LOGINSuasana masih terasa mencekam, meski terik matahari sudah masuk lewat celah jendela.
Arman masih duduk di ruang tamu, menatap boneka dengan ekspresi yang sulit dibayangkan. Sedangkan Bima mondar-mandir seperti ayam kehilangan induk. “Bro, sumpah, kalau tadi sempet pipis celana, jangan salahin aku, ya. Itu boneka bisa jatuh, bisa duduk, bisa ngomong pula! Nanti apa lagi? Joget dangdut?” cerocosnya bagai kereta cepat. Arman memijat kening, merasa lelah dengan semua yang sudah ia apami. “Bim, kalau kamu masih bercanda, aku sumpahin kamu yang disuruh nari sama boneka itu!" Bima langsung berhenti. Wajahnya berubah pucat pasi. “Jangan bercanda balik, Bro. Nanti beneran kejadian.” Bima menelan ludah dengan paksa, lalu duduk di kursi sambil menatap boneka itu. “Jadi, apa sekarang rencananya? Kita panggil Ustadz? Panggil paranormal? Atau langsung kita lempar ke laut?” Arman menghela napas panjang. “Nggak bisa sembarangan. Kalau kita buang, bisa lebih parah nanti. Kayaknya, kita harus tanya ke orang yang ngerti, deh.” “Orang yang ngerti? Siapa? G****e?” Bima mencoba melucu lagi, tapi matanya jelas-jelas masih menggambarkan ketakutan. Arman mendelik mendengar ucapan pria itu. “G****e bisa jawab apa? ‘Cara menghadapi boneka berhantu’. Gitu? Yang ada kita disuruh nonton film horor," protesnya, "maksud aku Mbah Sastro, Bima!” Bima menelan ludah lagi. “Ah, si Mbah yang suka duduk di warung kopi sambil nyeruput jamu pahit? Bro, kalau betul ini urusannya sama roh, dia emang bisa bantu?” Arman berdiri, mengambil jaket. “Mau tidak mau, kita harus coba." Bima mendesah berat. Wajahnya tampak frustasi menghadapi situasi mencekam itu. “Ya Tuhan, kenapa aku ikut-ikutan jadi figuran di cerita horor ini, sih. Padahal niatku cuma main, makan gratis, tidur, terus pulang.” Arman menepuk bahunya. “Tenang, figuran biasanya mati duluan. Jadi, kamu aman.” “Anjir! Eh, maksudku, astaga!” Bima menutup mulut, wajahnya tampak semakin pucat. “Jangan ngomong sembarangan, Bro!” Arman hanya tersenyum tipis, lalu berjalan keluar meninggalkan pemuda itu. Bima, meski protes, tetap mengikuti langkah Arman. Siang itu, mereka tiba di rumah Mbah Sastro–sebuah rumah kayu tua di tepi desa. Pria tua itu sedang duduk di kursi rotan dengan tongkat kayu di sampingnya, menatap kosong ke arah sawah. “Assalamu’alaikum, Mbah,” sapa Arman dengan sopan. “Wa’alaikum salam,” jawab Mbah Sastro tanpa menoleh. “Akhirnya kalian datang juga.” Bima membeku, melirik ke arah Arman. “Eh, Bro, kok, dia tahu kita mau datang? Jangan-jangan dia pasang CCTV gaib di rumahmu.” Arman mendesah, menepuk kepala Bima pelan. “Diam, Bim!" Mbah Sastro menoleh menghadap dua sahabat yang masih saling berbisik itu. Tatapannya dalam, menusuk, seolah bisa membaca isi kepala mereka. “Kalian sudah melihat boneka itu, bukan?” Arman tercekat. “Mbah, Mbah tahu soal boneka itu?” “Benda itu bukan sekadar mainan. Itu wadah. Ada jiwa yang terjebak di dalamnya,” ucap Mbah Sastro pelan. Bima gemetar mendengar ucapan pria tua itu. “Jadi, beneran ada yang ngekos di boneka itu, Mbah?” Mbah Sastro tidak menjawab dan hanya menghela napas panjang. “Api yang dulu membakar rumahmu tidak padam dengan damai. Ada yang terperangkap. Mereka berusaha bicara lewat boneka itu.” Arman menunduk dan berkata, “Mereka bilang, mereka ingin pulang, Mbah.” Mbah Sastro mengangguk. “Ya, tapi pulang bagi arwah tidak sesederhana kembali ke rumah. Mereka ingin pulang dalam arti mendapatkan tempat yang seharusnya.” Bima mengangkat tangan seperti anak sekolah yang ingin mengajukan pertanyaan. “Mbah, maaf, saya masih bingung. Kalau arwahnya cuma minta dipulangkan, tinggal kita belikan tiket bus ke akhirat, kan? Eh, bercanda, Mbah, bercanda.” Tatapan Mbah Sastro langsung membuat Bima bungkam. “Kalau ingin membantu mereka, kalian harus menemukan jejak lama. Ada barang-barang yang tersisa dari kebakaran itu. Mereka akan menuntun kalian ke sana,” jelas Mbah Sastro. Arman mengernyit. “Barang-barang? Maksudnya apa?” “Cari di gudang rumahmu. Di sana masih tersimpan jejak api itu. Jangan takut, tapi jangan juga meremehkan. Karena saat kalian menemukan, arwah akan semakin dekat.” Bima langsung berdiri. “Oke. Kalau begitu, kita nggak usah cari. Selesai masalah, 'kan lebih aman.” Arman melotot. “Bim!” Bima menghela napas, pasrah. “Yaudah, yaudah, tapi kalau ada yang nyolek bahuku di gudang nanti, aku bisa langsung pingsan di tempat.” Mbah Sastro tersenyum tipis. “Kalau kau pingsan, mungkin justru lebih aman. Karena yang sadar, lebih mudah diganggu.” Bima langsung pucat. “Astaga, Mbah! Jangan ngomong gitu, dong!” Arman hanya bisa tersenyum miris meski hatinya sendiri ikut berdebar. Menjelang sore, Arman dan Bima memutuskan untuk pulang. Jalan desa mulai sepi, hanya ada suara jangkrik dan beberapa anak kecil yang sedang bermain sepeda. Bima menendang kerikil di jalan, wajahnya tampak muram. “Bro, sumpah, ya, aku masih mikir. Kenapa hidupku jadi kayak gini? Maksudku, kita cuma mau liburan, makan enak, tidur siang. Eh, tahu-tahu malah ikut reality show dunia lain versi nyata.” Arman tersenyum tipis. “Kalau ini reality show, kamu pasti jadi peserta yang pertama kabur.” “Ya jelas lah!” Bima mendengkus. “Kalau ada setan nongol, aku pasti udah lari ke Jakarta!" Arman hanya menggeleng pelan. “Bim, kalau kamu serius mau pulang ke Jakarta sekarang, silakan. Aku bisa terusin ini sendiri.” Bima berhenti berjalan. Seketika wajahnya berubah panik. “Eh, jangan gitu, dong. Kalau aku pulang duluan, terus kamu ilang di sini, nanti aku dituduh apa coba? Lagian, aku juga penasaran. Ya, walaupun takutnya setengah mati.” Arman menepuk bahu sahabatnya. “Ya sudah, anggap saja kita berdua pahlawan kesiangan.” “Pahlawan kesiangan?” Bima mendengus lagi. “Lebih kayak korban pertama di film horor, Bro.” Setibanya di rumah, langit sudah mulai berubah menjadi oranye. Bayangan pohon jati di depan rumah memanjang–menutupi halaman. Angin sore bertiup, membuat daun-daun kering berterbangan tak tentu arah. Gudang yang dimaksud Mbah Sastro berada di samping rumah. Pintunya kayu tua penuh debu dengan engsel yang sudah berkarat. Bima menelan ludah dengan paksa. “Oke, itu dia gudangnya. Terakhir kali aku nonton film horor, pintu yang kayak gitu biasanya jadi awal malapetaka.” Arman tidak menggubris, ia hanya membuka kunci rumah dan meletakkan barang-barang mereka dan mengambil senter untuk penerangan. “Kita harus masuk.” Bima mundur selangkah. “Kenapa harus sekarang? Besok pagi aja 'kan bisa? Matahari terang, ayam berkotek, setan pasti tidur siang.” Arman menatap tajam. “Bim, kalau kita tunda, arwah itu bisa semakin marah.” Bima menghela napas panjang, lalu meraih sandal jepitnya. “Ya udah, ayo, tapi kalau ada yang aneh, aku bisa langsung kabur ke warung sebelah.” Arman tersenyum tipis, lalu berjalan perlahan mendekati gudang. Pintu kayu berderit pelan saat dibuka. Aroma debu bercampur kayu lembab langsung menyergap indra penciuman mereka. Gudang itu gelap, penuh dengan tumpukan barang lama. Karung, kursi rusak, peti kayu, dan beberapa perabot yang sudah gosong terbakar. Bima menyalakan lampu senter di ponselnya. Suaranya terdengar gemetar, “Bro, aku rasa ini bukan ide bagus. Kayak ada yang ngikutin kita soalnya.” Arman juga bisa merasakan hawa aneh itu. Udara di dalam gudang lebih dingin dibandingkan di luar. Ia mengarahkan senter ke sebuah rak kayu di sudut ruangan. Ada boneka kecil lain, hangus sebagian, dengan mata kaca yang retak. Arman merinding. “Sepertinya ini salah satu barang yang dimaksud Mbah Sastro.” Mendapati itu, Bima langsung mundur beberapa langkah. “Ah, sudah selesai! Kita udah nemu barangnya. Ayo keluar! Ayo, ayo, ayo.” Tiba-tiba, terdengar suara seperti barang jatuh dari rak sebelah. Mereka langsung terpaku mendengarnya. Arman menyorotkan senter ke sumber suara. Sebuah buku lusuh jatuh dari rak, sampulnya hitam, hangus di pinggirannya. Arman menunduk dan memungutnya. “Ini, buku harian.” Bima menutup wajah dengan tangan. “Sumpah, kenapa selalu harus ada buku harian di cerita horor? Nggak bisa gitu kita nemu duit aja di gudang?” Arman membuka lembaran pertama. Tulisan tangan samar-samar masih terlihat meski sebagian lainnya hangus terbakar. Di buku itu tertulis nama Ratna. Arman berbisik. “Sepertinya, ini milik salah satu penghuni rumah dulu.” Bima mendekat setengah hati, mencoba melirik apa yang ada di buku itu. “Ratna? Siapa lagi tuh? Bro, jangan bilang dia arwah yang sekarang lagi numpang di boneka itu.” Belum sempat Arman menjawab, tiba-tiba suhu gudang terasa semakin dingin. Napas mereka berubah seperti uap putih.Suasana masih terasa mencekam, meski terik matahari sudah masuk lewat celah jendela.Arman masih duduk di ruang tamu, menatap boneka dengan ekspresi yang sulit dibayangkan. Sedangkan Bima mondar-mandir seperti ayam kehilangan induk. “Bro, sumpah, kalau tadi sempet pipis celana, jangan salahin aku, ya. Itu boneka bisa jatuh, bisa duduk, bisa ngomong pula! Nanti apa lagi? Joget dangdut?” cerocosnya bagai kereta cepat. Arman memijat kening, merasa lelah dengan semua yang sudah ia apami. “Bim, kalau kamu masih bercanda, aku sumpahin kamu yang disuruh nari sama boneka itu!" Bima langsung berhenti. Wajahnya berubah pucat pasi. “Jangan bercanda balik, Bro. Nanti beneran kejadian.”Bima menelan ludah dengan paksa, lalu duduk di kursi sambil menatap boneka itu. “Jadi, apa sekarang rencananya? Kita panggil Ustadz? Panggil paranormal? Atau langsung kita lempar ke laut?”Arman menghela napas panjang. “Nggak bisa sembarangan. Kalau kita buang, bisa lebih parah nanti. Kayaknya, kita harus tanya
Panas mentari menyengat begitu tajam, menghempaskan ketegangan yang sebenarnya masih dirasakan oleh Arman. Pria jangkung itu berjalan dengan langkah gontai. Tubuh lelahnya tetap membawa boneka gosong dalam genggaman.Tiba-tiba, suara klakson motor terdengar dari luar rumah.“Woy, Arman! Buka pintu, Bro!” Suara khas terdengar. Itu pasti Bima, sahabat sejak duduk di bangku SMA yang hobi bercanda meski situasi sedang genting.Arman bangkit malas-malasan untuk membuka pintu. Benar saja, Bima masuk dengan gaya sok keren dengan helm yang masih melekat di kepalanya.“Bro, rumahmu, kok, makin kayak film horor, sih? Serius, aku tadi masuk halaman aja udah merinding.”Arman mendesah. “Ya memang begini rumahnya.”Bima mendekat ke meja dan menunjuk boneka hangus itu. “Astaga, ini apaan? Jangan bilang, pacar barumu? Hahaha!”Arman melotot. “Bim, serius. Jangan bercanda soal itu.”“Eh, kenapa emangnya? Ya ampun, wajah bonekanya aja udah kayak habis ikut audisi jadi figuran film zombie.” Bima ngakak
Pagi itu, matahari menyelinap masuk kamar lewat celah jendela, tetapi Arman masih menggulung tubuhnya dengan selimut tipis. Malam sebelumnya jelas membuatnya susah tidur. Bayangan siluet perempuan di jendela itu masih jelas terpatri di kepala.“Hah! Jadi gini rasanya ngekos gratis sama hantu,” gumamnya sambil menguap lebar. Ia menatap langit-langit, lalu menambahkan dengan nada bercanda, “Kalau begini, harusnya aku bisa nagih uang kontrakan, dong.”Pemuda itu memaksa dirinya untuk bangun. Langkahnya gontai dengan mata berat akibat kurang tidur. Menuju dapur dengan niat ingin membuat kopi. Akan tetapi, begitu buka lemari kayu, ia malah kaget melihat seekor cicak meluncur cepat ke dinding.“Woi! Jangan kagetin saya, Cak! Udah cukup semalam aja ditemenin siluet misterius. Jangan ikut-ikutan jadi pemeran horor murahan,” omelnyaSambil mendidihkan air, Arman berusaha menenangkan diri. Namun, dari ruang tengah, terdengar suara ibunya yang sedang menata tikar.“Man, kamu nggak tidur nyenyak
Pagi itu ayam jago belum habis berkokok, tapi suara Bu Sumi, ibunya Arman, sudah lebih nyaring daripada toa masjid.“Man! Bangun, Man! Jangan kayak iler di bantal kamu! Nempel terus di bantal!” teriaknya dari dapur sambil menyiapkan kopi.Arman menggeliat malas di ranjang. Matanya masih berat, tetapi kepalanya dipenuhi ingatan semalam–suara-suara aneh serta bisikan yang terasa dekat sekali di telinganya.“Ibu, orang tidur itu butuh ketenangan. Jangan nyamain aku sama iler, iler mah nggak punya perasaan!” sahut Arman setengah teriak.Bu Sumi nyelonong masuk ke kamar sambil melotot, tapi ujung bibirnya hampir tersenyum. “Perasaanmu itu paling cuma ke bantal, Man. Sama orang nggak pernah serius.”Arman bangkit, duduk di tepi ranjang sembari mengacak-acak rambut. “Ibu, aku semalam denger suara aneh lagi. Serius ini. Kayak ada orang bisik-bisik di ruang tamu.”Bu Sumi terdiam sejenak. Wajahnya yang tadinya santai berubah agak kaku. Ia cepat-cepat menyembunyikan ekspresi itu dengan menaruh
Arman berdiri di pinggir jalan, menenteng ransel lusuh, saksi bisu perjalanan hidupnya selama di kota. Bus ekonomi yang tadi membawanya dari terminal utama baru saja melaju pergi, meninggalkan kepulan asap hitam pekat seolah ikut mengolok-olok keputusannya untuk kembali ke kampung halaman.“Yaelah, pulang kampung bukan berarti jadi orang kampungan, kan? Hadeh. Semoga aja nggak ada drama mistis di desa,” gumam pria itu menendang kerikil di jalanan.Ponsel yang sedari tadi ada di genggamannya bergetar. Sebuah pesan singkat dari ibunya masuk. “Man, cepetan pulang. Jangan mampir-mampir. Ada hal penting!”Arman menghela napas panjang.“Hal penting? Hmm, biasanya, sih, kalau emak bilang begini, ujung-ujungnya suruh kawin sama anak tetangga. Aduh, jangan, deh. Duh, masih trauma lihat mantan kawin kemarin. Kaya disiram kopi panas. Rasanya perih, tapi nggak bisa ngomel.”Ia berjalan pelan menyusuri jalan tanah yang mulai becek karena hujan siang tadi. Pohon bambu di kiri dan kanan jalan bergo







