Share

balai desa

Penulis: Dens_pekalongan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-19 09:21:08

Pagi itu ayam jago belum habis berkokok, tapi suara Bu Sumi, ibunya Arman, sudah lebih nyaring daripada toa masjid.

“Man! Bangun, Man! Jangan kayak iler di bantal kamu! Nempel terus di bantal!” teriaknya dari dapur sambil menyiapkan kopi.

Arman menggeliat malas di ranjang. Matanya masih berat, tetapi kepalanya dipenuhi ingatan semalam–suara-suara aneh serta bisikan yang terasa dekat sekali di telinganya.

“Ibu, orang tidur itu butuh ketenangan. Jangan nyamain aku sama iler, iler mah nggak punya perasaan!” sahut Arman setengah teriak.

Bu Sumi nyelonong masuk ke kamar sambil melotot, tapi ujung bibirnya hampir tersenyum. “Perasaanmu itu paling cuma ke bantal, Man. Sama orang nggak pernah serius.”

Arman bangkit, duduk di tepi ranjang sembari mengacak-acak rambut. “Ibu, aku semalam denger suara aneh lagi. Serius ini. Kayak ada orang bisik-bisik di ruang tamu.”

Bu Sumi terdiam sejenak. Wajahnya yang tadinya santai berubah agak kaku. Ia cepat-cepat menyembunyikan ekspresi itu dengan menaruh gelas kopi ke meja.

“Ah, itu paling cuma tikus lewat, atau angin malam.”

Arman menatap tajam. “Kalau angin, masa bisa bilang ‘tolong’?”

Sunyi. Hanya suara sendok beradu dengan cangkir yang terdengar.

Bu Sumi menghela napas panjang, lalu berkata lirih, “Man, nanti habis sarapan, kau pergi ke balai desa, ya, biar bicara sama Pak Lurah. Dia lebih ngerti soal hal-hal begitu.”

Arman mengangkat alis. “Lho, jadi ibu percaya? Tadi katanya tikus.”

Wanita paruh baya itu langsung melemparkan tatapan maut pada putranya. “Jangan banyak bacot. Makan dulu, urusan itu nanti dibicarakan di balai desa. Di situ ada tetua-tetua kampung, mereka tahu semua cerita lama.”

Arman nyengir kecut, “Wih, ini serius nih. Berarti kampung ini bukan cuma punya nasi uduk terkenal, tapi juga punya edisi spesial arwah gentayangan.”

Wanita berusia 55 tahun itu tak tahan dan akhirnya menepuk kepala putranya dengan sendok sayur.

“Jangan sembarangan ngomong, nanti makin jadi!"

Arman akhirnya menurut. Setelah sarapan, ia melangkah ke luar rumah. Udara pagi desa masih segar, meski di baliknya ada rasa dingin yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Di jalan, ia bertemu Pak Dul, tetangga sebelah rumah yang terkenal cerewet.

“Woi, Arman! Pulang kampung, ya? Hati-hati, Man. Katanya rumahmu itu sering ada tamu malam-malam.”

Arman meringis. “Iya, Pak. Tamu yang nggak pernah kasih salam.”

Pak Dul tergelak. “Kalau tamu nggak kelihatan, kasih aja sandal jepit. Paling lari dia.”

Arman menepuk jidat. “Kalau dia malah balikin pake kepala ayam, gimana?”

Mereka berdua tertawa sebentar, tetapi seketika tawa padam ketika pandangan Pak Dul menunduk dan suaranya mengecil, “Jangan bercanda soal itu, Man. Ada hal-hal yang memang nggak bisa kita jelasin.”

Arman menelan ludah. Ia mulai sadar, apa yang semalam didengarnya mungkin memang punya akar dari sesuatu yang lebih kelam.

Beberapa puluh menit kemudian, Arman tiba di balai desa. Di sana sudah berkumpul beberapa orang tua kampung. Termasuk Pak Lurah dan Mbah Sastro, tetua tertua yang dikenal sering jadi rujukan soal hal-hal mistis.

Pak Lurah pun menyambut ketika melihat pemuda itu sampai. “Arman, duduklah. Kami sudah dengar dari cerita ibumu soal semalam.”

Arman langsung menyela. “Kalau begitu, tolong jelaskan ke saya, Pak. Apa sebenarnya yang terjadi di rumah itu? Kenapa selalu ada suara-suara?”

Mbah Sastro menatapnya lekat-lekat. Matanya redup, tapi menusuk dalam. “Suara itu bukan tanpa sebab. Api yang dulu membakar rumah lama itu, tidak pernah padam dengan tenang.”

Arman merinding. “Maksudnya bagaimana, Mbah? Api, kan, padam karena pemadam kebakaran datang.”

Mbah Sastro menggeleng pelan. “Bukan api yang kau lihat dengan mata, Nak, tapi api dendam.”

Balai desa itu mendadak hening. Angin berdesir lewat jendela, membuat tirai tipis berkibar tak menentu. Semua mata tertuju pada Mbah Sastro yang duduk bersila dengan tangan yang menggenggam tongkat kayu tua.

Arman menelan ludah.

“Api dendam? Apa maksudnya? Mbah, jangan bikin saya tambah pusing.”

Mbah Sastro menghela napas panjang. Suaranya berat, tetapi intonasinya begitu jelas.

“Dua puluh tahun lalu rumah itu terbakar. Semua orang di sini tahu, tapi ada juga yang tidak tahu dan terjebak di dalamnya. Mereka tidak sempat keluar.”

Arman merinding. “Jadi, ada korban jiwa?”

Pak Lurah menunduk, wajahnya mendadak suram. “Benar. Seorang wanita muda dan anaknya. Orang bilang mereka meninggal karena kehabisan napas, tapi ada bisik-bisik lain yang beredar, bahwa kebakaran itu bukan musibah biasa.”

“Maksudnya dibakar orang?” Arman menyipitkan mata.

Tak ada yang menjawab langsung. Hanya bunyi kursi berderit saat seorang bapak tua bergeser gelisah.

Mbah Sastro pun akhirnya membuka suara pelan, “Arwah yang mati tidak wajar, tidak akan pergi dengan tenang, Nak. Mereka akan mencari, menuntut, dan rumahmu ....” Pria tua itu menatap Arman tajam. "Adalah pusara yang tak kasat mata.”

Arman mengangkat kedua tangannya, mencoba menolak dengan bercanda.

“Mbah, jangan horor-hororin saya gini, dong. Saya pulang kampung mau nostalgia, bukan mau buka hotel untuk arwah gentayangan.”

Beberapa orang terkekeh kecil. Namun, tawa itu seketika padam ketika terdengar suara ketukan di dinding balai desa. Mendengar itu, semua orang sontak menoleh, tetapi tak ada siapa pun di luar.

Arman mencoba tertawa kaku. “Hehe, mungkin tikusnya balai desa ikut rapat.”

Akan tetapi, Mbah Sastro tidak tersenyum sedikitpun.

“Bukan tikus. Itu sebuah pertanda. Mereka tahu kita sedang membicarakan mereka.”

Suasana jadi semakin tegang. Bahkan, Pak Lurah yang biasanya berwibawa, tampak resah. Keringat pun menetes di pelipisnya.

Arman mencoba tetap tenang, meski bulu kuduknya juga berdiri. “Kalau benar begitu, berarti suara yang saya dengar semalam, ‘tolong’ itu dari arwah mereka?”

Mbah Sastro menatap kosong ke depan lalu berkata lirih, seakan berbicara bukan hanya kepada Arman, tapi kepada ruangan itu sendiri.

“Bukan hanya minta tolong, Nak. Mereka minta sesuatu yang lebih berat, yaitu keadilan.”

Arman berjalan pulang dari balai desa dengan langkah gontai. Malam pun makin pekat dengan bulan separuh tersembunyi di balik awan. Jalan setapak menuju rumah peninggalan orang tuanya sepi. Hanya suara jangkrik dan sesekali lolongan anjing di kejauhan.

“Keadilan, keadilan. Ya ampun, Mbah, saya pulang kampung bukan mau jadi pengacara arwah.” Arman mengomel sambil mengibaskan jaketnya.

Tiba-tiba suara lirih terdengar dari balik pepohonan.

“Toloooong!”

Arman berhenti. “Oke, itu jelas bukan suara jangkrik.”

Ia menelan ludah, mencoba menertawakan dirinya sendiri.

“Mungkin orang iseng atau suara hantu karaoke dengan suara fals.” Lanjutnya.

Ketika mencoba melangkah lagi, tiba-tiba dedaunan berdesir seperti ada yang mengikuti. Suara ranting patah terdengar di belakangnya. Arman menoleh cepat, tetapi tak ada siapa pun di sana.

“Oke, oke, ini sudah mulai film horror low budgetnya. Tinggal tunggu saya jatuh ke got, lengkap sudah penderitaan.”

Sampai akhirnya ia tiba di depan rumah. Pintu kayu tua itu berderit saat dibuka. Begitu masuk, hawa dingin langsung menyergap, padahal udara di luar cukup gerah.

Pria itu menyalakan lampu gantung yang ada di tengah rumah. Lampu berkedip dua kali sebelum akhirnya stabil menyala. Ia pun mendesah dengan lega.

“Syukurlah. Kalau mati lampu, saya langsung check out ke rumah Pak Lurah.”

Rasa lega itu tak bertahan lama. Di ruang tamu, kursi rotan yang siang tadi kosong, kini bergoyang pelan seperti baru saja ditinggalkan seseorang.

“Oke, kursi goyang. Literally. Padahal nggak ada kipas angin.”

Ia memberanikan diri duduk, lalu menepuk-nepuk bantal kursi. “Kalau memang ada yang mau numpang, ayo, tapi jangan bikin saya kena serangan jantung mendadak, ya.”

Tak ada jawaban. Hanya suara jam dinding berdetak yang terdengar. Pria itu bangkit dan menuju kamar untuk melemparkan tubuhnya ke ranjang. Baru saja hendak memejamkan mata, terdengar lagi suara lirih itu. Lebih jelas, dan lebih dekat.

“Tolong ... bakarannya, bukan salah kami."

Mata Arman langsung terbuka lebar. Ia terduduk dengan napas terengah. “Astaga, mereka nyanyi pakai subtitle segala. Apa maksudnya ‘bakarannya bukan salah kami’?”

Keringat dingin menetes di pelipisnya. Ia sadar, ini bukan halusinasi. Suara itu nyata, memenuhi kamar tua yang remang.

Arman menutup wajah dengan tangan sambil bergumam lirih, "Ya Tuhan, saya pulang kampung mau santai, bukan jadi penerjemah curhatan arwah."

Belum sempat ia menenangkan diri, tiba-tiba jendela kamar terbuka dengan sendirinya. Angin kencang masuk, membuat tirai berkelebat liar. Di kaca jendela, samar-samar terlihat siluet seorang wanita sedang berdiri dan memandang lurus ke arah Arman.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tawa anak tengah malam   Bab 5

    Suasana masih terasa mencekam, meski terik matahari sudah masuk lewat celah jendela.Arman masih duduk di ruang tamu, menatap boneka dengan ekspresi yang sulit dibayangkan. Sedangkan Bima mondar-mandir seperti ayam kehilangan induk. “Bro, sumpah, kalau tadi sempet pipis celana, jangan salahin aku, ya. Itu boneka bisa jatuh, bisa duduk, bisa ngomong pula! Nanti apa lagi? Joget dangdut?” cerocosnya bagai kereta cepat. Arman memijat kening, merasa lelah dengan semua yang sudah ia apami. “Bim, kalau kamu masih bercanda, aku sumpahin kamu yang disuruh nari sama boneka itu!" Bima langsung berhenti. Wajahnya berubah pucat pasi. “Jangan bercanda balik, Bro. Nanti beneran kejadian.”Bima menelan ludah dengan paksa, lalu duduk di kursi sambil menatap boneka itu. “Jadi, apa sekarang rencananya? Kita panggil Ustadz? Panggil paranormal? Atau langsung kita lempar ke laut?”Arman menghela napas panjang. “Nggak bisa sembarangan. Kalau kita buang, bisa lebih parah nanti. Kayaknya, kita harus tanya

  • Tawa anak tengah malam   Tawa yang mengandung

    Panas mentari menyengat begitu tajam, menghempaskan ketegangan yang sebenarnya masih dirasakan oleh Arman. Pria jangkung itu berjalan dengan langkah gontai. Tubuh lelahnya tetap membawa boneka gosong dalam genggaman.Tiba-tiba, suara klakson motor terdengar dari luar rumah.“Woy, Arman! Buka pintu, Bro!” Suara khas terdengar. Itu pasti Bima, sahabat sejak duduk di bangku SMA yang hobi bercanda meski situasi sedang genting.Arman bangkit malas-malasan untuk membuka pintu. Benar saja, Bima masuk dengan gaya sok keren dengan helm yang masih melekat di kepalanya.“Bro, rumahmu, kok, makin kayak film horor, sih? Serius, aku tadi masuk halaman aja udah merinding.”Arman mendesah. “Ya memang begini rumahnya.”Bima mendekat ke meja dan menunjuk boneka hangus itu. “Astaga, ini apaan? Jangan bilang, pacar barumu? Hahaha!”Arman melotot. “Bim, serius. Jangan bercanda soal itu.”“Eh, kenapa emangnya? Ya ampun, wajah bonekanya aja udah kayak habis ikut audisi jadi figuran film zombie.” Bima ngakak

  • Tawa anak tengah malam   bisikan di balik api

    Pagi itu, matahari menyelinap masuk kamar lewat celah jendela, tetapi Arman masih menggulung tubuhnya dengan selimut tipis. Malam sebelumnya jelas membuatnya susah tidur. Bayangan siluet perempuan di jendela itu masih jelas terpatri di kepala.“Hah! Jadi gini rasanya ngekos gratis sama hantu,” gumamnya sambil menguap lebar. Ia menatap langit-langit, lalu menambahkan dengan nada bercanda, “Kalau begini, harusnya aku bisa nagih uang kontrakan, dong.”Pemuda itu memaksa dirinya untuk bangun. Langkahnya gontai dengan mata berat akibat kurang tidur. Menuju dapur dengan niat ingin membuat kopi. Akan tetapi, begitu buka lemari kayu, ia malah kaget melihat seekor cicak meluncur cepat ke dinding.“Woi! Jangan kagetin saya, Cak! Udah cukup semalam aja ditemenin siluet misterius. Jangan ikut-ikutan jadi pemeran horor murahan,” omelnyaSambil mendidihkan air, Arman berusaha menenangkan diri. Namun, dari ruang tengah, terdengar suara ibunya yang sedang menata tikar.“Man, kamu nggak tidur nyenyak

  • Tawa anak tengah malam   balai desa

    Pagi itu ayam jago belum habis berkokok, tapi suara Bu Sumi, ibunya Arman, sudah lebih nyaring daripada toa masjid.“Man! Bangun, Man! Jangan kayak iler di bantal kamu! Nempel terus di bantal!” teriaknya dari dapur sambil menyiapkan kopi.Arman menggeliat malas di ranjang. Matanya masih berat, tetapi kepalanya dipenuhi ingatan semalam–suara-suara aneh serta bisikan yang terasa dekat sekali di telinganya.“Ibu, orang tidur itu butuh ketenangan. Jangan nyamain aku sama iler, iler mah nggak punya perasaan!” sahut Arman setengah teriak.Bu Sumi nyelonong masuk ke kamar sambil melotot, tapi ujung bibirnya hampir tersenyum. “Perasaanmu itu paling cuma ke bantal, Man. Sama orang nggak pernah serius.”Arman bangkit, duduk di tepi ranjang sembari mengacak-acak rambut. “Ibu, aku semalam denger suara aneh lagi. Serius ini. Kayak ada orang bisik-bisik di ruang tamu.”Bu Sumi terdiam sejenak. Wajahnya yang tadinya santai berubah agak kaku. Ia cepat-cepat menyembunyikan ekspresi itu dengan menaruh

  • Tawa anak tengah malam   Arman Pulang kampung

    Arman berdiri di pinggir jalan, menenteng ransel lusuh, saksi bisu perjalanan hidupnya selama di kota. Bus ekonomi yang tadi membawanya dari terminal utama baru saja melaju pergi, meninggalkan kepulan asap hitam pekat seolah ikut mengolok-olok keputusannya untuk kembali ke kampung halaman.“Yaelah, pulang kampung bukan berarti jadi orang kampungan, kan? Hadeh. Semoga aja nggak ada drama mistis di desa,” gumam pria itu menendang kerikil di jalanan.Ponsel yang sedari tadi ada di genggamannya bergetar. Sebuah pesan singkat dari ibunya masuk. “Man, cepetan pulang. Jangan mampir-mampir. Ada hal penting!”Arman menghela napas panjang.“Hal penting? Hmm, biasanya, sih, kalau emak bilang begini, ujung-ujungnya suruh kawin sama anak tetangga. Aduh, jangan, deh. Duh, masih trauma lihat mantan kawin kemarin. Kaya disiram kopi panas. Rasanya perih, tapi nggak bisa ngomel.”Ia berjalan pelan menyusuri jalan tanah yang mulai becek karena hujan siang tadi. Pohon bambu di kiri dan kanan jalan bergo

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status