Suara ombak.Gemuruhnya mengguncang kesadaran Hazel perlahan. Kepalanya terasa berat, nafasnya dangkal, dan dunia berputar pelan di sekelilingnya. Aroma asin laut menyeruak ke hidungnya, bercampur dengan bau logam karat dan kayu tua yang lembap.Kelopak matanya membuka sedikit demi sedikit. Cahaya lampu redup bergoyang di atas kepalanya, seiring gerakan kapal yang terombang-ambing di atas lautan gelap. Butuh beberapa detik sebelum pikirannya kembali utuh, dan saat itu juga, tubuhnya menegang.Di mana aku?Hazel mencoba bangkit, tapi lengannya terasa berat, terikat.Matanya menyapu ruangan. Ini bukan ruangan biasa. Dinding kayu tua, jendela kecil yang tertutup palka, dan suara ombak menghantam lambung kapal mengkonfirmasi satu hal.Ia berada di dalam kapal. Di tengah laut.Dan ia sedang sendirian.Jantungnya berdegup kencang. Ia menggerakkan tangan pelan, mencoba merasakan simpul tali yang mengikatnya ke tiang logam di belakang. Ia tak bisa melihat siapa pun, namun dari kejauhan terden
Tiga puluh menit berlalu, sesekali Xavier melihat jam tangannya dan menoleh ke kursi kosong di sebelahnya. Kenapa Hazel tidak kunjung kembali, apa wanita itu berusaha melarikan diri lagi darinya?Tapi sepertinya tidak mungkin, Hazel tidak akan melakukan kesalahan fatal sampai dia tidak peduli lagi ancaman George terhadap keluarga Dawson lainnya. Namun mengapa sampai sekarang Hazel belum kembali?“Kau kehilangan seseorang, Xavier?” sindir George, menyandarkan tubuhnya santai di kursi seolah tidak ada yang genting. “Sepertinya gadis itu sudah berhasil menyentuh bagian lunakmu sampai kau gelisah hanya karena dia meninggalkanmu sebentar.”Xavier menatap kakeknya tajam, ekspresinya datar tapi suaranya berat. “Dia adalah kuncinya. Aku tidak bisa membiarkannya jatuh ke tangan orang lain.”George mengangkat alis, bingung sekaligus curiga. “Kunci? Maksudmu apa?”Namun Xavier sudah berdiri. Kursi bergeser pelan, suara gesekannya menyisakan ketegangan. “Itu bukan urusan Kakek,” ujarnya dingin, l
Cermin besar di dinding itu memantulkan bayangan mereka, dua tubuh yang saling terkait dalam gelora nafsu yang tak terbendung. Hazel menatap refleksinya sendiri, bibir yang terbuka, mata berkaca-kaca, rambut yang berantakan di bahunya yang memerah akibat cengkeraman. Di belakangnya, Xavier bergerak dengan ritme ganas, setiap dorongannya menggetarkan seluruh tubuh Hazel hingga ia nyaris tak mampu menahan berat dirinya sendiri.Tangan Hazel menekan kaca, ujung jarinya memucat oleh tekanan. Ia mencoba mengalihkan pandangan dari bayangannya yang memalukan, dari cara tubuhnya bergoyang mengikuti irama Xavier, dari ekspresi tak tertahankan yang terus terpancar di wajahnya setiap kali pria itu mendorong lebih dalam. Tapi Xavier tak memberinya kesempatan.Satu tangan kuat meraih dagunya, memaksanya menatap cermin lagi."Lihat," desis Xavier, nafasnya berat di telinga Hazel. "Lihat betapa cantiknya kau seperti ini."Hazel ingin memalingkan muka, tapi Xavier menggigit bibir bawahnya, gerakan kec
Malam cukup larut ketika Xavier akhirnya tiba di rumah. Udara dingin menyergap tubuhnya yang masih membawa sisa-sisa kegelapan dari luar. Dengan gerakan hampa, ia melepas jaketnya dan menyerahkannya kepada pelayan yang menunggu dengan sikap patuh. Tak sepatah kata pun terucap. Hanya langkah beratnya yang menggema di lorong sunyi menuju kamarnya.Di tangan, kunci berdentang pelan sebelum akhirnya berputar dalam lubang kunci. Pintu terbuka perlahan, mengungkapkan Hazel yang berdiri di balkon, tubuhnya diselimuti cahaya remang-remang bulan. Angin malam bermain di rambutnya, seakan mencoba menghapus ketegangan yang menggantung di udara.Xavier melangkah masuk, bau besi menusuk, bau darah yang masih menempel di kulitnya, di bajunya, di nafasnya. Hazel menoleh, dan sebelum otaknya sempat memproses, tubuhnya sudah bereaksi. Satu langkah mundur. Hidungnya tertutup oleh lengan, wajahnya berkerut."Kau belum tidur?" suara Xavier pecah dalam keheningan, tapi Hazel tidak menjawab. Matanya menatap
Pandangan Xavier seakan melucuti pakaian Hazel, perempuan itu terlihat seksi dengan lingerie yang membungkus sebagian tubuhnya. Tapi sangat disayangkan, ia masih punya janji dengan seseorang di luar sehingga harus menunda kesenangannya bersama si kucing liar ini. "Tetap disini sampai aku kembali." Xavier berbalik cepat dan menutup pintu. "Xavier!" Hazel membentak sambil menggedor pintu kamar dengan sekuat tenaga, telapak tangannya yang merah mulai terasa perih. Pintu kayu itu tak bergeming sedikit pun dihadapannya. Di balik pintu, Xavier dengan tenang mencabut kunci dari lubangnya, matanya yang dingin tak mencerminkan nada bercandanya. "Beruntung kucing tidak bisa terbang," gumamnya sambil memutar-mutar kunci di jarinya, "kalau tidak, kau pasti sudah kabur melalui jendela." Ia menyerahkan kunci kepada pelayan yang sudah berdiri tegak di sampingnya, menunggu perintah. "Pastikan semua kebutuhannya terpenuhi," ujar Xavier dengan suara datar yang membuat bulu kuduk berdiri, "kalau tida
Tidak ada jeda, tidak ada belas kasih. Xavier seperti binatang buas yang tak mengenal kata puas, mencabik buruannya sampai yang tersisa hanya lelah dan diam. Hazel tak lagi mampu melawan. Tubuhnya yang kehabisan tenaga akhirnya menyerah pada kantuk, tertidur dalam pelukan lelah dari Xavier yang masih mendominasi.Namun saat kelopak matanya terbuka, Hazel langsung tersentak. Ini bukan kamar hotel tempat mereka terakhir berada. Ia terduduk dengan panik, tubuhnya nyeri, terutama di bagian pinggang, seolah seluruh malam itu bukan sekadar mimpi buruk, tapi kenyataan yang menamparnya dengan keras.Dengan kaki gemetar, ia bangkit dan berjalan tertatih menuju balkon. Begitu pintu kaca terbuka, angin laut menerpa wajahnya. Pemandangan yang tersaji di depan matanya hanya hamparan air biru yang luas, dan tebing curam berbatu di bawah sana. Satu langkah keliru, dan nyawanya bisa berakhir seketika.“Di mana aku…?” bisiknya dengan nafas tak teratur.Bajunya kaos kebesaran, jelas bukan miliknya. Itu