Share

Bab 8

Penulis: Frands
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-02 20:58:52

“Apa yang kamu lakukan Tuan Putri?” Adiwidya terkejut melihat kejadian itu.

Dewi Kirani sudah berdiri di hadapan Wirya dengan wajah yang begitu kesal.

“Aku sangat membencimu sekarang.”

Semua orang yang berada di sana saling memandang satu sama lain. Begitu juga dengan Ratu Arunya yang juga merasa bingung.

“Apa yang kamu lakukan padanya, anakku?” Ratu Arunya menghampiri Dewi Kirani yang masih terlihat kesal.

Saat Ratu sudah berdiri di sebelahnya, Dewi Kirani langsung memeluknya dengan erat sambil menangis. “Ibunda, kamu harus mengusirnya dari kerajaan.. Dia mencoba menyerangku saat aku tak sengaja bertemu di dalam penjara.”

Sejenak Ratu Arunya menoleh ke arah Perdana Menteri. “Tentu saja anakku, Kita akan mengusir dia.”

Dewi Kirani melepas pelukannya sambil mencoba menghentikan tangisnya. “Benarkah itu Ibunda?”

Ratu Arunya mengangguk perlahan sambil menggenggam kedua pundak Dewi Kirani. “Benar anakku! Aku akan mengusirnya setelah dia selesai melakukan tugas untuk kerajaan Wanawaron.”

Dewi Kirani mengerutkan keningnya. “Tugas... Tugas apa yang kamu maksud, Ibunda?”

Ratu Arunya menyeka bekas air mata yang masih menempel di wajah indah Dewi Kirani. “Kamu menurut saja, jangan banyak bertanya dan jangan melakukan hal yang tidak penting.”

Ruangan menjadi senyap. Dewi Kirani tampak kembali ingin protes karena jawaban Ratu Arunya tak membuat Dewi Kirani lega. Tapi Ratu sudah berbalik. 

“Bawa dia ke ruang persiapan,” perintah Ratu pada Adiwidya.

 

Wirya diseret keluar oleh para penjaga. Saat melewati Kirani, dia melihat sesuatu yang tak terduga—di balik selimut air mata, matanya tersirar sebuah penyesalan yang tak terucapkan.

———

 

Lorong-lorong istana yang gelap terasa semakin menyesakkan saat Wirya dibawa ke ruangan baru. Ruang persiapan ini lebih besar, dindingnya dihiasi patung wanita-wanita perkasa sedang berperang. Di tengah ruangan, terdapat kursi batu dengan tali pengikat dari kulit. 

 

“Duduk,” geram Adiwidya. 

Ketika Wirya diikat ke kursi, dari balik tirai masuklah seorang wanita tua—Pendeta Utama Wanawaron. Tangannya yang keriput memegang mangkuk perak berisi cairan kental berwarna ungu. 

 

"Ini akan mempersiapkanmu untuk ritual," bisiknya. 

 

Wirya menguji tali pengikatnya. Terlalu kuat. Tapi di sudut ruangan, dia melihat sesuatu—Kirani mengintip dari balik tirai, jarinya menunjuk ke jendela kecil di langit-langit.

Pendeta Utama Wanawaron mendekati Wirya yang terikat di kursi batu. Tangannya yang keriput mengangkat mangkuk perak itu ke arah Wirya. Aroma menyengat menyebar—campuran bunga bangkai dan rempah pahit. 

 

“Ramuan Lara Waktu,” suaranya parau. “Kau akan merasakan pisau tak kasatmata mengoyak perutmu setiap fajar dan senja. Hanya kami yang punya penawarnya.” 

 

Sebelum Wirya sempat membalas, wanita tua itu mencubit hidungnya dengan tangan kering. Saat mulutnya terbuka untuk bernapas, cairan itu dituangkan paksa ke tenggorokannya. Rasanya seperti bara api bercampur madu busuk. 

 

“Bahkan jika kau kabur,” bisik Pendeta Utama sambil membersihkan tetesan cairan di bibir Wirya, “kematian akan datang perlahan. Perutmu akan membusuk dari dalam setelah tujuh hari tanpa penawar.” 

 

Wirya terbatuk-batuk, matanya berair. Tapi dia tidak mengeluarkan satu pun keluhan. 

 

“Bawa dia ke ruang tahanan untuk sementara,” perintah Adiwidya. 

 

Ruang tahanan sekarang berbeda dari ruang tahanan bawah tanah. Tempat itu hanya sebuah bilik kecil dengan tempat tidur batu yang dibatasi jeruji besi berwarna keemasan. Wirya tergeletak di tempat tidur batu, rantai besi mengikat pergelangan kakinya ke dinding. Bau anyir ramuan ungu masih menyengat di kerongkongannya. 

 

“Pertama kali selalu yang terburuk,” bisik Adiwidya dari balik jeruji besi di pintu. ”Tapi kau akan terbiasa.”

“Aaaarrgggh...” Tiba-tiba keluar teriakan kencang dari mulut Wirya.

Tepat saat matahari terbenam menyentuh cakrawala, perut Wirya mendadak berkerut seperti dipelintir tangan tak kasatmata. Otot-otot perutnya mengencang, keringat dingin mengalir dari pelipis ke leher. Dia menggigit bibir bawah sampai membiru untuk menahan rintihan. 

 

“Senja pertama,” sergah Adiwidya sambil mengamati dengan mata dingin. “Bayangkan ini terjadi setiap hari selama seminggu. Tubuhmu akan melemah, organ-organmu perlahan...”

Wirya menjatuhkan diri ke lantai, punggungnya menempel dinginnya batu. “Kenapa kalian lakukan—”

“Kami yang mengendalikanmu, hidupmu tergantung belas kasihan dari kami,” Adiwidya kini sudah berjongkok di samping Wirya. Aroma lavender menyengat dari jubahnya.

Wirya mengerang kesakitan, perutnya masih berdenyut-denyut. “Sialan... kalian... benar-benar licik.”

 

Adiwidya tersenyum tipis. “Kepintaran dan keberanianmu memang menyebalkan.” Dia mengangkat kapsul merah ke cahaya. “Ini akan meredakan rasa sakit yang kau derita untuk sementara waktu. Tapi...” Tangannya mengepal menggenggam kembali kapsul itu. “...aku hanya akan memberikannya padamu jika kamu memohon dengan sopan.”

 

Wirya menggigit bibirnya sendiri hingga meninggalkan bekas. Getaran panas masih menggerogoti ususnya, seolah ada cacing api yang menggerayangi setiap inci organ dalamnya. Lututnya gemetar menahan rasa mau meringkuk, tapi matanya masih menyala dengan perlawanan. 

 

“Aku... tidak akan...”

 

Seketika, gelombang sakit baru menyambar. Wirya menjerit tanpa suara, tangannya yang masih terborgol hanya meronta-ronta tanpa kepastian . Air liur menetes dari mulutnya yang tak terkontrol. 

 

“Kalau tak mau, tak apa-apa,” bisik Adiwidya sambil berbalik. 

Wirya mencoba menahan sakit meski terlalu berat daripada dia menghilangkan harga dirinya dengan tunduk kepada Wanita.

Namun sampai kapan dia bisa menanggung harga diri dalam kondisi itu?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tawanan yang Menawan   Bab 37

    Malam telah menyelimuti desa ketika Wirya akhirnya memutuskan menyelinap keluar dari rumahnya. Bulan purnama menyapa menggantikan garis senja yang sirna, menerangi jalan setapak menuju ujung desa dengan cahaya peraknya yang dingin. Dia memilih jalan memutar, menghindari pos penjagaan utama. Setiap langkahnya diiringi oleh desir angin malam yang membawa aroma tanah lembap dan daun-daun kering. “Ini gila,” pikirnya sambil terus berjalan. “Apa aku harus benar-benar mempercayai orang asing?”Tapi rasa ingin tahu—dan mungkin juga naluri bertahannya—terlalu kuat untuk diabaikan. Saat mendekati batas hutan, bayangan tinggi seorang wanita berdiri di bawah pohon besar. Topi petaninya masih menutupi sebagian wajah, tapi mata hijau itu bersinar jelas dalam gelap. “Aku kira kau tak akan datang,” ujarnya saat Wirya berada dalam jarak beberapa langkah. Wirya berhenti, tetap waspada. “Aku masih belum yakin harus mempercayaimu.” Wanita itu tertawa pendek. “Kau memang orang yang bijaksan

  • Tawanan yang Menawan   Bab 36

    “Sudah mau pergi?” ujar Bu Puji ketika melihat Wirya berjalan menjauh.Wirya menoleh sebentar. “Aku ingin melihat-lihat desa. Menikmati udara sore mungkin menyenangkan.” “Tunggu sebentar,” balas Bu Puji sambil menyeka tangannya yang berdebu lalu memberikan beberapa koin ke Wirya. “Ini upahmu setelah membantuku. Kau bisa datang lagi esok pagi.” Wirya mengangguk, lalu berjalan menyusuri jalan tanah yang berdebu.Wirya tiba di sebuah Pasar yang tak jauh dari rumah Bu Puji.Suara riuh rendah pasar segera menyambutnya. Wanita-wanita dengan keranjang anyaman berjualan sayuran, buah, dan berbagai kebutuhan sehari-hari. Beberapa mata langsung tertuju padanya saat ia melintas. “Lihat, itu orang dari istana!” bisik seorang wanita tua pada temannya. Wirya mencoba tersenyum ramah. “Selamat sore, Ibu. Berapa harga pisang ini?” Wanita itu terkejut ditanya langsung. “T-Tiga keping tembaga untuk satu sisir.” Dia mengeluarkan beberapa keping uang logam dari kantongnya—uang saku yang dib

  • Tawanan yang Menawan   Bab 35

    “Tiga kali,” bisik Ibu Puji, suaranya pecah. “Tiga kali melahirkan anak laki-laki. Tiga kali mendengar tangisan bayi di tengah malam sebelum mereka dibawa pergi selamanya.” Tangannya mengepal erat. “Sekarang aku sudah tiga puluh lima tahun. Aku sudah mulai menyerah untuk mendapatkan penerusku.”Wirya berdiri tegak, tubuhnya gemetar. “Itu biadab!” “Di sini, itu disebut hukum,” jawab Ibu Puji sambil memungut pahatnya. Wirya menggeleng, tak percaya. “Jadi para bangsawan istana menentukan kehidupan kalian.” Ibu Puji mengangguk pahit, serbuk kayu berjatuhan dari jemarinya yang kaku. “Ratu, panglima, para menteri... mereka punya hak istimewa. Bisa memilih dari tawanan terbaik, yang sehat dan kuat.” “Bagaimana dengan kalian?” “Kami dapat apa yang tersisa,” Ibu Puji memicingkan matanya. “Atau lebih sering satu orang untuk beberapa penduduk. Kalau tidak mau harus antre lama, kadang sampai giliran habis sebelum dapat kesempatan.” Wirya mengepalkan tangannya. “Itu tidak adil!” “D

  • Tawanan yang Menawan   Bab 34

    “Sungguh ironis sekali hidup ini, aku memang ingin kembali ke masa lalu untuk memperbaiki hubunganku dengan keluargaku.”Wirya menutup mata. Tiba-tiba, bayangan rumah ibunya di kampung halaman muncul begitu jelas. Suara televisi yang selalu diputar ibunya meski tak ada yang menonton. Foto-foto keluarga di dinding yang dulu selalu ia abaikan. “Tapi waktu menghukumku ke masa yang terlalu jauh, dimana tak ada keluargaku,” ucapnya lirih, sambil mengunyah makanan dalam mulutnya. Dia membayangkan ibunya sekarang—mungkin sedang duduk sendirian di ruang tamu, menunggu telepon yang tak kunjung datang. Tanpa tahu anaknya hilang di lorong waktu. “Maafkan aku, Bu,” bisiknya pada bayangan ibunya dalam pikirannya.Asap tungku dari api milik wanita pengrajin itu berhembus ke arah Wirya membuat matanya perih. Air mata Wirya menetes tanpa sadar. “Kau baik-baik saja?” tanya wanita pengrajin, Wirya mengangguk, menelan sesuap nasi yang tiba-tiba terasa pahit. “Hanya... rindu rumah.” Suas

  • Tawanan yang Menawan   Bab 33

    Matahari pagi mulai meninggi, Wirya berdiri di gerbang istana tanpa membawa apapun kecuali pakaian sederhana yang melekat di tubuhnya. Dua prajurit wanita bersenjata lengkap sudah menunggu dengan sikap waspada. Salah seorang pelayan istana mendekat ke arah Wirya, menyerahkan kantong kulit berisi ramuan penawar. “Untuk sore nanti,” ucapnya singkat sebelum segera pergi. Dari balik tiang marmer, Kirani muncul dengan diiringi dua dayangnya. “Wirya,” panggilnya, suaranya berusaha tetap tenang. Para penjaga segera memberi jalan saat sang Putri mendekat. “Jaga dirimu,” bisik Kirani sambil berpura-pura menata kerah baju Wirya. Jarinya yang halus menyambar baju Wirya berpura-pura merapikannya.Wirya mengangguk hampir tak terlihat. “Aku akan pergi, Tuan Putri.” Panglima Amita yang mengawasi dari kejauhan tiba-tiba berseru, “Cukup! Sudah waktunya pergi!” Dengan langkah mantap, Wirya berbalik meninggalkan istana.Wirya melangkah keluar melewati gerbang istana, diiringi dua prajuri

  • Tawanan yang Menawan   Bab 32

    Maya menelan ludah, matanya berbinar. “Apa... apa yang kau inginkan?” Wirya tersenyum—senyum tanpa kegembiraan. “Katakan pada mereka di luar bahwa pemeriksaan sudah selesai. Dan hasilnya... positif.” Maya menggeleng, wajahnya memerah. “Tapi Baginda Ratu akan—“ “Kau ingin melihatnya, bukan?” Wirya memotong, suaranya tiba-tiba berubah menjadi bisikan yang dalam. Matanya menangkap tatapan penasaran Maya yang sesaat terlalu lama tertuju di bagian bawah tubuhnya. Dewi Kirani menahan napas di sudut ruangan, matanya berbinar penuh pertanyaan. Dengan gerakan lambat, Wirya melepas ikatan di pinggangnya. “Aku tahu kau penasaran,” bisiknya, melihat Maya yang tiba-tiba kesulitan menelan ludah. “Semua wanita di istana ini pasti penasaran.” Maya tidak bisa mengalihkan pandangannya ketika kain linen mulai melorot— “Baiklah!” serunya tiba-tiba, tangannya terangkat untuk menahan. “A-Aku... aku akan katakan apa yang kau mau.” Wirya berhenti, senyumnya semakin lebar. “Pintar.” Di lua

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status