Krang..
Wirya terkejut oleh suara jeruji besi yang dibuka kasar. Tiga prajurit wanita bersenjata masuk ke sel bawah tanahnya, wajah mereka tertutup kain kecuali mata yang tajam mengawasi. “Bangun, tawanan,” geram salah satunya sambil memasang rantai yang membelenggu pergelangan tangan Wirya. Dengan kasar, mereka memaksa tubuh Wirya agar cepat berdiri. Saat sudah dalam posisi berdiri sikapnya tetap tegak meski pergelangan tangannya masih terbelenggu. "Jika kalian ingin membawaku ke suatu tempat, setidaknya beri aku kesempatan untuk berjalan sendiri," ujarnya dengan suara datar namun penuh wibawa. Para prajurit terkejut, saling pandang sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Mereka membawanya melalui koridor batu yang lembap, tetapi kali ini tanpa menyeretnya. Wirya diarahkan masuk ke sebuah kamar mandi megah. Uap panas menyambutnya, berasal dari kolam marmer persegi yang penuh air berbusa. Dua belas pelayan wanita sudah menunggu dengan gayung emas dan botol-botol minyak. Salah satu di antara mereka melepaskan borgol Wirya. "Lepaskan juga pakaiannya!" perintah seorang pelayan tua tanpa ekspresi. Wirya mengangkat tangan untuk menghentikan para pelayan yang hendak melepas pakaiannya. “Tunggu,” katanya tegas. “Aku bisa melepas bajuku sendiri.” “Jangan banyak bergerak!” Pisau cukur dingin menyentuh pipinya. Adiwidya tiba-tiba muncul dari balik tirai uap, mengenakan jubah putih longgar. Tangannya yang bercincin memegang erat dagu Wirya. “Mulai hari ini,” bisiknya sambil menggerakkan pisau dengan mahir di wajah Wirya, “kau bukan lagi Wirya si tawanan. Kau adalah Wirya Sang Raja Wanawaron.” Wirya berdiri tegak di depan cermin perak, wajahnya tetap tenang meski tubuhnya masih kotor. Wirya menatapnya melalui pantulan cermin. “Jika kalian ingin aku menjadi raja, maka perlakukanlah aku seperti raja. Bukan seperti budak yang dipaksa.” Adiwidya terhenti, lalu tersenyum tipis. “Baiklah, Yang Mulia,” ujarnya dengan nada sedikit mengejek, tetapi pisau cukurnya mulai bergerak lebih hati-hati. Air hangat tiba-tiba disiramkan dari atas kepalanya, membuat Wirya sedikit kaget. Adiwidya beberapa kali memutar tubuh Wirya menghadap cermin perak besar di dinding. Wajah Wirya yang baru dicukur bersih terpantul jelas, kulitnya kemerahan karena pisau yang digunakan tidak aman karena terlihat seperti belati kecil. "Kau harus sempurna," desis Adiwidya sambil menyisir rambut pendek Wirya dengan minyak wangi. "Rambutmu terlalu pendek untuk standar kerajaan..." Tangannya meraih sebuah mahkota emas dari bantal beludru. "...tapi ini akan menutupinya." Setelah dimandikan, Wirya dibawa ke ruang latihan pribadi di sayap timur istana. Ruangan ini biasanya digunakan untuk meditasi, tapi sekarang dipenuhi berbagai perlengkapan ujian. Di ruang latihan, Adiwidya menatap Wirya yang berdiri dengan sikap sempurna tanpa perlu disuruh. “Tegak!” hardiknya, meski sebenarnya Wirya sudah berdiri dengan benar. Wirya tidak bergeming. “Aku sudah berdiri seperti ini sejak tadi. Jika kau ingin mengoreksi sesuatu, katakan dengan jelas.” Adiwidya mengerutkan kening, tetapi tidak bisa menyangkal bahwa postur Wirya memang sudah mencerminkan ketegasan seorang pemimpin. Empat dayang istana masuk membawa nampan perak. “Sekarang pelajaran berjalan,” ujar Adiwidya. Dayang-dayang itu mengelilingi Wirya seperti burung pemangsa. “Terlalu cepat!” cela Adiwidya saat Wirya mencoba melangkah. “Raja berjalan seperti harimau tua—lambat tapi berwibawa!” Wirya berhenti, lalu menoleh padanya. “Jika aku berjalan lebih lambat, kita tidak akan sampai ke mana-mana. Raja bukan patung yang hanya berdiri dan tersenyum.” Mendengar jawaban Wirya, membuat salah seorang dayang muda tak bisa menahan tawa, tapi segera terdiam oleh tatapan dingin Adiwidya. Jam berganti jam, pelajaran beralih ke tata cara makan. Wirya yang kelaparan langsung menyambar buah anggur di meja jamuan ujian. “TIDAK!” teriak Adiwidya memekik, membuat semua dayang kaget. Dengan gerakan teatrikal, Adiwidya memperagakan cara bangsawan makan: “Ambil perlahan... dengan tiga jari saja... kunyah sepuluh kali tanpa suara...” Setiap kata disertai demonstrasi sempurna. Di meja jamuan, ketika Adiwidya memarahinya karena menyambar buah anggur, Wirya hanya mengangkat alis. “Aku lapar. Dan seorang raja sejati tidak perlu berpura-pura tidak memiliki kebutuhan dasar.” Pelajaran berlanjut ke tata cara minum. Sebuah piala emas dihadapkan padanya. "Pegang di bagian bawah gagang dengan tiga jari. Angkat perlahan sampai ketinggian dada. Jangan menenggak!” Wirya memegang piala sesuai instruksi, tetapi matanya menyipit ketika mencium aroma anggur. "Ini sudah dicampur sesuatu.” Adiwidya tersenyum sinis. *”Hanya ramuan penenang. Kau terlalu banyak bertanya.”* "Aku menolak,” kata Wirya tegas sambil meletakkan piala. "Seorang raja tidak boleh minum sesuatu yang bisa mempengaruhi pikirannya.” Adiwidya mulai geram, tangannya menggebrak meja dengan keras. “Jangan banyak protes! Kamu hanyalah pura-pura menjadi raja.” “Aku tak peduli dengan permainan kalian.” Kata Wirya yang kini lebih tegas dan berani menentang Perdana Menteri. Suasana menjadi tegang. Para dayang yang berdiri di tepi ruangan saling pandang dengan cemas.“Di manakah Putri Dewi Kirani?" tanya Wirya, mencoba memecah kesunyian yang membuatnya tidak nyaman. "Aku ingin bertemu dengannya."Salah satu penjaga meliriknya, wajahnya tetap netral. "Yang Mulia Putri juga sedang mempersiapkan diri untuk upacara nanti. Anda akan bertemu dengannya pada waktunya."Penjaga yang satunya menambahkan dengan suara datar, "Tidak perlu khawatir. Semua sudah diatur untuk... kenyamanan Anda berdua."Jawaban yang samar dan menghindar itu justru membuat Wirya semakin gelisah. Dia mencoba lagi, "Apa yang akan terjadi dalam upacara itu? Apa aku masih harus menghamili Tuan Putri?"Kedua penjaga saling memandang sejenak sebelum yang pertama menjawab, "Itu bukan urusan kami untuk menjelaskan. Anda hanya perlu mengikuti arahan."Mereka berhenti di depan sebuah pintu kayu besar yang diukir dengan simbol bulan sabit. Salah satu penjaga membukanya, memperlihatkan kamar yang luas dengan bak mandi beruap dan pakaian bersih yang sudah disiapkan."Beristirahatlah," ujar pen
Wirya menyoroti keraguan dalam suaranya. “Tapi apa kau yakin Ratu akan mendengarkanmu?”Amita menghela napas, Wirya melihat kerentanan yang jelas dalam diri sang panglima. “Arunya adalah ratu yang bijaksana, tapi... dia juga sangat teguh pada pendiriannya. Terutama mengenai tradisi.” Dia menunduk, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Aku hanyalah adik. Dan dalam hal ini... mungkin pengaruhku tidak sebesar yang kuharapkan.”“Tapi setelah semua yang terjadi? Setelah aku melarikan diri?” tanya Wirya lagi.“Mungkin hal itu bisa mengubah cara pandangnya,” jawab Amita, suaranya sedikit lebih keras, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Kau telah menunjukkan keberanian, kecerdasan, dan... karakter yang layak dihormati.” Dia berhenti lagi, dan kali ini suaranya nyaris berbisik, “Dan mungkin... hanya mungkin... Wanawaron memang perlu mempertimbangkan kembali beberapa tradisinya.”Pengakuan itu terasa berat baginya, seperti mengucapkan sesuatu yang hampir bersifat penghujatan.Wirya
Pertarungan sengit terjadi. Amita bertahan dengan disiplin tinggi, mencoba mencari celah untuk melumpuhkan tanpa membunuh. Tiba-tiba, dari atas kuda, Wirya berteriak keras.“NINGRUM, HENTIKAN! AMBARANI TIDAK BERSAMA KAMI!”Nama itu mengguncang Amita seperti sambaran petir. Matanya membelalak, memperhatikan lebih cermat wajah wanita yang sedang bertarung dengannya. Di balik coretan darah, keringat, dan amarah yang mendistorsi fitur wajahnya, Amita mulai mengenali sesuatu—sebuah kenangan dari masa lalu yang jauh.“Tunggu...” gumam Amita, langkahnya tiba-tara menjadi kurang ofensif, lebih defensif. “Ningrum? Ningrum yang dulu saat kecil selalu mencuri jambu di kebun istana?”Ningrum mendadak terhenti, serangannya melambat. Napasnya tersengal-sengal, matanya menyipit penuh kebingungan. "Bagaimana kau—?""Kita pernah berlatih pedang bersama di bawah bimbingan Guru Senja!" teriak Amita, mencoba menembus kabut amarah di pikiran Ningrum. "Kau selalu kalah dariku, tapi tidak pernah menyerah!"
Amita menghentikan kudanya, menatap jauh ke arah pepohonan. "Kami bertiga dibesarkan dengan prinsip yang sama: Wanawaron adalah segalanya. Tapi kami memilih jalan yang berbeda untuk menunjukkannya."Dia menoleh, memandang Wirya. "Arunya percaya bahwa mempertahankan tradisi adalah cara terbaik melestarikan Wanawaron. Ambarani yakin bahwa mengubah tradisi adalah satu-satunya cara menyelamatkannya. Dan aku..." Dia menghela napas, "Aku hanya percaya pada hierarki dan disiplin. Aku melayani ratuku, tapi juga melindungi rakyatku—termasuk dari diri mereka sendiri jika diperlukan.""Jadi pada intinya," simpul Wirya, "kalian bertiga sama-sama mencintai Wanawaron, hanya dengan cara yang berbeda."Untuk pertama kalinya, senyum kecil muncul di bibir Amita. "Kau memang bijaksana, Tuan Jaksa. Mungkin itulah sebabnya Ambarani memilih mempertaruhkan segalanya untukmu."Sebutan itu menggantung di udara antara mereka seperti tamparan. Wirya mengeras di tempat duduknya, cengkeramannya pada pinggang Ami
“Jangan menyebut nama itu di hadapanku,” desisnya, suara tiba-tiba penuh dengan getaran emosi yang jarang terlihat.“Kenapa?” tanya Wirya, penasaran. “Meski dia adalah musuh kalian. Tapi yang kulihat... dia tidak seperti yang kau gambarkan.”Amita menarik napas dalam. “Kau tidak tahu apa-apa tentang dia.”“Yang kukatakan, dia memiliki sisi lembut yang tersembunyi, seperti dirimu,” tukas Wirya. “Dan dia bercerita padaku bahwa dia sebenarnya—““—adik kandung Ratu Arunya,” sela Amita, suara tiba-tara lembut namun penuh beban. “Dan... kakak kandungku.”Wirya tertegun. “Jadi kau sudah tahu?”“Ya,” bisik Amita, matanya menerawang.“Dia memang kakakku. Dia melarikan diri dari Wanawaron karena menentang tradisi kita—ritual yang sekarang akan kau jalani. Dia menganggapnya tidak manusiawi.”Dia menatap Wirya, dan untuk pertama kalinya, Wirya melihat kerapuhan yang dalam di balik armor kekuatan sang panglima."Dia bukan hanya pengkhianat bagi kerajaan, Wirya. Dia adalah pengkhianat bagi kel
Wirya merasa darahnya memanas, campuran dari malu dan sebuah keberanian aneh. “Apa kau belum pernah melihat benda seperti ini, Panglima?”Amita mengangkat pandangannya, bertemu dengan mata Wirya. Wajahnya masih berusaha netral, tetapi ada sesuatu yang berubah di matanya. “Di Wanawaron, banyak wanita yang menginginkan... apa yang kau miliki. Mereka menunggu giliran untuk merasakan.”“Dan kau?” tanya Wirya, berani yang tidak dia kenali dalam dirinya sendiri. “Apakah kau juga menunggu giliran itu, Panglima Amita?”Diam sejenak. Hanya suara sungai yang mengalir.“Aku adalah panglima,” jawabnya akhirnya, suara rendah. “Aku menjalankan tugas. Aku tidak... memperdulikan hal seperti itu.”“Jadi kau belum pernah?” Wirya mendesak, merasa anehnya kekuasaan berada di tangannya sekarang.Amita menghela napas, dan untuk pertama kalinya, Wirya melihat kerapuhan dalam diri wanita perkasa ini. “Tugasku adalah melindungi kerajaan, bukan... memenuhi nafsu. Tapi melihatmu sekarang...” Matanya kembali m