Share

Bab 6

Author: Frands
last update Last Updated: 2025-04-30 20:14:18

Krang..

Wirya terkejut oleh suara jeruji besi yang dibuka kasar. Tiga prajurit wanita bersenjata masuk ke sel bawah tanahnya, wajah mereka tertutup kain kecuali mata yang tajam mengawasi.

“Bangun, tawanan,” geram salah satunya sambil memasang rantai yang membelenggu pergelangan tangan Wirya.

Dengan kasar, mereka memaksa tubuh Wirya agar cepat berdiri. Saat sudah dalam posisi berdiri sikapnya tetap tegak meski pergelangan tangannya masih terbelenggu. "Jika kalian ingin membawaku ke suatu tempat, setidaknya beri aku kesempatan untuk berjalan sendiri," ujarnya dengan suara datar namun penuh wibawa.

Para prajurit terkejut, saling pandang sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Mereka membawanya melalui koridor batu yang lembap, tetapi kali ini tanpa menyeretnya.

Wirya diarahkan masuk ke sebuah kamar mandi megah. Uap panas menyambutnya, berasal dari kolam marmer persegi yang penuh air berbusa.

Dua belas pelayan wanita sudah menunggu dengan gayung emas dan botol-botol minyak. Salah satu di antara mereka melepaskan borgol Wirya.

"Lepaskan juga pakaiannya!" perintah seorang pelayan tua tanpa ekspresi.

Wirya mengangkat tangan untuk menghentikan para pelayan yang hendak melepas pakaiannya. “Tunggu,” katanya tegas. “Aku bisa melepas bajuku sendiri.”

“Jangan banyak bergerak!”

Pisau cukur dingin menyentuh pipinya. Adiwidya tiba-tiba muncul dari balik tirai uap, mengenakan jubah putih longgar. Tangannya yang bercincin memegang erat dagu Wirya.

“Mulai hari ini,” bisiknya sambil menggerakkan pisau dengan mahir di wajah Wirya, “kau bukan lagi Wirya si tawanan. Kau adalah Wirya Sang Raja Wanawaron.”

Wirya berdiri tegak di depan cermin perak, wajahnya tetap tenang meski tubuhnya masih kotor.

Wirya menatapnya melalui pantulan cermin. “Jika kalian ingin aku menjadi raja, maka perlakukanlah aku seperti raja. Bukan seperti budak yang dipaksa.”

Adiwidya terhenti, lalu tersenyum tipis. “Baiklah, Yang Mulia,” ujarnya dengan nada sedikit mengejek, tetapi pisau cukurnya mulai bergerak lebih hati-hati.

Air hangat tiba-tiba disiramkan dari atas kepalanya, membuat Wirya sedikit kaget.

Adiwidya beberapa kali memutar tubuh Wirya menghadap cermin perak besar di dinding. Wajah Wirya yang baru dicukur bersih terpantul jelas, kulitnya kemerahan karena pisau yang digunakan tidak aman karena terlihat seperti belati kecil.

"Kau harus sempurna," desis Adiwidya sambil menyisir rambut pendek Wirya dengan minyak wangi. "Rambutmu terlalu pendek untuk standar kerajaan..." Tangannya meraih sebuah mahkota emas dari bantal beludru. "...tapi ini akan menutupinya."

Setelah dimandikan, Wirya dibawa ke ruang latihan pribadi di sayap timur istana. Ruangan ini biasanya digunakan untuk meditasi, tapi sekarang dipenuhi berbagai perlengkapan ujian.

Di ruang latihan, Adiwidya menatap Wirya yang berdiri dengan sikap sempurna tanpa perlu disuruh.

“Tegak!” hardiknya, meski sebenarnya Wirya sudah berdiri dengan benar.

Wirya tidak bergeming. “Aku sudah berdiri seperti ini sejak tadi. Jika kau ingin mengoreksi sesuatu, katakan dengan jelas.”

Adiwidya mengerutkan kening, tetapi tidak bisa menyangkal bahwa postur Wirya memang sudah mencerminkan ketegasan seorang pemimpin.

Empat dayang istana masuk membawa nampan perak. “Sekarang pelajaran berjalan,” ujar Adiwidya.

Dayang-dayang itu mengelilingi Wirya seperti burung pemangsa. “Terlalu cepat!” cela Adiwidya saat Wirya mencoba melangkah. “Raja berjalan seperti harimau tua—lambat tapi berwibawa!”

Wirya berhenti, lalu menoleh padanya. “Jika aku berjalan lebih lambat, kita tidak akan sampai ke mana-mana. Raja bukan patung yang hanya berdiri dan tersenyum.”

Mendengar jawaban Wirya, membuat salah seorang dayang muda tak bisa menahan tawa, tapi segera terdiam oleh tatapan dingin Adiwidya.

Jam berganti jam, pelajaran beralih ke tata cara makan. Wirya yang kelaparan langsung menyambar buah anggur di meja jamuan ujian.

“TIDAK!” teriak Adiwidya memekik, membuat semua dayang kaget.

Dengan gerakan teatrikal, Adiwidya memperagakan cara bangsawan makan: “Ambil perlahan... dengan tiga jari saja... kunyah sepuluh kali tanpa suara...” Setiap kata disertai demonstrasi sempurna.

Di meja jamuan, ketika Adiwidya memarahinya karena menyambar buah anggur, Wirya hanya mengangkat alis. “Aku lapar. Dan seorang raja sejati tidak perlu berpura-pura tidak memiliki kebutuhan dasar.”

Pelajaran berlanjut ke tata cara minum. Sebuah piala emas dihadapkan padanya.

"Pegang di bagian bawah gagang dengan tiga jari. Angkat perlahan sampai ketinggian dada. Jangan menenggak!”

Wirya memegang piala sesuai instruksi, tetapi matanya menyipit ketika mencium aroma anggur. "Ini sudah dicampur sesuatu.”

Adiwidya tersenyum sinis. *”Hanya ramuan penenang. Kau terlalu banyak bertanya.”*

"Aku menolak,” kata Wirya tegas sambil meletakkan piala. "Seorang raja tidak boleh minum sesuatu yang bisa mempengaruhi pikirannya.”

Adiwidya mulai geram, tangannya menggebrak meja dengan keras. “Jangan banyak protes! Kamu hanyalah pura-pura menjadi raja.”

“Aku tak peduli dengan permainan kalian.” Kata Wirya yang kini lebih tegas dan berani menentang Perdana Menteri.

Suasana menjadi tegang. Para dayang yang berdiri di tepi ruangan saling pandang dengan cemas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tawanan yang Menawan   Bab 160

    Beberapa minggu telah berlalu sejak penobatan Wirya, dan istana kerajaan Nusantara mengalami perubahan drastis. Aturan baru yang ditetapkan Wirya—bahwa semua penghuni istana harus telanjang—telah menciptakan atmosfer yang penuh dengan hawa nafsu. Suatu pagi, ketika Wirya sedang duduk di singgasananya dengan beberapa wanita telanjang mengelilinginya, tiba-tiba muncul kilatan cahaya terang di tengah ruang takhta. Dari cahaya itu muncul dua sosok—Joko Loyo yang tampak tua dan bijaksana, serta Murni, istrinya yang cantik dengan mata penuh kelembutan.“Wirya!” hardik Joko Loyo, matanya menyala-nyala melihat pemandangan tak senonoh di istana. “Apa yang telah kau lakukan?”Wirya bangkit dari singgasana, dengan sombongnya menunjukkan tubuh telanjangnya yang perkasa. “Joko Loyo! Lihatlah kerajaanku! Aku memiliki segalanya di sini!”Murni menutup matanya, malu melihat kemerosotan moral Wirya. “Wirya, kami mengirimmu ke masa lalu untuk menyelamatkan sejarah, bukan untuk menghancurkannya!”Joko

  • Tawanan yang Menawan   Bab 159

    Wirya menarik napas dalam. “Cincin ini... lagi-lagi...”Amita meletakkan gelas dan mendekat. “Kau tidak harus melawan hasratmu sendiri, Wirya. Kau adalah raja sekarang.”Dia berlutut di depan Wirya, tangan hangatnya menyentuh kaki Wirya. “Biarkan aku membantumu malam ini.”Cincin itu berdenyut lebih kencang, seakan menyetujui. Dan untuk malam ini, Wirya memutuskan untuk menyerah pada takdir dan hasrat yang telah dipilihkan untuknya.Amita mendekat dengan langkah yang penuh keyakinan, matanya tidak lagi memancarkan sikap prajurit yang tegas, melainkan kelembutan seorang wanita. Cahaya bulan dari balkon menerpa sisi wajahnya, menciptakan siluet yang memesona.“Wirya,” bisiknya, tangannya yang biasanya memegang pedang kini dengan lembut melepaskan jubah kerajaan yang dikenakan Wirya. “Kau tidak perlu melawan ini. Cincin itu adalah bagian dari takdirmu, dan hasrat ini adalah bagian dari kekuatanmu.”Wirya menarik napas dalam, mencoba melawan gelombang gairah yang semakin menjadi. “Tapi...

  • Tawanan yang Menawan   Bab 158

    Hampir tiap hari Wirya dan Ratu Arunya sering mengunjungi gua tersebut.Di dalam gua yang diterangi cahaya keemasan dari cincin Wirya, ketika dua tubuh itu terpisah dengan napas masih tersengal. Arunya berbaring di atas jubahnya yang terhampar, wajahnya memancarkan kepuasan dan kedamaian yang lama hilang. Dari luar gua, suara Amita memanggil dengan hormat. “Yang Mulia? Pemukiman pertama sudah siap. Rakyat menanti perintah berikutnya.”Wirya dan Arunya saling memandang. Saatnya kembali kepada tanggung jawab. Dengan gerakan perlahan, mereka mengenakan kembali pakaian mereka. Wirya membantu Arunya berdiri, dan di matanya kini terlihat penghormatan yang berbeda.“Siapakah yang akan kau pilih sebagai permaisuri?” tanya Arunya sambil merapikan rambutnya. “Amita mungkin pilihan yang tepat. Dia kuat dan disegani.”Wirya menggeleng. “Masih terlalu cepat untuk memikirkan itu. Kerajaan harus dibangun terlebih dahulu. Dan...” dia menatap Arunya, “apa yang baru saja terjadi antara kita...”“Adala

  • Tawanan yang Menawan   Bab 157

    “Aku...” gumamnya, suaranya bergetar. “Aku akan tinggal.”Dia berlutut menghadap Ratu Arunya, mengangkat tubuhnya perlahan. “Bangunlah, Yang Mulia. Aku bersumpah akan membantumu membangun kerajaan baru. Masa depanku... biarlah menjadi masa lalu.”Ratu Arunya memeluk Wirya erat, tangisnya pecah melegakan.Di tepi pantai, rombongan terakhir kerajaan yang hancur mulai menaiki perahu-perahu yang telah disiapkan. Wirya berdiri di samping Ratu Arunya, memandang lautan luas yang akan mereka seberangi.“Tanah baru itu bernama Nusantara,” ucap Ratu Arunya, matanya menerawang mengingat sesuatu. “Tempat di mana leluhur kita pertama kali menginjakkan kaki.”Amita mendekat dengan beberapa peta kuno di tangannya. “Menurut catatan, di sana terdapat tanah subur dengan sungai-sungai yang jernih. Tapi...” dia berhenti sejenak, “menurut legenda, tempat itu juga dijaga oleh roh-roh penjaga yang perkasa.”Wirya merasakan cincin di jarinya bergetar halus. “Aku merasa... ada yang memanggil dari sana. Sepert

  • Tawanan yang Menawan   Bab 156

    Wirya memeluk Arunya erat, mengarahkan telapak tangannya sekali lagi. Kali ini, dengan keyakinan penuh, dia membayangkan melindungi Arunya dan menghentikan Candra Damar untuk selamanya.Cincin itu menyala dengan intensitas luar biasa, membentuk perisai energi yang mendorong Candra Damar hingga terpental ke dalam terowongan. Batu-batu mulai runtuh, menutup pintu keluar.Saat debu mengendap, Wirya dan Arunya terduduk lelah. Mereka selamat, tapi kehilangan Surya. Di kejauhan, asap masih membubung dari istana yang hancur.“Perjuangan belum berakhir,” bisap Arunya, “tapi hari ini, kita masih punya harapan.”Wirya memapah tubuh Ratu Arunya yang lemah melalui hutan belantara menuju titik evakuasi di Pantai Gua Karang Timur. Dengan setiap langkah, harapan mereka untuk menemukan para pengungsi yang selamat semakin berkobar. Namun, yang menyambut mereka hanyalah pemandangan yang menghancurkan hati.“Tidak...!” tercekik Arunya begitu matanya menangkap sosok yang terbaring di antara reruntuhan pe

  • Tawanan yang Menawan   Bab 155

    Surya melemparkan busurnya dan menghunus pedang. “Laporan kematianku terlalu berlebihan, Candra. Dan sekarang, aku datang untuk mengembalikan kehormatan kerajaan!”Dia melompat ke tengah ruangan, pedangnya berkilat di cahaya bulan. “Anak muda! Lindungi Ratu! Aku yang akan menghadapi mereka!”Wirya segera berlari ke arah Arunya, melepaskan jubahnya sendiri untuk menutupi tubuh ratu yang setengah telanjang. Pertarungan sengit pun pecah antara Surya melawan pasukan Candra Damar, memberikan harapan baru di tengah keputusasaan.Surya bergerak lincah seperti harimau, pedangnya menari-nari membentuk lingkaran cahaya perak. Setiap tebasannya tepat sasaran, menjatuhkan prajurit Pasukan Bulan satu per satu. Darah berceceran di lantai candi yang dingin.“Wirya, bawa Ratu pergi dari sini!” teriak Surya sambil menangkis serangan tiga prajurit sekaligus.Wirya dengan sigap mengangkat tubuh Ratu Arunya yang masih lemah. “Ke mana kita harus pergi?”“Terowongan di balik patung dewa!” sahut Surya singk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status