Agni berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti api. Orang tua istri Candra Akarsana berharap bahwa di masa depan anaknya itu memiliki semangat seperti itu, seperti api. Iya, tentu saja Agni memilikinya, namun ada kalanya semangat itu padam suatu ketika.
Pagi itu Agni sedang menyiram tanaman-tanaman bunga yang baru beberapa hari lalu dibelinya untuk melengkapi koleksi tanaman di taman yang kini selesai direnovasi. Bunga-bunga itu mekar berseri, namun sayangnya sama sekali tidak menularkan keceriaan untuknya.
“Ma?”
Tiba-tiba, sebuah suara mengagetkan Agni hingga hampir menjatuhkan cerat yang s
“Ayo, kita akhiri hubungan ini!” “Apa?” kejut Aaron. “Hubungan kita cukup sampai di sini!” “Nggak bisa!” tolak Aaron. Aurora memejamkan mata. Dalam pejam itu dia mengingat kembali semua kejadian yang menyebabkannya harus memberanikan diri untuk mengucapkan kalimat menyakitkan itu hari ini. Malam sedang beranjak saat Aurora sampai di sebuah restoran mewah pinggir kot
Io sedang membolak-balikkan beberapa lembar naskah yang harus dihafal modelnya saat seorang wanita muncul tiba-tiba di depannya. “Hai, apa Gael ada?” Dengan mulut terbuka Io menatap wanita itu. Tingginya mungkin kurang dari seratus tujuh puluh senti, namun proporsi badannya berisi dengan indah sekali. Sebagai seseorang yang sudah lama bergelut dalam dunia ‘modeling’ , Io bisa menyimpulkan bahwa pria-pria dari keluarga konglomerat itu memang memiliki selera yang bagus. “Oh, maaf … aku Aurora!” tukas wanita itu memperkenalkan diri.&n
Perasaan itu bagai derai-derai hujan yang jatuh dari langit, tiada tertahan dan dengan pasti akan jatuh ke bawah. … . “Gravitasi!” seru Tita. “Nggak usah teriak kenapa?” bentak Kaira bahkan jauh lebih keras dari suara Tita. “Lha, kamu kan tadi tanya kenapa hujan jatuhnya ke bawah? Itu sebab gravitasi, Kaira!” balas Tita tidak mau kalah. Hufffttt! 
Semakin lama semakin tertarik masuk. Jadi, sebelum semua terlanjur lebih jauh lagi maka harus diakhiri. … . “Tapi, mata kamu menyimpan kalimat lain,” ucap Aaron seraya mendekat. Sembari menatap mata Aaron, Aurora mengulum senyumnya. Kalimat terakhir yang dia ucapkan benar-benar tulus dari hati. Namun, sebelum ada kejutan-kejutan lainnya yang lebih manis lagi, Aurora harus mengatakannya segera. “Ayo, kita akhiri hubungan ini!”&nbs
Ada yang tidak biasa dengan penampilan Aurora malam ini. Dia bukan sedang berdandan ala para putri, namun sengaja mengenakan pakaian ‘hang out’ yang rapi sebab dia ada janji. Dan benar saja, belum lama dia memakai parfumnya, sebuah klakson mobil terdengar. Aurora tersenyum dan melangkah ke luar kamarnya. Dia sempat melihat beberapa anak kos berkerumun di ruang tamu, namun tidak mau menghiraukan. Untuk apa? Paling mereka hanya sedang membicarakannya. Dan kali ini Aurora sedang baik hati, dia membiarkan pria yang mengendarai mobil menunggunya keluar sesaat untuk membukakan pintu mobil untuknya. Sekali tepuk mendapat dua nyamuk. Biarlah para penghuni kos yang senang menggunjingnya itu semakin panas melihat ada pria lain lagi yang menjemputnya malam ini.&nbs
Ken menarik kembali bibir wanita dalam dekapannya dengan jari-jari. Dia mencoba membawanya kembali dalam gairah yang muncul tiba-tiba. Namun, … . “Sorry,” pinta Aurora. “DIa udah pergi,” lanjutnya pelan dan canggung. Ken menelan ludah dan seketika dia tersadar bahwa ciuman tadi Aurora anggap hanya sebagai bagian dari sandiwara yang mereka mainkan untuk mengusir Aaron dari arena permainan. “Sorry,” akhirnya hanya itu yang mampu Ken ucapkan. Sedangkan wanita yang sejak beberapa menit lalu ada dalam dekapannya kini terduduk lesu di kursi.&n
Perpisahan selalu sama, menimbulkan rasa sakit. Meskipun mungkin tidak seberapa besarnya, namun tetap saja rasa kecewa dan perasaan-perasaan lainnya campur aduk menjadi satu. Ini adalah saat di mana manusia menjadi makhluk paling rapuh jiwa dan raganya akibat serangan emosi yang bertubi-tubi. Dan saat-saat seperti inilah tameng melemah. Aurora tidak paham bagaimana awalnya. Dia masih diliputi kebingungan saat tiba-tiba pria di sebelahnya itu menyentuh tangannya yang sibuk menyeka rambut yang basah. Dan semua terjadi begitu saja, semua sentuhan hangat yang memanjakan indera. Mulanya biasa, namun lama-kelamaan Aurora pun ikut larut. Ken tahu bahwa ini bukan saat yang tepat, namun sesungguhnya tidak akan
“Dia sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Kondisinya tidak memungkinkan lagi. Kami semua hanya merawat orang dengan satu ginjal dan menunggunya mati.” Surya menengadah ke atas, sedang berpikir keras. “Dia putrimu, Surya. Bagaimana kamu bisa berdiam diri?” Surya mengusap gusar wajahnya. Semua kalimat yang didengarnya itu benar sekali. “Aurora tidak akan mengadukan sikap Sofia pada siapapun, tapi dia juga sudah tidak mau lagi mengurusi Sofia.”&n