, menabrak dinding dan ambruk tanpa suara.“Satu lagi!” serunya.Dari atas, terdengar suara langkah kaki di lantai dua. Mereka tidak hanya menyerang dari bawah—mereka juga menguasai loteng.Sylvester menyambar senjata panjang yang disimpan di balik lemari dan mendorong Emily ke bawah meja dapur yang kini menjadi benteng
Sylvester dan Emily masih berdiri di tengah dapur yang porak-poranda, berusaha menenangkan diri setelah ketegangan barusan. Sylvester berjalan perlahan ke arah jendela depan, matanya menelusuri jalanan yang kini tampak lengang.Emily, yang masih gemetar, membungkuk memungut selimut yang tadi terjatuh dari sofa. Ia memeluknya erat, mencoba menenangkan napas yang masih tersengal."Kurasa mereka sudah pergi..." ujar Sylvester pelan, menoleh ke arah Emily.Namun sebelum Emily sempat menjawab—"Sayang sekali, kau salah menilai."Suara dingin dan tajam itu muncul dari lorong belakang.Emily membeku. Matanya membulat. Sylvester spontan meraih pistol yang baru saja ia letakkan di atas meja dan berbalik cepat.Di sana, berdiri seorang wanita berambut panjang, mengenakan gaun hitam dengan jaket kulit gelap. Wajahnya tenang, nyaris tanpa emosi, tapi matanya menyala dengan dendam yang dalam.Carol."Tidak perlu repot-repot menyelinap diam-diam, Sylvester," ucapnya sambil melangkah perlahan ke ten
Masih dalam keheningan malam, waktu merayap perlahan menuju dini hari. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 03.17. Udara dingin menusuk kulit, menyelusup lewat celah-celah jendela kayu rumah ibu Emily.Semua orang terjaga. Tidak ada yang tidur malam itu.Di ruang tengah, Emily duduk sambil memeluk tas kecil berisi dokumen penting. Perutnya yang masih rata sesekali dielus pelan. Wajahnya pucat, namun matanya penuh keteguhan. Di sampingnya, sang ibu menggenggam tangannya, seolah ingin mengukir kehangatan terakhir sebelum perpisahan.Sylvester sedang memastikan isi koper, membongkar dan memeriksa ulang satu per satu. Elio membantu, meski matanya masih berat oleh kantuk.Amore berdiri di dekat pintu. Hoodie-nya masih melekat erat di tubuh, dan di pinggangnya terselip alat komunikasi kecil. Ia tampak lebih tegang dari sebelumnya—matanya awas, sesekali melirik keluar lewat tirai jendela."Waktunya," katanya akhirnya.Semua orang bergerak cepat, tanpa suara. Amore membuka pintu perlahan. U
Tapi sebelum mereka bisa mencerna kejadian itu sepenuhnya, terdengar suara klakson panjang dari depan."TIITTTT—!"Sylvester mengerem mendadak. Tubuh mereka sedikit terlempar ke depan oleh hentakan sabuk pengaman."Ada apa?" seru Elio panik dari belakang.Di depan mereka, mobil hitam lain berhenti melintang, memblokir jalur sepenuhnya."Mereka bukan orang kita," desis Sylvester, matanya tajam penuh antisipasi.Emily menggenggam lengan Sylvester, gemetar."Kita terjebak?"Sylvester cepat berpikir. "Tidak kalau aku bisa putar balik."Ia memasukkan gigi mundur, bersiap memutar arah. Tapi suara mesin dari belakang kembali terdengar—mobil pengejar yang menabrak tadi kini sudah kembali stabil dan mulai melaju ke arah mereka."Mereka menjepit kita," Elio berseru, napasnya mulai cepat.Ibu Emily yang tadi diam mulai sadar dari tidurnya, menegakkan tubuh dan menatap sekitar."Apa yang terjadi?""Bu, pegang erat. Kita harus keluar dari sini," ujar Sylvester sambil melihat celah ke samping jalan
Setelah makan di tepi danau—ditemani semilir angin dan suara gemericik air—mereka berempat bersandar santai di atas tikar. Tawa dan percakapan ringan masih mengalir, sampai akhirnya langit mulai berubah warna menjadi jingga keemasan."Ayo kita beres-beres, udah sore," ucap Emily sambil mulai melipat taplak kecil bekas makan."Iya, nanti keburu gelap. Jalannya lumayan juga turun naik," sahut Elio sambil mengemasi botol minuman.Sylvester membantu membawa keranjang, sementara ibu Emily memeriksa kembali barang-barang mereka agar tidak ada yang tertinggal.Mereka mulai berjalan pulang melewati jalur setapak kecil yang lebih sepi dari sebelumnya. Angin berembus agak kencang, dan suasana hutan ringan di sekeliling mereka terasa sedikit lebih hening dari biasanya.Saat mereka mencapai tikungan kecil di tengah jalan, tiba-tiba Sylvester berhenti. Ia menajamkan pendengaran."Tunggu sebentar."Emily menatapnya dengan dahi berkerut."Kenapa?""Aku dengar sesuatu..." jawab Sylvester pelan, matan
Setelah sarapan selesai dan suasana hati sang ibu mulai mencair, Emily mencuci piring di dapur sambil bersenandung kecil. Sylvester membantu menyapu lantai, dan Elio yang baru bangun muncul dari kamarnya sambil meregangkan badan."Akhirnya weekend juga," gumam Elio sambil duduk di kursi ruang makan. "Kak, aku ada ide, gimana kalau kita jalan-jalan hari ini?"Emily menoleh sambil mengeringkan tangannya. "Kemana emangnya?""Ada tempat bagus di luar kota. Cuma satu jam naik mobil. Ada kebun teh dan air terjun kecil. Nggak terlalu ramai, jadi cocok buat refreshing." jelas Elio semangat. "Aku sering ke sana kalau lagi suntuk ngerjain tugas."Sylvester yang mendengar itu langsung tertarik. "Kedengarannya menyenangkan. Udara segar bisa bantu kita semua."Emily melirik ke arah ibunya, yang sedang duduk sambil membaca koran."Bu, Ibu ikut?"Sang ibu mendongak, tersenyum kecil. "Boleh juga. Lagipula kalian semua butuh udara segar. Tapi Ibu nggak ikut naik ke air terjun, ya. Ibu tunggu di bawah
Setelah sarapan selesai dan suasana hati sang ibu mulai mencair, Emily mencuci piring di dapur sambil bersenandung kecil. Sylvester membantu menyapu lantai, dan Elio yang baru bangun muncul dari kamarnya sambil meregangkan badan."Akhirnya weekend juga," gumam Elio sambil duduk di kursi ruang makan. "Kak, aku ada ide, gimana kalau kita jalan-jalan hari ini?"Emily menoleh sambil mengeringkan tangannya. "Kemana emangnya?""Ada tempat bagus di luar kota. Cuma satu jam naik mobil. Ada kebun teh dan air terjun kecil. Nggak terlalu ramai, jadi cocok buat refreshing." jelas Elio semangat. "Aku sering ke sana kalau lagi suntuk ngerjain tugas."Sylvester yang mendengar itu langsung tertarik. "Kedengarannya menyenangkan. Udara segar bisa bantu kita semua."Emily melirik ke arah ibunya, yang sedang duduk sambil membaca koran."Bu, Ibu ikut?"Sang ibu mendongak, tersenyum kecil. "Boleh juga. Lagipula kalian semua butuh udara segar. Tapi Ibu nggak ikut naik ke air terjun, ya. Ibu tunggu di bawah