Gara-gara mulut ember Alec, Saga tiba dua jam kemudian. Tampaknya pria itu langsung pulang begitu ditelpon oleh Alec.Memastikan gosip yang dihibahkan Alec bukanlah sekedar omong kosong, pria itu langsung membawa Sesil ke rumah sakit. Seperti biasa, mereka bisa menerobos antrean karena Saga adalah ketua yayasan rumah sakit. Sesil langsung diperiksa, tanpa menggunakan tes kehamilan dia langsung naik ke ranjang untuk diperiksa dengan mesih USG. Ia positif hamil, usia kandungan memasuki tujuh minggu. Dokter bilang janinnya masih sebesar buah ceri, -dua buah ceri-. Sangat kecil, tapi makhluk itu hidup di rahimnya. Menghangatkan perutnya. Melipatgandakan hentakan kebahagiaan yang masuk ke dadanya. Tak hanya satu keajaiban, dua keajaiban langsung dianugerahkan kepadanya. Tak henti-hentinya Saga mengelus perutnya sepanjang perjalanan mereka pulang ke rumah. Meyakinkan diri bahwa anak itu benar-benar ada di perut Sesil dengan sentuhan itu. Tetapi keyakinan itu meragu ketika sampai di rumah, S
“Undangan pernikahan?” Sesil mengambil lembaran setebal setengah senti yang terletak di atas tumpukan buku di ujung meja kerja Saga. Saga mengangkat wajahnya. Melihat kertas undangan pernikahan yang diberikan Alec beberapa hari lalu. Setelah kabar tentang kematian Cage senior, Alec kembali selama seminggu dan hanya mengirim kertas sialan untuk memberitahunya bahwa pria itu ternyata masih bernapas. “Alec Cage & Alea Mahendra? Apa ini undangan pernikahan Alec?” Mata Sesil melotot tak percaya. “Untuk apa Alec menikah?” “Untuk apa pun itu bukan urusanku, apalagi urusanmu.” Saga kembali bergulat dengan lembaran kertas lebar yang nyaris memenuhi seluruh mejanya. Berisi gambar-gambar kerangka dan denah kasino baru yang akan dibangunnya. Merasa tak puas dengan tata letak seperti yang diinginkannya, Saga kembali menggulung perkamen tersebut dan menyingkirkannya dari hadapannya. Lena harus memulainya dari awal. “Dia jelas bukan jenis pria yang bisa jadi suami yang baik, Saga.” “Tidak semua
"Sesil?" Dirga berpura terkejut. Sejak wanita itu turun dari mobil, ia sudah melihatnya. Menunggu sesaat si sopir lengah dan menyelinap masuk ke toko bunga. Bukan tak merelakan, hanya saja terkadang ia merasa begitu merindukan wanita itu. "Apa yang kaulakukan di sini?" Senyum Sesil masih secerah yang ia ingat. Ingatan lima tahun yang lalu. Karena semenjak Saga mulai ikut campur tangan dalam takdirnya, wanita itu tak lagi memberinya senyum yang sama. Seluruh hati wanita itu telah menjadi milik Saga. Tak ada lagi tempat untuknya. Tak ada lagi penyesalan yang akan menyembuhkan lukanya. Dirga menunjukkan beberapa tangkai mawar putih di tangannya. "Kau?" "Aku akan menghadiri acara pernikahan... teman." Sesil meringis dalam hati dan merasa geli dengan kata teman yang diucapkannya. Tapi mungkin saja ia bisa menjadi teman istri Alec dan membantu wanita itu melarikan diri dari pernikahan yang tidak diinginkan. Sungguh, Sesik tak bisa menahan prasangka buruknya pada Alec mengingat ingatan d
Sesil turun dari mobil lebih dulu. Melihat hiasan dan sayup-sayup suara keramaian dari kejauhan dan berjalan dengan langkah penuh ketidaksabaran. “Kita tidak akan ke sana.” Saga menahan lengan Sesil begitu wanita itu hendak melangkah lebih dulu ke arah jalan setapak yang sudah diarahkan menuju halaman belakang tempat pesta sedang berlangsung. “Kenapa?” Saga menoleh ke arah salah satu pengawalnya, yang segera berjalan melewati Sesil menuju halaman belakang. “Lewat sini.” Saga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia sedang tak ingin menunjukkan diri di depan umum, terutama ketika bersama dengan Sesil yang sedang hamil dan tentu saja rentan diserang. Sepertinya di dalam rumah lebih aman. Kemudian ia membawa Sesil menuju pintu di samping rumah yang dilihatnya. “Kita tunggu di sini.” Langkah Saga terhenti ketika melihat ruangan yang kosong, yang salah satu sisi dindingnya dari kaca satu arah dan mengarah langsung ke halaman belakang. “Aku ingin melihat pengantin wanitanya dan memgucap
“Lagi?” Sesil mengangguk dengan telapak tangan di mulut, melompat dan berlari ke arah kamar mandi dengan gerakan cepat. Jantung Saga nyaris meloncat keluar dari dadanya ketika melihat Sesil melompat turun dari ranjang sebelum ia sempat bangkit untuk menggendong wanita itu ke kamar mandi. Bagaimana jika wanita itu terpeleset dan kepalanya membentur lantai. Saga pun segera berlari menyusul wanita itu yang sudah berjongkok di depan toilet. Menguncir rambut Sesil ke belakang dengan tangan kirinya dan mengusap punggung wanita itu dengan tangan kanan. Hatinya terasa diperas melihat keringat yang membubuhi kening wanita itu. Menunjukkan seberapa banyak tenaga yang terkuras untuk mengeluarkan isi perut. Ia belum pernah muntah, tak ada darah atau apa pun yang bisa membuat isi lambung keluar secara paksa. Hidupnya sudah cukup keras. Kecuali mungkin muntah darah yang diakibatkan oleh tusukan pisau di perut dari salah satu perkelahian yang tak bisa dihindari. Dan itu sudah lama terjadi, ia lup
“Nyonya, apa yang Anda lakukan tengah malam seperti ini di luar?” Salah satu pengawal berjalan mendekati Sesil begitu wanita itu menginjakkan kaki di teras rumah. “Siapkan mobil.” Pengawal itu butuh penjelasan lebih. “Cepat. Bawa aku ke ... ke ...” Sesil tak tahu ke mana dia harus pergi. Dirga tak mengatakan apa pun karena pria itu sedang dalam keadaan sekarat. “Ke sini.” Pengawal itu menatap ponsel yang diletakkan Sesil di tangannya. “Cepat kau cari tahu di mana lokasi nomor yang baru saja menelponku dan bawa aku ke sana.” “Tuan Saga ...” “Saga tidak bisa dihubungi. Dia masih di pesawat. Dan ini sangat genting. Seseorang sedang sekarat, aku harus menolongnya.” Pengawal itu tampak keberatan. “Atau kauingin aku pergi ke sana sendirian!” bentak Sesil. “Baik, Nyonya. Saya akan segera mencarinya.” “Cepat.” Tak lebih dari sepuluh menit, pengawal Saga memberitahu tahu lokasi di sekitar ini dan itu yang sama sekali tak pernah didengar oleh Sesil. Sesil pun menyuruh pengawal itu unt
Ketika keputus-asaan benar-benar nyaris membuat Sesil sekarat, akhirnya ia mendengar suara Alec memanggilnya dari arah kegelapan. Ia melihat cahaya bergerak-gerak tak jauh dari tempatnya bersimpuh. “Alec?” Sesil melempar ponselnya di rumput. Bersamaan pengawalnya yang tadi menghilang tiba-tiba muncul. Dengan napas terengah dan saat cahaya Alec menyorot wajah keduanya, Sesil bisa melihat luka lebam dan sobek di mulut pengawalnya. “Dia Alec,” cegah Sesil ketika pengawal itu hendak mengarahkan pistol ke arah Alec. “Apa yang terjadi?” Alec langsung duduk berjongkok di samping Sesil. Melihat tangan Sesil yang menekan dada Dirga sudah dipenuh darah. Pria itu menyentuhkan tangannya di leher Dirga. Sangat lemah, dan mungkin tak bisa diselamatkan melihat bagaimana banyaknya darah di sekitar tubuh Dirga juga Sesil. “Kita harus segera membawanya,” perintah Alec pada pengawal Sesil. Yang langsung menggantikan telapak tangan Sesil di dada Dirga. Wanita itu menggeleng. “Mundurlah, Sesil. Biarkan
“Atas ijin siapa kalian memasukkan pria itu ke rumahku?!” Gelegar suara Saga dari arah ruang tamu mengejutkan Sesil yang berdiri di depan kamar Dirga. Sesil memutus panggilannya dengan Alec dan bergegas menghampiri suaminya. Di ruang tamu, ia melihat Saga yang tengah berdiri di tengah ruang tamu, dengan beberapa pengawal yang sudah berjajar rapi, menunduk ketakutan. “Aku yang menyuruhnya, Saga.” Sesil menelan ketakutannya bulat-bulat hanya untuk mengganjal di tenggorokannya. Saga menoleh. Ia bisa merasakan ketakutan yang menyelimuti Sesil tapi tak cukup lihat untuk disembunyikan. Rasanya darahnya mendidih mengetahui pria itu ada di atap yang sama dengannya. Ditambah sikap kepahlawanan Sesil yang membuat titik didih di kepalanya semakin tak tertahankan menunggu jebol. “Kaupikir aku bertanya pada mereka karena tidak tahu?” Bibir Saga nyaris tak bergerak ketika mendesiskan pertanyaan retoris tersebut. Sesil menelan ludahnya, meremas tangannya sendiri. Kemarahan yang berkobar di kedua