LOGINPanas mentari menyengat begitu tajam, menghempaskan ketegangan yang sebenarnya masih dirasakan oleh Arman. Pria jangkung itu berjalan dengan langkah gontai. Tubuh lelahnya tetap membawa boneka gosong dalam genggaman.
Tiba-tiba, suara klakson motor terdengar dari luar rumah. “Woy, Arman! Buka pintu, Bro!” Suara khas terdengar. Itu pasti Bima, sahabat sejak duduk di bangku SMA yang hobi bercanda meski situasi sedang genting. Arman bangkit malas-malasan untuk membuka pintu. Benar saja, Bima masuk dengan gaya sok keren dengan helm yang masih melekat di kepalanya. “Bro, rumahmu, kok, makin kayak film horor, sih? Serius, aku tadi masuk halaman aja udah merinding.” Arman mendesah. “Ya memang begini rumahnya.” Bima mendekat ke meja dan menunjuk boneka hangus itu. “Astaga, ini apaan? Jangan bilang, pacar barumu? Hahaha!” Arman melotot. “Bim, serius. Jangan bercanda soal itu.” “Eh, kenapa emangnya? Ya ampun, wajah bonekanya aja udah kayak habis ikut audisi jadi figuran film zombie.” Bima ngakak keras. Arman menepuk dahinya. “Aku nggak bohong. Boneka ini ada hubungannya sama kebakaran dulu, dan ....” Ia terdiam sejenak, berusaha menelan ludahnya dengan kasar." Ada arwah yang masih terikat di sini!” Bima langsung berhenti tertawa. Ia menatap Arman dengan wajah sok serius, lalu mendekatkan wajah pada sahabatnya. “Jadi maksudmu, ini boneka berhantu?” Arman mengangguk. Bima menelan ludah. “Oke, oke, aku nggak bakal ketawa lagi.” Beberapa detik kemudian, Bima kembali nyeletuk, “Cuma kalau hantunya cakep, boleh lah, kenalan dulu.” Arman menatapnya tajam. “Bim!” Bima langsung diam. Kedua tangannya diangkat tanda menyerah. “Oke, oke! Serius, aku diem.” Belum sempat Arman menanggapi ucapan Bima, tiba-tiba suasana berubah dengan cepat. Saat itu, boneka di atas meja bergeser sedikit dan akhirnya jatuh ke lantai. Brukk! Keduanya pun sontak terdiam. “Eh, itu angin?" Suara Bima mulai bergetar. Arman menggeleng, wajahnya pucat. “Nggak ada angin sama sekali, Bim!" Boneka itu kini tergeletak miring, matanya terasa menatap langsung pada Arman dan Bima. Tiba-tiba, suara lirih terdengar di telinga mereka. “Kenapa kalian tertawa?” Bima membeku. Wajah sok beraninya seketika hilang total. Ia mendekat ke arah sahabatnya, berbisik dengan suara gemetar. “Bro, aku salah, ya, ketawa barusan?” Arman tak menjawab. Ia hanya menatap boneka itu dengan jantung berdegup kencang. Suasana ruang tamu mendadak hening. suara detak jam dinding terdengar jelas, seolah menghitung waktu menuju sesuatu yang menakutkan. Bima yang tadinya masih bisa bercanda, kini menempel rapat di samping Arman. “Bro, sumpah aku nggak mau main-main lagi. Ini serius banget, kan?” Arman mengangguk perlahan, matanya tak lepas dari boneka yang tergeletak di lantai. “Aku udah bilang. Boneka ini bukan mainan biasa. Ada sesuatu yang terjebak di dalamnya.” Bima menelan ludah, lalu berusaha menenangkan diri. “Ya Tuhan, aku kira tadi kamu cuma lebay, ternyata beneran.” Mereka berdua menatap boneka itu dalam diam. Lalu, tiba-tiba, mata boneka yang hangus itu berkedip pelan. Bima terlonjak hampir terjatuh. “Anjir! Bro! Itu matanya barusan ....” “Ssst!” Arman buru-buru menahannya. Ia sendiri gemetar. “Aku juga lihat!” Mata boneka itu yang tadinya hitam legam, kini menampakkan sorot merah samar, seperti bara api yang hampir padam. Namun, di balik sorot itu, ada kesedihan yang tergambar. Bima menggenggam lengan Arman dengan begitu erat. “Oke, aku nyerah. Kita buang aja boneka ini sekarang juga! Aku nggak peduli kalau kamu marah. Yang jelas, aku nggak mau satu rumah sama ... sama benda sialan ini!” Arman menggeleng. “Nggak bisa, Bim. Kalau kita buang sembarangan, dia bisa marah. Bisa lebih parah dari ini!” Belum sempat Bima menjawab, terdengar suara ketukan pelan di jendela. Keduanya sontak menoleh. Tak ada siapa-siapa di luar, hanya halaman rumah yang kosong. Tok! Tok! Tok! Suara itu kembali, kali ini suaranya lebih keras. Bima berbisik, wajahnya mendadak pucat pasi. “Bro, itu bukan manusia yang ngetuk, kan?” Arman tak menjawab. Ia hanya merasakan hawa dingin merambat dari jendela, menembus kulit, hingga membuat bulu kuduk berdiri. Tepat saat itu pula, boneka yang tadi tergeletak, perlahan duduk sendiri dan akhirnya berhasil duduk tegak di lantai. Kepalanya sedikit miring ke kanan, menatap mereka berdua. Senyumnya kaku, dan, samar-samar seperti sedang mengejek. Bima sudah gemetar setengah mati. “Bro, kalau aku mati malam ini, bilang ke ibuku aku nggak sempet bayar utang warung sebelah, ya.” Arman melotot ke arahnya. “Goblok, jangan bercanda! Ini serius banget!” “Tapi aku panik, Men! Kalau aku nggak bercanda, bisa gila aku!” Bima hampir menangis meski ucapannya tetap nyeleneh. Arman menatap boneka itu lebih lama, lalu berkata dengan suara tegas, meski tubuhnya ikut bergetar. “Siapa kamu? Apa yang kamu mau?” Boneka itu diam. Akan tetapi, tiba-tiba mulutnya bergerak. Gerakan bibirnya kaku, tidak alami, tetapi jelas mengeluarkan suara lirih. "Aku sakit." Bima langsung teriak dan melompat ke belakang sofa. “Astaga bro! Dia ngomong! Bonekanya bisa ngomong!” Arman bergeming. Ia tahu ada roh yang terjebak di dalamnya. “Kamu siapa? Kenapa ada di boneka ini?” Boneka itu kembali membuka mulut. Suaranya terdengar parau, seperti berasal dari tenggorokan seseorang yang hampir hancur. "Bawa pulang." Arman menelan ludah. “Bawa pulang ke mana?” Boneka itu mengangkat tangannya sendiri, menunjuk ke arah jendela Tok! Tok! Tok! Ketukan itu kembali terdengar, kali ini bersamaan dengan angin dingin yang menerobos masuk melalui jendela. Tirai yang terpasang berkibar dengan kencang, seolah ada sesuatu yang menunggu di luar. Bima sudah tak tahan. “Bro! Aku nggak kuat lagi! Sumpah demi Tuhan, kita bakar aja nih boneka sekarang juga! Kalau perlu sama rumah-rumahnya sekalian!” Arman menarik napas panjang, matanya tetap pada boneka. “Tidak, Bim. Kita harus ikuti kemauannya. Kalau tidak, bisa lebih buruk dari ini.” Boneka itu menunduk, lalu jatuh kembali ke lantai dengan suara hempasan yang cukup keras. Setelah itu, suasana kembali hening. Akan tetapi, keheningan itu terasa salah. Seperti mata tak kasat mata sedang memperhatikan mereka. Bima menggigil. “Bro, kalau ini awal, aku nggak mau tahu gimana akhir ceritanya.” Arman menutup matanya sebentar, lalu berbisik, “Kayaknya, kita harus cari tahu asal-usul boneka ini. Setelah itu, baru bisa kita temukan dimana tempat yang dia tunjuk tadi.”Suasana masih terasa mencekam, meski terik matahari sudah masuk lewat celah jendela.Arman masih duduk di ruang tamu, menatap boneka dengan ekspresi yang sulit dibayangkan. Sedangkan Bima mondar-mandir seperti ayam kehilangan induk. “Bro, sumpah, kalau tadi sempet pipis celana, jangan salahin aku, ya. Itu boneka bisa jatuh, bisa duduk, bisa ngomong pula! Nanti apa lagi? Joget dangdut?” cerocosnya bagai kereta cepat. Arman memijat kening, merasa lelah dengan semua yang sudah ia apami. “Bim, kalau kamu masih bercanda, aku sumpahin kamu yang disuruh nari sama boneka itu!" Bima langsung berhenti. Wajahnya berubah pucat pasi. “Jangan bercanda balik, Bro. Nanti beneran kejadian.”Bima menelan ludah dengan paksa, lalu duduk di kursi sambil menatap boneka itu. “Jadi, apa sekarang rencananya? Kita panggil Ustadz? Panggil paranormal? Atau langsung kita lempar ke laut?”Arman menghela napas panjang. “Nggak bisa sembarangan. Kalau kita buang, bisa lebih parah nanti. Kayaknya, kita harus tanya
Panas mentari menyengat begitu tajam, menghempaskan ketegangan yang sebenarnya masih dirasakan oleh Arman. Pria jangkung itu berjalan dengan langkah gontai. Tubuh lelahnya tetap membawa boneka gosong dalam genggaman.Tiba-tiba, suara klakson motor terdengar dari luar rumah.“Woy, Arman! Buka pintu, Bro!” Suara khas terdengar. Itu pasti Bima, sahabat sejak duduk di bangku SMA yang hobi bercanda meski situasi sedang genting.Arman bangkit malas-malasan untuk membuka pintu. Benar saja, Bima masuk dengan gaya sok keren dengan helm yang masih melekat di kepalanya.“Bro, rumahmu, kok, makin kayak film horor, sih? Serius, aku tadi masuk halaman aja udah merinding.”Arman mendesah. “Ya memang begini rumahnya.”Bima mendekat ke meja dan menunjuk boneka hangus itu. “Astaga, ini apaan? Jangan bilang, pacar barumu? Hahaha!”Arman melotot. “Bim, serius. Jangan bercanda soal itu.”“Eh, kenapa emangnya? Ya ampun, wajah bonekanya aja udah kayak habis ikut audisi jadi figuran film zombie.” Bima ngakak
Pagi itu, matahari menyelinap masuk kamar lewat celah jendela, tetapi Arman masih menggulung tubuhnya dengan selimut tipis. Malam sebelumnya jelas membuatnya susah tidur. Bayangan siluet perempuan di jendela itu masih jelas terpatri di kepala.“Hah! Jadi gini rasanya ngekos gratis sama hantu,” gumamnya sambil menguap lebar. Ia menatap langit-langit, lalu menambahkan dengan nada bercanda, “Kalau begini, harusnya aku bisa nagih uang kontrakan, dong.”Pemuda itu memaksa dirinya untuk bangun. Langkahnya gontai dengan mata berat akibat kurang tidur. Menuju dapur dengan niat ingin membuat kopi. Akan tetapi, begitu buka lemari kayu, ia malah kaget melihat seekor cicak meluncur cepat ke dinding.“Woi! Jangan kagetin saya, Cak! Udah cukup semalam aja ditemenin siluet misterius. Jangan ikut-ikutan jadi pemeran horor murahan,” omelnyaSambil mendidihkan air, Arman berusaha menenangkan diri. Namun, dari ruang tengah, terdengar suara ibunya yang sedang menata tikar.“Man, kamu nggak tidur nyenyak
Pagi itu ayam jago belum habis berkokok, tapi suara Bu Sumi, ibunya Arman, sudah lebih nyaring daripada toa masjid.“Man! Bangun, Man! Jangan kayak iler di bantal kamu! Nempel terus di bantal!” teriaknya dari dapur sambil menyiapkan kopi.Arman menggeliat malas di ranjang. Matanya masih berat, tetapi kepalanya dipenuhi ingatan semalam–suara-suara aneh serta bisikan yang terasa dekat sekali di telinganya.“Ibu, orang tidur itu butuh ketenangan. Jangan nyamain aku sama iler, iler mah nggak punya perasaan!” sahut Arman setengah teriak.Bu Sumi nyelonong masuk ke kamar sambil melotot, tapi ujung bibirnya hampir tersenyum. “Perasaanmu itu paling cuma ke bantal, Man. Sama orang nggak pernah serius.”Arman bangkit, duduk di tepi ranjang sembari mengacak-acak rambut. “Ibu, aku semalam denger suara aneh lagi. Serius ini. Kayak ada orang bisik-bisik di ruang tamu.”Bu Sumi terdiam sejenak. Wajahnya yang tadinya santai berubah agak kaku. Ia cepat-cepat menyembunyikan ekspresi itu dengan menaruh
Arman berdiri di pinggir jalan, menenteng ransel lusuh, saksi bisu perjalanan hidupnya selama di kota. Bus ekonomi yang tadi membawanya dari terminal utama baru saja melaju pergi, meninggalkan kepulan asap hitam pekat seolah ikut mengolok-olok keputusannya untuk kembali ke kampung halaman.“Yaelah, pulang kampung bukan berarti jadi orang kampungan, kan? Hadeh. Semoga aja nggak ada drama mistis di desa,” gumam pria itu menendang kerikil di jalanan.Ponsel yang sedari tadi ada di genggamannya bergetar. Sebuah pesan singkat dari ibunya masuk. “Man, cepetan pulang. Jangan mampir-mampir. Ada hal penting!”Arman menghela napas panjang.“Hal penting? Hmm, biasanya, sih, kalau emak bilang begini, ujung-ujungnya suruh kawin sama anak tetangga. Aduh, jangan, deh. Duh, masih trauma lihat mantan kawin kemarin. Kaya disiram kopi panas. Rasanya perih, tapi nggak bisa ngomel.”Ia berjalan pelan menyusuri jalan tanah yang mulai becek karena hujan siang tadi. Pohon bambu di kiri dan kanan jalan bergo







