Share

Malam yang Suram

Di dalam sebuah mobil box, terdapat empat orang tanpa kata tanpa suara. Dua orang penjahat yang diborgol serta dua orang polisi yang memakai jas. 

Tanpa disadari oleh polisi itu, salah seorang penjahat diam-diam melepaskan borgol yang membelenggu tangannya dengan kunci rahasia yang ia siapkan di lengan baju.

Segera setelah borgol terlepas penjahat berbadan tegap, berkulit hitam dan berkepala botak itu menyerang salah satu polisi di depannya. Ia memukul dan menendang polisi itu.

Melihat temannya tersungkur, polisi yang satu lagi mengambil pistol di dalam jasnya, namun penjahat tersebut berusaha mengambilnya dan terjadilah perebutan.

Kedua tangan mereka saling menahan pistol tersebut. Polisi menodongkan ke arah penjahat, namun penjahat tersebut menahannya dan membelokkan ke arah lain. Pelatuk pistol itu pun tertarik dan meletus ke arah begian depan mobil.

Mobil oleng ke kiri dan ke kanan sampai kemudian terguling berkali-kali. Rupanya peluru pistol tersebut mengenai polisi di depan yang mengendarai mobil tersebut.

"Hayo, lagi nonton apa?" 

"Ah, tante ngagetin aja!" 

Segera wanita sintal itu sudah duduk di sampingku kemudian ia mematikan televisi yang tengah asik kutonton itu. 

"Loh, kok dimatiin, Tan?!"

Tante Silvi hanya tersenyum, kemudian ia menarik daguku dan mengarahkan pandanganku ke wajahnya. Akhirnya perbuatan itu pun kami lakukan tanpa merasa berdosa. 

Sepuluh menit kemudian pintu rumahku yang tak dikunci itu bersuara sangat keras. Seseorang menendangnya yang mengagetkan aku dan tante Silvi yang tengah berperaduan. 

Kulihat tiga orang berbadan tegap dengan tato nyaris mengisi seluruh tangan mereka, bergerak cepat ke arah kami. Aku segera memakai pakaian kemudian berteriak keras ke arah mereka. 

"Siapa, kalian!" Mataku membola sempurna. 

Tanpa menjawab, salah seorang dari mereka langsung menghantam wajahku dengan bogem besarnya. Aku tersungkur, hampir saja kepalaku mengenai ujung meja. 

Belum sampai aku bangkit, mereka menyergapku dan seketika mengeroyokku dan menyarangkan pukulan bertubi-tubi ke arah wajah, badan dan bagian tubuhku yang lain. 

Tante Silvi berteriak histeris. Ia berusaha melerai setelah memakai pakaiannya, namun salah seorang di antara mereka menahan tante Silvi namun tak sampai melukainya. 

Kurasa kini tubuh dan wajahku sudah tak berbentuk. Darah bercucuran di pelipis, mulut dan hidungku. 

Bergegas mereka membawaku ke dalam mobil yang sudah terparkir di depan rumah. 

Kudengar suara kendaraan roda empat itu sudah siap jalan, rupanya sudah ada sopirnya stand by, pasti dia adalah bagian dari komplotan orang tak dikenal itu. 

Aku yang sudah setengah sadar itu melihat tante Silvi berusaha mengejar dan mengetuk-ngetuk kaca mobil dan mencoba menghentikan lajunya. Namun setelah itu pandanganku tiba-tiba terasa gelap, sangat sakit kepalaku yang dipopor oleh benda keras dari arah samping. 

"Mas, kok malah bengong, sih!" Suara Hana membuyarkan memori masa laluku yang tetiba hadir di kepala. 

"Hmmh ..., Hana, lebih baik kita habiskan dulu makanan dan minuman ini, ya ... nanti aku ceritakan deh. Lihat, Han, indah banget ya lampu-lampu itu!" 

Kualihkan perhatian Hana dengan menunjuk ke arah jejeran lampu-lampu seperti gemintang di langit yang berasal dari rumah-rumah yang terletak di bawah sana. Memang lampu yang terlihat dari kejauhan itu sangat indah sehingga Hana pun tersenyum melihatnya. 

Semoga Hana tak menanyakan terus masalahku dengan tante Silvi. Kudekap tubuh istriku ditengah suasana yang sangat dingin itu sambil menikmati kudapan yang ada. 

Kini di benak dan dadaku hampir tak tersisa lagi kegalauan tentang keyakinanku akan sudah tak perawanannya Hana di malam pertama itu, aku lebih sibuk menutupi masa laluku di hadapan Hana. 

Apa jadinya jika ia harus tahu secepat ini, apalagi tadi sempat bertemu langsung dengan kekasih gelapku itu. 

Malam sudah berganti pagi, tepatnya pukul 01:30 dini hari, hampir dua jam penuh aku dan Hana menikmati indahnya malam. Karena udara terasa sangat dingin kami memutuskan kembali ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan menuruni jalur puncak menuju arah pulang. 

Kulaju perlahan saja mobil sewaan itu. Kulirik wajah Hana tampak sudah tak securiga tadi. Ia lebih memilih menikmati perjalanan dengan pemandangan malam yang indah itu. 

Beberapa rombongan keluarga yang sedang week end yang selesai menikmati kudapan di warung-warung pinggir jalan itu mulai bergerak, sama sepertiku, menuju arah menurun.  

Tampak di depan sudah ada tiga mini bus, sepertinya mereka adalah keluarga kecil yang sedang berlibur. Entah mereka akan pulang ke rumah sepertiku atau bergerak menuju penginapan masing-masing di kawasan Puncak Bogor yang terkenal sangat banyak penginapan dengan berbagai fasilitas dan harga yang berbeda-beda.

Jarak dengan mobil di depanku cukup jauh, sekitar tujuh meteran. Begitupun jarak mobil tersebut dengan mobil yang ada di depannya. 

Sampailah kami pada turunan yang cukup tajam, alangkah terkejutnya, tiba-tiba sangat terasa hantaman dari arah belakang ke mobil yang kami tumpangi tersebut. 

"Ya Allah, Mas!" Hana berteriak histeris. 

Aku tak sempat menengok keadaan di belakang mobil melalui kaca spion,  perhatianku hanya pada bagaimana agar laju mobil yang tiba-tiba kencang karena dorongan dari arah belakang, tepatnya dari arah atasku karena kemiringan jalan sangat curam itu bisa segera berhenti. 

Namun karena beban dari belakang sangat besar yang belakangan kuketahui itu adalah truk pembawa material entah apakah pasir atau yang lainnya untuk perbaikan jalan yang longsor, pedal rem yang sudah sedari tadi aku injak kini tak berfungsi. Rem mobil Avanza tersebut blong. 

"Ya Allah!" 

"Mas, awaaas!" Hana semakin panik. 

Aku tak bisa mengendalikan laju mobil. Jarak dengan minibus di depanku semakin dekat dan kemudian bunyi benturan yang sangat keras terdengar ditelingaku dan tentunya Hana istriku. Bukan saja hanya memekikan telinga, pecahan kaca depan begitu sakit menyayat dahi dan bagian tubuhku yang lain. 

Astagfirullah ... kepalaku sakit sekali. Organ vitalku itu membentur stir mobil yang tak mengeluarkan balon pengaman. Sayup-sayup kudengar suara orang-orang mendekati lokasi kecelakaan itu. Terasa hangat wajahku oleh darah yang mengalir deras dari bagian kepala ini. Hana ... aku mulai mengingat Hana yang duduk di sampingku sedari tadi. Apakah dia baik-baik saja. Kucoba sekuat tenaga bangun dari posisiku yang sudah terjepit bagian depan mobil yang sepertinya sudah ringsek akibat benturan tadi. 

Ya, Allah, susah sekali kepalaku tegak, berat rasanya hanya sekedar mengengok ke sebelah kiri ke arah tempat duduk istriku itu. 

"Pak, tolongin Bapak ini, dia terjepit!" teriak seseorang memanggil orang-orang yang sibuk mengevakuasi korban tabrakan beruntun itu, suaranya jelas sekali karena ia tampak berdiri di sebelah pintu mobil yang kukendarai. 

Aku terus berusaha menjaga kesadaranku walau pandangan mulai kabur, mungkin akibat banyak darah yang keluar. 

"Hana, bagaimana keadaan kamu, Han?!" jerit hatiku di saat tubuhku kaku dan mulutku kelu. 

Akhirnya aku bisa menegakkan kepalaku sedikit, dan kutengok ke arah kiri. Alangkah terkejutnya aku, Hana tak ada di sebelahku.

"Ya, Allah, Hana ... di mana kamu, Sayang?!" gumamku. 

Tetiba pandanganku gelap, dan tubuhku lunglai, tak ada satu pun cahaya masuk ke netraku.  Ah... mungkin saatnya aku mati. 

"Ya Allah, selamatkan Hana!" pinta batinku sebelum aku benar-benar tak sadar dengan sekelilingku. 

Bersambung. 

Yuk bantu follow akun Bang Mansur dan tekan tanda hati. Jangan lupa komentar nya ya, Bunda, Ayah, Mas, Mbak. Semangatkan author dong. Please!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status