Hiriety Berdine Walton.
Banyak wanita yang ingin menjadi dirinya, dan banyak pria yang memujanya. Dengan rambut cokelat gelap panjang yang lembut, mata abu-abu yang tajam seperti elang, serta bibir merah yang sering melengkung dalam senyum penuh kepercayaan diri, Hiriety bukan hanya sekadar cantik—dia adalah pusat perhatian di mana pun ia berada. Tapi dia bukan sekadar sosialita yang hidup di bawah bayang-bayang nama besar Walton. Hiriety adalah wanita yang tahu apa yang ia mau, dan ia tidak ragu untuk mendapatkannya. Termasuk ketika seseorang mencoba menyentuh dunianya tanpa izin. Seperti pria itu. Marco Valley. Pria yang dikenal dingin, tidak kenal takut, dan penuh kebencian pada keluarganya. Namun bagi Hiriety, Marco bukan ancaman—dia adalah tantangan yang menarik. “Dia benar-benar berani, ya?” Hiriety berbisik dengan nada geli sambil menyesap sampanye dari gelas kristal yang ia pegang. Ia berdiri di sudut ruangan, mengamati pria berjas hitam yang baru saja tiba di pesta malam itu. Hiriety tahu semuanya. Dia tahu jika malam ini dirinya akan diculik dan dijadikan sandera Dia tahu jika Marco Valley adalah musuh kakaknya Dan dia tahu jika Marco Valley terobsesi pada Selena, calon istri kakaknya sendiri “Kau harus berterimakasih padaku setelah ini, Mattie...” Gumam Hiriety Hiriety mengeratkan pegangannya pada gelas kristalnya. Dia berjalan dengan penuh percaya diri menuju sosok pria itu dan.. “Ah....” Dengan polosnya Hiriety menumpahkan sampanye dari gelasnya ke jas hitam mahal yang dikenakan Marco Valley. "...Maaf sir" Hiriety melanjutkan, suaranya lembut, hampir tidak terdengar di tengah musik dan obrolan ramai. Mata abu-abunya yang tajam menatap Marco, tanpa sedikit pun rasa bersalah. Sampanye mahal membasahi jas hitam itu, meninggalkan noda yang mencolok. Marco mengernyit, tangannya terangkat untuk menyentuh jasnya yang basah. Tatapan dinginnya bertemu dengan tatapan Hiriety yang sama dinginnya, bahkan mungkin lebih tajam. Ia mengenal wanita ini, reputasinya mendahului dirinya. "Kau sengaja?" suaranya berat, tertahan. Ia berusaha menahan amarahnya, berusaha untuk tetap tenang. Hiriety tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke matanya. "Oh, maafkan aku" katanya, suaranya masih lembut, tetapi ada nada sindiran yang tersirat. "Aku sedikit ceroboh." Ia mengangkat gelasnya yang kosong, seolah-olah tidak menyadari betapa mahalnya sampanye yang baru saja ia tumpahkan. Marco memperhatikan gerakannya, setiap detailnya. Wanita ini tidak takut. Ia tahu ini bukan kecelakaan. Ia tahu Hiriety sudah tahu tentang rencananya. Tetapi, mengapa ia membiarkan dirinya didekati? Suasana pesta yang semula dipenuhi dengan suara musik klasik dan tawa ringan tiba-tiba terasa hening di sekitar mereka. Beberapa tamu yang berdiri di dekatnya menahan napas, menunggu reaksi pria yang dikenal memiliki temperamen buruk itu. Hiriety menatap Marco dengan mata abu-abunya yang berkilat penuh kepolosan. “Apa Anda marah, Sir?” katanya dengan nada menyesal yang tidak sepenuhnya tulus. “Jas anda pasti sangat mahal.” Hiriety tidak memberi Marco waktu untuk bereaksi lebih jauh. Dia meraih saputangan dari tas kecilnya dan dengan gerakan halus, menepuk-nepuk noda sampanye di jas Marco. “Walton” gumamnya dengan suara rendah dan dingin. Rahang Marco mengencang, dan tatapannya terangkat, bertemu dengan mata Hiriety yang penuh tantangan. “Sepertinya aku harus bertanggung jawab.” Suaranya terdengar genit, tapi tangannya sengaja bergerak lambat di atas dadanya, menikmati sensasi ketegangan yang ia ciptakan. Marco menangkap pergelangan tangannya dengan cepat, mencengkeramnya cukup erat hingga Hiriety bisa merasakan kekuatan pria itu. “Tanggung jawab?” Marco berbisik rendah, mendekat hingga napasnya hampir menyentuh wajah Hiriety. “Hati-hati dengan kata-katamu, Walton. Aku bisa saja benar-benar menagihnya nanti.” Alih-alih merasa terancam, Hiriety justru tersenyum lebih lebar. “Aku harap begitu, Valley.” Dia melepaskan tangannya dari cengkeraman Marco dengan lembut dan melangkah mundur, meninggalkan pria itu dengan jasnya yang masih basah dan tatapan penuh arti. Hiriety tahu apa yang akan terjadi malam ini. Brak--- Pintu mobil Hiriety ditutup dengan paksa oleh seorang pria yang sejak tadi mengikutinya. Mata abunya hanya melirik sekilas ke arah pria bertubuh besar yang baru saja menutup pintu mobilnya dengan kasar. Tangan Hiriety menahan seorang pria yang hendak membekapnya “Aku harap kalian tidak mengikatku seperti dalam film-film kriminal atau bahkan membuatku tak sadarkan diri” suara Hiriety memecah kesunyian. “Itu terlalu klise. Biarkan aku jalan sendiri” Pria di sampingnya, yang sejak tadi menatapnya tajam, hanya mengangkat sebelah alis. “Kau seharusnya lebih takut, Walton.” Hiriety terkekeh pelan. “Takut?” Ia menoleh, menatap pria itu dengan mata abu-abunya yang berkilat nakal. “Kalian salah menculik orang jika menginginkan kepanikan.” Pria itu tidak menjawab, tetapi sorot matanya mengatakan bahwa ia tidak menyukai kepercayaan diri berlebihan Hiriety. “Jadi.. dimana mobil yang harus kunaiki?” Tanyanya santai Pria di sampingnya tampak ragu sejenak, tapi kemudian melirik ke arah mobil hitam yang terparkir tidak jauh dari mereka. “Masuk” perintahnya dengan suara rendah dan tegas. Hiriety tersenyum kecil sebelum melangkah dengan anggun ke arah mobil tersebut, seolah ia sedang menaiki kendaraan pribadinya, bukan dalam situasi penculikan. Ketika pintu terbuka, ia masuk tanpa ragu dan duduk di kursi belakang dengan santai, menyilangkan kakinya. Salah satu pria bertubuh besar masuk setelahnya, duduk di sampingnya dengan ekspresi waspada. Sementara pria lain menutup pintu dengan kasar sebelum kendaraan mulai melaju, meninggalkan pesta mewah di belakang mereka. Hiriety melirik sekilas ke arah sopir yang berada di depan. “Siapa namamu?” tanyanya ringan. Pria itu tidak menjawab. “Oh, baiklah. Tidak ingin berbasa-basi, ya?” Hiriety terkekeh kecil sebelum menoleh ke arah pria di sampingnya. “Lalu, kapan aku bisa bertemu bos kalian?” Pria itu mendecak, tampak tidak suka dengan sikapnya yang terlalu tenang. “Kau seharusnya berhenti bersikap sombong. Situasi ini bukan dalam kendalimu, Walton.” Hiriety mengangkat bahu. “Memangnya aku terlihat peduli?” Saat itu juga, suara lain terdengar dari kursi depan. Suara yang lebih berat dan dalam. “Sikapmu menyebalkan.” Hiriety menoleh, dan bibirnya langsung melengkung dalam seringai penuh kemenangan. Marco Valley. Akhirnya, pria itu menampakkan diri. “Kenapa tak bilang jika sejak tadi kau duduk disana?” Hiriety menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, menatapnya dengan ekspresi puas. “Aku berharap setidaknya kau memberiku sedikit lebih banyak waktu untuk menikmati pestaku.” Marco tidak merespons leluconnya. Sorot matanya tetap tajam, penuh ketegangan yang tidak bisa dijelaskan. “Kenapa kau tidak terlihat terkejut?” tanyanya datar. Hiriety menautkan jemarinya di pangkuannya, lalu menatap Marco dengan ekspresi penuh arti. “Mungkin karena aku tahu ini akan terjadi.” Dahi Marco sedikit berkerut. “Apa maksudmu?” Alih-alih menjawab, Hiriety hanya tersenyum misterius “Apa kau pikir hanya kau dan Matthias yang menyukai Selena?” Untuk pertama kalinya, Marco menampakan ekspresi yang sangat mudah dibaca, pria itu jelas terkejut “Aku juga menyukai Selena, dan rasa sukaku padanya jauh lebih dalam dari kau ataupun kakakku. Jadi aku takkan membiarkan apapun mengganggu kebahagiannya” Marco menatap Hiriety. Rahangnya mengencang, dan genggaman tangannya di atas lututnya mengepal kuat. “Kau bercanda” gumamnya, tapi nada suaranya terdengar ragu. Hiriety hanya tersenyum, menikmati ekspresi langka dari pria yang selalu berusaha terlihat tidak terpengaruh oleh apa pun. “Apa aku terlihat seperti sedang bercanda, Valley?” katanya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi dengan anggun. Hening. Marco menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba membaca apa yang ada di balik mata abu-abu wanita itu. Sesuatu tentang caranya berbicara, ekspresi percaya dirinya, membuat Marco merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang dimainkan di sini. Marco Valley pikir ia sedang memainkan permainannya sendiri malam ini. Tapi yang tidak ia sadari adalah—Hiriety Berdine Walton telah lebih dulu menyiapkan panggungnya sendiri. Dan Marco? Dia baru saja masuk ke dalamnya.Pesawat mendarat mulus di Bandara Internasional Washington Dulles, deru mesin perlahan mereda, dan tanda sabuk pengaman pun padam. Para penumpang kelas bisnis mulai berdiri satu per satu, mengambil jas dan koper kabin mereka dari loker atas.Marco berdiri lebih dulu, membantu Hiriety mengenakan coat hitam tipisnya sebelum mengambil koper kecil mereka. Tatapan Hiriety singkat tertuju ke arah lorong belakang—ke tempat Laurent duduk—namun ia tak berkata apa pun, dan memilih melangkah anggun keluar bersama Marco.Mobil hitam dengan plat diplomatik pribadi mengantar mereka melewati jalanan elite Washington yang basah oleh gerimis pagi. Pohon-pohon maple berguguran di sisi jalan, mengiringi mobil yang akhirnya berhenti di depan gerbang tinggi Mansion Walton, rumah keluarga Hiriety yang berdiri megah dengan gaya kolonial yang dingin dan aristokratik.Pintu dibukakan oleh pelayan, dan Marco menggenggam tangan Hiriety saat mereka melangkah masuk. Di ruang ten
Pesawat kelas bisnis dipenuhi oleh para eksekutif dan penumpang elit. Hiriety dan Marco menempati kursi bersebelahan di baris depan. Namun sebelum mereka duduk, Hiriety menoleh, pandangannya bertemu dengan seseorang—seorang pria berusia 25 tahunan, mengenakan jas abu-abu gelap, dengan tatapan datar dan senyum menyebalkan.Laurent AuvrayHiriety tersenyum tipis, seolah menyambut sebuah permainan yang telah lama ia nantikan. Laurent, yang duduk beberapa baris di belakang mereka, membuang pandangannya begitu mata Marco ikut menatapnya—tajam dan penuh ancaman"Apa yang kau rencanakan untuknya?" tanya Marco datar, matanya belum sepenuhnya lepas dari bayangan Laurent di belakang mereka.Hiriety mengangkat bahu acuh lalu duduk di kursinya, menyelonjorkan kakinya santai. “Dia melukai harga diriku saat di gala terakhir kali,” jawabnya tenang, namun ada bara kecil yang mengintip di balik suaranya.Marco menyandarkan tubuh ke kur
Seminggu berlalu dengan cepat dan selama seminggu itu, Marco menghadapi perubahan mood Hiriety yang sangat tak terduga. Kadang Hiriety tampak manja dan penuh kasih sayang, mendekapnya dengan hangat dan berbicara lembut seolah dunia hanya milik mereka berdua. Namun di lain waktu, Hiriety bisa berubah menjadi mudah tersinggung, galak, dan tertutup, membuat Marco merasa tersiksa sekaligus bingung.Setiap kali mood buruk itu datang, Marco berusaha tetap sabar dan pengertian. Ia tahu itu bukan kesalahan Hiriety, melainkan efek dari rasa sakit dan ketidakseimbangan hormon yang sedang dialaminya. Meski begitu, hati Marco terkadang ikut terbakar oleh frustasi karena keinginannya untuk bercinta dengan Hiriety melonjak saat Hiriety menggodanya dengan ekspresi sayu dan pasrah.Hiriety terkekeh mengingat bagaimana lelaki di sebelahnya ini sangat kecintaan pada dirinya. Tangan Hiriety dengan santainya mengusap bibir tipis Marco, lalu naik ke hidung dan kedua mata Marco.Sian
Marco tak bisa menyamarkan senyum lebarnya. Senyum yang begitu lebar, sampai pipinya terasa pegal. Ia menatap wanita di hadapannya—Hiriety Berdine Walton.Ia akan menikah dengan Hiriety.Pernikahan.Sebuah kata yang selama ini hanya sekadar konsep jauh di benaknya, kini berubah menjadi kenyataan yang begitu manis.Dia memang sudah melamar Hiriety sejak seminggu lalu tapi baru kali ini Hiriety mengizinkan pernikahan mereka diselenggarakan“Aku merasa seperti bermimpi” gumam Marco sambil menggenggam jemari Hiriety yang kecil dan dingin. “Kita akan benar-benar menikah.”“Hmm” sahut Hiriety pelan, tanpa semangat, tubuhnya setengah rebah di sofa. Ia memeluk bantal seperti berusaha menyelamatkan diri dari dunia.Marco tertawa pelan dan mencium punggung tangannya. “Boleh aku—”“Jangan sentuh aku,” potong Hiriety cepat. Matanya menyipit, dan Marco langsung terdiam,
“Apa?!” Hiriety terkejut, menoleh dengan ekspresi nyaris panik. Tapi Marco sudah bergerak ringan, menarik tangannya dengan lembut menuju kamar mandi.“Aku tidak akan melihat apa-apa yang tidak ingin kau perlihatkan,” ujarnya tenang sambil membuka lemari kecil dan menyiapkan air hangat di baskom. Ia begitu terbiasa bersikap dingin dan dominan pada banyak hal, tapi ketika menyangkut Hiriety… sikapnya seolah bisa berubah total.Hiriety hanya menatapnya, tak lagi berkata. Ada sesuatu di matanya—antara geli, canggung, dan... nyaman.Marco melepaskan kancing celana Hiriety lalu menurunkannya. Dia merendam celana panjang yang terkena noda dalam air, menggosoknya perlahan seolah sedang membersihkan sesuatu yang sangat berharga.“Kau tak jijik?” Tanya Hiriety meskipun dia sudah tahu jawabannya. Dia membuka lemari penyimpanan dan mengambil tamponMarco melirik ke arahnya begitu Hiriety membuka lemari dan menga
Marco duduk di meja makan, piring di depannya berisi hidangan yang dimasak oleh Hiriety. Aroma masakan itu menguar hangat, memenuhi ruangan kecil mereka dengan rasa nyaman yang jarang ia rasakan. Dengan gerakan perlahan, Marco mengambil suapan demi suapan, menikmati setiap rasa yang tertuang dari tangan Hiriety.Dia belum makan apapun sejak kemarin.Entah kenapa, sejak tunangannya itu meninggalkan apartemen siang tadi, hatinya terasa kosong. Tenggorokannya menolak makanan, pikirannya penuh dengan kemungkinan—ke mana Hiriety pergi, apa yang ia bicarakan dengan Erasmus, dan kenapa bayangan masa lalu terasa lebih dekat daripada biasanya.Sendok di tangannya berhenti bergerak. Ia mendongak menatap Hiriety yang baru saja duduk di seberangnya, tangan wanita itu menggenggam gelas air yang ia serahkan pada Marco“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Marco, suaranya pelan tapi mengandung tekanan.Hiriety menatapnya beberapa detik, lalu menari