Share

Bab 3. OCD?

Author: Strrose
last update Last Updated: 2025-03-27 09:47:43

Hiriety beranjak masuk ketika selesai dengan ucapannya yang provokatif, yang tak ia duga adalah ketika Marco secara tiba-tiba menghantamkan tubuhnya ke dinding ruang tengah dengan keras, udara seakan terhenti sesaat saat jari-jari Marco melingkar erat di lehernya. Tatapan pria itu gelap, penuh amarah yang sudah sejak tadi ia tahan.

“How rude...” Hiriety bergumam dengan seringai tipis. Meskipun udara yang bisa ia hirup mulai menipis

"shut up your fuckin mouth! Aku sudah muak dengan permainanmu, Walton" geram Marco, jemarinya menekan kulit leher Hiriety, cukup kuat untuk memperingatkan tapi tidak sampai menghancurkannya.

Hiriety hanya terkekeh kecil, meski napasnya mulai terasa berat. Mata abu-abunya menatap Marco tanpa sedikit pun ketakutan, seolah pria itu hanyalah hiburan yang menyenangkan baginya.

"Apa ini yang bisa kau lakukan, Valley?" suaranya terdengar parau, namun masih dipenuhi nada mengejek. "Aku pikir kau lebih dari sekadar pria yang frustrasi atau mungkin ini pelampiasanmu karena tahu jika kau takkan pernah mendapatkan Selena"

Brak!!

Marco mempererat cengkeramannya sejenak, tapi lalu dengan gerakan mendadak, dia menarik tubuh Hiriety mendekat, hampir menempel dengannya. Tatapannya gelap dan berbahaya, tetapi Hiriety tidak bergeming sedikit pun.

"Aku bisa menghancurkanmu sekarang juga, Walton" bisik Marco dingin.

Hiriety tersenyum miring, jari-jarinya perlahan merambat ke dada Marco, merasakan denyut jantung pria itu di balik kemejanya yang sedikit kusut akibat pertarungan kecil mereka.

"Lalu kenapa kau tidak melakukannya?" bisiknya kembali, matanya berkilat penuh tantangan.

Marco terdiam. Ini yang paling membuatnya marah—bahwa Hiriety bisa membuatnya kehilangan kendali, bahwa wanita ini menikmati setiap detik konfrontasi mereka seolah itu adalah permainan yang ia kuasai dengan sempurna.

Dalam hitungan detik, ia melepaskan cekikannya hanya untuk menarik Hiriety dan melemparkannya ke sofa panjang di tengah ruangan. Wanita itu terjerembab, tetapi bukannya mundur, dia justru tersenyum lebih lebar.

"Kau ingin bertarung?" tanya Marco, suaranya rendah dan berbahaya. "Aku bisa memberimu lebih dari itu."

Hiriety tidak menjawab dengan kata-kata. Dengan gesit, dia menendang ke arah kaki Marco, membuat pria itu sedikit kehilangan keseimbangan. Itu cukup bagi Hiriety untuk melesat, menerjang Marco dengan sikut yang hampir mengenai rahangnya.

Namun Marco lebih cepat.

Dia menangkap lengan kanan Hiriety dan memelintirnya ke belakang, menekan tubuh wanita itu ke dadanya. Napas mereka beradu, panas dan dipenuhi ketegangan yang membakar.

“Sepertinya tulangku retak. Bisa kau lepaskan, Valley." suara Hiriety terdengar lebih seperti perintah daripada permohonan.

Marco mendekatkan bibirnya ke telinga Hiriety, suaranya nyaris seperti bisikan. "Dan jika aku tidak mau?"

Seolah menjawab tantangan, Hiriety dengan sigap menghentakkan kepalanya ke belakang, menghantam dagu Marco dengan keras. Pria itu mendesis, cengkeramannya melemah sejenak—cukup bagi Hiriety untuk membalikkan keadaan.

Dalam waktu singkat, mereka berdua sudah terjatuh ke lantai.

Hiriety duduk di atas tubuh Marco, kedua kakinya mengunci pinggang pria itu, tangan kirinya menekan dada Marco dengan kuat. Nafasnya sedikit terengah, tetapi matanya bersinar penuh kemenangan.

"Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang, Valley?" tanyanya, bibirnya masih melengkung dalam seringai menggoda.

Marco menatapnya tajam dari bawah, napasnya juga memburu. Tangan pria itu mencengkeram pergelangan Hiriety, tetapi tidak berusaha mendorongnya pergi.

BRUK!

Kini, Marco yang berada di atas, menekan tubuh Hiriety ke lantai dengan kedua tangannya mencengkeram pergelangan wanita itu. Napas mereka memburu, saling beradu dalam panasnya atmosfer yang semakin liar.

Hiriety mengerjapkan matanya sekali, lalu tersenyum, meskipun salah satu tali gaunnya melorot akibat gerakan kasar Marco.

"Keras kepala sekali," gumam Hiriety dengan nada geli, matanya menatap Marco dengan tatapan menantang. "Tapi aku suka itu."

Marco menggeram, mencoba mengabaikan cara gaun Hiriety sedikit tersingkap, memperlihatkan kulitnya yang mulus. "Kau pikir aku akan jatuh dalam jebakan murahanmu?" suara Marco terdengar kasar, nyaris seperti geraman binatang buas yang berusaha menahan diri.

Alih-alih merasa terintimidasi, Hiriety justru semakin menikmati situasi ini. Dia menggeliat sedikit di bawah Marco, sengaja menggesekkan tubuh mereka dalam jarak yang terlalu dekat.

"Kau tahu, Valley..." Hiriety berbisik, senyumannya semakin lebar. "Aku bisa merasakan jantungmu berdegup lebih cepat sekarang."

Marco mengencangkan cengkeramannya, rahangnya mengeras. "Berhenti bermain, Walton."

Tapi Hiriety hanya tertawa kecil, tubuhnya sedikit melengkung ke atas hingga bibirnya hampir menyentuh rahang Marco.

"Atau apa?" bisiknya, matanya berbinar penuh godaan. "Kau akan menghukumku?"

Marco menatapnya tajam, namun di balik kemarahan itu, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang mulai mengguncang kendali dirinya.

Dan Hiriety mengetahuinya dengan sangat baik.

Dalam satu gerakan cepat, Marco melepas cengkeramannya dari Hiriety dan berbalik, mencoba memberi jarak. Tapi Hiriety tidak membiarkannya begitu saja.

Dengan langkah anggun, dia berbalik menghadapnya, lalu—dengan santai menyesuaikan tali gaunnya yang melorot akibat pertarungan tadi.

Marco, yang seharusnya bisa mengalihkan pandangannya, justru terjebak dalam godaan yang tidak seharusnya mengguncang dirinya.

Hiriety memperhatikan bagaimana rahang Marco mengeras, bagaimana pria itu mengembuskan napas panjang seolah berusaha menahan diri. Lalu, dia tersenyum penuh kemenangan.

"Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang, Valley?" tanyanya masih dengan pertanyaan yang sama, bedanya hanya pada nada suaranya yang lembut namun berbahaya. "Membunuhku? Menyakitiku? Atau...."

Dia melangkah lebih dekat, cukup hingga ujung hidungnya hampir menyentuh pria itu.

"Menyerah dan menciumku?"

Plak.

Wajah Hiriety tertampar ke samping. Dia terhuyung, tapi tidak jatuh. Seulas darah segar mengalir dari sudut bibirnya, menodai kulitnya yang mulus. Ia menyentuh bibirnya, kemudian menatap Marco dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada rasa terkejut, tapi tidak ada rasa takut. Mungkin sedikit… kecewa?

“tadi kau mematahkan lenganku dan sekarang menamparku. Kau memang punya trauma terhadap wanita apa bagaimana?” Gerutu Hiriety

Marco menatapnya, wajahnya tegang. Penamparan itu spontan, didorong oleh amarah yang meledak-ledak. Ia menyesalinya seketika, tapi sudah terlambat

Keheningan menyelimuti ruangan. Hanya suara napas mereka yang terdengar, bercampur dengan deru darah yang mengalir di bibir Hiriety. Marco menatapnya, melihat bagaimana wanita itu perlahan menghapus darah dari bibirnya, gerakannya begitu tenang dan anggun, seolah penamparan itu hanyalah gangguan kecil yang tidak berarti.

"Kau tak seharusnya melakukan itu" Hiriety berkata, suaranya datar, tanpa emosi. Ia tidak berteriak, tidak menangis, tidak menunjukkan rasa sakit.

Ia mendekati Marco, jarak mereka sangat dekat. Ia bisa merasakan nafas Marco yang memburu, bisa merasakan ketegangan di tubuhnya. Ia bisa melihat bagaimana Marco berusaha menahan diri, berusaha untuk tidak menyentuhnya.

"Atau mungkin," Hiriety melanjutkan, suaranya lebih lembut, lebih menggoda, "kau hanya… OCD?"

Ia melihat bagaimana mata Marco melebar, bagaimana wajahnya berubah menjadi pucat. Ia telah menebak dengan benar. Marco memiliki Obsessive-Compulsive Disorder, itulah mengapa ia begitu mudah marah.

"Aku tidak menyangka kau se-rapuh ini, Valley" Hiriety berbisik, suaranya penuh arti. "Ternyata, di balik topeng kekejamanmu, tersembunyi seorang pria yang lemah dan penuh ketakutan."

Ia menyentuh lengan Marco lalu memegang lengan Marco dengan erat, menikmati reaksi Marco yang tidak terkendali.

"Kau tahu" Hiriety berbisik, suaranya semakin menggoda, "ini jauh lebih menarik daripada yang kuharapkan." Ia tersenyum, senyum yang penuh kemenangan

Marco mengeram pelan. Dalam hati dia memaki.

‘Sialan, wanita ini memang berbahaya.’

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 161. Selamat datang sweetheart

    Tiga minggu kemudian — Rumah Sakit Columbia Medical Center, New YorkJam menunjukkan pukul 03.47 dini hari.Langit di luar gelap pekat, tapi di dalam kamar bersalin, waktu tidak lagi punya arti. Semua terasa mendesak. Napas Hiriety memburu, peluh membasahi dahinya, dan suara detak jantung janin berdetak kencang dari monitor di samping tempat tidur.Marco berdiri di sampingnya, mengenakan scrub hijau kebesaran yang menggantung aneh di tubuhnya. Tangannya tak lepas dari menggenggam tangan Hiriety yang basah dan gemetar.“Kau bisa, mia cara. Tarik napas. Fokus padaku” katanya, meski suaranya sendiri bergetar.Hiriety menoleh, matanya merah, tapi masih menyala. “Kalau kau ulangi kata ‘fokus padaku’ satu kali lagi, aku akan lempar alat EKG ke wajahmu.”Marco langsung mengangkat tangan satunya. “Diterima. Tidak akan diulang. Maaf.”Perawat sudah bersiap. Dokter kandungan mereka, Dr. Elea

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 160. Be our self

    Udara musim semi menyambut mereka dengan aroma tanah basah dan sinar matahari hangat. Pepohonan di sepanjang jalan mulai menumbuhkan tunas-tunas hijau muda, dan burung-burung gereja terdengar ramai berceloteh di dahan yang baru saja bangkit dari tidur panjang musim dingin.Mobil berhenti di depan sebuah rumah bergaya kolonial yang tenang namun elegan, tersembunyi di tengah kawasan Cleveland Park—lingkungan tua yang penuh sejarah dan pepohonan besar yang teduh. Rumah itu tidak mencolok, tapi berkelas. Warna putih tulang berpadu dengan jendela-jendela besar berbingkai hitam. Teras depannya memiliki dua kursi goyang dan pot gantung berisi tanaman lavender yang baru mekar.Marco keluar lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Hiriety yang sedang hamil tua. “Tunggu di situ. Aku bantu.”Hiriety turun perlahan, memandang bangunan di depannya dengan kening sedikit berkerut. “Ini… bukan hotel, kan?”Marco tersenyum, lalu mengeluark

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 159. Memantik gairah

    Jam sudah lewat tengah malam. Lampu kota memantulkan cahaya lembut ke jendela kamar penthouse tempat Marco dan Hiriety menginap sementara setelah menengok Selena dan bayinya dirumah sakit. Kamar mereka tenang, hanya ada suara mesin pemanas yang menderu lembut di sudut ruangan.Marco baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, dan mengenakan kaus lusuh serta celana tidur. Hiriety sedang duduk di tepi ranjang, kedua tangannya menopang perutnya yang sudah besar. Wajahnya sedikit tegang.Marco langsung menyadari ada yang berubah. “Mia cara?” tanyanya sambil mendekat.Hiriety tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, lalu menoleh pelan. “Aku… merasakan sesuatu. Seperti… perutku mengencang. Lalu... ada rasa nyeri dari pinggul ke bawah.”Marco langsung duduk di sebelahnya. “Sakitnya seperti apa? Menusuk? Atau seperti ditarik-tarik?”“Lebih ke… ditekan. Dalam. Seperti kr

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 158. Bagaimana rasanya?

    Ruang rawat itu hanya menyisakan kedua perempuan beserta bayi mungil laki-laki yang tetap tidur dalam pelukan Selena“Merasa lebih baik?” Tanya HirietyHiriety duduk pelan di sofa dekat ranjang. Ia mengamati wajah sahabat sekaligus kakak iparnya itu. Mulai dari matanya, pipinya, seluruh raut wajah yang baru saja melewati perang besar.Selena mengulas senyum tipis lalu mengangguk “aku bahagia” UcapnyaSelena mentapnya lalu ikut mengulas senyum “Aura keibuanmu sudah keluar” ucap Hiriety, jujur dari hati“Apa karena aku sudah punya anak yaa” Kekeh Selena pelanHiriety menggeleng “Dari dulu sudah terasa, hanya saja.. kali ini benar-benar berbeda” jelasnya“Berbeda seperti apa?”“Entahlah, susah diucapkan dengan kata-kata. Ngomong-ngomong bagaimana rasanya melahirkan? Mengeluarkan bibit Matthias dari badan sekecil itu?” Tanya Hiriety“Lu

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 157. Sweet little baby

    Beberapa jam setelah kelahiran bayi laki-laki mungilnya, Selena dipindahkan ke ruang inap VIP. Cahaya sore menembus tirai jendela besar, menyinari interior yang bersih dan hangat dengan aroma antiseptik samar yang tidak terlalu menyengat.Selena berbaring di ranjang dengan bantal empuk menopang punggungnya. Matanya masih tertutup, efek obat bius yang belum sepenuhnya hilang. Wajahnya tenang, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari perjuangan yang baru saja dilaluinya.Di sudut ruangan, Matthias duduk di kursi berlapis kain krem. Di pelukannya, sesosok bayi kecil terbungkus selimut putih bergaris biru muda. Bayi itu tidur pulas, dadanya naik turun perlahan dengan suara napas yang hampir tak terdengar. Jemari mungilnya tergenggam, sesekali bergerak refleks seperti sedang memegang sesuatu dalam mimpi.Matthias menatap anaknya, nyaris tak percaya. Ia telah mendengar tangis pertama itu, telah melihat tubuh kecil itu bergerak untuk pertama kalinya di dunia ini. Tap

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 156. Kelahiran putra Matthias

    Washington, D.C. USALangit musim semi menutupi kota dengan awan tipis yang bergerak malas. Di dalam rumah sakit bersalin terbesar di pusat kota, suasana jauh dari tenang. Ruang tunggu di luar ruang operasi penuh dengan ketegangan, dan di tengahnya, Matthias mondar-mandir seperti tahanan yang menunggu vonis.Marco duduk santai di kursi panjang, satu tangan menggenggam tangan Hiriety yang sudah mulai bengkak karena kehamilannya, dan tangan lain memegang botol air mineral yang belum dibuka.“Dude, kau mau bikin lubang di lantai?” tanya Marco, alis terangkat sambil melihat Matthias yang tak berhenti berjalan maju mundur. Baru kali ini dia melihat pewaris Walton itu tampak sangat cemas.Matthias menoleh, wajahnya pucat, rambut acak-acakan, dan kemejanya tampak seperti sudah dipakai dua hari berturut-turut. “Berisik. Istriku di dalam ruang operasi. Dia—dia sedang melahirkan dan aku lupa cara napas! Dokter itu mela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status