Share

Mencari Hana

Hana! Dimana Hana?!

Kutengok kiri kanan tak ada sosok yang kucintai itu.

Maafkan aku, Han. Seharusnya aku jujur padamu, dan tak perlu panik menghindari tante Silvi. Karena kebodohanku, kini kamu menderita. Kecelakaan itu pasti menyiksamu, Sayang! 

Tapi, kamu sekarang ada di mana istriku?!

Aku berlari menyusuri lorong Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bogor itu dan segera masuk ke ruang ICU, mungkin Hana ada di sana.

Kini aku berdiri di sebuah ruangan penuh dengan selang dan perangkat komputer yang mengeluarkan bunyi khas, monitor dengan angka-angka yang berubah naik turun, lampu ruangan yang terang dengan sekelilingnya berwarna serba putih. 

Kulihat seorang wanita berjilbab tengah duduk dan kedua tangannya menggenggam tangan seseorang yang tak sadarkan diri di atas kasur ruang ICU. 

Tubuh lelaki itu dipenuhi dengan selang dan kabel penghubung ke perangkat komputer pengontrol kondisi kesehatan jantung dan organ penting lainnya. 

Astaga, itu Hana! Sedang apa dia di sana. Apakah dia baik-baik saja setelah kejadian kecelakaan tadi? Mengapa dia tampak sangat bersedih dengan keadaan lelaki itu? Atau jangan-jangan lelaki itu adalah kekasih gelapnya yang sudah merenggut keperawanannya itu? Ah, lebih baik aku pastikan saja. 

Kulangkahkan kaki lebih cepat menuju Hana. Setelah posisiku sudah tepat di belakangnya, mataku terbelalak. Alangkah terkejutnya aku melihat sosok lelaki yang dalam keadaan tak sadarkan diri itu adalah diriku sendiri. 

"Ya Allah, itu kan aku. Kenapa dengan diriku? Lantas apakah ini arwahku, oh tidak, apa mungkin aku sudah mati? Ya Allah!" 

Dalam keadaan panik tersebut kupanggil Hana dengan suara keras, namun tak ada respon sedikit pun dari istriku itu.

"Astagfirullah, apakah aku benar-benar sudah mati?"

Kucoba merengkuh bahu Hana yang ada di depanku. Namun aku tak bisa menyentuhnya sama sekali. Kucoba lagi meraih tangannya, lagi-lagi gagal dan tanganku tak kuasa memegangnya. 

Kepanikanku semakin menjadi, kucoba menyentuh barang yang ada di dekatku, ternyata benar, aku mungkin sudah mati, tak ada benda apapun yang bisa kupegang. 

"Ya Allah, apa sebenarnya yang terjadi?" 

"Mas, maafkan aku, Mas. Kamu harus sembuh, Sayang!" suara Hana begitu menyayat hatiku.

Kutatap wajah sedih Hana yang berhiaskan perban dan plester di sana sini, pasti dia pun mengalami benturan yang keras. 

"Kamu harus hidup, Sayang! Kamu nggak boleh mati, Maaas! Kita baru saja menikmati bulan madu, sayang!" isak tangis yang begitu dalam keluar dari bibir merah jambu tanpa lipstik itu. 

"Hana, dengarkan aku, Han. Aku akan hidup, Sayang, aku akan membahagiakan kamu, Han!" teriakku kencang tepat di mukanya, siapa tahu dengan begitu Hana menyadari keberadaanku.

Namun lagi-lagi usahaku gagal dan Hana kembali meraih tanganku yang terkulai serta menciuminya bertubi-tubi. Air matanya mengalir deras hingga mata lentik itu kini sembab. Kubelai kepala istriku yang berjilbab unggu muda yang sudah bernoda darah itu, mungkin itu bekas lukanya akibat kecelakaan tadi, namun tetap saja, belaian itu tak berpengaruh apapun. 

Belum usai Hana menciumi tanganku, tiba-tiba tubuhku kejang-kejang. Hana berteriak meminta bantuan. 

"Dokter! Suster! Tolong suami saya, dokter!"

Sejurus kemudian dokter pun sudah hadir bersama dua orang perawat. Mereka segera menangani tubuhku yang mengalami kondisi kritis itu. Hana sudah diminta untuk keluar ruangan. Kini aku menyaksikan tubuh kakuku kejang-kejang sangat mengerikan dan mendapat perlakuan yang seharusnya oleh tim medis. 

"Ya Allah, jangan mati dulu ya Allah, aku masih banyak dosa!"

Sepuluh menit kemudian alhamdulillah masa kritisku berlalu. Dokter dan perawat sudah kembali ke posnya masing-masing dan Hana pun sudah diminta untuk menemaniku. 

Waktu sudah hampir subuh. Hana terlihat sangat lelah, ia tertidur di samping tubuhku dengan tangan yang masih menggenggam jemari itu.

"Istirahatlah, Sayang! Aku akan baik-baik saja, Han."

Tiga puluh menit kemudian seorang perawat menghampiri Hana dan mengatakan bahwa di luar ada dua orang yang menunggu. Pasti itu adalah Abah dan Umi. 

Kuikuti langkah Hana menuju ruang tunggu. Di sana sudah ada seorang wanita dan seorang lelaki yang sebaya dengan Hana. Rupanya bukan Abah dan Umi. Siapa mereka ya? Apa mungkin mereka teman-teman Hana? 

Kulihat wanita itu memeluk tubuh Hana dan mengelus-elus pundak istriku itu. Kudekati mereka dan terdengar jelas kalimat dukungan moril dari wanita yang dipanggil Indah oleh Hana tersebut.

"Sabar ya, Han. Semoga suamimu segera pulih!" Hana hanya menangis tanpa bisa berucap sepatah katapun. 

"Sayang, minta tolong ambilkan air mineral di tasku, ya!" pinta Indah kepada lelaki itu yang tampaknya adalah suami atau pacarnya.

Lelaki itu pun memberikan air mineral tersebut kemudian Hana diminta meminumnya sebagai penenang dari kesedihan hati. 

Indah memeluk Hana dengan erat. Tanpa suara, ia memberikan kekuatannya kepada istriku yang mungkin perasaannya sedang berkeping itu. 

"Han, ayah ibumu sudah kamu kabari belum kejadian ini?" tanya Indah. Hana mengangguk. 

"Beliau berdua sedang dalam perjalanan ke sini, Ndah," ujarnya lemas. 

"Mertuamu?"

"Aku belum berani mengabarkan ibu mertuaku di kampung. Mungkin nanti setelah orang tuaku datang, Ndah."

Ya Allah, ibu! Pasti beliau sangat bersedih jika melihat aku dalam keadaan seperti itu. 

"Jangan, Han. Ibu enggak usah kamu kabari, nanti saja kalau aku sudah sembuh!" ucapku tepat di telinga Hana. Namun tetap saja ia tak mendengar teriakanku itu. 

Beberapa menit kemudian, datang seorang laki-laki berbadan tegap, berkulit putih dan berkacamata agak gelap menghampiri kami berempat, tepatnya mereka bertiga, karena kehadiranku di sini hanya bayang-bayang tak kasat mata.

Kulihat ketika lelaki itu mengucapkan salam, mata Hana membola sempurna. Tampak ia sangat terkejut dengan kedatangan lelaki itu. 

"Mas Bowo!" ucap Hana tercekat. 

Siapa orang ini? Kenapa Hana sangat terkejut? Kenapa Indah juga tampak grogi setelah Hana berbisik kepadanya... "Kenapa dia bisa ada di sini, Ndah?"

"Maafin aku, Han ... terpaksa Bayu kabarin Bowo karena akhir-akhir ini dia nanyain kabar kamu terus, Han," ucap Indah sedikit menunduk.

"Kamu kan tahu masalahku dengan Mas Bowo, Ndah!"

"Sorry, Han ...."

Ya Allah, apa lagi ini ... dalam kondisi jasadku kritis seperti ini, Engkau persaksikan arwah penasaranku menyaksikan adegan yang menyayat hati ini. Pasti lelaki tampan itu pacar Hana, atau paling tidak mantannya yang ingin kembali meraih cinta istriku itu. Atau jangan-jangan dialah perenggut kehormatan Hana! 

"Tolong, Hana ... jangan tinggalkan aku, Sayang! Abaikan saja lelaki itu ... aku tahu, kamu adalah istriku yang setia, Han ... jangan khianati aku, Sayang!" Sekuat tenaga kuucapkan permohonan kepada istriku itu tepat di telinganya. 

Hana tampak panik. Kegusarannya sangat kentara.

"Aku turut prihatin dengan kecelakaan yang kalian alami, Han!" ucap cowok brewok tipis itu. 

Hana tak menjawab dan berusaha memalingkan mukanya. 

"Maafkan aku, Han!" Bowo menelungkupkan kedua tangannya di depan dada. 

Hana bergeser dan membelakangi ketiga orang itu. Kemudian istriku mendekati Indah dan berbisik. 

"Hidupku sudah tenang, Ndah ... aku mohon ... jangan tambah bebanku dengan kehadiran Mas Bowo dalam kehidupanku. Tolong ya, Ndah!"

Tanpa menunggu jawaban Indah, Hana meninggalkan ketiga orang yang dikenalnya itu. Ia masuk kembali ke ruang ICU dengan wajah tertekuk. 

"Terimakasih, Han, kamu setia kepadaku!" gumam arwahku bahagia. 

Bersambung. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status