Share

Bab 7

Author: Frands
last update Last Updated: 2025-04-30 20:15:20

Tiba-tiba, tirai di sisi pintu masuk dibuka. Ratu Arunya muncul dengan langkah anggun, gaunnya yang berlapis-lapis berdesir di lantai marmer.

“Kelihatannya pelajaran kita perlu disesuaikan,” ujarnya dengan suara dingin. “Mari kita beralih ke pelajaran yang lebih... praktis.”

Di tangannya memegang kantong kulit berisi dadu gading. “Kau jangan terlalu keras padanya, Perdana Menteri.” suaranya mendayu. “Mari kita coba dia untuk bertaruh dalam bermain dadu.”

Wirya mengamati papan tersebut—sebuah permainan dadu kuno dengan delapan lubang berjejer, dihiasi ukiran naga yang saling melilit.

Sang Ratu duduk di seberang Wirya dengan gerakan anggun, mengeluarkan tiga dadu bertatahkan batu rubi. “Jika aku menang,” bisiknya sambil menggulirkan dadu di telapak tangan, “kau harus menuruti semua yang ada di kerajaan ini meskipun nyawa menjadi taruhannya.”

Wirya menyeringai. “Dan... bagaimana jika aku yang menang?”

“Kau boleh bebas dan kami tak akan menangkapmu dikemudian hari,” jawab Ratu sambil menunjukkan dadu ke Wirya.

Tentu saja dengan gerakan cepat Wirya meraih dadu tersebut, “Kau tahu, aku adalah orang yang suka bertaruh dalam menghadapi setiap kasus.”

Ratu Arunya hanya tersenyum mendengar perkataan pria asing yang sedang duduk di hadapannya.

Wirya mengamati dadu-dadu itu. “Bagaimana dengan aturan permainannya?”

Ratu Arunya berjalan pelan menghampiri Wirya “Kita akan main Tujuh Nasib,” ujarnya.

“Permainan ini biasa kami gunakan untuk menentukan takhta.” Ratu menyentuh dagu Wirya dan menatapnya penuh intimidasi sebelum kembali ke tempat duduknya.

Adiwidya berdiri di depan meja batu bundar, dalam permainan ini dia bertugas sebagai juri. “Masing-masing pemain melempar tujuh kali. Hitung total angka tertinggi, yang mendapat angka tertinggi dia yang menang.”

Ratu mengambil tiga dadu. “Aku akan mulai...” Dadu-dadu itu berputar di udara sebelum mendarat sempurna.

Tiga dadu mendarat dengan suara berdetak: Enam, Enam, Enam.

Para dayang yang berdiri di tepi ruangan berdesis terkesima. “Hidup Ratu Wanawaron!”

Ratu Arunya tersenyum puas. “Sulit mengalahkan itu.”

Wirya mengambil dadu, jari-jarinya yang panjang memeriksa setiap sisinya dengan cermat. “Apa kau yakin tidak ada kecurangan dalam permainan ini?”

Suasana mendadak tegang. Adiwidya menarik napas tajam.

Tapi Ratu hanya tertawa. “Kamu tipe orang yang waspada. Tapi tetap saja,” tangannya tiba-tiba menangkap pergelangan tangan Wirya, “di istana ini, yang kuanggap curang adalah mereka yang menolak bermain.”

Wirya sedikit terkejut dengan ucapan Ratu Arunya. Namun dia memutuskan untuk tetap mengikuti permainan.

Wirya mengambil dadu itu kemudian melemparkannya ke atas meja. Enam, enam, lima!

Selisih satu angka dengan lemparan dadu milik Ratu Arunya membuat Wirya tersenyum puas. “Hehe.. sepertinya kecuranganmu tak mempan melawan keberuntunganku.”

“Kamu menuduhku curang, padahal aku tak melakukan apapun selain melempar dadu seperti biasa.” Ratu Arunya terlihat begitu tenang.

Permainan berlanjut hingga lemparan yang ketujuh, total angka yang tidak terlalu jauh membuat permainan semakin memanas.

“Untuk lemparan terakhir ini, aku memberimu kesempatan untuk melempar terlebih dahulu.” Kata Ratu Arunya sambil memberikan tiga buah dadu kepada Wirya.

Wirya menerima dengan tenang lalu menatap sang Ratu dengan tajam. “Kau adalah Ratu yang terlalu percaya diri.”

Perkataan itu seolah membalas penilaian Ratu Arunya kepada Wirya sebelumnya.

Tanpa banyak bicara lagi Wirya melempar dadu dengan lugas.

Suara dadu berdetak di atas meja beberapa kali sebelum akhirnya menunjukkan tiga angka yang sempurna yaitu enam, enam, enam.

Wirya tersenyum puas. “Selisih angka kita sekarang adalah tujuh belas. Aku rasa satu-satunya kemenanganmu adalah dengan mendapat poin sempurna juga.”

Ruangan di sana menjadi tegang, baik Adiwidya maupun para dayang memasang muka serius dan cemas. Tetapi tidak dengan Ratu Arunya yang masih terlihat sangat tenang dari awal permainan hingga akan berakhir.

“Turutilah semua perintahku!.” Ratu Arunya mencium dadu sebelum melemparkan ke atas meja.

Dadu itu terus berputar menciptakan irama layaknya genderang perang dalam hati setiap orang yang ada di ruangan itu.

Saat dadu itu berhenti para dayang maupun Perdana Menteri Adiwidya menghela napas lega.

“Hidup Ratu! Hidup sang Ratu!” Sorakan para dayang menggema diikuti oleh senyum kemenangan di wajah mereka.

Ratu Arunya tertawa. “Kau memang beruntung.” Dengan gerakan lambat, dia menghampiri Wirya. “Tapi di istana ini, yang menang adalah mereka yang mengendalikan permainan.”

Wirya hanya bisa tertegun memandang dadu yang baru saja dilemparkan sang Ratu. Harusnya dia tahu kalau tidak bisa mengandalkan keberuntungan karena sejak dia terlempar ke zaman dulu, itu sudah menjadi nasib buruk menurutnya.

“Kamu harus berpura-pura menjadi Raja di kerajaan ini untuk menghadiri jamuan makan di kerajaan Karta Loka.” Sang Ratu melingkarkan lengan kirinya ke leher Wirya sambil berbisik. “Kamu juga harus membuat Dewi Kirani hamil setelah itu kau harus mengorbankan nyawamu.”

Deg…

Jantung Wirya berdegup kencang, aliran darahnya seolah terhenti saat itu.

“A–apa maksudmu dengan mengorbankan nyawaku?”

Ratu Arunya tak menjawab pertanyaan tersebut. Dia hanya tersenyum lalu keluar dari ruangan tersebut dengan langkah yang anggun.

Adiwidya mendekati Wirya lalu berbisik di telinga Wirya. “Sedari awal aku sudah bilang padamu agar tidak pernah melawan kami.”

Wirya hanya bisa menyesali nasibnya, tangannya kembali dibelenggu dengan rantai oleh para prajurit.

Adiwidya berjalan mengikuti Ratu Arunya di barisan paling depan diikuti oleh para prajurit yang sedang menuntun Wirya keluar dari ruangan tersebut.

“Hei, kamu!” Teriak Wirya dengan lantang mencoba berbicara kepada sang Ratu.

Namun Ratu Arunya tak menggubris teriakan Wirya. Dia tetap berjalan dengan anggun dan berwibawa.

“Jika aku harus berpura-pura menjadi Raja di sini... Kenapa aku masih dibelenggu seperti ini?” Wirya menggerak-gerakkan tangannya, mencoba melepas rantai meskipun itu sia-sia.

Tap.. Tap.. Tap..

Terdengar langkah kaki menghampiri Wirya secara tiba-tiba.

PLAKK!

Sebuah tamparan keras mendarat telak di pipi Wirya seketika itu juga.

“Kamu... Apa yang kamu lakukan?”

Wirya memegangi pipinya yang terasa panas dengan tangannya yang masih dirantai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tawanan yang Menawan   Bab 14

    “Ambarani...” Ratu Arunya menyandarkan punggungnya ke belakang sebelum melanjutkan cerita. “Salah satu penduduk dari Kerajaan Wanawaron. Karena kesalahan besar, dia dihukum tapi dia berhasil melarikan diri dari dari penjara.”“Kesalahan apa yang dia lakukan?”Suasana tiba-tiba hening sejenak di dalam kabin kereta. Ratu Arunya tak langsung menjawab pertanyaan Wirya.Dia melempar pandangannya ke samping, memalingkan wajah dari Wirya. Ada hal yang disembunyikan yang begitu berat untuk diungkapkan.“Kalau tak mau cerita juga tak masalah. Lagipula aku tak mau ikut campur urusan kerajaanmu.” Wirya memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh.Wirya bukanlah orang yang bodoh, pekerjaannya sebagai jaksa membuatnya belajar untuk membaca situasi dan kondisi. Dalam pikirannya dia sudah mulai merencanakan sesuatu yang rahasia.Perjalanan dilanjutkan dengan keheningan yang menciptakan dinding di antara mereka berdua.Tak ada lagi percakapan, tak ada lagi hambatan. Rombongan kerajaan Wanawaron

  • Tawanan yang Menawan   Bab 13

    “Sayang?” Wirya memiringkan wajahnya ke samping. “Bukankah itu agak sedikit aneh?”Ratu Arunya langsung mengernyitkan dahinya. “Itu wajar saja, karena seorang Raja selalu memiliki panggilan mesra kepada Ratunya.”Wirya menghela napas panjang. “Usia kita terlihat tidak sepadan. Lagipula kau terlalu tu–”Amita yang berada di samping Wirya langsung membungkam mulut Wirya sebelum pria itu menyelesaikan ucapannya.“Jangan pernah sedikitpun kamu mengatakan tua di hadapan Ratu.” Bisik Amita di telinga Wirya dengan nada sedikit mengancam.“Memangnya aku terlalu apa?” Tanya Ratu penasaran dengan ucapan Wirya.Wirya dan Amita saling memandang. “Kau terlalu tulus untuk dipanggil dengan sebutan sayang olehku.”Ratu Arunya langsung masuk ke dalam kereta. “Terserah kamu mau memanggilku dengan sebutan apa, asalkan kita harus terlihat sebagai sepasang kekasih di hadapan orang-orang dari Karta Loka.”Setelah Ratu Arunya kembali masuk, Amita kembali menoleh ke arah Wirya dengan tatapan sinis.

  • Tawanan yang Menawan   Bab 12

    “Hidup Wanawaron!!”Tiba-tiba kembali terdengar suara gemuruh. Wirya dengan cepat menarik mundur tubuhnya menjauh dari Dewi Kirani.“Lebih baik kita keluar saja sekarang.” Pinta Dewi Kirani dengan suara lembut.Wirya mengangguk dengan cepat meski sedikit gelagapan karena hampir saja dia mencium Dewi Kirani.Mereka berdua akhirnya melangkah keluar dari bilik kecil yang berada di tengah aula.Baru saja mereka tiba di luar bilik Ratu Arunya, Amita dan Adiwidya menyambut dengan senyum ramah yang merekah.Tak lupa lemparan bunga seroja dari semua pengunjung yang hadir terlihat seperti hujan deras yang menerpa tubuh mereka berdua.“Kami akan memberikan waktu selama satu bulan. Jika Dewi Kirani bisa hamil maka kamu akan mendapat penangguhan bagi nyawamu.” Kata Ratu Arunya dengan tegas.“Ba–bagaimana kalau Dewi Kirani tidak hamil dalam waktu satu bulan?” Wirya menatap Ratu Arunya dengan tegas.Dalam tatapan itu ada sedikit ketakutan di wajah Wirya yang tak bisa diungkapkan dengan kat

  • Tawanan yang Menawan   Bab 11

    “Tentu saja ini adalah tugasmu sebagai korban ritual ini.” Jawab Ratu Arunya dengan tegas.Tampak perasaan bingung menyelimuti wajah Dewi Kirani. “Ta—tapi, Bunda. Kami tidak tahu cara agar aku hamil.”Dewi Kirani memang belum diajari tentang ilmu biologi. Karena usia 18 tahun masih dianggap terlalu muda di kerajaan Wanawaron.“Tenang saja, anakku. Pria ini sudah memiliki naluri alami yang akan mengerti hal itu setelah kalian masuk ke dalam bilik.” Ujar Ratu Arunya tersenyum sambil menunjuk ke arah Wirya.Lagi dan lagi untuk ke sekian kalinya Wirya menelan ludah. Tatkala Dewi Kirani memeluk lengannya dengan lembut. Tanpa dia sadari kakinya kembali melangkah menuju bilik diiringi Dewi Kirani.Samar-samar terdengar bisikan-bisikan di belakang saat Wirya dan Dewi Kirani baru saja masuk.“Apa tidak apa-apa membiarkan Tuan Putri bersama dengan orang asing berdua saja, Mbak?” Tirai ditutup meninggalkan Wirya berdua saja dengan Dewi Kirani yang seolah terjebak dalam rasa canggung.“H

  • Tawanan yang Menawan   Bab 10

    Drap... Drap.. Drap... Tiba-tiba lorong menuju sel tahanan bergetar oleh derap kaki para penjaga wanita bersenjata. "Permisi, Ratu," ujar salah satunya sambil menunduk. “Persiapan di aula kerajaan sudah selesai.” Terlihat senyum yang menungging di wajah Ratu Arunya mendengar kabar tersebut. “Panglima! Kau atur dia. Aku akan pergi terlebih dahulu menuju Aula.” Perintah Ratu Arunya kepada Amita sebelum akhirnya berbalik pergi. Diikuti oleh Adiwidya dan Dewi Kirani serta beberapa pelayan. Ratu Arunya meninggalkan Wirya yang masih sibuk mengenakan perhiasan dengan dibantu Amita. “Bagaimana kalau aku tidak bisa membuat Dewi Kirani hamil?” Tanya Wirya kepada Amita. Amita menghentikan gerakan tangannya dalam mengatur perhiasan yang akan dipakai Wirya. “Kepala akan dipisahkan dari tubuhmu.” Deg.. Jantung Wirya seolah berhenti berdetak. Dia tak pernah memikirkan hal seperti ini sebelumnya. Di satu sisi dia bersyukur bisa menikahi seorang Putri cantik dari Kerajaan Wanawaron

  • Tawanan yang Menawan   Bab 9

    “Tunggu!” Seruan itu keluar tanpa kendali. Wirya merangkak ke depan. “Tolong hentikan rasa sakit ini!” Kata-kata itu terasa seperti kaca di kerongkongan. Adiwidya berjongkok, jarinya yang bersarung menyentuh leher Wirya yang berdenyut kencang. "Salah!" bisiknya lembut. “Kau harus mengucapkan Tolong... Perdana Menteri Adiwidya. Anugerahkan aku obat itu untuk mengurangi rasa sakitku. Lakukan dengan tunduk yang benar.” Dengan gemetar, Wirya menekan dahinya ke lantai dengan gerakan cepat dan berulang. “TOLONG!” teriaknya, suara parau pecah. “Aku mohon Perdana Menteri... aku tak tahan lagi...” Dengan gerakan cepat, Adiwidya menyelipkan kapsul ke mulut Wirya. Rasa pahit menyebar, tapi dalam hitungan detik, kejang di perutnya mereda seperti ombak yang tiba-tiba tenang. Wirya tetap terbaring di lantai, bau debu dan aibnya sendiri menusuk hidung. Di balik efek kapsul yang menenangkan, rasa yang lebih dalam menggerogotinya: rasa malu. “Ayo kita tinggalkan dia!” Perintah Adiwidya kepad

  • Tawanan yang Menawan   Bab 8

    “Apa yang kamu lakukan Tuan Putri?” Adiwidya terkejut melihat kejadian itu.Dewi Kirani sudah berdiri di hadapan Wirya dengan wajah yang begitu kesal.“Aku sangat membencimu sekarang.”Semua orang yang berada di sana saling memandang satu sama lain. Begitu juga dengan Ratu Arunya yang juga merasa bingung.“Apa yang kamu lakukan padanya, anakku?” Ratu Arunya menghampiri Dewi Kirani yang masih terlihat kesal.Saat Ratu sudah berdiri di sebelahnya, Dewi Kirani langsung memeluknya dengan erat sambil menangis. “Ibunda, kamu harus mengusirnya dari kerajaan.. Dia mencoba menyerangku saat aku tak sengaja bertemu di dalam penjara.”Sejenak Ratu Arunya menoleh ke arah Perdana Menteri. “Tentu saja anakku, Kita akan mengusir dia.”Dewi Kirani melepas pelukannya sambil mencoba menghentikan tangisnya. “Benarkah itu Ibunda?”Ratu Arunya mengangguk perlahan sambil menggenggam kedua pundak Dewi Kirani. “Benar anakku! Aku akan mengusirnya setelah dia selesai melakukan tugas untuk kerajaan Wanawaron.”D

  • Tawanan yang Menawan   Bab 7

    Tiba-tiba, tirai di sisi pintu masuk dibuka. Ratu Arunya muncul dengan langkah anggun, gaunnya yang berlapis-lapis berdesir di lantai marmer. “Kelihatannya pelajaran kita perlu disesuaikan,” ujarnya dengan suara dingin. “Mari kita beralih ke pelajaran yang lebih... praktis.”Di tangannya memegang kantong kulit berisi dadu gading. “Kau jangan terlalu keras padanya, Perdana Menteri.” suaranya mendayu. “Mari kita coba dia untuk bertaruh dalam bermain dadu.”Wirya mengamati papan tersebut—sebuah permainan dadu kuno dengan delapan lubang berjejer, dihiasi ukiran naga yang saling melilit.Sang Ratu duduk di seberang Wirya dengan gerakan anggun, mengeluarkan tiga dadu bertatahkan batu rubi. “Jika aku menang,” bisiknya sambil menggulirkan dadu di telapak tangan, “kau harus menuruti semua yang ada di kerajaan ini meskipun nyawa menjadi taruhannya.”Wirya menyeringai. “Dan... bagaimana jika aku yang menang?”“Kau boleh bebas dan kami tak akan menangkapmu dikemudian hari,” jawab Ratu sambil me

  • Tawanan yang Menawan   Bab 6

    Krang.. Wirya terkejut oleh suara jeruji besi yang dibuka kasar. Tiga prajurit wanita bersenjata masuk ke sel bawah tanahnya, wajah mereka tertutup kain kecuali mata yang tajam mengawasi. “Bangun, tawanan,” geram salah satunya sambil memasang rantai yang membelenggu pergelangan tangan Wirya. Dengan kasar, mereka memaksa tubuh Wirya agar cepat berdiri. Saat sudah dalam posisi berdiri sikapnya tetap tegak meski pergelangan tangannya masih terbelenggu. "Jika kalian ingin membawaku ke suatu tempat, setidaknya beri aku kesempatan untuk berjalan sendiri," ujarnya dengan suara datar namun penuh wibawa. Para prajurit terkejut, saling pandang sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Mereka membawanya melalui koridor batu yang lembap, tetapi kali ini tanpa menyeretnya. Wirya diarahkan masuk ke sebuah kamar mandi megah. Uap panas menyambutnya, berasal dari kolam marmer persegi yang penuh air berbusa. Dua belas pelayan wanita sudah menunggu dengan gayung emas dan botol-botol minyak. Salah sa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status