Di Daratan Zaragan, janji politik adalah rantai yang mengikat lebih kuat dari baja. Rhanora Lysa Valor tidak pernah meminta takdirnya diubah — apalagi demi memenuhi perjanjian lama yang seharusnya menjadi beban putri Kaisar Aurelian. Namun satu keputusan pamannya mengirimnya jauh dari rumah, ke istana Kekaisaran Emrys, negeri gurun dan naga, untuk menjadi permaisuri bagi penguasa barunya. Arash Welt Azdar El Emrys, Kaisar termuda dalam sejarah negerinya, naik takhta di tengah gejolak setelah kematian sang ayah. Ia adalah naga yang terlahir untuk memimpin, tapi juga memikul luka dari intrik dan pengkhianatan. Kehadiran Rhanora adalah kewajiban yang tak pernah ia minta namun entah mengapa, ombak di mata wanita itu perlahan mulai masuk ke relung hatinya. Di antara benturan budaya dan ambisi yang mengintai di setiap sudut istana, keduanya harus memilih, menjadi bidak di papan permainan kekuasaan atau membakar papan itu hingga tersisa abu.
View More“Aku tidak membutuhkan seorang istri.”
Suaranya tegas, bergema di ruangan yang lengang, hanya dihuni beberapa furnitur sederhana, dirinya dan Rhanora Lysa Valor —Putri Kekaisaran Valory, keponakan satu-satunya dari Kaisar sebelumnya.
“Yang aku butuhkan adalah seorang Permaisuri.”
Kata-kata itu meluncur tanpa ragu dari bibir Arash Welt Azdar El Emrys, Kaisar muda Kekaisaran Emrys. Terpaksa mengemban mahkota tak lama setelah sang Kaisar terdahulu tewas dalam peristiwa kelam yang mengguncang seluruh negeri.
Rhanora mengangkat wajahnya, menatap lurus ke arah Arash yang duduk di kursi berukir hitam. Sorot mata pria itu tajam, dingin, seolah dapat menusuk hingga ke relung paling dalam dari diri Rhanora.
“Apa bedanya?” Suara Rhanora tenang, meski jantungnya bertalu-talu gugup tak karuan.
“Tentu berbeda.” Arash menjawab cepat. “Istri hanyalah pendamping, seseorang yang bisa digantikan. Tapi Permaisuri—” ia mencondongkan tubuh sedikit, jemarinya mengetuk lengan kursi dengan ritme teratur, “adalah tiang bagi sebuah Kekaisaran. Ia bukan hanya milikku, melainkan milik negeri ini.”
Kata-kata itu berat, penuh makna dan Rhanora merasakannya menghantam dada. Ia tahu, di balik perjanjian darah yang mengikat mereka, ada alasan politik dan beban jauh lebih besar dari sekadar pernikahan antara dua insan.
Rhanora menarik napas dalam, mencoba menguasai diri. “Kalau begitu, apa yang kau harapkan dariku sebagai Permaisuri?” tanyanya, memilih kata itu dengan hati-hati.
Arash terdiam sejenak, sorot matanya menelusuri wajahnya seakan mengukur setiap getaran dalam dirinya. “Kau akan berdiri di sisiku.. Kau akan jadi wajah kedua Kekaisaran. Kau harus mampu menahan badai, bahkan ketika badai itu berasal dariku.”
Sungguh pria yang sangat menuntut.
“Aku tidak pernah meminta hal ini,” ucap Rhanora suaranya rendah namun jelas. Tentu yang ia maksud adalah perjanjiah darah yang mengikat mereka berdua
Sudut bibir Arash terangkat sedikit, tapi bukan senyum hangat. Lebih seperti ejekan samar. “Begitu pula aku.”
Arash kemudian bersandar, kedua mata emasnya menatap manik mata sebiru langit Rhanora lekat-lekat. “Kalau kau ingin bertahan di Emrys, Rhanora, ada satu hal yang harus kau pahami,” suaranya turun menjadi bisikan dingin dan tegas, “di sini, tak ada tempat bagi kelemahan.”
Keheningan kembali merayap di ruangan itu, hanya terdengar desau angin dari jendela tinggi yang terbuka sebagian. Untuk sesaat, Rhanora bertanya-tanya apakah ia bisa bertahan di tempat ini —di sisi pria yang kini memandangnya bukan sebagai perempuan, bukan pula sebagai sepupu jauh dari Valory, melainkan sebagai calon Permaisuri yang harus memenuhi sumpah darah dua kekaisaran.
Semua ini bermula tiga minggu lalu…
Ketika pertunangan Rhanora yang ketiga kalinya gagal.
Namun, semua ini bermula bahkan jauh sebelum keduanya lahir. Karena sebuah janji darah yang tidak hanya mengikat Rhanora dan Arash namun juga mengikat Kekaisaran Emrys dan Kekaisaran Valory.
****
"Lagi-lagi gagal menikah. Kalau begini terus, kau akan menjadi perawan tua!"
Di dalam ruangan megah yang dipenuhi pilar-pilar berukir dan permadani mahal, seorang wanita paruh baya berdiri dengan tangan bertolak pinggang, sorot matanya tajam mengarah pada sosok muda di hadapannya. Wanita itu adalah Winona Emanon Valor — Putri Pertama Kekaisaran Valory, kakak kembar dari Kaisar yang berkuasa saat ini, sekaligus ibu dari wanita muda yang telah gagal bertunangan untuk ketiga kalinya: Rhanora Lysa Valor. "Kalau memang tidak berjodoh, ya mau dikata apa," sahut Rhanora enteng, bahunya terangkat sedikit dalam gerakan malas. "Lagipula, bukan aku yang membatalkan pertunangan kali ini—" "Rhanora Lysa Valor!" potong Winona dengan nada meledak. Wajahnya memerah karena amarah yang mendidih, matanya membelalak tak percaya. "Jangan pikir Ibu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi!" Ia benar-benar ingin membelah kepala anak gadisnya itu, hanya untuk memastikan apakah isinya benar-benar otak seorang putri bangsawan. Sebelum suasana makin panas, sebuah suara tenang terdengar dari arah samping. Lembut namun tegas, suara itu menembus ketegangan yang menggantung di udara. "Winona.. mungkin memang lebih baik pertunangan kali ini gagal. Kau lihat sendiri seperti apa calon suami Rhanora." Lelaki itu melangkah pelan ke tengah ruangan, berdiri di antara istri dan putrinya. Ia adalah Caleb Valor, suami Winona dan ayah Rhanora—seorang pengusaha sukses dari kalangan rakyat biasa yang, meski tanpa darah bangsawan, berhasil menikahi salah satu wanita paling terpandang di kekaisaran. Seorang Putri. Setelah pernikahan, ia pun mengadopsi nama keluarga sang istri: Valor. Caleb meletakkan satu tangan di pundak istrinya dan menatap mata Winona dengan kelembutan yang hanya bisa muncul dari c inta yang telah menua bersama waktu. "Anak bangsawan? Ya. Kaya raya? Tentu. Tapi ia juga pemabuk, penjudi, dan jelas lebih peduli pada reputasi keluarganya ketimbang pada kebahagiaan putri kita," lanjut Caleb tenang, suaranya terukur namun mantap. Rhanora berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, menahan keinginan untuk menyeringai kemenangan. Ia memang tidak menyukai pria itu sejak pertemuan pertama. Cara pandangnya yang menilai seolah-olah Rhanora adalah barang dagangan yang harus lulus inspeksi. Maka, ketika kabar pertunangan dibatalkan karena sang pria kabur ke negeri seberang dengan seorang aktris teater, Rhanora bahkan sempat bersorak dalam hati. "Tapi ini sudah kali ketiga, Caleb!" seru Winona, suaranya bergetar antara frustasi dan marah. "Apa yang akan orang-orang katakan tentang kita nanti? Tentang Rhanora? Mereka akan mengira putri kita tidak layak dinikahi, atau lebih buruk, dikutuk" "Kalau itu yang orang-orang pikirkan, biarkan saja." Rhanora berkata dengan suara tenang seolah hal ini bukanlah masalahnya. "Aku tidak menikah untuk menyenangkan orang lain." Winona membelalakkan mata, hampir tak percaya dengan keberanian—atau kebodohan—anak gadisnya ini. Sementara Caleb hanya tersenyum sambil menahan tawa, bangga pada putrinya meski tahu istrinya akan marah lebih lama dari biasanya dan dapat memporakporanda seluruh kediaman. "Rhanora," ucap Winona akhirnya, suaranya merendah namun masih mengandung tekanan. "Kau adalah seorang bangsawan, anggota keluarga Kekaisaran. Seorang Valor. Tanggung jawabmu jauh lebih besar daripada sekadar mengejar hidup semaumu sendiri." Rhanora tersenyum tipis, bukan mengejek, tapi penuh makna. "Ibu, bukankah Ibu juga memilih hidup semau sendiri saat menikahi Ayah?" Ucapan itu seketika membuat udara di ruangan menegang. Keheningan menyelimuti sejenak, seolah waktu ikut menahan napas. Pernikahan Winona dan Caleb sudah lama menjadi bahan gunjingan di seantero Kekaisaran Valory —bukan karena pertengkaran atau skandal, melainkan karena keberanian Winona menolak perjodohan dengan seorang Duke demi menikahi pria dari kalangan rakyat biasa. Banyak yang meramalkan pernikahan itu akan gagal dan tidak akan bertahan lama. Namun setelah hampir tiga dekade, Winona dan Caleb masih saling menggenggam seperti sepasang kekasih baru jatuh cinta. "Rhanora—" Winona membuka suara, tapi tak sempat menyelesaikannya. "TUAN! NYONYA! GAWAT!" Sebuah teriakan dari arah pintu membuat ketiganya menoleh. Kepala pelayan keluarga mereka berlari tergesa, wajahnya pucat dan napasnya terengah. "Ada apa?" tanya Caleb dengan tenang, meski alisnya mulai bertaut menandakan kebingungannya. "Kenapa panik begitu?" Kepala pelayan membungkuk cepat, suaranya nyaris tergelincir karena gugup. "Tuan, Nyonya... Yang Mulia Kaisar sedang berada di kediaman ini!" Winona dan Caleb saling menatap—mata keduanya menyiratkan kebingungan yang sama. Bertanya-tanya ada apa gerangan sang Kaisar datang tanpa pemberitahuan begini. "Dimana dia sekarang?" tanya Winona setelah sejenak terdiam. "Saya sudah mengarahkan beliau ke ruang tamu," jawab sang kepala pelayan, semakin menunduk dalam. "Baik, terima kasih. Kami akan segera menyusul," ujar Winona, lalu menghela napas panjang. Ia mengusap pelipisnya yang mulai terasa nyeri. Tentu saja sang Kaisar memilih datang tanpa pemberitahuan dan di saat situasi rumahnya sedang tidak ideal. Kenapa kembaranku itu selalu datang di waktu paling tidak tepat? pikirnya, separuh kesal. Ia menoleh ke arah Rhanora dan berkata singkat, "Kita lanjutkan pembicaraan ini nanti." Rhanora hanya mengangguk ringan, ekspresinya tetap tenang, bahkan terkesan tak peduli. Tapi di balik mata ungunya yang langka, sesuatu tampak berkilat—entah perasaan lega, atau justru firasat buruk yang belum sempat ia ungkapkan.Keesokan paginya, udara di ibu kota Kekaisaran Valory terasa lebih segar dari biasanya. Rhanora melangkah cepat, gaun biru pucatnya berkibar ringan di sekitar kaki. Langkahnya mantap ketika melangkah kedalam Istana Kekaisaran karena ada tujuan yang harus ia capai. Hari ini, Rhanora datang untuk mendengar langsung dari mulut pamannya tentang kebenaran perjanjian pernikahan itu. Ia ingin tahu janji pernikahan macam apa yang dibuat oleh sang paman sehingga sang Kaisar bahkan tidak bisa membatalkan atau menundanya.Rhanora melewati lorong panjang yang dipenuhi lukisan para kaisar terdahulu. Namun ketika ia berbelok melewati taman istana, langkahnya terhenti. Di sana, di tengah hamparan bunga musim semi yang merekah, berdirilah seorang pria muda berambut pirang terang yang menunduk sedikit, memerhatikan sekuntum bunga mawar. Saat mendengar suara langkahnya, pria itu menoleh dan berkata santai.“Belakang ini, aku mulai mengira kau hanya rumor yang tidak berwujud, Rhanora,” ujar pria denga
Pintu ruang tamu menutup perlahan, meninggalkan keheningan yang hanya diisi oleh gema langkah Aurelian yang semakin menjauh. Winona tetap duduk, jemarinya mengetuk-ngetuk sandaran kursi tanpa pola sambil mencoba mengurai benang kusut di kepalanya.Caleb masuk dari koridor, langkahnya tenang namun matanya langsung tertuju pada sang istri. Caleb menutup pintu ruang tamu pelan. Ia melangkah mendekati Winona yang masih duduk di sofa. "Apa yang diinginkan Yang Mulia Kaisar?" tanya Caleb pelan, suaranya mengandung nada waspada.Winona mengangkat kepalanya, menatap suaminya sejenak sebelum menjawab. "Sesuatu yang aku harap tak akan pernah dia minta."Caleb duduk di hadapannya, mencondongkan tubuh. "Rhanora." Ujarnya dengan pasti dengan mengerutkan dahinya."Pernikahan politik dengan Emrys. Seharusnya Alicia yang pergi, tapi seperti yang kau tahu, Alicia baru berusia tujuh belas tahun ini. Terlalu belia untuk dikirim ke kandang naga. Jadi dia ingin Rhanora yang memenuhi janji itu.""Dan.. apa
“Hohoho! Ini sudah seperti reuni keluarga!”Suara tawa ringan namun menggema memenuhi ruang tamu megah kediaman keluarga Valor. Di ambang pintu, seorang pria berdiri dengan jubah panjang berbordir lambang kekaisaran, kainnya berkilau seperti langit saat fajar menyingsing. Rambut panjang keemasannya jatuh ke bahu, begitu terang hingga hampir menyilaukan, seolah cahaya mentari sengaja memantul darinya. Kilau yang hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki darah paling murni dari garis kekaisaran.Yang Mulia Kaisar Aurelian Emanon Valor. Kaisar yang saat ini berkuasa di Kekaisaran Valory dan kembaran dari Winona.“Sudah, cepat katakan. Kau datang kemari untuk apa?” suara Winona terdengar dingin, nyaris tak menyembunyikan kekesalannya. Di seluruh Kekaisaran Valory, hanya Winona yang berani berperilaku tidak sopan kepada sang Kaisar.Kaisar Aurelian tersenyum lebar, lalu masuk tanpa undangan. Setiap langkahnya disertai angin lembut yang tak berasal dari jendela manapun. Langit yang tadinya c
“Aku tidak membutuhkan seorang istri.”Suaranya tegas, bergema di ruangan yang lengang, hanya dihuni beberapa furnitur sederhana, dirinya dan Rhanora Lysa Valor —Putri Kekaisaran Valory, keponakan satu-satunya dari Kaisar sebelumnya.“Yang aku butuhkan adalah seorang Permaisuri.”Kata-kata itu meluncur tanpa ragu dari bibir Arash Welt Azdar El Emrys, Kaisar muda Kekaisaran Emrys. Terpaksa mengemban mahkota tak lama setelah sang Kaisar terdahulu tewas dalam peristiwa kelam yang mengguncang seluruh negeri.Rhanora mengangkat wajahnya, menatap lurus ke arah Arash yang duduk di kursi berukir hitam. Sorot mata pria itu tajam, dingin, seolah dapat menusuk hingga ke relung paling dalam dari diri Rhanora.“Apa bedanya?” Suara Rhanora tenang, meski jantungnya bertalu-talu gugup tak karuan.“Tentu berbeda.” Arash menjawab cepat. “Istri hanyalah pendamping, seseorang yang bisa digantikan. Tapi Permaisuri—” ia mencondongkan tubuh sedikit, jemarinya mengetuk lengan kursi dengan ritme teratur, “ada
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments