Bab 2
06082022
"Amina, kamu mau kan?" tanya Jazuli lagi. Sedetik pun ia tak melepaskan pandangannya pada kecantikan gadis muda itu.
Jazuli terpesona dengan Amina!
"Eng, gak tahu ya Om. Saya tidak bisa berjanji." Perut Amina mendadak kaku berada di dekat Om Jazuli.
Pandangan pria tua seperti seekor serigala lapar yang siap ingin menelannya bulat - bulat hingga ia kesusahan bernapas.
Amina merasakan waktu berjalan sangat lambat.
Tak berselang lama, 2 karyawan lelaki Toko Emas Murni datang. Amina mengetahuinya karena membaca nama toko kakak iparnya tertulis di kaus seragam yang mereka pakai.
"Pagi Pak," sapa Yoga ramah. Tampilan rambutnya sangat klimis. Matanya melirik pada Amina.
Bau pomade menusuk hidung Amina. Sedangkan kawannya yang bernama Rudi tersenyum cengengesan memperlihatkan giginya yang sedikit menonjol ke depan.
"Pagi juga," jawab Jazuli. "Kenalkan, ini Amina, karyawan baru di sini. Amina adalah adiknya Ajeng." Mata Jazuli memperhatikan karyawannya.
"Awas, kalian jangan coba-coba menggoda Amina. Bila tidak ingin saya pecat!" Suara Jazuli berubah berat.
Rudi dan Yoga yang tadi tampak kesenangan bertemu dengan Amina langsung diam.
Mereka tak berani macam-macam dengan ancaman Bos besarnya.
"Baik Pak," sahut keduanya bersamaan.
Wahyu yang baru tiba terkejut melihat bapaknya berkunjung ke tokonya pagi sekali.
"Assalamualaikum Pak, kok tumben pagi-pagi sudah ke sini. Apa ada masalah dengan Ibu?" tanya Wahyu sambil memberikan kunci tokonya pada Yoga.
Biasanya Bapak suka mengadu kepadanya bila dia sedang kesal menghadapi ibunya.
Sakit asma dan lambung yang di derita Sri, istri Jazuli sering kambuh dan membuatnya sering terkapar di rumah.
Jika sakitnya kambuh, wanita tua itu amat rewel dan cerewet. Dia seperti anak bayi yang meminta perhatian terus.
Tak hanya Mbok Jum, pembantunya yang repot. Jazuli juga kecipratan repotnya merawat Ibu.
"Gak ada, Bapak hanya bosan di rumah." Jazuli mengikuti anaknya masuk ke toko. Dia langsung duduk di kursi beroda yang berada di pojokan.
Tempat duduk paling strategis untuk memperhatikan suasana toko dan karyawannya.
"Apa Bapak sudah sarapan?" tanya Wahyu basa basi pada bapaknya yang masih kelihatan gagah, meski umur lelaki itu mendekati 63 tahun.
"Sudah, tadi Bapak mampir makan soto sebelum mampir ke sini." Mata Jazuli diam-diam memperhatikan bokong penuh Amina.
Gadis itu memakai celana jeans dan baju kemejanya dimasukkan ke dalam. Dia sangat modis dan membuat mata Jazuli bergairah.
"Amina, tolong buatkan kopi buat Bapak."
Amina segera pergi ke dapur yang berada di belakang toko. Ruangannya sempit, ukurannya kira-kira 2 x 1meter.
Di sana ada kompor satu tungku, di sebelahnya wastafel sekaligus berfungsi untuk tempat cuci peralatan makan.
Di atas wastafel ada rak piring dari stainless. Kemudian di bawah kompor ada kulkas mini dan kontainer dari plastik tempat menyimpan mie, kopi dan gula.
Galon air diletakkan di seberang wastafel berdekatan dengan meja kecil.dan satu kursi plastik.
Setelah menemukan apa yang dicarinya. Amina segera membuatkan kopi untuk Om Jazuli berikut kakak iparnya.
"Apa Amina tinggal bersamamu?" tanya Jazuli sambil matanya melirik yang sedang menaruh kopi di atas meja.
"Ia, biar bisa menemani Ajeng dan bantu-bantu merapikan rumah," ujar Wahyu.
Jazuli lalu menyeruput kopi buatan Amina. Lidahnya berdecak kagum. Kopi buatan Amina mantap sesuai seleranya. “Kopi buatanmu enak sekali Aminal, panas, legit dan kental. Om suka,” pujinya.
Menanggapi pujian Om Jazuli, Amina hanya mengangguk kecil. Dia kemudian kembali ke posisinya, berdiri di depan meja counter menunggu pembeli.
“Bukan hanya kopinya yang enak, masakan Amina juga lezat.” tambah Wahyu lagi. “Aku jadi senang makan di rumah.”
“Oh ya?” Jazuli melihat ke arah Amina yang membelakanginya. Kemudian matanya terpaku pada bokong perempuan itu. Bentuknya benar-benar bulat sempurna. Melihatnya saja membuat nafsunya naik.
Lelaki tua itu menelan ludahnya beberapa kali. “Mana lebih enak, masakan ibumu atau Amina?”
Mata kanan Wahyu melihat ke atas. Ia mencoba mengingat rasa masakan ibunya dan membandingkannya dengan masakan Amina. “Aku tidak tahu, keduanya sama-sama enak.”
Jazuli tersenyum lebar, semakin lengkaplah rasa kagumnya pada gadis muda itu. Dari dulu ia menyukai perempuan yang bisa masak.
“Bapak gak percaya omonganmu Yu, sebelum mencicipi makanan buatan Amina.” Jazuli memegang dagunya seperti berpikir. “Amina, apa kamu bisa membuatkan makanan untuk Om sekarang?”
Amina menolak halus. “Tapi Om, maaf saya sedang bekerja dan tidak ada peralatan dan bahan di dapur, kecuali mie instant.”
Wahyu melihat bapaknya dengan keheranan. “Bapak ini permintaannya kok aneh-aneh sekali. Amina itu bekerja bukan untuk mengurusi makanan Bapak,” keluh Wahyu. Sebelum dia pergi ke Bank menyetor uang.
Melihat kepergian Wahyu, Jazuli girang. Ia langsung memerintahkan Amina untuk masak mie instan. “Amina, tolong buatkan mie goreng sekarang!”
Amina patuh. Ia pergi ke dapur lagi. Sementara kedua teman kerjanya sedang sibuk melayani pembeli yang datang.
Jazuli mengintip situasi, setelah dirasa aman, dia pergi ke kamar mandi yang berada di seberang dapur. Dia menghidupkan kran sambil mengamati Amina.
Saat Amina menungging mengambil mie instan, tiba-tiba Jazuli berada tepat di belakangnya. Dia menggesek-gesekkan badannya ke bokongnya. Kemudian memeluk wanita itu dari belakang.
Amina ketakutan, ia hendak berteriak, tapi Jazuli telah menutup mulutnya. “Om gak akan menyakiti kamu, selama kamu menuruti perintah Om.”
Bab 306082022Sepulangnya dari tempat kerja, Amina tidak langsung pulang ke rumah kakaknya, melainkan pergi ke taman dan duduk di bangku kayu dengan wajah murung.Kejadian di toko tadi membuat Amina resah memikirkan bagaimana menjalani hari-hari selanjutnya. Sanggupkah ia bertahan bekerja di toko emas kakak iparnya?Bercerita dan mengadu pada Wahyu apalagi Ajeng kakaknya bukanlah solusi. Ia sangat mengenal kakaknya. Perempuan itu takkan mempercayai ceritanya dan bakal akan menuduhnya macam-macam.Berhenti bekerja? Nyali Amina ciut menghadapi cacian Ajeng yang pasti akan mengungkitnya tak tahu diri.Hhhh… Amina menghela napas panjang. Hatinya menggigil antara mengingat pelukan Om Jazuli dan ketakutannya menghadapi hari esok. Ia lalu pulang.Sementara itu di depan rumahnya, Ajeng berdiri seperti seorang satpam. Berkali-kali ia melihat ke jam dinding. Wajahnya dongkol karena Amina belum pulang. “Kemana aja sih anak itu!”Wahyu yang sudah tiba terlebih dahulu, memperhatikan istrinya. “Su
Bab 4 07082022“Tumben pagi-pagi ke rumah, Pak?” sapa Wahyu yang sedang menyiram tanaman. “Bapak mau sarapan di rumahmu. Amina apa sudah selesai memasak?” Jazuli langsung masuk ke dalam rumah.Wahyu menghentikan kegiatannya dan mengikuti langkah Bapak. “Ma, ada Bapak datang,” teriaknya dari garasi.“Iya!” jawab Ajeng dari kamar dan cepat-cepat menyelesaikan memakai make-upnya. Kemudian menemui bapak mertuanya di ruang tamu.Mata Ajeng mengerling curiga melihat penampilan Jazuli yang perlente. Gaya berpakaian koboi, celana jeans, kemeja flannel, sepatu bots dan topi koboi. Mertuanya tampak gagah sekali.“Mau ke mana Pak?” tanya wanita itu.“Mau ke sini setelah itu ke toko. Kenapa? Kamu aneh melihat mertuamu ganteng begini?” tanya Jazuli dengan tergelak. Lelaki itu lalu duduk di sofa.Ajeng mesem dan melihat ke suaminya. “Pa, tuh lihat gaya pakaian Bapak, modelnya kekinian. Lihatnya enak, gak kayak kamu, jadul!” ucapnya masam. Ia berubah membandingkan cara berpakaian kedua lelaki itu.
Bab 5 07082022 Toko Emas Murni milik Om Jazuli lebih besar besar daripada milik kakak iparnya. Lokasi tokonya strategis, di tengah - tengah kota, dekat dengan pasar dan Mall. Pembelinya lebih ramai. Menurut yang Amina dengar dari pembicaraan pengunjung, mereka suka dengan model perhiasan yang up to date. Ada 4 orang karyawan lelaki. Semua sudah berumur, Amina mengira usianya di atas 30 tahunan. Amina hanya satu-satunya perempuan yang bekerja di situ. Dia sangat kikuk sekali. Apalagi saat melihat mobil Om Jazuli datang. Bertambah takutlah Amina Jazuli memanggilnya. "Amina sini, tolong bantu Om belikan roti di minimart." Sebenarnya itu hanya taktik Jazuli supaya bisa berbincang dengan Amina secara pribadi Amina datang. "Tadi Om ke rumah mau menjemputmu. Eh kamu sudah berangkat." Jazuli tersenyum melihat Amina. Walau memakai baju sederhana, Amina cantik sekali. Jazuli sulit menahan detak jantungnya yang berdegup lebih cepat. Jazuli menyerahkan uang seratus ribu ke tangan Ami
Bab 608082022 Amina kesulitan bernapas. Wajahnya pucat pasi. Keberanian yang dimilikinya menguap. Ia masih ingin hidup dan bertemu dengan kedua orang tuanya. Dengan takut dan perut menahan mual, dia mengikuti perintah Om Jazuli.Tampak lelaki tua itu keenakan. “Teruskan Amina! Teruskan!” Matanya seperti orang mabuk. Lelaki itu terus mendesah. “Owh… aku cinta kamu Amina!” Dia terus menekan kepala Amina ke kemaluannya.Mertua kakaknya itu memang gila!Tenggorokan Amina seperti tersumpal daging yang kian menegang. Kemudian daging itu mengeluarkan cairan kental di dalam mulutnya. Tanpa sadar Amina menelannya. Rasa cairannya sangat menjijikkan!Perut Amina berontak dan berdesakan mau keluar. Dia tak tahan lagi dan berlari ke kamar mandi mengeluarkan semua isi perutnya. Setelah itu dia terduduk di lantai kamar mandi yang dingin. Namun, menyadari apa yang ditelannya tadi. Amina kembali muntah, hingga isi perutnya kosong. Gadis itu berdiri sempoyongan.Jazuli tak mengindahkan Amina. Dengan
Bab 7 09082022 Ajeng lalu memeriksa Amina, demamnya sudah hilang dan dia tertidur pulas di kursi. Dengan kaki berjingkat dia lalu mengambil tasnya dan meninggalkan Amina sendirian di hotel menuju parkir di mana bapak mertuanya telah menunggu. Dari kaca spion, Jazuli tersenyum melihat menantunya berjalan dengan percaya diri menuju ke arahnya. Dia membuka pintu mobil dan membiarkan Ajeng masuk. “Bagaimana? Apakah pekerjaanmu sukses?” Ajeng menepuk dadanya. “Siapa dulu dong, Ajeng!” jawabnya bangga. “Obat tidurnya sudah bekerja. Amina sekarang sedang tidur pulas seperti orang pingsan. Apa Bapak mau ke kamar? Atau membawa Amina langsung?” Jazuli berpikir sebentar. “Berapa lama obat tidurnya bekerja?” “Sekitar 7 – 8 jam.” Ajeng telah mencampur kopi latte Amina dengan obat tidur sebelum ia memberikannya pada Amina. “Hmm, sebaiknya aku bawa dia langsung. Kamarmu di sebelah mana?” tanya Jazuli antusias. “Ujung. Bapak bisa langsung membawa mobilnya ke depan kamar, dan membawa Amina ta
Bab 8 09082022 Amina tidak tahu sudah jam berapa sekarang. Dia hanya berbaring terlentang di atas kasur menatap cahaya matahari yang melewati celah genting yang berlubang. Di sampingnya ada tas plastik yang berisi botol air mineral dan roti yang masih tersegel. Mulut Amina mengatup rapat, bibirnya kering. Kerongkongannya haus dan perutnya lapar. Namun, ia memilih untuk tidak menyentuh makanannnya. Biar saja dia mati. Ia tetap berada di posisinya menghadap ke langit-langit. Sesekali saja ia menoleh melihat tikus dan kecoa yang berlalu lalang di sampingnya. Kemudian satu ekor tikus, sebesar anak kucing berdiri di samping Amina. Tikus itu menatap Amina lama. Amina tersenyum kecut. “Jangan melihatku seperti itu Kus! Aku tak butuh dikasihani! Kalau kamu makan rotiku, ambil saja, dan biarkan aku sendiri!!” teriaknya seperti orang gila. Tikus besar itu hanya mencicit, seakan-akan dia mengerti kesedihan yang sedang merangkul gadis di depannya itu dan pergi dengan cepat melewati karung
Bab 9 10082022 “Kita sebaiknya pergi ke rumah Ajeng, Pak,” kata Sarmini kecewa, setelah anak pertamanya itu menutup telpon tanpa memberikan waktu kepadanya untuk bicara. “Baiklah Bu, tapi besok saja ya. Bapak belum ada uang untuk bekal ke sana.” Raut muka Sahlan tampak sedih. Ia belum tahu ke mana mencari uang untuk bekal ke rumah anaknya. “Iya Pak.” Sarmini mengerti. Gaji honorer mereka berdua sekitar 2 juta sebulan, dan setengah gaji harus mereka relakan untuk membayar cicilan pada Bank untuk biaya pernikahan Ajeng setahun lalu. Seminggu kemudian, pagi-pagi Sarmini dan suaminya sampai ke rumah Ajeng. Sambil menenteng kresek yang berisi sayuran dan pisang Sarmini mengetuk pintu rumah anaknya. “Assalamualaikum.” Wahyu membukakan pintu. “Waalaikum salam,” jawab Wahyu kaget menerima kedatangan kedua mertuanya. “Mari masuk, Pak, Bu…” dia mempersilahkan mereka masuk. Mata Ibu celingak-celinguk mencari Ajeng dan Amina. “Ajeng masih keluar beli sarapan Bu,” kata Wahyu. “Amina mana
Bab 10 10082022 Amina bergerak seperti robot menyapu lantai semen. Wajahnya pucat dan tirus dengan tulang-tulang menonjol. “Oww!” Amina menjerit tertahan. Ada sesuatu yang menendang perutnya. Gadis itu duduk di lantai lalu meraba perutnya. Perlahan, Amina teringat sudah lama tidak mendapatkan menstruasi. “Tidak!” Kepanikan menerkam otaknya. “Tidak! Aku tidak mau hamil!” Senyum yang dimiliki semakin musnah ditelan derita yang menghampirinya. Seperti kesetanan, perempuan itu berlari dan berguling-guling di ruangan pengap bekas gudang beras itu. Setelah capek, ia duduk dan memukuli perutnya. “Keluarlah kamu, jangan diam di tubuhku!” ratapnya melas. Amina memijat perutnya dengan keras. “Tolong bantu aku, aku tidak mau hidupmu sengsara sepertiku.” Janin yang ada di dalam perut Amina kembali menendang, membuat perempuan itu tersadar ada mahluk kecil di dalam perutnya. Amina menangis tergugu. Ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya lagi. Ratusan kali dia berdoa meminta malaikat mau