Riska meletakkan sebuah undangan mewah berwarna abu-abu dengan pita gold berhiaskan mutiara di meja, saat aku sedang mencatat beberapa keperluan bengkel yang akan dibeli.
"Apa ini?" tanyaku sembari meletakkan pulpen. Bau harum seketika menguar saat kubuka bungkusnya.
"Itu acara nikahannya keponakan Tante Sinta. Dia ngundang kita, Mas. Katanya, keluarga mereka pengen kenalan sama desainernya," jelas Riska saat duduk di sebelahku. Lengannya melingkar di pinggang dengan erat, sehingga membuatku ingin memanjakannya saat ini juga.
"Loh, bukannya waktu ukur baju mereka datang semua?" tanyaku lagi.
Aku membuka dan membaca isinya, melihat nama kedua mempelai, lalu kaget saat mendapati siapa saja yang menjadi tamu kehormatan. Nama beberapa pejabat dan pengusaha penting di kota ini tercantum di sana.
Acara akad nikahnya akan berlangsung di masjid raya, sedangkan resepsi di sebuah gedung besar. Keluarga Sinta pastilah kaya sehingga mengadakan pesta semewah ini. Pantas saja jodohnya pun seorang pejabat, sepadan. Aku yakin di masa gadisnya, wanita itu cukup menarik. Sayang, kemewahan yang milikinya harus dibayar dengan rumah tangga yang hambar.
"Yang perempuan iya. Tapi yang laki-laki gak. Pokoknya Tante Sinta bawa kertas yang udah ada ukuran terus dikasihkan ke aku. Gitu aja."
Riska melepaskan rengkuhannya, lalu duduk di lantai dan mulai membuka bungkus kain yang baru datang. Istriku mengeceknya satu per satu, memastikan semua dalam kondisi bagus. Jika ada yang cacat, maka dia akan mengembalikannya ke pabrik. Butiknya memang sangat menjaga kualitas karena harga yang dipatok cukup tinggi.
"Jadi kita datang, nih?"
"Iyalah, Mas. Mana tau nanti keluarga mereka jadi pelanggan butik aku. Lumayan, kan? Pandemi gini banyak usaha yang sepi. Aku malah rame karena direkomendasiin sama Tante Sinta."
Riska tersenyum senang. Tangannya masih memilah-milah kain, menggabungkan beberapa warna yang senada. Satin, sutra, sifon, jersey entah apa lagi nama-nama jenis kain yang sering dia sebutkan.
Aku tak terlalu mengerti, hanya mengiyakan jika dia bercerita. Sama seperti Riska yang tak akan paham apa itu mur, baut, macam-macam kunci, juga peralatan bengkel lainnya.
"Kalau kamu pergi sendiri aja, gimana? Mas kayaknya ada keperluan di bengkel," elakku, masih mencoba untuk tidak ikut karena malas.
Riska menghentikan aktivitasnya, lalu menatapku lekat. Itu membuat aku jadi tak enak hati.
"Jangan, dong. Mas ini kok tega banget sama aku," rajuknya. Bibirnya mengerucut, sehingga aku menjadi tidak tega.
Kutarik napas panjang. Ini bagaikan simalakama. Jika aku pergi maka akan bertemu lagi dengan Sinta. Jika tidak, maka istriku yang akan kecewa.
Aku menatap Riska dengan gamang. Dalam hati berdoa semoga nanti di acara itu, Sinta tidak akan berulah jika memang aku harus datang.
"Berdiri, Mas. Aku mau cocokkan ini sama kamu." Riska menarik tanganku kemudian meletakkan sebuah kain berwarna biru di bahu. Dia terlihat menimbang sesuatu, entah apa.
"Ini gak kamu bawa ke butik?" Aku menunjuk setumpuk kain yang diletakkan di lantai. Biasanya semua barang-barang butik tidak dia bawa ke rumah, tetapi akan langsung dikirim ke sana.
"Mau jahit baju couple dulu buat kita pergi ke acara nikahan itu, Mas. Pilih mana yang mas suka warnanya. Nanti aku jahit."
Kali ini Riska meletakkan kain berwarna abu-abu di bahuku, kemudian menimbang lagi.
"Kayak abege aja pake baju couple. Gak usahlah. Mas pake batik. Cukup," tolakku halus.
Riska menepuk dadaku, yang langsung kusambut dengan menggenggam erat jemarinya.
"Biarin. Aku kan pengen juga kayak pasangan yang lain. Pake seragaman gitu." Dia mengedipkan mata dan mencoba merayu. Jika sudah begini, aku jadi gemas dibuatnya, kepingin cium.
"Terserah kamu aja kalau begitu. Mas ngikut."
Aku pasrah ketika warna-warna yang lain dicobakan ke tubuhku. Dia masih saja membolak-balik kain yang sama, kemudian menukarnya lagi. Begitu terus hingga setengah jam berlalu.
Biru, abu-abu, hitam, cokelat, krem, begitulah gumaman Riska sejak tadi. Sepertinya dia kebingungan.hendak memutuskan karena dirasa bagus semua.
"Sudah abu-abu saja. Itu bagus," saranku saat dia masih belum berhenti memilih.
Wanita memang repot jika mengurus hal-hal seperti ini. Padahal kaum kami tidak terlalu mempermasalahkannya.
"Tapi bukannya mas suka warna biru?" Mata cantik itu mendelik, sehingga aku semakin gregetan dibuatnya.
"Aku lebih suka kamu."
Kutarik dia ke kamar dan membiarkan setumpuk kain itu tergeletak di lantai ruang tamu.
***
Hari pernikahan itu tiba. Kami memakai baju couple berwarna cokelat yang dikombinasi dengan batik jawa sehingga terlihat apik. Istriku memang pintar mendesain. Aku acungkan empat jempol untuknya.
Jangan kalian tanya kenapa setelah perdebatan antara warna biru atau abu-abu, justru warna cokelat yang dipilih. Wanita, kadang-kadang memang membingungkan.
Kami memasuki gedung resepsi dengan santai sambil bergandengan tangan. Pestanya benar-benar mewah, dari souvenir, dekorasi panggung juga ruangan. Makanan yang sajikan berlimpah ruah sehingga memanjakan lidah para tamu undangan.
Keluarga Riska termasuk yang berada, tetapi pesta pernikahan kami dulu tak semewah ini.
"Duduk sebelah sana aja, Mas."
Riska menunjuk sebuah meja bundar di depan. Aku mengikutinya. Saat mata ini melihat ada Sinta dan keluarganya berada tak jauh dari situ, kutarik lengan istriku dan berjalan menjauh menuju meja yang ada di sudut.
"Kenapa?" tanya Riska heran.
"Rame. Di sini aja, lebih enak," jawabku beralasan.
Untunglah dia menurut. Kamipun makan dengan tenang sambil berbincang banyak hal. Biasanya mengenai perkembangan butik. Aku sendiri tak terlalu suka jika membicarakan urusan bengkel kepadanya.
Saat kami sedang asyik makan, tiba-tiba saja ....
"Wah, kalian datang juga."
Sebuah suara mengagetkanku. Ketika menoleh, tampaklah Sinta yang tersenyum lalu menarik kursi dan duduk didekat kami.
"Tante cantik banget. Kebayanya pas, ya," puji istriku.
Ya, Sinta memang cantik, dengan sanggul mini di kepala. Aku bahkan sempat tercengang karena dandanannya begitu natural.
"Iya, dong. Kamu emang pinter desainnya. Makanya keluarga Tante pengen ketemu."
Mereka asyik bicara berdua, sementara aku hanya menyimak sambil melanjutkan makan. Aku tak pernah tertarik dengan pembicaraan wanita yang bisa panjang dari A sampai Z.
"Rahman kok diem?"
Aku menoleh saat Sinta menegurku.
"Laper," jawabku singkat.
"Ih, sekarang kamu makannya banyak, ya. Dulu seingat Tante gak segitu."
Sinta melirik piring makanku yang penuh. Sejak menikah dengan Riska, porsi makan memang bertambah dua kali lipat. Mungkin karena sudah ada istri, jadi ada yang mengurus sehingga aku menjadi lebih tenang.
"Mas Rahman makannya emang banyak, Tante. Maklum nguli di bengkel," jawab istriku.
Selamat. Untung saja Riska menjawab, jadi aku tak perlu repot-repot berbicara dengan Sinta.
"Eh, bentar. Tante ke sana dulu." Dia berdiri dan berjalan menjauhi kami.
Alhamdulillah, ucapku dalam hati. Untung saja tidak lama disini. Bisa mati kutu dibuatnya. Aku kembali berbincang dengan Riska dan menghabiskan sisa makanan. Setelah selesai, kami memutuskan untuk berpamitan pulang.
Kami menyalami kedua mempelai dan ikut berfoto atas permintaan Sinta, lalu dikenalkan kepada keluarga mereka. Riska terlihat sangat senang dan tertawa ketika menyalami mereka satu per satu. Aku mengikutinya, hanya sekedar berbasa-basi.
"Tante, makasih ya. Aku tunggu orderan berikutnya," ucap istriku. Lalu, mereka berpelukan erat.
Kami hendak keluar gedung, saat tiba-tiba saja serombongan wanita datang menghampiri. Wajahku langsung memucat, ingin menghindar tapi tak sempat. Apalagi Sinta malah mengajak mereka ikut berbicara.
"Ini Rahman, kan?"
"Eh, iya. Ini Rahman."
"Kok, sekarang beda? Makin ganteng."
"Gak nyangka bisa ketemu di sini lagi."
Aku membuang pandangan, apalagi ketika Riska mentapku tajam. Wajahnya yang tadi ceria berubah masam.
"Tante-tante ini kok kenal sama suami saya?" tanya Riska dengan senyum yang dibuat-buat.
"Dulu kan sering nongkrong sama kita. Inget gak Rahman?" kata salah seorang di antara mereka.
Riska mengernyitkan dahi, mencoba meminta penjelasan kepadaku. Namun, lidah ini kelu sehingga tak mampu menjawab.
"Rahman sombong sekarang. Lupa sama kita." Kali ini Sinta yang berbicara dengan senyum kemenangan yang melengkung di bibirnya.
Kutatap Sinta dengan tajam. Rasanya ingin kucekik leher putihnya agar jangan berkata apa pun.
Riska memandangku dengan tajam. Tangannya terlipat di dada dengan bibir ditekuk. Napasnya naik turun, tapi saat berbicara masih halus terdengar. Dia berusaha menahan diri. Padahal aku tahu itu ... marah."Jujur! Darimana Mas kenal dengan mereka?"Aku terdiam seperti biasa. Bukankah laki-laki harus begitu jika menghadapi wanita yang sedang marah? Agar tak terjadi luapan emosi yang semakin meledak."Aku minta penjelasan. Dari awal ketemu Tante Sinta di butik, aku udah curiga. Kenapa dia bisa kenal Mas? Bahkan tau kebiasaan mas," lanjutnya.Riska mencecarku dengan banyak pertanyaan dan aku masih menatapnya dengan hati gamang. Aku menjadi serba salah, jika berkata jujur maka semua akan terbongkar. Aku tak mau kehilangan dia, bahkan tak sanggup hidup lagi jika sampai itu terjadi."Jawab, Mas. Apa kamu punya masa lalu yang masih disimpan dan aku belum tahu?" cecarnya.Lagi, bibir ini bungkam. Sulit untuk mengatakan kebenaran. Masa laluku adalah ai
Semua mata menatap kami dengan heran, lalu bisik-bisik kembali terdengar. Aku merangkul Riska untuk saling menguatkan. Jemari kami bertautan dengan erat seolah tak ingin dipisahkan."Jadi ... selama ini yang gak subur itu Mas Rahman?" tanya Dina setengah tak percaya. Selama ini dialah yang ngotot memojokkan kakak iparnya karena sakit hati."Iya. Ini hasil tes rumah sakit."Aku mengeluarkan selembar kertas hasil pemeriksaan dari saku dan menyodorkannya. Dina meraihnya dengan cepat, lalu bergantian dengan Ibu dan keluarga yang lain.Aku kembali menatap Riska sembari tersenyum. Akhirnya rasa bersalah kepadanya kini lepas sudah. Aku tak ingin Riska disudutkan terus menerus oleh mereka."Sudah. Sudah. Jangan dibahas lagi."Tiba-tiba saja mamanya Riska mengambil kertas itu lalu menyimpannya di tas. Beliau mengalihkan pembicaraan dengan menceritakan hal lain agar kami tak membahas itu lagi.Acara selesai. Satu per satu keluarga berpamitan pu
"Kebakaran! Kebakaran!"Suara teriakan warga sekitar menggema bersamaan dengan sirine mobil Damkar yang melintasi keramaian.Kulihat para petugas berseragam jingga itu bergegas turun sembari sibuk menarik selang yang akan menyemburkan air. Mereka berteriak, saling memberikan perintah agar api yang sedang berkobar dapat segera dipadamkan.Aku terpaku dengan tangan gemetaran di depan bengkel. Bangunan kokoh yang selama ini menjadi tempat mencari rezeki itu kini lenyap dalam sekejap.Untungnya tidak ada korban jiwa karena terjadi di malam hari saat bengkel sudah tutup. Diduga, korsleting listrik adalah penyebab utamanya."Sabar, Pak," ucap salah seorang karyawan sembari menepuk bahuku.Dialah yang memberitahu karena tinggal di dekat situ. Aku terbangun di tengah malam karena sebuah telepon yang mengabari kejadian ini. Kutinggalkan Riska yang kebingungan dan bergegas menuju ke sini."Semangat saya hilang bersama dengan hancurnya ban
Aku menghela napas setelah Sinta pergi dan memintanya datang kembali untuk bertemu dengan Riska esok hari. Untunglah dia tak berani berulah selama di butik, karena aku mengancam akan mencekik lehernya jika sampai berbuat nekat."Tadi ada tamu?" tanya Riska saat kembali setelah makan siang.Aku sendiri memesan makanan online untuk makan siang dan beberapa karyawaan butik. Sepertinya besok aku tidak akan datang ke sini, mengingat cukup bahaya jika sampai bertemu dengan 'ular' itu lagi."Sinta. Katanya mau pesen baju lagi. Entah buat apa aku gak tanya," jawabku santai saat menemui Riska di depan.Aku sudah selesai menyortir kain dan itu terasa membosankan karena tidak ada tantangannya sama sekali. Berbeda dengan bengkel yang membuatku lebih 'hidup' saat mengerjakannya."Iya, Bu. Tadi Ibu Sinta datang, terus Bapak terima di ruang belakang."Aku tersentak mendengarnya. Secara bersamaan kami menoleh ke arah karyawan yang mengatakan itu tadi. Aku m
Hari ini aku bergegas ke rumah sakit hendak menemui Fredy untuk bertanya perihal foto-foto itu. Aku menyesal mengapa kemarin tidak mengambil itu dari tasnya.Riska berangkat ke butik pagi-pagi karena ada janji temu dengan Sinta. Untunglah dia mengerti bahwa aku tak bisa membantu menyortir kain, setelah kuceritakan kejadian di rumah sakit kemarin.Mobil kulajukan dengan kecepatan tinggi karena mengejar waktu. Begitu tiba di sana, aku langsung menuju kamar tempat Fredy dirawat."Hai, Bro. Udah sehat?" sapaku ramah.Aku berniat menggali semua informasi sehingga memilih berpura-pura tidak tahu. Kemunculan Sinta yang tiba-tiba, kebakaran bengkel, dan pertemuan tak sengaja dengan Fredy yang terjadi dalam waktu dekat, membuat prasangka di hati ini semakin menjadi-jadi."Lebih baikan. Thanks Bro karena udah bawa aku ke sini. Kalau gak, mungkin aku udah lewat," ucapnya sembari tersenyum.Aku memulai perbincangan agar suasana mencair dan tidak k
Aku mengerjap berulang kali, lalu merasakan sakit di kepala yang begitu hebat. Pandanganku tampak samar dan buram, bersamaan dengan nyeri yang menyerang di beberapa bagian tubuh."Rahman. Kamu sudah sadar, Le?"Sayup-sayup kudengar suara lembut itu berbisik di telinga. Perlahan kutatap wajah sayu di sebelahku dengan penuh haru. Ada air yang menetes di kedua sudut matanya. Isaknya yang tadi lirih kini semakin jelas terdengar."Bu," ucapku pelan."Alhamdulillah kamu sadar."Ibu memelukku dengan erat bersamaan dengan tangis yang semakin menjadi. Aku mengangkat tangan dan menepuk punggungnya."Jangan banyak gerak. Kamu harus istirahat."Aku mengangguk, lalu kembali merasakan nyeri di kepala. Lalu, secara samar-samar, semua kejadian melintas di benak. Mulai dari kedatanganku ke camp, pertemuan dengan Fredy hingga perkelahian itu."Riska mana, Bu?" tanyaku saat tak melihatnya di ruangan ini."Dia di depan," jawab Ibu.
Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi menuju kediaman mertua. Tadi pagi aku pulang diboncengi suami Dina dan mendapati rumah kosong. Pikirku, Riska pasti sudah berada di butik karena katanya sedang direnovasi.Sayangnya, butik juga kosong. Aku mencoba menelepon Riska tetapi nomornya tidak aktif. Rasa khawatir berkecamuk di benak, takut terjadi sesuatu kepadanya."Assalamualaikum," kuketuk pintu rumah megah itu karena bel yang kutekan berulang kali sama sekali tak membuahkan hasil.Awalnya kupikir rumah ini kosong karena penghuninya sedang keluar. Namun, ketika melihat di garasi ada tiga mobil berderet, itu berarti mereka ada di dalam."Assalamualaikum." Kuketuk sekali lagi dengan cukup keras, hingga pintu terbuka."Eh ada Mas Rahman," ucap salah seorang pengurus rumah menyapaku."Mbak Riska?""Non Riska gak ada di sini," ucapnya gugup."Itu mobilnya ada di garasi," kataku menyudutkan. Aku tahu dia berbohong, entah siapa yang
Ini hari ketujuh aku berdiam diri di rumah dan merenungi nasib. Tidak ada kabar dari Riska, bahkan nomornya tidak aktif. Berulang kali aku datang ke tumah orang tuanya, tetapi diusir dan malah diancam oleh petugas keamanan.Aku juga mencoba menelepon Ibu, tetapi diabaikan. Sepertinya beliau begitu terpukul dengan kejaian ini. Hanya Dina yang masih menghubungi dan menanyakan kabarku.Aku tak tahu harus berbuat apa saat ini, hanya mondar-mandir tanpa tujuan. Setiap hari aku datang ke butik, berharap pintu bangunan itu terbuka sehingga bisa menemui Riska. Sayangnya, di kaca depannya masih tertulis kata 'closed' dengan pagar yang digembok.Tabunganku mulai menipis, sementara kebutuhan hidup terus berlanjut. Akhirnya, aku nekat mencari pekerjaan, apa saja asalkan bisa menyambung hidup. Ijazahku masih tersimpan di lemari, tetapi usiaku sepertinya sudah tak memungkinkan untuk bekerja kantoran. Sempat terpikir untuk menjual mobil ini tetapi niatku urung.Tanah be