Hiriety menapakan kakinya di halaman luas, rerumputan yang tertata rapi terinjak oleh hak tingginya yang elegan. Udara malam terasa dingin, namun bukan itu yang membuat bibirnya melengkung dalam seringai kecil—melainkan fakta bahwa Marco Valley benar-benar membawanya ke sini.
Sebuah mansion berdiri megah di depannya, arsitekturnya khas gaya klasik dengan pilar-pilar tinggi dan jendela besar yang diterangi cahaya lampu dari dalam. Ini bukan tempat yang asing bagi Hiriety.
“Jadi, kau benar-benar membawaku ke sarang singamu sendiri?” katanya santai, melirik Marco yang berdiri di sisinya.
Pria itu tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menatap Hiriety sejenak sebelum mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada anak buahnya agar pergi. Beberapa pria yang sejak tadi mengawal mereka segera mundur, meninggalkan keduanya di depan mansion besar itu.
Marco kemudian berjalan lebih dulu, membukakan pintu besar di hadapan mereka. “Masuk.”
Hiriety menyisir rambutnya dengan jari sebelum melangkah anggun ke dalam, seolah-olah dia adalah tamu kehormatan, bukan sandera.
Begitu pintu tertutup di belakang mereka, Marco melempar jasnya ke kursi terdekat, lalu memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Tatapan matanya gelap saat menatap Hiriety.
“Aku ingin tahu” katanya, suaranya rendah dan tajam, “kau tahu kau akan diculik, dan tetap membiarkan itu terjadi. Kenapa?”
Hiriety terkekeh pelan. “Apa kau pikir aku akan lari? Itu terlalu membosankan.”
Marco mendekat, matanya menelusuri wajah Hiriety dengan intens. “Atau mungkin, kau memang ingin berada di sini.”
Hiriety menatap balik tanpa gentar. “Mungkin saja.”
Hening.
Ketegangan di antara mereka begitu pekat hingga udara terasa lebih berat. Marco menggerakkan rahangnya, seolah mencoba mencerna maksud di balik kata-kata Hiriety.
Lalu, dengan kecepatan yang mengejutkan, Marco meraih dagu Hiriety, membuat wanita itu sedikit mendongak untuk menatapnya lebih dekat.
“Aku ingin tahu,” bisiknya, nadanya berbahaya, “apa yang sebenarnya ada di kepalamu, Walton?”
Hiriety tersenyum tipis, matanya penuh tantangan.
“Kau” jawabnya singkat. “Dan betapa menyenangkannya membuatmu kehilangan kendali.”
Marco terdiam sesaat. Kemudian, tanpa peringatan, ia melepaskan genggamannya dan melangkah mundur.
“Kau bermain dengan api.”
Hiriety menyeringai. “Dan kau selalu ingin memadamkannya.”
Dia melangkah perlahan mendekati Marco, tapak suara high heels-nya beradu dengan lantai marmer, menciptakan ritme halus yang mengiringi setiap gerakannya.
Marco tetap berdiri di tempatnya, menatapnya dengan sorot mata penuh peringatan, tetapi Hiriety tahu lebih baik. Dia melihat ketegangan di bahu pria itu, melihat bagaimana rahangnya mengencang setiap kali dia mendekat.
"Kau tegang, Valley" bisik Hiriety, berhenti tepat di depannya. Tangannya yang ramping terangkat, jemarinya dengan sengaja menyapu pelan bagian kerah kemeja pria itu, menyusuri lipatan kain dengan santai. "Apa aku mengganggumu?"
Marco menggerakkan rahangnya, tetapi tidak mundur. "Kau mencoba" gumamnya, nada suaranya rendah dan berat.
Hiriety terkekeh, suara tawanya begitu lembut namun tajam, seolah dia menikmati situasi ini lebih dari yang seharusnya. "Coba?" Jemarinya kini turun, menyusuri dada Marco yang keras di balik kemeja. "Aku pikir aku sudah melakukannya."
Marco menghela napas panjang, matanya memperingatkan, tetapi tidak ada langkah mundur. Itu saja sudah cukup menjadi jawaban bagi Hiriety.
"Kau tidak akan menang," ucap Marco akhirnya.
Hiriety mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, cukup hingga napasnya menyentuh kulit Marco. "Siapa bilang aku ingin menang?" bisiknya di dekat telinga pria itu. "Aku hanya ingin melihat seberapa lama kau bisa bertahan sebelum akhirnya jatuh padaku"
Marco menyipitkan matanya, tetapi sebelum dia bisa membalas, Hiriety sudah menarik diri, menyisakan wangi parfumnya yang menggoda di udara. Dia tersenyum, menyentuh bibirnya dengan jemari seolah memikirkan sesuatu.
"Kau tahu, Valley..." Suaranya lembut, namun penuh godaan. "Aku selalu penasaran... Seberapa sulit sebenarnya membuat pria sepertimu menyerah? Seorang pria yang sudah begitu terobsesi pada wanita lain"
Marco terkekeh kecil, tapi tidak ada tanda-tanda hiburan di dalamnya. Hanya bahaya.
"Kau tahu aku menginginkan Selena dan kau mencoba mengubahnya? Tidakkah kau tahu itu mustahil, Walton"
Hiriety memiringkan kepalanya sedikit, ekspresinya seperti seseorang yang baru saja menemukan mainan baru. "Itulah yang membuatnya lebih menyenangkan."
Marco menatapnya lama, seolah menimbang sesuatu. Lalu, dengan gerakan tiba-tiba, dia meraih pergelangan tangan Hiriety, menariknya cukup dekat hingga wajah mereka hanya terpisah beberapa inci.
"Berhenti omong kosong dan segera minta pertolongan pada kakakmu agar aku bisa menembak mati dirinya” ucapnya dingin.
Hiriety hanya tersenyum “Aku tak mau” tolaknya
“Walton!”
Nada suara Marco tajam, nyaris seperti geraman. Cengkeramannya pada pergelangan tangan Hiriety menguat, namun wanita itu tidak menunjukkan sedikit pun ketakutan. Alih-alih, dia justru menatapnya dengan ekspresi penuh kemenangan, seolah-olah pria di depannya adalah tantangan paling menghibur dalam hidupnya.
Marco mengeratkan rahangnya, jelas tidak menyukai bagaimana Hiriety selalu berhasil mengubah dinamika di antara mereka. Dia tidak seharusnya membuang waktu berdebat dengan wanita ini. Rencananya sederhana—gunakan Hiriety sebagai alat untuk memancing Matthias, lalu habisi pria itu.
Tapi tentu saja, tidak ada yang sederhana jika itu berhubungan dengan seorang Walton.
Terutama Hiriety Berdine Walton.
"Aku tidak punya waktu untuk permainan ini" Marco akhirnya berkata, nada suaranya penuh ketegangan yang ia coba redam. "Panggil Matthias. Sekarang."
Hiriety tersenyum lebih lebar, matanya berkilat dengan sesuatu yang berbahaya. Dia meraih tangan Marco yang masih mencengkeramnya, jemari rampingnya menyentuh pergelangan pria itu dengan lembut.
"Kau panggil saja dia sendiri. Kenapa? Apa kau takut pada kakakku?" tanyanya, suaranya nyaris terdengar menggoda.
Marco menarik napas dalam, menatap wanita di hadapannya dengan frustasi. "Aku sungguh akan menembakmu, Walton!”
Alih-alih gentar, Hiriety justru tertawa kecil, suara tawanya ringan namun menusuk, seperti seseorang yang baru saja mendengar lelucon yang benar-benar menghibur.
“Tak masalah jika kau menembakku, sertakan juga cairan putih kental setelahnya”
Marco membeku.
Matanya menyipit, menatap Hiriety seolah ingin memastikan apakah dia benar-benar mendengar apa yang baru saja dikatakan wanita itu. Rahangnya mengencang, ekspresinya berubah tajam—bukan hanya karena ucapan Hiriety yang begitu provokatif, tetapi karena fakta bahwa wanita ini benar-benar tidak memiliki rasa takut.
Hiriety, di sisi lain, hanya tersenyum manis, bibir merahnya melengkung seperti seseorang yang baru saja memenangkan sebuah permainan yang bahkan belum sepenuhnya dimulai.
"Valley... Valley.." Dia menggelengkan kepalanya, lalu mencondongkan tubuhnya lebih dekat hingga bibirnya nyaris menyentuh telinga pria itu. "Kau tidak mengerti, ya?"
"Aku tidak takut padamu," bisik Hiriety. "Aku bahkan ingin tahu... Seberapa jauh kau akan pergi dan bagaimana usahamu merebut Selena dari kakaku yang gila itu"
Marco menatapnya tajam, sorot matanya menggelap.
"Kau pikir aku tidak berani?" tantangnya.
Hiriety tersenyum kecil, jemarinya dengan santai menyusuri lengan Marco sebelum akhirnya berhenti di dadanya. "Aku pikir" katanya pelan, "kau lebih takut pada dirimu sendiri. Kau khawatir akan jatuh pada musuhmu kan?"
Marco membeku.
Hiriety menarik diri dengan gerakan anggun, lalu melangkah mundur, membiarkan kata-katanya menggantung di udara seperti racun yang manis.
"Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang, Valley?" tanyanya, bibirnya masih melengkung dalam seringai menggoda. "Membunuhku? Menyakitiku? Atau.... “ Matanya menyipit sedikit, suaranya menurun hingga menjadi bisikan yang nyaris intim “....Bercinta denganku?"
Tiga minggu kemudian — Rumah Sakit Columbia Medical Center, New YorkJam menunjukkan pukul 03.47 dini hari.Langit di luar gelap pekat, tapi di dalam kamar bersalin, waktu tidak lagi punya arti. Semua terasa mendesak. Napas Hiriety memburu, peluh membasahi dahinya, dan suara detak jantung janin berdetak kencang dari monitor di samping tempat tidur.Marco berdiri di sampingnya, mengenakan scrub hijau kebesaran yang menggantung aneh di tubuhnya. Tangannya tak lepas dari menggenggam tangan Hiriety yang basah dan gemetar.“Kau bisa, mia cara. Tarik napas. Fokus padaku” katanya, meski suaranya sendiri bergetar.Hiriety menoleh, matanya merah, tapi masih menyala. “Kalau kau ulangi kata ‘fokus padaku’ satu kali lagi, aku akan lempar alat EKG ke wajahmu.”Marco langsung mengangkat tangan satunya. “Diterima. Tidak akan diulang. Maaf.”Perawat sudah bersiap. Dokter kandungan mereka, Dr. Elea
Udara musim semi menyambut mereka dengan aroma tanah basah dan sinar matahari hangat. Pepohonan di sepanjang jalan mulai menumbuhkan tunas-tunas hijau muda, dan burung-burung gereja terdengar ramai berceloteh di dahan yang baru saja bangkit dari tidur panjang musim dingin.Mobil berhenti di depan sebuah rumah bergaya kolonial yang tenang namun elegan, tersembunyi di tengah kawasan Cleveland Park—lingkungan tua yang penuh sejarah dan pepohonan besar yang teduh. Rumah itu tidak mencolok, tapi berkelas. Warna putih tulang berpadu dengan jendela-jendela besar berbingkai hitam. Teras depannya memiliki dua kursi goyang dan pot gantung berisi tanaman lavender yang baru mekar.Marco keluar lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Hiriety yang sedang hamil tua. “Tunggu di situ. Aku bantu.”Hiriety turun perlahan, memandang bangunan di depannya dengan kening sedikit berkerut. “Ini… bukan hotel, kan?”Marco tersenyum, lalu mengeluark
Jam sudah lewat tengah malam. Lampu kota memantulkan cahaya lembut ke jendela kamar penthouse tempat Marco dan Hiriety menginap sementara setelah menengok Selena dan bayinya dirumah sakit. Kamar mereka tenang, hanya ada suara mesin pemanas yang menderu lembut di sudut ruangan.Marco baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, dan mengenakan kaus lusuh serta celana tidur. Hiriety sedang duduk di tepi ranjang, kedua tangannya menopang perutnya yang sudah besar. Wajahnya sedikit tegang.Marco langsung menyadari ada yang berubah. “Mia cara?” tanyanya sambil mendekat.Hiriety tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, lalu menoleh pelan. “Aku… merasakan sesuatu. Seperti… perutku mengencang. Lalu... ada rasa nyeri dari pinggul ke bawah.”Marco langsung duduk di sebelahnya. “Sakitnya seperti apa? Menusuk? Atau seperti ditarik-tarik?”“Lebih ke… ditekan. Dalam. Seperti kr
Ruang rawat itu hanya menyisakan kedua perempuan beserta bayi mungil laki-laki yang tetap tidur dalam pelukan Selena“Merasa lebih baik?” Tanya HirietyHiriety duduk pelan di sofa dekat ranjang. Ia mengamati wajah sahabat sekaligus kakak iparnya itu. Mulai dari matanya, pipinya, seluruh raut wajah yang baru saja melewati perang besar.Selena mengulas senyum tipis lalu mengangguk “aku bahagia” UcapnyaSelena mentapnya lalu ikut mengulas senyum “Aura keibuanmu sudah keluar” ucap Hiriety, jujur dari hati“Apa karena aku sudah punya anak yaa” Kekeh Selena pelanHiriety menggeleng “Dari dulu sudah terasa, hanya saja.. kali ini benar-benar berbeda” jelasnya“Berbeda seperti apa?”“Entahlah, susah diucapkan dengan kata-kata. Ngomong-ngomong bagaimana rasanya melahirkan? Mengeluarkan bibit Matthias dari badan sekecil itu?” Tanya Hiriety“Lu
Beberapa jam setelah kelahiran bayi laki-laki mungilnya, Selena dipindahkan ke ruang inap VIP. Cahaya sore menembus tirai jendela besar, menyinari interior yang bersih dan hangat dengan aroma antiseptik samar yang tidak terlalu menyengat.Selena berbaring di ranjang dengan bantal empuk menopang punggungnya. Matanya masih tertutup, efek obat bius yang belum sepenuhnya hilang. Wajahnya tenang, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari perjuangan yang baru saja dilaluinya.Di sudut ruangan, Matthias duduk di kursi berlapis kain krem. Di pelukannya, sesosok bayi kecil terbungkus selimut putih bergaris biru muda. Bayi itu tidur pulas, dadanya naik turun perlahan dengan suara napas yang hampir tak terdengar. Jemari mungilnya tergenggam, sesekali bergerak refleks seperti sedang memegang sesuatu dalam mimpi.Matthias menatap anaknya, nyaris tak percaya. Ia telah mendengar tangis pertama itu, telah melihat tubuh kecil itu bergerak untuk pertama kalinya di dunia ini. Tap
Washington, D.C. USALangit musim semi menutupi kota dengan awan tipis yang bergerak malas. Di dalam rumah sakit bersalin terbesar di pusat kota, suasana jauh dari tenang. Ruang tunggu di luar ruang operasi penuh dengan ketegangan, dan di tengahnya, Matthias mondar-mandir seperti tahanan yang menunggu vonis.Marco duduk santai di kursi panjang, satu tangan menggenggam tangan Hiriety yang sudah mulai bengkak karena kehamilannya, dan tangan lain memegang botol air mineral yang belum dibuka.“Dude, kau mau bikin lubang di lantai?” tanya Marco, alis terangkat sambil melihat Matthias yang tak berhenti berjalan maju mundur. Baru kali ini dia melihat pewaris Walton itu tampak sangat cemas.Matthias menoleh, wajahnya pucat, rambut acak-acakan, dan kemejanya tampak seperti sudah dipakai dua hari berturut-turut. “Berisik. Istriku di dalam ruang operasi. Dia—dia sedang melahirkan dan aku lupa cara napas! Dokter itu mela