Riska memandangku dengan tajam. Tangannya terlipat di dada dengan bibir ditekuk. Napasnya naik turun, tapi saat berbicara masih halus terdengar. Dia berusaha menahan diri. Padahal aku tahu itu ... marah.
"Jujur! Darimana Mas kenal dengan mereka?"
Aku terdiam seperti biasa. Bukankah laki-laki harus begitu jika menghadapi wanita yang sedang marah? Agar tak terjadi luapan emosi yang semakin meledak.
"Aku minta penjelasan. Dari awal ketemu Tante Sinta di butik, aku udah curiga. Kenapa dia bisa kenal Mas? Bahkan tau kebiasaan mas," lanjutnya.
Riska mencecarku dengan banyak pertanyaan dan aku masih menatapnya dengan hati gamang. Aku menjadi serba salah, jika berkata jujur maka semua akan terbongkar. Aku tak mau kehilangan dia, bahkan tak sanggup hidup lagi jika sampai itu terjadi.
"Jawab, Mas. Apa kamu punya masa lalu yang masih disimpan dan aku belum tahu?" cecarnya.
Lagi, bibir ini bungkam. Sulit untuk mengatakan kebenaran. Masa laluku adalah ai
Semua mata menatap kami dengan heran, lalu bisik-bisik kembali terdengar. Aku merangkul Riska untuk saling menguatkan. Jemari kami bertautan dengan erat seolah tak ingin dipisahkan."Jadi ... selama ini yang gak subur itu Mas Rahman?" tanya Dina setengah tak percaya. Selama ini dialah yang ngotot memojokkan kakak iparnya karena sakit hati."Iya. Ini hasil tes rumah sakit."Aku mengeluarkan selembar kertas hasil pemeriksaan dari saku dan menyodorkannya. Dina meraihnya dengan cepat, lalu bergantian dengan Ibu dan keluarga yang lain.Aku kembali menatap Riska sembari tersenyum. Akhirnya rasa bersalah kepadanya kini lepas sudah. Aku tak ingin Riska disudutkan terus menerus oleh mereka."Sudah. Sudah. Jangan dibahas lagi."Tiba-tiba saja mamanya Riska mengambil kertas itu lalu menyimpannya di tas. Beliau mengalihkan pembicaraan dengan menceritakan hal lain agar kami tak membahas itu lagi.Acara selesai. Satu per satu keluarga berpamitan pu
"Kebakaran! Kebakaran!"Suara teriakan warga sekitar menggema bersamaan dengan sirine mobil Damkar yang melintasi keramaian.Kulihat para petugas berseragam jingga itu bergegas turun sembari sibuk menarik selang yang akan menyemburkan air. Mereka berteriak, saling memberikan perintah agar api yang sedang berkobar dapat segera dipadamkan.Aku terpaku dengan tangan gemetaran di depan bengkel. Bangunan kokoh yang selama ini menjadi tempat mencari rezeki itu kini lenyap dalam sekejap.Untungnya tidak ada korban jiwa karena terjadi di malam hari saat bengkel sudah tutup. Diduga, korsleting listrik adalah penyebab utamanya."Sabar, Pak," ucap salah seorang karyawan sembari menepuk bahuku.Dialah yang memberitahu karena tinggal di dekat situ. Aku terbangun di tengah malam karena sebuah telepon yang mengabari kejadian ini. Kutinggalkan Riska yang kebingungan dan bergegas menuju ke sini."Semangat saya hilang bersama dengan hancurnya ban
Aku menghela napas setelah Sinta pergi dan memintanya datang kembali untuk bertemu dengan Riska esok hari. Untunglah dia tak berani berulah selama di butik, karena aku mengancam akan mencekik lehernya jika sampai berbuat nekat."Tadi ada tamu?" tanya Riska saat kembali setelah makan siang.Aku sendiri memesan makanan online untuk makan siang dan beberapa karyawaan butik. Sepertinya besok aku tidak akan datang ke sini, mengingat cukup bahaya jika sampai bertemu dengan 'ular' itu lagi."Sinta. Katanya mau pesen baju lagi. Entah buat apa aku gak tanya," jawabku santai saat menemui Riska di depan.Aku sudah selesai menyortir kain dan itu terasa membosankan karena tidak ada tantangannya sama sekali. Berbeda dengan bengkel yang membuatku lebih 'hidup' saat mengerjakannya."Iya, Bu. Tadi Ibu Sinta datang, terus Bapak terima di ruang belakang."Aku tersentak mendengarnya. Secara bersamaan kami menoleh ke arah karyawan yang mengatakan itu tadi. Aku m
Hari ini aku bergegas ke rumah sakit hendak menemui Fredy untuk bertanya perihal foto-foto itu. Aku menyesal mengapa kemarin tidak mengambil itu dari tasnya.Riska berangkat ke butik pagi-pagi karena ada janji temu dengan Sinta. Untunglah dia mengerti bahwa aku tak bisa membantu menyortir kain, setelah kuceritakan kejadian di rumah sakit kemarin.Mobil kulajukan dengan kecepatan tinggi karena mengejar waktu. Begitu tiba di sana, aku langsung menuju kamar tempat Fredy dirawat."Hai, Bro. Udah sehat?" sapaku ramah.Aku berniat menggali semua informasi sehingga memilih berpura-pura tidak tahu. Kemunculan Sinta yang tiba-tiba, kebakaran bengkel, dan pertemuan tak sengaja dengan Fredy yang terjadi dalam waktu dekat, membuat prasangka di hati ini semakin menjadi-jadi."Lebih baikan. Thanks Bro karena udah bawa aku ke sini. Kalau gak, mungkin aku udah lewat," ucapnya sembari tersenyum.Aku memulai perbincangan agar suasana mencair dan tidak k
Aku mengerjap berulang kali, lalu merasakan sakit di kepala yang begitu hebat. Pandanganku tampak samar dan buram, bersamaan dengan nyeri yang menyerang di beberapa bagian tubuh."Rahman. Kamu sudah sadar, Le?"Sayup-sayup kudengar suara lembut itu berbisik di telinga. Perlahan kutatap wajah sayu di sebelahku dengan penuh haru. Ada air yang menetes di kedua sudut matanya. Isaknya yang tadi lirih kini semakin jelas terdengar."Bu," ucapku pelan."Alhamdulillah kamu sadar."Ibu memelukku dengan erat bersamaan dengan tangis yang semakin menjadi. Aku mengangkat tangan dan menepuk punggungnya."Jangan banyak gerak. Kamu harus istirahat."Aku mengangguk, lalu kembali merasakan nyeri di kepala. Lalu, secara samar-samar, semua kejadian melintas di benak. Mulai dari kedatanganku ke camp, pertemuan dengan Fredy hingga perkelahian itu."Riska mana, Bu?" tanyaku saat tak melihatnya di ruangan ini."Dia di depan," jawab Ibu.
Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi menuju kediaman mertua. Tadi pagi aku pulang diboncengi suami Dina dan mendapati rumah kosong. Pikirku, Riska pasti sudah berada di butik karena katanya sedang direnovasi.Sayangnya, butik juga kosong. Aku mencoba menelepon Riska tetapi nomornya tidak aktif. Rasa khawatir berkecamuk di benak, takut terjadi sesuatu kepadanya."Assalamualaikum," kuketuk pintu rumah megah itu karena bel yang kutekan berulang kali sama sekali tak membuahkan hasil.Awalnya kupikir rumah ini kosong karena penghuninya sedang keluar. Namun, ketika melihat di garasi ada tiga mobil berderet, itu berarti mereka ada di dalam."Assalamualaikum." Kuketuk sekali lagi dengan cukup keras, hingga pintu terbuka."Eh ada Mas Rahman," ucap salah seorang pengurus rumah menyapaku."Mbak Riska?""Non Riska gak ada di sini," ucapnya gugup."Itu mobilnya ada di garasi," kataku menyudutkan. Aku tahu dia berbohong, entah siapa yang
Ini hari ketujuh aku berdiam diri di rumah dan merenungi nasib. Tidak ada kabar dari Riska, bahkan nomornya tidak aktif. Berulang kali aku datang ke tumah orang tuanya, tetapi diusir dan malah diancam oleh petugas keamanan.Aku juga mencoba menelepon Ibu, tetapi diabaikan. Sepertinya beliau begitu terpukul dengan kejaian ini. Hanya Dina yang masih menghubungi dan menanyakan kabarku.Aku tak tahu harus berbuat apa saat ini, hanya mondar-mandir tanpa tujuan. Setiap hari aku datang ke butik, berharap pintu bangunan itu terbuka sehingga bisa menemui Riska. Sayangnya, di kaca depannya masih tertulis kata 'closed' dengan pagar yang digembok.Tabunganku mulai menipis, sementara kebutuhan hidup terus berlanjut. Akhirnya, aku nekat mencari pekerjaan, apa saja asalkan bisa menyambung hidup. Ijazahku masih tersimpan di lemari, tetapi usiaku sepertinya sudah tak memungkinkan untuk bekerja kantoran. Sempat terpikir untuk menjual mobil ini tetapi niatku urung.Tanah be
"Saya mau ketemu Bapak Panji," ucapku saat bertandang ke sebuah kantor pemerintahan yang terletak di tengah kota."Maaf, tapi Bapak sedang ada rapat. Apa bisa menunggu?" tanya seorang resepsionis sembari menatapku lekat."Berapa lama?""Satu jam lagi sepertinya."Aku duduk di sofa lobi dengan gelisah sembari berdoa agar papa mertuaku mau bertemu. Setiap kali aku datang ke rumahnya, mamanya Riska selalu mengusirku dengan tameng security.Aku tak tahu bagaimana perasaan Riska ketika kami berpisah karena tak ada komunikasi sama sekali. Apakah dia juga merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan? Rindu yang begitu menggebu hingga memenuhi rongga hati dan ingin membuncah tak terkendali.Tiga puluh menit berlalu dan aku masih menunggu, menatap ponsel dengan gamang dan mencoba menelepon Riska. Ada banyak cara yang aku lakukan untuk berjumpa, salah satunya menghubungi karyawan butik dan hasilnya nihil.Mereka mengatakan tidak tahu apa-ap