“Berapa ukuran jarinya?”
Marco terdiam.
Diam yang tidak biasa. Matanya berkedip pelan, seolah otaknya mencoba membongkar ribuan momen bersama Hiriety hanya untuk menemukan... ukuran jarinya.
Richard memelototinya. “Jangan bilang kau tidak tahu.”
Marco menatapnya dengan ekspresi nyaris bersalah. “…Dia punya tangan kecil.”
“Semua wanita kecil punya tangan kecil, Sherlock,” Richard menggeram sambil menutup teleponnya sementara. “Kau mau melamarnya lusa, Marco. Lusa. Dan kau bahkan tidak tahu ukuran jarinya?”
Marco bangkit dari kursi, mulai berjalan mondar-mandir seperti tahanan menunggu eksekusi.
“Dia jarang pakai cincin. Aku tak pernah perhatikan. Aku sibuk… memperhatikan ekspresi wajahnya, cara dia bicara, bagaimana dia marah, dan...”—ia mengangkat bahu seolah itu membenarkan semuanya—“kau tahu, hal-hal penting.”
“
Laut Aegea membentang luas, memantulkan cahaya keemasan dari matahari senja yang perlahan turun di ufuk barat. Angin laut menyapu lembut rambut Hiriety yang dibiarkan tergerai, sementara gaun tipis putihnya berkibar perlahan, seirama dengan irama laut yang tenang.Hiriety berdiri di dek atas sebuah yacht mewah yang melaju pelan, membelah air biru jernih dengan keanggunan yang senyap. Tak ada keramaian, tak ada saksi lain selain langit, laut, dan waktu yang terasa seolah berhenti hanya untuk mereka.Marco berdiri tak jauh dari Hiriety, mengenakan kemeja putih yang bagian atasnya terbuka, rambutnya sedikit berantakan karena angin, tapi sorot matanya penuh ketegasan dan kelembutan. Sejak sore tadi, ia terlihat lebih diam dari biasanya. Tapi tidak canggung—lebih seperti... menunggu momen yang tepat.Hiriety menoleh ke arahnya, menyipitkan mata sedikit karena cahaya senja yang menyilaukan.“Kapan kau menyewa ini?” tanyanya pelan, suara Hiriet
Pagi itu, sinar matahari lembut menyusup masuk melalui tirai tipis villa di Santorini. Suara burung-burung laut terdengar samar, dan aroma asin khas pantai bercampur dengan hangatnya linen bersih yang membungkus tubuh Hiriety.Ia mengerjapkan mata perlahan, mengatur napasnya yang sedikit berat—dan saat itu pula ia merasakan sesuatu. Lengan yang kuat melingkari pinggangnya. Dada hangat di punggungnya. Nafas tenang dan dalam yang menyentuh tengkuknya.Marco Valley.Hiriety menoleh perlahan dan benar saja—Marco terlelap di belakangnya, wajahnya jauh lebih damai daripada biasanya, seperti pria yang akhirnya menemukan tempat untuk pulang setelah berjalan terlalu lama dalam badai. Tapi yang membuat Hiriety nyaris tertawa pelan adalah caranya memeluk—erat, bahkan seperti anak kecil yang takut bantal kesayangannya diambil.Seketika, Marco menggeliat pelan. Matanya membuka sedikit, lalu—tanpa sepatah kata pun—ia menarik Hiriety makin
“Berapa ukuran jarinya?”Marco terdiam.Diam yang tidak biasa. Matanya berkedip pelan, seolah otaknya mencoba membongkar ribuan momen bersama Hiriety hanya untuk menemukan... ukuran jarinya.Richard memelototinya. “Jangan bilang kau tidak tahu.”Marco menatapnya dengan ekspresi nyaris bersalah. “…Dia punya tangan kecil.”“Semua wanita kecil punya tangan kecil, Sherlock,” Richard menggeram sambil menutup teleponnya sementara. “Kau mau melamarnya lusa, Marco. Lusa. Dan kau bahkan tidak tahu ukuran jarinya?”Marco bangkit dari kursi, mulai berjalan mondar-mandir seperti tahanan menunggu eksekusi.“Dia jarang pakai cincin. Aku tak pernah perhatikan. Aku sibuk… memperhatikan ekspresi wajahnya, cara dia bicara, bagaimana dia marah, dan...”—ia mengangkat bahu seolah itu membenarkan semuanya—“kau tahu, hal-hal penting.”“
Hari-hari selanjutnya menjadi rutinitas yang aneh bagi Richard. Dari semua kemungkinan hidupnya sebagai penasihat hukum perusahaan multinasional, ia tak pernah menyangka pekerjaannya akan beralih menjadi… pendengar pribadi Marco Valley yang patah hati tapi menyangkal.Setiap pagi, sebelum rapat, Richard akan menemukan dirinya duduk di ruang kerja Marco, dengan secangkir kopi hitam yang mulai dingin dan mata sepupu-nya yang seperti habis bertarung dengan malam tanpa tidur.Marco, seperti biasa, duduk di balik meja kaca besar, membuka ponselnya lalu menatap layar kosong seakan sedang memecahkan sandi nuklir.“Sampai kapan aku harus menunggu” Ucap Marco entah untuk yang keberapa kalinya selama kurang dari seminggu iniRichard menghela napas panjang. “Datangi saja dia dan lamar disana”“Dia takkan suka jika aku melakukan itu”Richard menyesap kopi, sudah terbiasa dengan paranoia itu.“Lalu
Santorini, Daratan YunaniHiriety duduk di teras vila pinggir pantai, angin laut membelai rambutnya yang dibiarkan tergerai bebas. Ia menarik napas dalam, membiarkan sunyi dan ombak menghapus sedikit demi sedikit beban yang selama ini menekan dadanya. Matahari mulai condong ke barat, menyisakan cahaya keemasan yang hangat menyelimuti seluruh tepi pantai.Tiba-tiba, seorang pelayan lokal membawa nampan berisi makanan tradisional Yunani—sepotong moussaka, salad segar dengan feta cheese, dan roti pita hangat. Dengan senyum ramah dan suara lembut berlogat Yunani, ia berkata,“Selamat datang, Nyonya. Makanan ini untuk memberi Anda kekuatan. Nikmatilah hari Anda di indahnya pulau Santorini.”Hiriety tersenyum tipis, mengucapkan “Efcharistó” sambil menerima nampan itu. Perlahan ia mulai menikmati makanan, membiarkan rasa dan aroma segar membawa ketenangan yang selama ini sulit ia dapatkan.Di kejauhan, deburan ombak da
“Mereka sudah tiba.”Hiriety tak perlu bertanya siapa yang dimaksud.Langkah berat terdengar di lorong, dan beberapa detik kemudian, sosok tinggi berjas hitam muncul di ambang pintu.Matthias Walton.Di belakangnya, pasangan dengan mata tajam dan aura aristokrat yang tak bisa disembunyikan, Caid dan Relova, orang tuanya.“Hiriee sayang, bagaimana kondisimu?” tanya LovaHiriety tersenyum manis, dia melirik Marco disebelahnya, mengkode agar pria itu melepaskan pinggangnya“Aku baik ma, Marco menenangkanku” Jawab HirietyLova mengamati putrinya beberapa detik, lalu sorot matanya berpindah ke Marco. Ada penilaian cepat di sana—seorang ibu yang mengukur seberapa layak pria itu menjadi pelindung anaknya. Dan meski ekspresinya tenang, Relova Walton selalu tahu bagaimana membuat siapa pun merasa seperti diselami sampai ke sumsum.“Terima kasih, Mr Valley” katanya akhirnya, na