Bab 164 “Polisi menangkap Asih dan salah seorang teman prianya di Bandara. Mereka akan terbang ke Thailand, setelah menjual semua barang – barangmu. Sedangkan jenazah bapakmu ada di RSCM.” Amina tercekat. “Jadi, maksudmu Asih memiliki pria lain?” tanyanya terbata – bata. “Iya, salah satu preman yang memukul Bik Susi adalah pacar Asih. Menurut informasi dari kepolisian, dia hanya mengincar harta kamu. Asih mengajak bapakmu pindah ke Jakarta, setelah dia menjual rumahmu di kampung.” “Ya Allah…” Amina menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menangis sesenggukan mendengar rumah masa kecilnya dijual Asih. “Sabar Amina, semua milik Allah,” kata Bu Anom mengelus pundak Amina. “Makasih Bu. Saya mau mengurus jenazah Bapak dulu,” jawab Amina dengan terbata – bata. “Amina, kalau boleh usul, daripada jenazah dibawa pulang ke kampung. Lebih baik dimakamkan di Jakarta saja. Biayanya lebih murah. Toh semua tanah ini milik Allah,” ucap Abah Anom. “Nanti saya bantu pengurusannya.” Amina mem
Bab 165Amina mencibir. “Dasar perempuan tidak punya malu! Enak sekali kamu meminta dibebaskan. Apa kamu sadar perbuatanmu telah merugikan orang lain. Apa kamu sadar ibu dan bapakku meninggal gara – gara kamu!” desisnya geram. Dia mencengkeram terali besi dengan kuat.“Aku punya bukti – buktinya. Semua ada di chat WhatsAppku.”“Mana buktinya?” tantang Amina dingin. Matanya tajam menatap Asih.Asih jengah dengan tatapan dingin Amina. “Nih… baca saja sendiri.” Ia mengulurkan ponselnya.Amina mengambilnya, tapi Asih mulai ragu, ia kembali memegang ponselnya kuat. Kemudian menaruhnya di saku celana. “Apa setelah ini aku bisa bebas?” tanyanya kaku.“Mana aku tahu.” Amina memperhatikan Asih.Asih terdiam, dia kesal karena hidungnya sekarang bengkok. “Aku tidak bersalah. Bapakmu yang mencintai aku dan sekarang kamu harus bertanggung jawab memperbaiki hidungku ini!!”Terdengar tawa dari penghuni lain di sel itu. “Huuuu… mau cantik kok ngerampok. Modal dong. Patahin aja sekalian hidungnya teru
Bab 166 Amina memandang perempuan berpayung itu dengan tatapan datar. “Silahkah duduk,” katanya mempersilahkan sembari mengeringkan dudukan kursi yang basah oleh air percikan air hujan dengan sebuah serbet. Amel gusar dengan sikap Amina yang dingin. “Huh! Sudah miskin, masih sok jaga image,” ucapnya dongkol. Ia duduk sambil mengawasi Amina. Amina tersenyum tipis. “Terus maumu apa? Apa aku harus menyembahmu?” Ia tidak memusingkan perkataan buruk Amel, malah ia mengambilkan sepiring nasi pecel untuknya. Kemudian memberikannya pada Amel. “Kumohon, makanlah dulu, biar tidak masuk angin, walaupun aku tidak tahu kamu suka nasi pecel apa tidak.” Amel melirik sepiring nasi yang disodorkan Amina. Nasi pecelnya dilengkapi dengan lauk ayam goreng, tempe, tahu dan rempeyek teri. Sayurnya ada kacang panjang, bayam dan taoge, kemudian diatasnya diguyur dengan sambal pecel. Wangi sambal pecelnya mengulik indra penciuman artis cantik itu. Sedap sekali! Tak sengaja ia menelan air liur. “Baiklah,
Bab 167 Reynard datang ke apartemen Eril atas undangan Iswati. Ia tidak tahu menahu alasan apa yang membuat perempuan setengah baya itu mengundangnya. “Sore Tante,” sapanya ramah. “Ayo masuk, ada Nenek Eril di dalam.” Iswati membukakan pintu untuk Reynard dan mempersilahkan dia duduk. Reynard memilih duduk di sofa. Sejenak ia memandangi apartemen Eril yang nyaman. “Kamu mau minum apa? Panas apa dingin?” tanya Iswati ramah. “Apa aja boleh, Tan,” sahut Reynard. Pemuda itu melihat Nenek Maisaroh keluar dari salah satu kamar. Orang tua itu lebih kurus dari yang pernah ia lihat sebelumnya. Dia menyalami perempuan itu. “Apa kabar Nek?” sapanya. Seketika mata Maisaroh berkaca – kaca. “Apa kamu mendapat telepon dari Eril?” tanyanya langsung. Reynard menggeleng. “Dia juga tidak menelpon Nenek.” Mata Maisaroh terlihat sendu. Beberapa kali dia menghela napas panjang. “Nenek dan mamanya Eril bingung. Nenek sampai pergi ke Jakarta karena tidak tahan dengan hujatan tetangga yang bilang kala
Bab 168“S-siapa k-kamu?” tanya Iswati cemas. Bayang – bayang masalah Dokter Kartika menghantuinya.“Perkenalkan saya Adrien, dan ini Jasmine. Saya teman Eril.” Adrien mengulurkan tangan ke arah Iswati. Akan tetapi Iswati telah pingsan. “Tante…” teriaknya.Melihat Iswati pingsan, Reynard dan Maisaroh kaget. Keduanya berlari mendekati Iswati. Reynard buru – buru memindahkan tubuh Iswati ke kamarnya. Maisaroh mengikutinya dan mengabaikan keberadaan Adrien yang masih berdiri di depan pintu.“Aunty, kenapa wanita itu pingsan?” tanya Jasmine.“Aunty juga tidak tahu. Mungkin dia kaget dengan kedatangan kita.”“Apakah kita mau pulang sekarang?”“Tidak, Aunty mau bertemu dengan keluarga Eril. Apakah Jasmine capek?” Adrien menatap wajah keponakannya yang tampak lelah.“Sedikit. Aunty hanya kangen dengan Om Eril. Kenapa Aunty tidak mengajaknya?” Jasmine memainkan rambutnya yang ikal.“Aunty mau memberikan surprised untuknya.” Adrien melongok ke dalam rumah. “Halo, permisi…” katanya menarik perh
Bab 169 “Tadi malam, saya melihat Jazuli masuk di salah satu kos yang berada di ujung jalan itu.” Bik Susi berusaha menjelaskan. “Apa kamu yakin, Bik. Bisa saja dia orang yang mirip Jazuli kan?” bantah Amina. Ia tidak yakin Jazuli bisa melacak tempatnya saat ini. “Bu, saya yakin 100 persen, lelaki itu adalah Jazuli. Saya hapal dengan wajah dan posturnya.” Amina termenung sebentar. “Baiklah kalau begitu Bik. Hati – hati di jalan.” Amina menyerahkan kunci motor gerobak dan uang pada Bik Susi. Ia kemudian menutup pintu, dan hendak merebahkan badannya lagi ke pembaringan. Namun, bukannya tidur, pikirannya malah mengembara kemana – mana. Bagaimana jika lelaki yang dikatakan Bik Susi benar- benar Jazuli? Mungkinkah lelaki itu sengaja mengintimidasinya? Lenguhan napas panjang perempuan itu mengisyaratkan ia sedang ditimpa keresahan hebat. Ketakutannya muncul dan semakin menggerogoti hati Amina. Waktu bergulir begitu cepat. 7 hari lagi ia harus bisa mengumpulkan uang 595 juta. “Ya All
Bab 170 Serta merta Jazuli menerkam Amina hingga perempuan itu terjatuh ke lantai. Kemudian ia menciumi wanita itu dengan penuh nafsu. “Sudah lama aku menginginkan kamu Amina sayangku!” Kedua tangannya menekan tubuh Amina hingga perempuan itu sulit berkutik. Bau jigong menyeruak dan menusuk hidung Amina. Perut wanita itu bergolak hebat, pingin muntah entah antara rasa jijik dan putus asa. “Lepaskan aku. Aku janji akan membayar hutangmu segera!” Amina meronta berusaha melepaskan cengkeraman Jazuli dan menghindari serangan ciuman Jazuli yang membabi buta. Napas perempuan itu ngos – ngosan. Akan tetapi kekuatannya kalah besar dengan pria gaek itu. Jazuli tertawa terbahak – bahak. Semakin Amina melawan, nafsu binatangnya itu kian menggelora. “Aku tidak butuh uangmu, cantik! Aku hanya butuh kamu!” Ia merasa dirinya menang dan berusaha menindih Amina. Tatapan pria itu kian liar menelusuri wajah cantik Amina. Melihat posisi Amina yang terancam, Fahri mengambil tongkot bisbol. Ia men
Bab 171 Amir, teman Abah Anom mendekati tubuh Jazuli. Ia menaruh tangannya di depan hidung pria itu. “Dia masih bernapas,” katanya. Lelaki itu melihat ke Abah Anom dan Amina. “Selanjutnya, kita apakan dia?” “Amina, Abah menunggu perintahmu. Jika kamu mau dia mati, anak buah Abah bisa menghabisinya dan membuangnya ke tempat yang tak terdeteksi. Kedua orang itu sangat professional.” Dengan tenang Abah Anom mengatakannya. Lelaki itu dulu terkenal sebagai jawara di kampungnya. Ia ditakuti banyak orang. Amina bergidik mendengar penjelasan tuan rumahnya. Sebenci – bencinya dia pada Jazuli, dia takkan mau menorehkan sejarah sebagai otak pembunuh. “Kita bawa dia ke rumah sakit saja. Nanti saya akan hubungi keluarganya.” Amir dan temannya menggeleng – gelengkan kepala dengan kebaikan hati Amina. Padahal nyawa perempuan itu tadi terancam, tetapi dia malah menolong orang yang mengancam hidupnya. Abah Anom tersenyum kecil. Dia menepuk pundak Amina dua kali. “Kamu memang wanita baik. Abah kag