"Hiriety Bedine Walton! Sedang apa kau?!!"
Suara Marco terdengar dalam dan berbahaya di seberang telepon.
Hiriety menyandarkan punggungnya ke meja di belakangnya, masih di dalam ruangan Erasmus. Dengan senyum nakal, dia melirik Erasmus yang masih berdiri di depannya, dasinya masih tergenggam di tangan Hiriety.
“Aku sibuk” jawabnya santai, suaranya penuh godaan.
Marco terdiam beberapa detik. “Sibuk dengan siapa?”
Hiriety bisa merasakan nada posesif dalam suara Marco, yang justru membuatnya semakin ingin bermain-main dengannya.
“Hmm, kau tahu sendiri” balasnya dengan nada sok misterius. “Ada banyak pria tampan di Milan.”
Erasmus menahan tawa, tetapi ekspresi matanya tajam, seolah ingin tahu bagaimana kelanjutan percakapan itu.
Marco menggeram di telepon. “Hiriety.”
Nada suaranya berbahaya.
Hiriety tertawa kecil. “Kau tahu, Valley? Aku suka mendengar s
“Mereka sudah tiba.”Hiriety tak perlu bertanya siapa yang dimaksud.Langkah berat terdengar di lorong, dan beberapa detik kemudian, sosok tinggi berjas hitam muncul di ambang pintu.Matthias Walton.Di belakangnya, pasangan dengan mata tajam dan aura aristokrat yang tak bisa disembunyikan, Caid dan Relova, orang tuanya.“Hiriee sayang, bagaimana kondisimu?” tanya LovaHiriety tersenyum manis, dia melirik Marco disebelahnya, mengkode agar pria itu melepaskan pinggangnya“Aku baik ma, Marco menenangkanku” Jawab HirietyLova mengamati putrinya beberapa detik, lalu sorot matanya berpindah ke Marco. Ada penilaian cepat di sana—seorang ibu yang mengukur seberapa layak pria itu menjadi pelindung anaknya. Dan meski ekspresinya tenang, Relova Walton selalu tahu bagaimana membuat siapa pun merasa seperti diselami sampai ke sumsum.“Terima kasih, Mr Valley” katanya akhirnya, na
“Sudah mendengarnya?” Hiriety bertanya pelan, hampir seperti bisikan yang tersesat di tengah angin malam. Ia duduk di tepi ranjang, punggung menghadap ke arah pintu. Gaun malamnya kusut, rambutnya setengah tergerai, namun aura dingin dan kuat tetap memancar dari bahunya yang tegas.Marco berdiri di ambang pintu, pandangannya jatuh pada punggung kekasihnya itu.“Ya…” jawabnya pelan.Ia menutup pintu, dan untuk sesaat hanya ada keheningan di antara mereka. Lampu kamar temaram, hanya remang dari kota Istanbul yang masuk melalui tirai yang setengah terbuka.Marco melangkah pelan, seolah takut menyentuh luka yang tak terlihat. Lalu ia duduk di sisi ranjang, di sebelah Hiriety. Beberapa detik berlalu sebelum ia berkata:“Kenapa kau tak pernah bilang, Mia cara…”Suara itu pecah. Hanya sedikit, tapi cukup. Hiriety menutup matanya. Ia bisa merasakan bagaimana dada Marco mulai naik turun tak teratur. D
The Pearl Ottoman Hotel, IstanbulSuite 1802 – 01:03 AMLampu gantung kristal memantulkan cahaya hangat ke seluruh ruangan, namun hawa di dalam terasa dingin. Denzel masih terikat di kursi, kepala tertunduk, wajahnya dibasahi keringat dan darahSuara langkah kaki menggema di koridor.Klik.Pintu terbuka.Marco Valley masuk ke dalam ruangan, tanpa banyak kata. Matanya tajam, gelap, dan penuh pertanyaan. Ia mengenakan mantel hitam dan sarung tangan kulit, tubuhnya tinggi dan berwibawa, namun malam ini ada sesuatu yang lebih: ketegangan nyaris tak terkendali.Denzel mendongak perlahan, matanya bertemu dengan sosok lelaki itu.kekehan samar tercipta dibibirnya begitu tahu siapa pria angkuh didepannya.“Marco Valley” gumamnya, suara serak. “Kau... kau pasti Marco Valley.”Marco menatapnya tanpa ekspresi. Namun dari tatapannya, Marco jelas sangat puas dengan karya Hiriety di wajah dan tubuh Denzel
Istanbul, TurkiDenzel Stallone, Presumed dead (2022).Last trace: Istanbul, Turkey.Photo Match: 89% — active subject under alias “E.L.”"Dia sungguh hidup..." Hiriety bergumam pelan, nyaris seperti bisikan yang terlepas tanpa sadar.Jari-jarinya bergetar di atas layar tablet yang menampilkan hasil pencocokan wajah. Meski sudah diproses dengan filter inframerah dan pengenalan biometrik termutakhir, angka 89% saja sudah cukup membuat jantungnya berpacu.Denzel Stallone.Pria yang seharusnya sudah menjadi bagian dari masa lalu.Pria yang, bagi Hiriety, adalah bayangan gelap yang tak pernah benar-benar mati.Hiriety berdiri dari kursinya, menatap ke luar jendela hotel tempatnya menginap. Di kejauhan, Hagia Sophia berdiri dengan megah di bawah langit Istanbul yang kelabu. Kota ini tak berubah sejak terakhir kali ia di sini—tapi dirinya sudah.Matanya memanas. Di antara kejutan, ada luka yang mencuat k
Langit Washington mendung ketika Marco turun dari mobilnya. Ia melangkah cepat ke arah villa kakeknya—Gregory Valley, pria tua penuh intrik yang pernah mengatur separuh arah hidupnya tanpa sepengetahuannya.Pintu kayu ek terbuka keras. Derap langkah Marco bergema marah di aula rumah besar itu, menghentak sampai akhirnya dia berhenti di ruang kerja tempat Gregory duduk santai, menyesap teh hitam mahalnya sambil memandang grafik saham dari ipadnya. Sorot matanya tetap tajam meski usia sudah tak muda. Marco mendekat tanpa banyak basa-basi.“Cucuku tiba juga” sapanya ringan, seperti tak ada yang salah di dunia ini.Marco melempar setumpuk dokumen ke meja. Foto-foto, laporan mata-mata, dan—yang paling mengesalkan—gambar buram seorang pria di Istanbul yang tak mungkin disangkal: Denzel.“Dia masih hidup” kata Marco, datar.Gregory hanya mengangkat alis, lalu terkekeh ringan “Lalu kenapa?”&ldqu
“Denzel. Dia masih hidup” ucap Hiriety dengan tenangnyaMarco terdiam cukup lama.Wajahnya tidak bergerak, seolah waktu sendiri berhenti di balik pupil matanya yang gelap dan dalam. Hiriety menatapnya, menanti—mungkin menunggu amarah, penyangkalan, atau setidaknya sebuah pertanyaan. Tapi yang ia dapat hanya... diam. Sunyi yang terlalu berat untuk diabaikan.Lalu tiba-tiba, Marco tersenyum kecil. “Kalau begitu,” ujarnya ringan, nyaris seperti bercanda, “apa kau mau kubantu mencarikan dia?” Nada suaranya terlalu tenang. Terlalu dingin.Hiriety menyipitkan mata, mencoba membaca maksud di balik kalimat itu. Tapi Marco sudah memutar tubuhnya dan menggandeng tangannya masuk ke dalam rumah“Aku serius” katanya sambil menoleh pada Hiriety yang sejak tadi memilih diam “Kau bilang dia masih hidup. Jadi, mau kubantu mencarinya?”“Memangnya kau tahu apa yang akan kulakukan jika berh