Tiba-tiba, tirai di sisi pintu masuk dibuka. Ratu Arunya muncul dengan langkah anggun, gaunnya yang berlapis-lapis berdesir di lantai marmer.
“Kelihatannya pelajaran kita perlu disesuaikan,” ujarnya dengan suara dingin. “Mari kita beralih ke pelajaran yang lebih... praktis.” Di tangannya memegang kantong kulit berisi dadu gading. “Kau jangan terlalu keras padanya, Perdana Menteri.” suaranya mendayu. “Mari kita coba dia untuk bertaruh dalam bermain dadu.” Wirya mengamati papan tersebut—sebuah permainan dadu kuno dengan delapan lubang berjejer, dihiasi ukiran naga yang saling melilit. Sang Ratu duduk di seberang Wirya dengan gerakan anggun, mengeluarkan tiga dadu bertatahkan batu rubi. “Jika aku menang,” bisiknya sambil menggulirkan dadu di telapak tangan, “kau harus menuruti semua yang ada di kerajaan ini meskipun nyawa menjadi taruhannya.” Wirya menyeringai. “Dan... bagaimana jika aku yang menang?” “Kau boleh bebas dan kami tak akan menangkapmu dikemudian hari,” jawab Ratu sambil menunjukkan dadu ke Wirya. Tentu saja dengan gerakan cepat Wirya meraih dadu tersebut, “Kau tahu, aku adalah orang yang suka bertaruh dalam menghadapi setiap kasus.” Ratu Arunya hanya tersenyum mendengar perkataan pria asing yang sedang duduk di hadapannya. Wirya mengamati dadu-dadu itu. “Bagaimana dengan aturan permainannya?” Ratu Arunya berjalan pelan menghampiri Wirya “Kita akan main Tujuh Nasib,” ujarnya. “Permainan ini biasa kami gunakan untuk menentukan takhta.” Ratu menyentuh dagu Wirya dan menatapnya penuh intimidasi sebelum kembali ke tempat duduknya. Adiwidya berdiri di depan meja batu bundar, dalam permainan ini dia bertugas sebagai juri. “Masing-masing pemain melempar tujuh kali. Hitung total angka tertinggi, yang mendapat angka tertinggi dia yang menang.” Ratu mengambil tiga dadu. “Aku akan mulai...” Dadu-dadu itu berputar di udara sebelum mendarat sempurna. Tiga dadu mendarat dengan suara berdetak: Enam, Enam, Enam. Para dayang yang berdiri di tepi ruangan berdesis terkesima. “Hidup Ratu Wanawaron!” Ratu Arunya tersenyum puas. “Sulit mengalahkan itu.” Wirya mengambil dadu, jari-jarinya yang panjang memeriksa setiap sisinya dengan cermat. “Apa kau yakin tidak ada kecurangan dalam permainan ini?” Suasana mendadak tegang. Adiwidya menarik napas tajam. Tapi Ratu hanya tertawa. “Kamu tipe orang yang waspada. Tapi tetap saja,” tangannya tiba-tiba menangkap pergelangan tangan Wirya, “di istana ini, yang kuanggap curang adalah mereka yang menolak bermain.” Wirya sedikit terkejut dengan ucapan Ratu Arunya. Namun dia memutuskan untuk tetap mengikuti permainan. Wirya mengambil dadu itu kemudian melemparkannya ke atas meja. Enam, enam, lima! Selisih satu angka dengan lemparan dadu milik Ratu Arunya membuat Wirya tersenyum puas. “Hehe.. sepertinya kecuranganmu tak mempan melawan keberuntunganku.” “Kamu menuduhku curang, padahal aku tak melakukan apapun selain melempar dadu seperti biasa.” Ratu Arunya terlihat begitu tenang. Permainan berlanjut hingga lemparan yang ketujuh, total angka yang tidak terlalu jauh membuat permainan semakin memanas. “Untuk lemparan terakhir ini, aku memberimu kesempatan untuk melempar terlebih dahulu.” Kata Ratu Arunya sambil memberikan tiga buah dadu kepada Wirya. Wirya menerima dengan tenang lalu menatap sang Ratu dengan tajam. “Kau adalah Ratu yang terlalu percaya diri.” Perkataan itu seolah membalas penilaian Ratu Arunya kepada Wirya sebelumnya. Tanpa banyak bicara lagi Wirya melempar dadu dengan lugas. Suara dadu berdetak di atas meja beberapa kali sebelum akhirnya menunjukkan tiga angka yang sempurna yaitu enam, enam, enam. Wirya tersenyum puas. “Selisih angka kita sekarang adalah tujuh belas. Aku rasa satu-satunya kemenanganmu adalah dengan mendapat poin sempurna juga.” Ruangan di sana menjadi tegang, baik Adiwidya maupun para dayang memasang muka serius dan cemas. Tetapi tidak dengan Ratu Arunya yang masih terlihat sangat tenang dari awal permainan hingga akan berakhir. “Turutilah semua perintahku!.” Ratu Arunya mencium dadu sebelum melemparkan ke atas meja. Dadu itu terus berputar menciptakan irama layaknya genderang perang dalam hati setiap orang yang ada di ruangan itu. Saat dadu itu berhenti para dayang maupun Perdana Menteri Adiwidya menghela napas lega. “Hidup Ratu! Hidup sang Ratu!” Sorakan para dayang menggema diikuti oleh senyum kemenangan di wajah mereka. Ratu Arunya tertawa. “Kau memang beruntung.” Dengan gerakan lambat, dia menghampiri Wirya. “Tapi di istana ini, yang menang adalah mereka yang mengendalikan permainan.” Wirya hanya bisa tertegun memandang dadu yang baru saja dilemparkan sang Ratu. Harusnya dia tahu kalau tidak bisa mengandalkan keberuntungan karena sejak dia terlempar ke zaman dulu, itu sudah menjadi nasib buruk menurutnya. “Kamu harus berpura-pura menjadi Raja di kerajaan ini untuk menghadiri jamuan makan di kerajaan Karta Loka.” Sang Ratu melingkarkan lengan kirinya ke leher Wirya sambil berbisik. “Kamu juga harus membuat Dewi Kirani hamil setelah itu kau harus mengorbankan nyawamu.” Deg… Jantung Wirya berdegup kencang, aliran darahnya seolah terhenti saat itu. “A–apa maksudmu dengan mengorbankan nyawaku?” Ratu Arunya tak menjawab pertanyaan tersebut. Dia hanya tersenyum lalu keluar dari ruangan tersebut dengan langkah yang anggun. Adiwidya mendekati Wirya lalu berbisik di telinga Wirya. “Sedari awal aku sudah bilang padamu agar tidak pernah melawan kami.” Wirya hanya bisa menyesali nasibnya, tangannya kembali dibelenggu dengan rantai oleh para prajurit. Adiwidya berjalan mengikuti Ratu Arunya di barisan paling depan diikuti oleh para prajurit yang sedang menuntun Wirya keluar dari ruangan tersebut. “Hei, kamu!” Teriak Wirya dengan lantang mencoba berbicara kepada sang Ratu. Namun Ratu Arunya tak menggubris teriakan Wirya. Dia tetap berjalan dengan anggun dan berwibawa. “Jika aku harus berpura-pura menjadi Raja di sini... Kenapa aku masih dibelenggu seperti ini?” Wirya menggerak-gerakkan tangannya, mencoba melepas rantai meskipun itu sia-sia. Tap.. Tap.. Tap.. Terdengar langkah kaki menghampiri Wirya secara tiba-tiba. PLAKK! Sebuah tamparan keras mendarat telak di pipi Wirya seketika itu juga. “Kamu... Apa yang kamu lakukan?” Wirya memegangi pipinya yang terasa panas dengan tangannya yang masih dirantai.Malam telah menyelimuti desa ketika Wirya akhirnya memutuskan menyelinap keluar dari rumahnya. Bulan purnama menyapa menggantikan garis senja yang sirna, menerangi jalan setapak menuju ujung desa dengan cahaya peraknya yang dingin. Dia memilih jalan memutar, menghindari pos penjagaan utama. Setiap langkahnya diiringi oleh desir angin malam yang membawa aroma tanah lembap dan daun-daun kering. “Ini gila,” pikirnya sambil terus berjalan. “Apa aku harus benar-benar mempercayai orang asing?”Tapi rasa ingin tahu—dan mungkin juga naluri bertahannya—terlalu kuat untuk diabaikan. Saat mendekati batas hutan, bayangan tinggi seorang wanita berdiri di bawah pohon besar. Topi petaninya masih menutupi sebagian wajah, tapi mata hijau itu bersinar jelas dalam gelap. “Aku kira kau tak akan datang,” ujarnya saat Wirya berada dalam jarak beberapa langkah. Wirya berhenti, tetap waspada. “Aku masih belum yakin harus mempercayaimu.” Wanita itu tertawa pendek. “Kau memang orang yang bijaksan
“Sudah mau pergi?” ujar Bu Puji ketika melihat Wirya berjalan menjauh.Wirya menoleh sebentar. “Aku ingin melihat-lihat desa. Menikmati udara sore mungkin menyenangkan.” “Tunggu sebentar,” balas Bu Puji sambil menyeka tangannya yang berdebu lalu memberikan beberapa koin ke Wirya. “Ini upahmu setelah membantuku. Kau bisa datang lagi esok pagi.” Wirya mengangguk, lalu berjalan menyusuri jalan tanah yang berdebu.Wirya tiba di sebuah Pasar yang tak jauh dari rumah Bu Puji.Suara riuh rendah pasar segera menyambutnya. Wanita-wanita dengan keranjang anyaman berjualan sayuran, buah, dan berbagai kebutuhan sehari-hari. Beberapa mata langsung tertuju padanya saat ia melintas. “Lihat, itu orang dari istana!” bisik seorang wanita tua pada temannya. Wirya mencoba tersenyum ramah. “Selamat sore, Ibu. Berapa harga pisang ini?” Wanita itu terkejut ditanya langsung. “T-Tiga keping tembaga untuk satu sisir.” Dia mengeluarkan beberapa keping uang logam dari kantongnya—uang saku yang dib
“Tiga kali,” bisik Ibu Puji, suaranya pecah. “Tiga kali melahirkan anak laki-laki. Tiga kali mendengar tangisan bayi di tengah malam sebelum mereka dibawa pergi selamanya.” Tangannya mengepal erat. “Sekarang aku sudah tiga puluh lima tahun. Aku sudah mulai menyerah untuk mendapatkan penerusku.”Wirya berdiri tegak, tubuhnya gemetar. “Itu biadab!” “Di sini, itu disebut hukum,” jawab Ibu Puji sambil memungut pahatnya. Wirya menggeleng, tak percaya. “Jadi para bangsawan istana menentukan kehidupan kalian.” Ibu Puji mengangguk pahit, serbuk kayu berjatuhan dari jemarinya yang kaku. “Ratu, panglima, para menteri... mereka punya hak istimewa. Bisa memilih dari tawanan terbaik, yang sehat dan kuat.” “Bagaimana dengan kalian?” “Kami dapat apa yang tersisa,” Ibu Puji memicingkan matanya. “Atau lebih sering satu orang untuk beberapa penduduk. Kalau tidak mau harus antre lama, kadang sampai giliran habis sebelum dapat kesempatan.” Wirya mengepalkan tangannya. “Itu tidak adil!” “D
“Sungguh ironis sekali hidup ini, aku memang ingin kembali ke masa lalu untuk memperbaiki hubunganku dengan keluargaku.”Wirya menutup mata. Tiba-tiba, bayangan rumah ibunya di kampung halaman muncul begitu jelas. Suara televisi yang selalu diputar ibunya meski tak ada yang menonton. Foto-foto keluarga di dinding yang dulu selalu ia abaikan. “Tapi waktu menghukumku ke masa yang terlalu jauh, dimana tak ada keluargaku,” ucapnya lirih, sambil mengunyah makanan dalam mulutnya. Dia membayangkan ibunya sekarang—mungkin sedang duduk sendirian di ruang tamu, menunggu telepon yang tak kunjung datang. Tanpa tahu anaknya hilang di lorong waktu. “Maafkan aku, Bu,” bisiknya pada bayangan ibunya dalam pikirannya.Asap tungku dari api milik wanita pengrajin itu berhembus ke arah Wirya membuat matanya perih. Air mata Wirya menetes tanpa sadar. “Kau baik-baik saja?” tanya wanita pengrajin, Wirya mengangguk, menelan sesuap nasi yang tiba-tiba terasa pahit. “Hanya... rindu rumah.” Suas
Matahari pagi mulai meninggi, Wirya berdiri di gerbang istana tanpa membawa apapun kecuali pakaian sederhana yang melekat di tubuhnya. Dua prajurit wanita bersenjata lengkap sudah menunggu dengan sikap waspada. Salah seorang pelayan istana mendekat ke arah Wirya, menyerahkan kantong kulit berisi ramuan penawar. “Untuk sore nanti,” ucapnya singkat sebelum segera pergi. Dari balik tiang marmer, Kirani muncul dengan diiringi dua dayangnya. “Wirya,” panggilnya, suaranya berusaha tetap tenang. Para penjaga segera memberi jalan saat sang Putri mendekat. “Jaga dirimu,” bisik Kirani sambil berpura-pura menata kerah baju Wirya. Jarinya yang halus menyambar baju Wirya berpura-pura merapikannya.Wirya mengangguk hampir tak terlihat. “Aku akan pergi, Tuan Putri.” Panglima Amita yang mengawasi dari kejauhan tiba-tiba berseru, “Cukup! Sudah waktunya pergi!” Dengan langkah mantap, Wirya berbalik meninggalkan istana.Wirya melangkah keluar melewati gerbang istana, diiringi dua prajuri
Maya menelan ludah, matanya berbinar. “Apa... apa yang kau inginkan?” Wirya tersenyum—senyum tanpa kegembiraan. “Katakan pada mereka di luar bahwa pemeriksaan sudah selesai. Dan hasilnya... positif.” Maya menggeleng, wajahnya memerah. “Tapi Baginda Ratu akan—“ “Kau ingin melihatnya, bukan?” Wirya memotong, suaranya tiba-tiba berubah menjadi bisikan yang dalam. Matanya menangkap tatapan penasaran Maya yang sesaat terlalu lama tertuju di bagian bawah tubuhnya. Dewi Kirani menahan napas di sudut ruangan, matanya berbinar penuh pertanyaan. Dengan gerakan lambat, Wirya melepas ikatan di pinggangnya. “Aku tahu kau penasaran,” bisiknya, melihat Maya yang tiba-tiba kesulitan menelan ludah. “Semua wanita di istana ini pasti penasaran.” Maya tidak bisa mengalihkan pandangannya ketika kain linen mulai melorot— “Baiklah!” serunya tiba-tiba, tangannya terangkat untuk menahan. “A-Aku... aku akan katakan apa yang kau mau.” Wirya berhenti, senyumnya semakin lebar. “Pintar.” Di lua