Obat perangsang.
Hanya itu yang Shaka pikirkan saat ini. Kapan dan dimana ia mendapatkannya ia belum tahu.
Efek obat itu memang luar biasa. Saat seharusnya ia berjalan menuruni tangga, kini ia justru berputar arah dan pergi ke sebaliknya.
Tubuh Shaka memanas. Tanpa sadar ia sudah membuka dua kancing teratasnya hingga dada bidang nan berotot miliknya terpampang jelas. Dan ya, sesuatu di bawah sana sudah mendesak ingin dikeluarkan dan mencari pasangannya.
Sampai di ujung tangga, intuisinya mengatakan bahwa ini tak seharusnya terjadi. Akan tetapi, tubuhnya bereaksi lain. Kakinya terus maju ke arah kamar yang beberapa saat lalu ia tinggalkan. Kamar Mentari.
Ia berada di ujung kegelisahan. Bisa saja ia langsung merangsek masuk ketika menemukan pintu kamar Mentari tak terkunci. Tapi hatinya ... hatinya melarang tegas itu semua. Mentari adalah temannya, orang yang dia cintai. Tidak mungkin ia bersikap seperti hewan dan melampiaskan
Seorang wanita dengan balutan seragam pelayan kini berjalan menuruni tangga dengan wajah sumringah. Ia berhenti sejenak dan duduk di anak tangga terakhir untuk membuka amplop pemberian Max. Ketika jemari lentiknya mulai merogoh isi amplop, di saat itu pula sesuatu yang tajam menggores tangannya cukup dalam sehingga menimbulkan rasa perih yang tak tertahankan."Arrrgh ...!" Leonny kembali menarik tangannya, sedetik kemudian terperangah ketika menyaksikan beberapa jarinya terluka serta mengeluarkan darah cukup banyak.Dia memandang amplop di tangannya dengan tatapan ngeri. Sisa darahnya bahkan merembes keluar dan membuatnya yakin ada sesuatu di dalam amplop tersebut. Untuk mengeceknya, ia membalik ujung amplop sampai seluruh isinya keluar."What?! Seriously?" Leonny benar-benar terkejut dengan apa yang ia temui.Ayolah, orang gila mana yang menaruh pisau kecil dengan permukaan tajam
Mentari mengurai pelukan sang pelayan di tubuhnya lalu menatap Shaka marah. Apa yang dia dengar dan lihat, semakin mengisi kebencian dalam hatinya. Ia sungguh tak menyangka, pemuda yang sudah dia anggap sebagai sahabat, mampu berbuat hal sepicik ini untuk memenuhi hasrat. Dan yang lebih memalukannya lagi, pria itu mengatasnamakan rencananya di balik kata 'cinta'.Mentari bangun dari ranjang dan berdiri sejajar dengan pemuda itu. Tangannya mengepal erat kemudian ....Plak!Sebuah tamparan keras ia layangkan pada Shaka untuk kedua kalinya. Pria itu sampai menoleh ke samping dan pipinya mulai memerah."Mentari?" Shaka yang belum paham hanya memandang gadis itu penuh tanda tanya."Aku tidak menyangka kau bisa melakukan semua ini. Kau sama saja seperti Max. Bagiku, kalian sama-sama menjijikkan!" tegasnya penuh amarah.Alis tebal Shaka menyatu. Ia beru
Sejak kejadian itu, Mentari dan Shaka seperti tak memiliki hubungan apapun. Mereka asing. Sebenarnya hanya Mentari yang menganggapnya seperti itu, karena sudah berulang kali Shaka membujuknya untuk meminta maaf. Hanya saja, Mentari terlalu kokoh pada pendiriannya dan menganggap Shaka bersalah.Saat ini Shaka duduk di ujung tangga sembari mengobati luka menganga di pelipisnya. Kemarin malam, Max memberinya 'hadiah' kecil yang cukup membuatnya pusing. Namun, luka itu tak seberapa jika dibanding dengan luka di hatinya. Rasanya perih apalagi saat menyaksikan orang yang ia cinta tak berdaya di bawah kungkungan pria seperti Max. Ya, Max lagi-lagi menjadikan istrinya sebagai pemuas nafsu untuk pria-pria hidung belang.Tiba-tiba Shaka teringat sesuatu. Ia segera merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kertas lusuh. Benda itu ia dapat dari Leonny, pelayan yang telah membuat hubungannya dengan Mentari menjadi renggang. Shaka mencer
Setelah selesai dengan urusannya, Shaka berniat pergi ke kamar Alvin dan mengembalikan ponsel yang telah ia ambil. Pemuda itu meletakkannya di atas meja. Namun, saat ia berbalik dan hendak pergi, knop pintu berputar bersamaan dengan suara seseorang yang tengah berbincang.Shaka panik. Akhirnya ia memilih bersembunyi di seberang ranjang dengan posisi berbaring karena tempat itulah yang terdekat. Tiga detik setelahnya, pintu ruangan terbuka, Alvin dan Alvian masuk ke dalam."Semalam aku bermimpi kalau ibu datang menemui kita. Wajahnya sangat pucat, tapi dia tetap tersenyum. Ah, aku jadi rindu dengan ibu." Alvin memajukan bibirnya dengan wajah masam. Ia duduk di sofa dekat pintu."Bersabarlah. Setelah masalah ini selesai, kita pasti akan membuat ibu bahagia." Alvin tampak lebih tenang dibanding sang adik. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa sorot matanya berubah sendu."Ya, aku rindu kehangatan keluarga kita." Sosok Alvian yang memiliki ota
Max menyeringai tajam ketika mata elangnya melirik gadis yang sedang tertidur pulas karena efek obat bius yang sebelumnya telah ia berikan. Satu tangannya terulur untuk menarik rahang Mentari agar menoleh ke arahnya, sementara tangan yang satunya lagi sibuk mengendalikan kecepatan mobil yang kini melaju kencang.Untung saja pihak hotel yang merupakan rekan kerjanya memberitahu kejadian yang menimpa Mentari, sehingga ia langsung membatalkan pertemuan dengan kelompok mafia lain dan segera menyusun rencana untuk mengambil alih Mentari dari tangan polisi. Mentari sudah seperti mainan berharga, ia tidak mau mainannya dicuri, begitu pikir Max.Max menoleh sekilas saat terdengar lenguhan kecil dari bibir gadis itu. Mentari mulai sadar. Akan tetapi, ia pasti kebingungan karena meskipun telah membuka mata, hanya kegelapan yang menyambangi penglihatannya. Ya, Max selalu mengikat matanya dengan kain hitam agar gadis itu tak mengetahui past
Bunyi tembakan terdengar memekakkan telinga saat timah panas itu mengambil jalur dari lorong pistol. Di waktu yang bersamaan, sesosok tubuh manusia ambruk ke tanah dengan bersimbah darah. Ada lubang di belakang kepalanya yang menjadi sumber cairan kemerahan itu berasal. Sosok itu langsung meregang nyawa dengan mata terbuka, seolah tak rela kehidupannya telah direnggut paksa oleh seseorang."Andrew!" teriak rekannya yang kini melongo tak percaya setelah menyaksikan adegan berdarah itu.Dia berbalik menghadap pintu. Ada dua pria yang kini masuk, salah satunya membawa sebuah pistol yang masih berasap. Secara naluriah ia berjalan mundur dan tak sengaja menubruk tubuh Shaka yang kini memandang heran."Tu-tuan Alvin," ucapnya terbata. Kegugupan seolah menelannya hingga dahinya dibanjiri keringat dingin."Good bye," kata Alvian melambaikan tangannya lalu merebut pistol dari sang kakak. Ia mengarahkan moncongnya pada sang anak buah.
Semuanya berubah, tidak ada kehangatan seperti yang terjadi beberapa menit lalu. Max kembali pada sikap iblisnya dan menguarkan aura yang kuat. Kakinya terus menjejak lantai marmer, membuat jaraknya dengan Mentari semakin terkikis. Apalagi kini Mentari telah tersudut pada dinding yang menjadi sekat antara ruang makan dan dapur."Kau yang melakukannya." Matanya yang berkilat tajam menusuk Mentari tepat pada retinanya."Bukan," jawab Mentari tegas, tanpa gemetar, karena memang bukan dia pelakunya."Kau yang memasak makanan itu dan kau memiliki banyak alasan untuk menghabisiku." Satu tangan Max terangkat, mengusap permukaan pipi Mentari yang sangat halus. Sampai gadis itu memejamkan matanya selama beberapa detik karena menerima sentuhan Max."Memang, tapi aku tidak menambahkan racun ke dalamnya.""Tapi tidak ada orang di dapur selain dirimu." Sentuhannya menurun ke area rahang Mentari."Demi Tuhan, aku tidak–arrgh!" Gadi
"A-apa maksudmu?" tanya Mentari dengan suara yang semakin serak. Ia menangis dalam diam beberapa detik setelah mengetahui kabar ini. Ia terlalu syok, bahkan bingung harus bagaimana mengartikan perasannya."Apa kau tuli? Lenyapkan dia sebelum dia tumbuh semakin besar dan–""Tidak!" potongnya. "Apa kau sudah gila? Kau berniat untuk melenyapkan janin yang bahkan belum memiliki bentuk?" Ia menatap Max tak percaya.Max menarik tubuhnya lalu mengusap wajahnya kasar. Ia berbalik memunggungi Mentari dengan wajah kalut. Sungguh, ini diluar dugaan. Max tidak pernah berpikir bahwa Mentari bisa saja hamil karena ulahnya."Justru karena dia belum memiliki bentuk, kau harus mengambil keputusan ini, Gadis Bodoh! Kehamilanmu hanya akan membawa bencana bagi dirimu sendiri!" sarkasnya semakin sengit. Berpikir bahwa pendapatnyalah yang paling benar saat ini.Mentari termangu sambil terus menangis. Jemarinya bergerak gelisah, rasa sakit ini benar-benar men