Bab 157“Diana, apa kamu tahu di mana Amina? Dia harus manggung 40 menit lagi,” tanya Reynard melalui telepon. Lelaki itu bingung, sebab Amina belum menampakkan batang hidungnya. Sedangkan dia sudah datang ke sini 2 jam lalu.“Tadi dia meeting bersama Bu Hesti. Tapi setelah itu aku tidak tahu.”“Kamu ada di mana sekarang?” tanya Reynard.“Lagi di Spa.”“Apa kamu bisa balik sekarang? Tolong check Amina ke kantor Bu Hesti, apakah dia di sana atau tidak. Aku tidak bisa menghubunginya.” Reynard memegang kepalanya. Produser acara beberapa kali menemuinya, dan bertanya tentang Amina.“Gak bisa Rey, aku sedang treatment, 2 jam lagi aku baru selesai,” jawab Diana. Ia tidak rela membuang treatment mahal dari tantenya itu.“Please Diana. Aku sudah bertanya pada security apakah dia melihat Amina ke luar gedung RTV. Mereka jawab tidak tahu. Aku bingung sekarang Di, dan hanya kamu satu – satunya orang yang bisa membantuku.” Suara Reynard terdengar frustrasi.Diana tersanjung, tapi perempuan itu te
Bab 158Dengan tergesa – gesa, Amina menuruni lift dan langsung keluar melalui pintu samping kantor RTV yang tembus langsung ke jalan raya. Di sana ia tertegun mendapati sosok lelaki berdiri menantinya.“Amina, aku menunggumu dari tadi di sini,” kata Reynard dengan bibir gemetar. Lelaki itu merapatkan jaketnya, sedangkan rinai mulai turun menyapa.“B-bagaimana kamu tahu aku di sini?” tanya Amina gagap. Ia menyeka pipinya yang basah oleh air mata. Dirinya merasa begitu rapuh, dan ia tak menduga bertemu dengan Reynard di tengah malam begini.“Hanya insting! Ayo pergi, motorku ada di bawah pohon itu.” Reynard menunjuk motornya yang terparkir 5 meter dari tempatnya berada.Tanpa menunggu waktu, Amina mengangguk. Wajah Amina tampak kuyu dan terluka.“Kita mampir ke Café dulu yuk. Aku belum ngopi dari siang,” kata Reynard.“Oke, tapi sebentar saja ya, aku kepikiran anak – anak,” jawab Amina. Hatinya mendadak tidak enak.Lelaki itu menghela napas panjang sebelum membawa motornya ke sebuah ca
Bab 159 Tidak ada yang menyahut. “Apakah ada yang menculik anakku Rey?” Badan Amina gemetar membayangkan hal buruk terjadi pada anaknya. “Kita cari dulu.” Reynard dengan sigap menghidupkan semua lampu. Semua tampak lebih jelas sekarang. “Ini bukan perampokan biasa. Seperti ada yang sengaja mengangkut barang – barang di rumahmu,” kata Reynard heran, saat melihat korden di rumah Amina hilang. “Rey, baju dan barang – barang berharga ku dan Ayang tidak ada.” Amina lemas sekali saat membuka lemarinya. “Siapa pelakunya ini Rey?” tangis Amina pecah. “Tenang dulu. Kita cari anak – anak dan Bik Susi.” Rey berlari ke sana ke mari. Baju lelaki itu basah kuyup naik turun tangga. Amina menguatkan hatinya. Dia membuka semua kamar. Sayangnya Bik Susi dan anak – anak tidak ada. “Mereka tidak ada Rey. Aku mencarinya di semua kamar.” Kepanikannya semakin bertambah. Rey terdiam. “Kamar mandi Bik Susi!” Lelaki itu segera berlari ke belakang rumah. Amina mengejarnya. Pintu kamar mandi Bik Susi terk
Bab 160Dahi Amina mengernyit.Bik Susi yang sedari tadi mendengarkan membuka mata.“Pak Mukidi dan Asih yang membawa barang-barangnya, Bu. Tadi dia membawa 2 orang lelaki. Kemudian mereka mengikat saya dan anak – anak di kamar mandi,” kata Bik Susi pelan. Badannya masih sakit karena melawan Mukidi dan teman – temannya.“Asih tadi sempat memukul Ayang dan Fahri, karena menghalanginya mengambil kotak perhiasan dan baju - baju Ibu. Setelah itu dia dan kedua preman itu memukuli saya.” Bik Susi meringis menahan sakit di pinggangnya.“Benar Bu, Bik Susi tadi melindungi kami, kemudian mereka menghajarnya,” imbuh Fahri.Dada Amina nyeri sakit sekali mendengarnya. “Biadab sekali mereka!” katanya geram. “Terima kasih, Bibi telah melindungi Ayang dan Fahri. Soal Asih dan teman – temannya, saya yang akan balas dendam.” Perempuan itu terdiam. “Bagaimana dengan Bapak. Apakah dia ikut menyakiti kalian.”“Bapak Mukidi hanya mengawasi.”Amina manggut – manggut.Kecewa sekali hatinya, mengetahui justr
Bab 161“Kamu tahu dari mana Nak?” tanya Amina dengan ekspresi terkejut, bagaimana anak kecil itu tahu.“Dari You tube.” Fahri mencari Chanel RTV lalu memberikannya pada Amina. Irvan, salah satu host di RTV telah mengumumkan bahwa dirinya, Ayang dan Fahri tidak lagi ada di program acara Asyik Bersama Amina.Amina memejamkan matanya. Meski ia sudah menebak, hatinya tetap sakit. Bu Hesti telah melakukan ancamannya. Beberapa menit, perempuan itu memejamkan mata. Dikuatkan hatinya untuk tidak menangis.Ibarat pepatah, dirinya jatuh dan tertimpa tangga. Hidupnya saat ini benar- benar berantakan. Amina mengurai masalahnya satu persatu.Mula – mula Eril pergi dengan membawa semua uangnya, kemudian bapaknya punya hutang ratusan juta pada Jazuli. Bu Hesti merayu, setelah itu rumahnya dirampok Bapak, sekarang Bu Hesti memecatnya.“Ya Allah Ya Rab. Indah sekali rencanaMU. Tolong beri hamba kekuatanmu untuk melewati masalah ini,” gumam Amina perlahan.“Ibu, apakah kita akan pindah rumah lagi?” se
Bab 162 Amina memalingkan mukanya menghadap ke jendela, menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di wajahnya. Berjuta kali ia berharap, berjuta kali pula harapannya runtuh. Masalah yang membelitnya makin lama makin erat memelintir hingga membuatnya susah bernapas. “Kamu jangan begitu. Aku dan Bik Susi akan tetap bersamamu, apapun yang terjadi,” tukas Reynard. “Ini sebagai tanggung jawabku karena membiarkan Eril pergi. Andai aku tahu masalahnya. Aku akan mengikat kaki Eril.” Ia mengumpat pelan. “Terima kasih Rey, tapi kamu jangan berspekulasi. Kamu dan Bik Susi butuh uang untuk hidup. Aku tidak mau kalian berdua terpuruk demi aku. Percayalah, aku bisa mengatasi masalah ini.” Amina berkata dengan tegar dan mata berkaca – kaca. “Semakin keras kamu menolak, semakin kuat aku mau membantumu.” Lelaki itu memperhatikan Amina. “Saya juga seperti Mas Rey. Saya mau membantu Ibu,” potong Bik Susi. “Apapun yang terjadi, kita tetap bersama.” Bik Susi memegang lengan Amina. Air mata Amina
Bab 163“Saya tahu dari Bude Surti. Tadi dia WhatsApp saya,” lanjut Bik Susi.Amina terperangah. Bodoh sekali dia, kenapa dia tidak ingat pada Bude Surti. Sontak, dia mengambil telepon dan menghubungi tetangga dekatnya itu. Lama ia berbincang, setelah selesai ia kembali menemui Bik Susi yang selesai berkemas.“Kurang ajar dia. Seenak udelnya mengambil milik orang. Informasi tentang Asih dan Bapak serta kedua preman yang membantunya sudah saya teruskan ke Reynard supaya dia memberikan informasi tersebut ke pihak Polisi.” Amina tegang sekali. “Setelah ini, Bibidan anak - anak bisa langsung ke kontrakan, nanti saya menyusul. Saya masih ada urusan di RTV.”Bik Susi menolak. “Saya mau ikut Ibu saja. Kita sama – sama ke kontrakan.” Ia ngeri jika harus datang bersama anak – anak tanpa Amina.“Baiklah, terserah Bibi.”Dengan memesan taksi, Amina bersama Bik Susi datang ke RTV. Saat wartawan melihatnya datang, mereka langsung sigap mewancarai Amina. Perempuan itu tak bisa mengelak lagi.“Mba A
Bab 164 “Polisi menangkap Asih dan salah seorang teman prianya di Bandara. Mereka akan terbang ke Thailand, setelah menjual semua barang – barangmu. Sedangkan jenazah bapakmu ada di RSCM.” Amina tercekat. “Jadi, maksudmu Asih memiliki pria lain?” tanyanya terbata – bata. “Iya, salah satu preman yang memukul Bik Susi adalah pacar Asih. Menurut informasi dari kepolisian, dia hanya mengincar harta kamu. Asih mengajak bapakmu pindah ke Jakarta, setelah dia menjual rumahmu di kampung.” “Ya Allah…” Amina menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menangis sesenggukan mendengar rumah masa kecilnya dijual Asih. “Sabar Amina, semua milik Allah,” kata Bu Anom mengelus pundak Amina. “Makasih Bu. Saya mau mengurus jenazah Bapak dulu,” jawab Amina dengan terbata – bata. “Amina, kalau boleh usul, daripada jenazah dibawa pulang ke kampung. Lebih baik dimakamkan di Jakarta saja. Biayanya lebih murah. Toh semua tanah ini milik Allah,” ucap Abah Anom. “Nanti saya bantu pengurusannya.” Amina mem