Hari demi hari berlalu dengan monoton. Emma hanya menghabiskan waktunya di kamar yang disediakan Lucas tanpa bisa bersosialisasi atau melihat sekeliling kastil. Ia merasa seperti burung yang dipenjara dalam sangkar mewah, dikelilingi oleh keindahan yang tidak memberinya kebebasan.
Setiap pagi, seorang pelayan datang membawakan sarapan, diikuti dengan makan siang dan makan malam. Para pelayan yang bekerja di sana bersikap terlalu kaku dan dingin, hampir seperti robot yang hanya menjalankan tugas. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada senyuman tulus. Ketika Emma mencoba bertanya tentang kastil ini atau tentang Lucas, mereka hanya menjawab dengan sopan, tetapi tanpa memberi informasi apa pun.
Pada malam hari, ketika keheningan menyelimuti kastil, perasaan diawasi semakin kuat. Emma sering duduk di tepi tempat tidur, memandang keluar jendela, bertanya-tanya bagaimana nasibnya akan berakhir.
Namun, di balik kesunyiannya, ia merasa mendapatkan sedikit kekuatan dari rutinitas yang stabil. Setelah tujuh hari berada di sana, ia mulai menenangkan dirinya, mengatur napas, dan memikirkan langkah apa yang bisa ia ambil untuk mendapatkan kebebasannya kembali.
---
Pada hari ketujuh, pintu kamar Emma terbuka perlahan. Lucas muncul dengan jas rapi, auranya yang dingin segera memenuhi ruangan.
"Bagaimana kabarmu, Emma?" tanyanya dengan nada rendah namun tegas.
Emma menatap pria itu, mencoba membaca ekspresinya yang sulit ditebak. Setelah beberapa saat ragu, ia akhirnya berbicara, suaranya sedikit bergetar.
"Sejujurnya, aku merasa terkurung di sini."
Lucas mengangkat alis, seolah terkejut dengan keberanian Emma. "Teruskan."
Emma menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa. "Aku akan merasa lebih baik jika setidaknya aku diizinkan keluar dari kamar ini. Hanya untuk berjalan-jalan atau melihat-lihat lingkungan di sekitar kastil."
Lucas memiringkan kepalanya, menatapnya dengan tajam. "Jadi, kau merasa bosan?"
"Bukan hanya bosan," jawab Emma cepat, takut kehilangan momentum. "Aku merasa... tidak punya kebebasan. Ruangan ini terlalu besar, tetapi aku tetap merasa sempit."
Lucas terdiam, matanya menyipit seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Kemudian ia mendengus pelan, sebuah suara yang lebih seperti ejekan daripada persetujuan.
"Kita lihat nanti," katanya singkat sebelum berbalik meninggalkan kamar, menutup pintu dengan pelan namun tegas.
Emma menatap pintu yang tertutup itu, hatinya dipenuhi harapan dan kecemasan. Apakah Lucas akan mengabulkan permintaannya, atau ini hanya cara lain untuk membuatnya merasa putus asa?
---
Sore harinya, seorang pelayan wanita mengetuk pintu dan membawa nampan berisi teh serta camilan kecil. Namun kali ini, wanita itu memberikan pesan singkat yang membuat hati Emma melompat.
"Tuan Lucas mengatakan Anda diizinkan berjalan-jalan di area kastil," katanya dengan nada datar. "Namun, Anda tidak boleh melewati pagar atau mendekati gerbang utama."
Emma menatap pelayan itu dengan penuh rasa terima kasih, meskipun wanita itu tidak menunjukkan reaksi apa pun.
"Terima kasih," kata Emma pelan.
Setelah pelayan itu pergi, Emma segera bersiap. Ia mengenakan gaun sederhana yang tersedia di lemari, lalu berjalan ke pintu yang selama ini terasa seperti penghalang kebebasannya.
---
Ketika pintu itu terbuka, Emma hampir terkejut dengan pemandangan yang ada di luar kamarnya. Koridor panjang dengan lantai marmer yang berkilau, dihiasi karpet tebal dan dinding yang dipenuhi lukisan-lukisan tua. Lampu-lampu gantung besar menerangi setiap sudut, memberikan kesan megah namun suram.
Ia melangkah perlahan, memandangi sekeliling dengan rasa kagum yang bercampur dengan perasaan waspada. Kastil ini jauh lebih besar dan lebih indah daripada yang ia bayangkan, tetapi juga menyimpan aura misterius yang membuat bulu kuduknya meremang.
Seorang pelayan pria dengan sikap kaku muncul dari balik koridor, memberi isyarat agar Emma mengikutinya. "Silakan ikut saya, Nona. Saya akan menunjukkan area yang diizinkan untuk Anda."
Emma mengangguk pelan, mengikuti pria itu sambil terus memandang sekeliling. Mereka melewati ruang-ruang besar dengan perabotan antik, tangga melingkar yang dihiasi ukiran rumit, dan jendela-jendela besar yang menghadap ke taman.
Pelayan itu membawa Emma ke sebuah pintu besar yang mengarah ke taman belakang kastil. Ketika pintu itu dibuka, Emma hampir tidak bisa menahan napasnya.
Taman itu luar biasa indah. Hamparan rumput hijau yang rapi, dihiasi dengan bunga-bunga bermekaran dalam berbagai warna. Air mancur besar berdiri di tengah, airnya memercik lembut ke kolam di bawahnya. Pohon-pohon besar memberikan naungan, sementara jalan setapak dari batu melintasi taman, mengarah ke berbagai sudut yang menarik.
"Anda diizinkan berada di taman ini," kata pelayan itu. "Namun, tolong ingat peraturan. Jangan melewati pagar atau mendekati gerbang utama."
Emma mengangguk, berusaha menahan senyuman kecil yang mulai muncul di wajahnya. Meskipun ini bukan kebebasan penuh, setidaknya ia bisa menghirup udara segar dan melihat dunia luar.
Setelah pelayan itu pergi, Emma mulai menjelajahi taman dengan hati-hati. Ia berjalan menyusuri jalan setapak, merasakan embusan angin yang lembut di wajahnya. Sesekali ia berhenti untuk memandangi bunga-bunga yang mekar atau mendengar suara gemericik air dari air mancur.
Namun, meskipun taman itu indah, Emma tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang terus mengikutinya. Seolah-olah ada seseorang yang mengawasinya dari kejauhan.
Ia menoleh beberapa kali, tetapi tidak melihat siapa pun. Hanya keheningan taman yang menyambutnya.
Emma berhenti di dekat air mancur, menatap bayangannya sendiri di permukaan air. Ia bertanya-tanya berapa lama ia akan hidup seperti ini, menjadi tawanan dalam kastil megah ini.
"Indah, bukan?"
Suara itu membuat Emma tersentak. Ia berbalik cepat dan mendapati Lucas berdiri tidak jauh darinya, dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku.
"Aku tidak mendengar langkahmu," kata Emma pelan, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.
Lucas tersenyum tipis, langkahnya perlahan mendekati Emma. "Kau terlalu sibuk dengan pikiranmu sendiri."
Emma mengerutkan kening. "Kenapa kau mengizinkanku keluar hari ini?"
Lucas mengangkat bahu ringan. "Karena kau memintanya."
"Terimakasih. Meskipun, ini masih seperti berada di dalam penjara. Penjara yang indah," jawab Emma, suaranya terdengar lebih tegas dari yang ia kira.
Lucas tertawa kecil, suara tawanya rendah dan penuh ejekan. "Emma, kau ada di sini karena aku yang menginginkannya. Tapi aku bukan monster. Jika sedikit kebebasan bisa membuatmu lebih tenang, maka aku akan memberikannya."
Emma mengepalkan tangannya, mencoba kembali mengumpulkan sedikit keberanian dalam dirinya. Ia memang bersyukur karena telah terbebas dari Neraka dunia itu, namun ia rasa tempatnya berada kini pun, tidak sesederhana itu.
"Kalau aku boleh tahu, kenapa aku ada di sini? Apa kau menginginkan sesuatu dariku?"
Lucas menatapnya dengan tajam, matanya seolah menembus jiwa Emma. "Jawaban itu akan datang pada waktunya. Untuk saat ini, nikmati taman ini. Jangan buat aku menyesal memberikanmu kebebasan."
Setelah mengatakan itu, Lucas berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Emma yang berdiri dengan berbagai pertanyaan yang berputar di kepalanya.
---
Di ruangan lain, Lucas kembali mengawasi Emma melalui layar CCTV. Ia memperbesar gambar, memperhatikan setiap langkah gadis itu di taman.
"Sekarang kau merasa bebas, Emma?" gumamnya pelan, sebuah senyuman dingin muncul di wajahnya.
Lucas memutar gelas bourbon di tangannya, memikirkan langkah selanjutnya. Ia tahu bahwa kebebasan kecil yang ia berikan pada Emma hanya akan membuat gadis itu semakin bergantung padanya.
"Burung dalam sangkar yang lebih besar tetaplah burung dalam sangkar," ucapnya, sebelum meneguk bourbonnya dan mematikan layar.
Emma tidak tahu bahwa meskipun ia merasa mendapatkan sedikit kebebasan, sebenarnya ia masih berada di bawah kendali penuh Lucas.
Dan bagi Lucas, permainan ini baru saja dimulai.
Emma menatap langit malam yang terbentang luas di atasnya. Kilauan bintang-bintang tampak berkelip di antara gelapnya malam, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Angin berembus lembut, membelai kulitnya dengan kesejukan yang menenangkan. Ia berdiri di samping Lucas, di sebuah bukit kecil yang menawarkan pemandangan kota dari kejauhan. Tempat ini begitu sunyi, seolah terpisah dari dunia yang penuh hiruk-pikuk di bawah sana. Emma mengerti bahwa Lucas tidak membawa dirinya ke sini tanpa alasan. "Tempat ini..." Emma membuka suara, memecah keheningan di antara mereka. "Kenapa kau membawaku ke sini?" Lucas mengalihkan pandangannya dari hamparan kota dan menatap Emma. "Ini tempat yang sering kudatangi saat aku butuh berpikir," jawabnya pelan. "Di sini, aku bisa merasa bebas. Tidak ada gangguan, tidak ada tekanan, hanya aku dan pikiranku sendiri." Emma mengangguk mengerti. Ia bisa merasakan ketenangan yang sama. Dalam sebulan terakhir, hidup mereka penuh dengan kekacauan. Konflik
Matahari baru saja terbit di ufuk timur, menyapu kediaman Lucas dengan cahaya keemasan yang lembut. Setelah malam yang panjang dan penuh ketegangan, pagi ini terasa lebih tenang. Tidak ada lagi ancaman yang membayangi, tidak ada lagi pertarungan yang harus dihadapi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lucas bisa menarik napas lega.Ia berdiri di balkon kamarnya, menatap hamparan taman di bawah sana. Udara pagi yang sejuk menyentuh wajahnya, membawa aroma embun yang menyegarkan. Namun, pikirannya masih terpusat pada satu hal—Emma.Wanita itu telah melalui begitu banyak hal. Ia terluka karena menjadi bagian dari dunianya, dunia yang penuh dengan bahaya dan intrik. Tetapi, meskipun demikian, Emma tidak pernah menunjukkan penyesalan. Ia tetap berada di sisinya, menghadapi semuanya dengan keteguhan hati yang luar biasa.Lucas tahu, ada satu hal yang harus ia lakukan sekarang.Tanpa ragu, ia melangkah keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar te
Malam di kediaman Lucas begitu sunyi. Udara dingin menyusup melalui jendela besar di ruang kerjanya, tetapi pria itu tetap duduk tegak di balik meja kayu besar, menatap laporan-laporan yang tersusun rapi di hadapannya. Setelah semua konflik yang ia hadapi, organisasi mulai kembali stabil. Ia telah menyingkirkan Morelli dan Vasquez, membuktikan bahwa ia bukan pemimpin yang bisa diremehkan. Namun, Lucas tahu bahwa masih ada satu orang lagi yang harus ia hadapi—ayahnya.Seakan menjawab pikirannya, ketukan keras terdengar di pintu ruang kerjanya. Lucas tidak terkejut. Ia sudah menduga bahwa cepat atau lambat pria itu akan datang menemuinya."Masuk," katanya, suaranya tetap dingin dan terkendali.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Antonio Aldrin. Meski usianya sudah semakin tua, auranya masih menekan, menandakan bahwa ia adalah seseorang yang telah lama terbiasa dengan kekuasaan. Namun, malam ini, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Sorot matanya t
Malam sudah larut, tetapi Lucas masih duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terhampar di mejanya. Titik-titik merah menandai lokasi para sisa anak buah Morelli dan Vasquez yang masih berkeliaran. Beberapa di antara mereka sudah melarikan diri ke luar negeri, tetapi sebagian kecil masih bertahan, berusaha mencari perlindungan.Lucas menghela napas panjang. Satu langkah lagi, dan ini semua akan selesai.Pintu ruang kerja terbuka tanpa ketukan. Stefan masuk dengan ekspresi tegas. "Semuanya sudah siap. Anak buah kita sudah berada di posisi masing-masing."Lucas mengangguk, lalu berdiri. "Bagus. Pastikan tidak ada celah bagi mereka untuk melarikan diri.""Kita juga sudah mengamankan jalur komunikasi mereka. Jika mereka mencoba meminta bantuan, pesan itu tidak akan pernah sampai," tambah Stefan.Lucas menyeringai kecil. "Kali ini, aku ingin memastikan mereka tidak punya tempat untuk kembali."Stefan menatapnya sejenak sebelu
Pagi menjelang dengan tenang di kediaman Lucas. Sinar matahari keemasan menyelinap melalui celah-celah jendela besar, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Suara burung di kejauhan terdengar samar, berpadu dengan desiran angin yang berembus perlahan.Emma membuka matanya perlahan. Rasanya tubuhnya lebih ringan, meski masih ada sedikit nyeri di lengannya yang belum sepenuhnya pulih. Saat ia menggerakkan kepalanya, matanya langsung menemukan sosok Lucas yang masih duduk di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi lembut."Kau tidak tidur?" suara Emma serak karena baru bangun.Lucas menggeleng pelan. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."Emma tersenyum kecil. Ia tahu Lucas masih merasa cemas, tetapi ia juga tahu pria itu tidak akan mengatakannya secara langsung. Jadi, ia hanya meraih tangan Lucas dan menggenggamnya erat. "Aku sudah lebih baik. Kau tidak perlu terus mengkhawatirkanku."Lucas menghela napas, lalu akhirnya i
Malam telah larut ketika Lucas duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terbentang di atas meja. Wilayah kekuasaan yang sebelumnya dikuasai Morelli dan Vasquez kini sepenuhnya berada di bawah kendalinya. Namun, meskipun kedua orang itu telah ditangkap dan dihabisi, Lucas tahu bahwa masalah tidak berhenti di situ. Stefan berdiri di sampingnya, melaporkan perkembangan terbaru. "Beberapa anggota bawahan Morelli dan Vasquez masih bertahan. Mereka kehilangan pemimpin, tetapi tidak kehilangan ambisi." Lucas menghela napas. "Aku sudah menduga ini. Mereka tidak akan menyerah begitu saja." "Tepat," Stefan mengangguk. "Ada laporan bahwa sebagian dari mereka mencoba membentuk kelompok baru. Mereka masih belum cukup kuat untuk menantang kita secara langsung, tetapi jika dibiarkan, mereka bisa menjadi ancaman dalam beberapa bulan ke depan." Lucas menatap peta di hadapannya. "Siapa pemimpin mereka sekarang?" Stefan