“Aku nggak nyangka klo akhir-akhir ini aku begitu sibuk sekali,” celetuk Gael seraya memasang senyum khas.
Io yang berdiri di samping modelnya itu meringis saja dan sesaat kemudian undur diri. Ya, daripada dia ikut campur dan mendapat predikat anak muda tidak tahu diri.
“Pengecut!” maki Gael.
Puk!
“Aduh!” Gael mengaduh saat sebuah buku yang sengaja digulung dipukulkan ke bahunya oleh seorang wanita paruh baya yang baru saja datang mengunjunginya. “Itu sakit, Raa!&rdqu
Mata Aaron terpejam dengan tubuh yang berbalut selimut. Kedua tangannya menggenggam erat kain tebal yang membungkus tubuhnya itu sementara peluh bercucuran. Tidak! Aaron tidak sedang bermimpi, namun dia dengan sengaja mengingat puing-puing masa lalu yang dia miliki. Dia berusaha sekuat tenaga agar tidak satu pun dari puing itu yang kembali menggerogoti kewarasannya sehingga dia putus asa kembali. Dengan cara itulah Aaron bertahan setiap harinya. Sebelumnya ada Aurora di sampingnya yang dapat dia peluk kapan saja dan dengan cepat mengalihkan pikirannya yang kalut. Namun, kini di kamarnya dia seorang diri. Oleh karena itu dia tidak memiliki cara lain lagi.&nbs
Ibu yang baik. Tidak pernah ada patokan seberapa tinggi sebuah kebaikan. Jika sesuatu cukup membuat kelegaan maka itu sudah bisa dikatakan suatu kebaikan. Begitu pun menjadi seorang ibu. Sayangnya, cenderung orang-orang melihat dari yang kasar saja. Agni mengandung selama tiga kali dan melahirkan tiga orang putri. Dia membuai dan merawat mereka dengan cara yang sama dan metode pengajaran yang sama pula. Namun, setiap manusia tercipta tidak sama. Ada yang memang terlahir dengan bintang bersinar di tangan mereka seperti halnya Riana dan Aurora dan ada juga yang sinar bintangnya sedikit lebih buram, itulah S
Raanana tidak mendapat undangannya. Tentu saja karena bagi kedua mempelai paruh baya itu, dirinya bukan orang yang pantas untuk dijadikan bagian dari daftar tamu. Sebab Raanana adalah sumbunya, akar dari keputusan yang dibuat Candra Akarsana. Dengan demikian, Raananalah yang pantas disalahkan. Sudahlah! Mau dibolak-balik macam apa juga, hal itu sudah tidak penting lagi. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Yang bisa Raanana lakukan sekarang hanya mengamati dan kemudian membereskan sisa-sisa masa lalu yang mungkin masih bisa dia perbaiki. “Lama nggak jumpa. Apa kabarmu?”&
Sempat terbersit sebuah tanya, dari mana orang-orang itu mengetahui tempat kerja Aurora yang sekarang? Lalu, Aurora teringat akan kejadian ketika sedang pergi mencari kado Natal untuk Kaira bersama Tita. Mobil coklat itu! Iya. Tok! Tok! Tok! Aurora masih memejamkan mata meskipun sudah sepuluh menit lalu terbangun dari tidurnya. Jadi, dengan jelas dia mendengar suara pintu kamarnya yang diketuk seseorang. Dengan malas Aurora beranjak untuk mencari tahu, siapa gerangan yang sepagi ini mencarinya? “Wake up, Sunshine!” seru sebuah suara di balik sebuah bouquet bunga besar. 
“Hei, kalian mau minum lagi?” Gael dan Baron mengangkat masing-masing gelas mereka yang masih penuh. Mereka ingin menunjukkan pada pria yang menawarkan minuman itu bahwa keduanya tidak sehebat seorang Aaron Theodore Johansson. “Pecundang!” seru Aaron lalu sekali lagi meminum isi gelasnya. Dan dengan segera senyum manisnya seolah memberi tanda agar para wanita penghibur yang dia sewa mendekat dan mulai menunjukkan kepiawaian mereka. “Aku harap dia kembali gila seperti dulu lagi,” ucap Gael seraya meletakkan gelas di ujung bibir lalu sedikit menyesapnya. “Ini kuat s
“Kamu …?” Aurora begitu terkejut dan tidak menyangka akan sampai di situasi ini juga. Dia hendak cepat-cepat keluar dari ruang yang berisi banyak sapu, ember, dan alat kebersihan lainnya itu. Namun, ada yang lebih cepat geraknya. Sebuah ciuman menukik turun mengunci bibir wanita berusia tiga puluh tahun itu. Aurora mencoba menepisnya, namun tidak bisa. Hisapan itu terlalu kuat dan tubuh Aurora terdesak ke dinding ruang kebersihan rumah sakit. Berteriak? Mana bisa? Akhirnya, tidak ada cara lain, kecuali pasrah sampai bibir itu lepas dengan sendirinya. “Aku ingin lagi!”
Hoaaahh! Untuk kesekian kalinya, Aurora menguap. Matanya pedas bukan main. Semalam suntuk dia menjalani shif tanpa memejamkan mata. Ditambah lagi dia harus melewati hampir satu jam bersama seseorang yang perlu tenaga ekstra untuk melunakkannya. Siapa lagi jika bukan si tuan muda kastil putih itu. Pagi ini cuaca juga tidak mendukung, tiba-tiba saja dingin secara ekstrim. Seingat Aurora dia membawa jaket sewaktu berangkat kerja, namun sepertinya tertinggal di laci. Ingin dia kembali masuk lagi ke dalam tempat kerjanya. Sayangnya, niat itu urung sebab saking mengantuknya. “Lembur lagi?” tiba-tiba
“Bukan kamu yang gagal, tapi memang Aaron yang nggak mau.” Kalimat pamungkas yang Gael ucapkan masih terngiang di telinga. Alice juga dengan sangat teliti memeriksa raut muka adik sepupu Aaron itu dan tidak menemukan kebohongan di sana. Gael yang banyak bicara, suka seenaknya, ‘playboy’ kelas kakap, dan sangat menjengkelkan itu jujur belaka. Namun, masih ada yang mengganjal hati wanita itu. Masih ada cukup alasan untuk tidak setuju jika Aaron dan Aurora bersatu. Aaron tidak hanya menjadi salah satu ambisi Alice saja, pria itu juga membuatnya tidak rela dengan semua kelebihan yang Aaron punya.&