Lucas duduk di ruang kerjanya, memutar gelas bourbon dengan gerakan lambat. Pandangannya terfokus pada layar monitor yang menampilkan Emma berjalan perlahan di taman. Meski gadis itu tampak menikmati kebebasan kecilnya, Lucas tahu ia tetap berada dalam kendalinya.
"Dia terlihat lebih tenang sekarang," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Ia memiringkan kepala sedikit, memperhatikan bagaimana Emma berhenti untuk menyentuh air mancur. "Setidaknya taman itu tidak sia-sia."
Ia menghela napas, pikirannya kembali ke malam ketika semuanya dimulai. Sebuah malam yang tak pernah ia rencanakan, tetapi mengubah segalanya.
---Ruangan itu penuh sesak dengan suara obrolan para pria berjas mahal dan suara denting gelas-gelas kristal. Lucas duduk di salah satu sudut dengan tenang, mengamati barang-barang yang dilelang. Ia datang ke sini bukan untuk bersenang-senang, melainkan mencari sesuatu yang benar-benar menarik baginya—senjata kuno atau barang antik bernilai tinggi.
Ketika daftar barang hampir selesai, ia mulai merasa bosan. Namun, kemudian suara berat dari pelelang menggema di seluruh ruangan, menarik kembali perhatiannya.
"Kami memiliki sesuatu yang sangat spesial untuk malam ini," ucap pria itu, senyumnya penuh arti. "Bukan barang biasa. Tapi... hidup. Segar. Murni."
Lucas mengangkat alis, merasa terganggu oleh cara pria itu berbicara. Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, sebuah pintu di ujung ruangan terbuka, dan dua pria membawa seorang gadis masuk.
Gadis itu mengenakan gaun tipis yang kusut, rambutnya berantakan, dan tubuhnya gemetar hebat. Ia meringkuk, seperti berusaha membuat dirinya sekecil mungkin. Matanya merah dan basah oleh air mata, tetapi ada ketegaran samar dalam sorotannya—sebuah percikan kecil yang seolah-olah menolak menyerah pada nasibnya.
Ketika gadis itu dibawa masuk, Lucas menyandarkan tubuhnya di kursi, mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang ia rasakan. Ia tidak menyukai cara pria-pria di ruangan itu memandang gadis itu—seolah-olah ia hanyalah barang dagangan tanpa jiwa.
"Apakah ini lelucon?" bisik salah satu pria di meja sebelahnya, terdengar geli. "Kita datang untuk seni dan barang antik, bukan untuk... ini."
Lucas hanya mendengarnya sepintas, tetapi matanya tetap terpaku pada gadis itu. Ketika pelelang mulai memamerkan "barang dagangan" mereka, suasana ruangan berubah menjadi semakin tidak nyaman bagi Lucas.
Lucas terdiam, matanya terpaku pada gadis itu. Sesuatu dalam dirinya terguncang. Ia telah melihat banyak hal dalam hidupnya—lebih dari yang ia inginkan—tetapi pemandangan ini terasa berbeda.
"Ini adalah tawaran utama malam ini," pelelang melanjutkan dengan nada penuh antusiasme. "Seorang gadis muda yang masih murni. Koleksi terbaru dari Madam Marissa. Dia bisa menjadi pelayan pribadi, atau mungkin... lebih."
Tawa kecil terdengar dari beberapa pria di ruangan, tetapi Lucas tidak tertawa. Ia meneguk bourbonnya, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai muncul.
Ketika angka-angka mulai disebutkan, Lucas tetap diam. Hingga salah satu pria di meja depan menyebutkan tawaran dengan nada penuh arogansi. Seorang pria hidung belang dengan perut buncit yang sangat mengganggu pemandangan.
"Lima puluh juta," katanya.
Gadis itu tersentak, tubuhnya semakin gemetar. Ia memandangi lantai, tetapi air matanya terus mengalir.
Lucas mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia tidak tahu apa yang terjadi dalam dirinya, tetapi membayangkan gadis itu jatuh ke tangan pria seperti itu membuatnya merasa muak.
"Seratus juta," suara Lucas akhirnya terdengar, tenang tetapi tegas.
Ruangan menjadi sunyi. Semua kepala menoleh ke arahnya.
Pelelang terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. "Seratus juta dari Tuan bertopeng di sudut ruangan! Apakah ada yang ingin menawar lebih tinggi?"
Tidak ada yang menjawab. Tidak ada yang berani membeli sesuatu dengan angka setinggi itu.
"Kalau begitu, gadis ini milik Anda," pelelang akhirnya mengumumkan.
Lucas berdiri perlahan, langkahnya mantap saat ia mendekati gadis itu. Gadis itu mengangkat kepala sedikit, tatapannya penuh kebingungan dan ketakutan.
Lucas berhenti di depannya, menatap matanya langsung. Untuk sesaat, tidak ada yang berbicara.
"Ayo," katanya singkat, isyarat kepada anak buahnya untuk membawa gadis itu pergi.
___Lucas mengusap wajahnya, berusaha membuang pikiran yang mengganggunya. Ia meneguk bourbonnya dan kembali memusatkan perhatian pada meja kerjanya yang penuh dengan dokumen. Peta wilayah, laporan pengiriman, dan catatan transaksi ilegal tersebar rapi di sana.
Sebagai kepala dari salah satu sindikat kriminal terbesar, pekerjaan Lucas tak pernah selesai. Tetapi malam ini, ia merasa pikirannya sulit untuk fokus.
Sesekali, ia melirik layar CCTV. Di sana, Emma masih terlihat berjalan perlahan di taman, berhenti di dekat air mancur untuk menyentuh permukaan air. Wajahnya terlihat sedikit lebih santai dibandingkan hari-hari sebelumnya.
Lucas memalingkan wajahnya dari layar, berusaha mengalihkan perhatian pada laporan di tangannya. Tetapi setiap beberapa menit, matanya kembali terpaku pada monitor.
"Burung kecil itu akhirnya bernapas," gumamnya dengan nada sinis, meskipun di dalam hatinya ia tidak sepenuhnya yakin apa yang ia rasakan.
---
Setelah beberapa saat, pintu ruang kerja terbuka. Seorang pria berpostur tegap dengan jas hitam masuk tanpa diundang. Itu adalah Gavin, tangan kanan Lucas.
"Tuan," Gavin memulai dengan nada rendah, "semua sudah diatur untuk pengiriman minggu depan. Tapi ada sedikit masalah dengan salah satu klien di wilayah timur. Mereka menolak menaikkan harga."
Lucas mengangkat pandangannya perlahan, menatap Gavin dengan ekspresi datar. "Dan kau datang ke sini untuk meminta izin membereskan masalah itu?"
Gavin tersenyum kecil, tetapi ada nada gugup di balik suaranya. "Hanya ingin memastikan keputusan Anda, Tuan."
Lucas bersandar di kursinya, menatap monitor CCTV sekali lagi sebelum akhirnya mengembalikan perhatian penuh pada Gavin. "Pastikan mereka mengerti siapa yang mereka hadapi. Jika perlu, beri mereka sedikit... peringatan."
"Dimengerti." Gavin mengangguk singkat, lalu berhenti sejenak sebelum menambahkan, "Ngomong-ngomong, tentang gadis itu..."
Lucas menatapnya tajam. "Apa tentang dia?"
"Anda tampaknya memberikan perhatian lebih padanya," kata Gavin hati-hati. "Apakah ini hanya masalah kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih?"
Lucas bersandar di kursinya, menatap Gavin dengan tatapan yang sulit ditebak. "Apa yang kau pikir aku lakukan?"
"Saya tidak tahu, Tuan. Tapi jika ada sesuatu yang lebih dari sekadar kepemilikan, mungkin ini waktu yang kurang tepat."
Lucas tersenyum tipis, meski tidak ada kehangatan dalam senyumnya. "Gavin, kau hanya perlu melakukan tugasmu. Tidak lebih, tidak kurang."
Gavin mengangguk cepat, tahu bahwa ia telah melangkah terlalu jauh. "Dimengerti, Tuan."
Ketika Gavin pergi, Lucas kembali memandangi layar.
"Berisik sekali," gumamnya. Tetapi, kata-kata Gavin itu masih menggantung di pikirannya.
Di layar, Emma mulai berdiri dari bangkunya, mengamati bunga-bunga di taman. Lucas memperhatikan gerakannya dengan seksama, meski ia tidak tahu mengapa ia begitu tertarik.
"Burung kecil itu," katanya pelan, "seharusnya tidak membuatku terlalu banyak berpikir."
Tetapi ia tahu, dalam dirinya ada sesuatu yang berubah sejak malam pelelangan itu—sesuatu yang ia sendiri tidak ingin akui.
Emma menatap langit malam yang terbentang luas di atasnya. Kilauan bintang-bintang tampak berkelip di antara gelapnya malam, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Angin berembus lembut, membelai kulitnya dengan kesejukan yang menenangkan. Ia berdiri di samping Lucas, di sebuah bukit kecil yang menawarkan pemandangan kota dari kejauhan. Tempat ini begitu sunyi, seolah terpisah dari dunia yang penuh hiruk-pikuk di bawah sana. Emma mengerti bahwa Lucas tidak membawa dirinya ke sini tanpa alasan. "Tempat ini..." Emma membuka suara, memecah keheningan di antara mereka. "Kenapa kau membawaku ke sini?" Lucas mengalihkan pandangannya dari hamparan kota dan menatap Emma. "Ini tempat yang sering kudatangi saat aku butuh berpikir," jawabnya pelan. "Di sini, aku bisa merasa bebas. Tidak ada gangguan, tidak ada tekanan, hanya aku dan pikiranku sendiri." Emma mengangguk mengerti. Ia bisa merasakan ketenangan yang sama. Dalam sebulan terakhir, hidup mereka penuh dengan kekacauan. Konflik
Matahari baru saja terbit di ufuk timur, menyapu kediaman Lucas dengan cahaya keemasan yang lembut. Setelah malam yang panjang dan penuh ketegangan, pagi ini terasa lebih tenang. Tidak ada lagi ancaman yang membayangi, tidak ada lagi pertarungan yang harus dihadapi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lucas bisa menarik napas lega.Ia berdiri di balkon kamarnya, menatap hamparan taman di bawah sana. Udara pagi yang sejuk menyentuh wajahnya, membawa aroma embun yang menyegarkan. Namun, pikirannya masih terpusat pada satu hal—Emma.Wanita itu telah melalui begitu banyak hal. Ia terluka karena menjadi bagian dari dunianya, dunia yang penuh dengan bahaya dan intrik. Tetapi, meskipun demikian, Emma tidak pernah menunjukkan penyesalan. Ia tetap berada di sisinya, menghadapi semuanya dengan keteguhan hati yang luar biasa.Lucas tahu, ada satu hal yang harus ia lakukan sekarang.Tanpa ragu, ia melangkah keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar te
Malam di kediaman Lucas begitu sunyi. Udara dingin menyusup melalui jendela besar di ruang kerjanya, tetapi pria itu tetap duduk tegak di balik meja kayu besar, menatap laporan-laporan yang tersusun rapi di hadapannya. Setelah semua konflik yang ia hadapi, organisasi mulai kembali stabil. Ia telah menyingkirkan Morelli dan Vasquez, membuktikan bahwa ia bukan pemimpin yang bisa diremehkan. Namun, Lucas tahu bahwa masih ada satu orang lagi yang harus ia hadapi—ayahnya.Seakan menjawab pikirannya, ketukan keras terdengar di pintu ruang kerjanya. Lucas tidak terkejut. Ia sudah menduga bahwa cepat atau lambat pria itu akan datang menemuinya."Masuk," katanya, suaranya tetap dingin dan terkendali.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Antonio Aldrin. Meski usianya sudah semakin tua, auranya masih menekan, menandakan bahwa ia adalah seseorang yang telah lama terbiasa dengan kekuasaan. Namun, malam ini, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Sorot matanya t
Malam sudah larut, tetapi Lucas masih duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terhampar di mejanya. Titik-titik merah menandai lokasi para sisa anak buah Morelli dan Vasquez yang masih berkeliaran. Beberapa di antara mereka sudah melarikan diri ke luar negeri, tetapi sebagian kecil masih bertahan, berusaha mencari perlindungan.Lucas menghela napas panjang. Satu langkah lagi, dan ini semua akan selesai.Pintu ruang kerja terbuka tanpa ketukan. Stefan masuk dengan ekspresi tegas. "Semuanya sudah siap. Anak buah kita sudah berada di posisi masing-masing."Lucas mengangguk, lalu berdiri. "Bagus. Pastikan tidak ada celah bagi mereka untuk melarikan diri.""Kita juga sudah mengamankan jalur komunikasi mereka. Jika mereka mencoba meminta bantuan, pesan itu tidak akan pernah sampai," tambah Stefan.Lucas menyeringai kecil. "Kali ini, aku ingin memastikan mereka tidak punya tempat untuk kembali."Stefan menatapnya sejenak sebelu
Pagi menjelang dengan tenang di kediaman Lucas. Sinar matahari keemasan menyelinap melalui celah-celah jendela besar, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Suara burung di kejauhan terdengar samar, berpadu dengan desiran angin yang berembus perlahan.Emma membuka matanya perlahan. Rasanya tubuhnya lebih ringan, meski masih ada sedikit nyeri di lengannya yang belum sepenuhnya pulih. Saat ia menggerakkan kepalanya, matanya langsung menemukan sosok Lucas yang masih duduk di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi lembut."Kau tidak tidur?" suara Emma serak karena baru bangun.Lucas menggeleng pelan. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."Emma tersenyum kecil. Ia tahu Lucas masih merasa cemas, tetapi ia juga tahu pria itu tidak akan mengatakannya secara langsung. Jadi, ia hanya meraih tangan Lucas dan menggenggamnya erat. "Aku sudah lebih baik. Kau tidak perlu terus mengkhawatirkanku."Lucas menghela napas, lalu akhirnya i
Malam telah larut ketika Lucas duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terbentang di atas meja. Wilayah kekuasaan yang sebelumnya dikuasai Morelli dan Vasquez kini sepenuhnya berada di bawah kendalinya. Namun, meskipun kedua orang itu telah ditangkap dan dihabisi, Lucas tahu bahwa masalah tidak berhenti di situ. Stefan berdiri di sampingnya, melaporkan perkembangan terbaru. "Beberapa anggota bawahan Morelli dan Vasquez masih bertahan. Mereka kehilangan pemimpin, tetapi tidak kehilangan ambisi." Lucas menghela napas. "Aku sudah menduga ini. Mereka tidak akan menyerah begitu saja." "Tepat," Stefan mengangguk. "Ada laporan bahwa sebagian dari mereka mencoba membentuk kelompok baru. Mereka masih belum cukup kuat untuk menantang kita secara langsung, tetapi jika dibiarkan, mereka bisa menjadi ancaman dalam beberapa bulan ke depan." Lucas menatap peta di hadapannya. "Siapa pemimpin mereka sekarang?" Stefan