Share

2. Janji Rara

Sebelum Rara memberikan surat panggilan. Ia justru terkejut kehadiran dokter keluarganya, saat memasuki perkarangan rumahnya. 

Rara langsung berlari menghampiri Halimah, ia melihat muka letih wanita paruh baya itu. "Bun, kok ada dokter Bram?" tanyanya. 

Halimah menghembuskan napas panjang, sebenarnya dia tak ingin memberitahu hal ini kepada Rara. "Sini, sayang. Duduk dulu." Ia merengkuh tangan putri duduk di sofa bersamanya. 

"Bun, jangan buat Rara khawatir deh." Ujar Rara masih memasang muka cemasnya. 

Halimah mengelus rambut panjang Rara, ia ingin berkata dari hati ke hati karena pastinya takut Rara shock. "Ehmm..."

"Iih.. Bunda. Sebenarnya ada apa sih?" sambar Lala tak sabar. 

"Sebenarnya ayah kamu sakit jantungnya semakin parah, harusnya ayah diminta bawa ke rumah sakit." 

"Terus kenapa ayah gak mau?" Halimah bisa apa jika suaminya dengan tegas menolak saran dari dokter. 

"Karena ayah nggak mau buat kamu khawatir. Ra, bunda minta sama kamu, udah deh kebiasaan nakal kamu jadi langganan dapat surat panggilan. Kamu mau ayah sakit, kasian ayah kamu." Rara menunduk bersalah.  

Tapi bagaimana dong, Rara merasa dia masih muda. Banyak hal yang akan terlewati jika dia menjadi gadis lugu, misalnya seperti Edo sahabatnya yang hanya belajar. 

"Bun, ayah nggak usah deh mikirin Rara. Lagian Rara udah gede, lihat sekarang Rara udah bisa semua sendiri. Daripada ayah ntar marah melulu lihat Rara, lebih baik Rara ngekos aja."

Mendengar ide gila putrinya, sempat membuat Halimah pening. "Kamu jangan aneh-aneh! Bunda nggak mau tau kamu harus berhenti buat onar di sekolah." 

Kemudian Rara menatap malas Halimah, mana bisa menuruti kemauan Halimah. "Bun, Rara nggak bisa." Tolaknya seketika. 

"Demi ayah kamu, Ra."

Rara dilema, satu sisi dia merasa tak sanggup, sisi lainnya dia tak tega juga melihat ayahnya sakit. Apalagi sekarang ia masih mengantongi surat panggilan sekolah. 

"Bunda, jangan maksa gitu dong!" 

"Masa iya kamu tega sama ayah. Masa nunggu ayah nggak ada di dunia lagi."

"Iish.. Bunda apaan sih mulutnya suka asal deh." 

"Makanya kamu harus janji nggak akan nakal lagi." Halimah menyondorkan tangannya berharap Rara menerimanya. 

"Iya.. Iya.. Ya udah." Ikhlas nggak ikhlas Rara harus mau menuruti permintaan kecil Halimah, namun permintaan kecil itu sangat berat bagi Rara. 

"Kamu benar sayang janji sama ayah gak akan nakal lagi." Ternyata Fatir telah mendengar obrolan keduanya membuat Rara mati gaya depan  sang ayah. "Ra, benaran ya kamu jangan buat ayah kecewa lagi. Pokoknya kali ini harus buktikan kalau kamu bisa jadi anak yang baik." Pinta Fatir. 

Jadi anak baik? 

Huft.. 

Mustahil.. 

Mana mungkin  Rara bisa jadi anak baik, setiap hari dia telat, jarang mengerjakan tugas, buruknya lagi selalu ketahuan tidur di kelas. 

Guru-guru sekolahnya sendiri sudah lelah, terkecuali Aslan. Dia paling betah menghadapi Rara. 

"Iya ayah." Jawab Rara malas. 

"Janji."Fatir mendekati Rara yang masih duduk samping Halimah. 

"Astaga ayah kayak anak kecil deh. Rara kan udah bilang iya apa lagi sih." Rara bangkit dari duduknya hendak pergi dari hadapan dua orang ini. 

"Kalau kamu ingkar janji, ayah nikahi kamu sama salah satu anak Indrawan." 

Rara berpikir jatuhnya juga sama Rama sahabatnya. Enggak papa kali nikah sama teman sendiri, kan banyak tuh teman jadi demen. 

"Hem.. Rama kan. Ya udah no problem." Ujar Rara santai. "Sekarang Rara boleh masuk kamar kan." Fatir mengangguk. 

***

Rara membanting tubuhnya, ia sampai lupa memberikan surat panggilan untuk ayahnya. Tapi ya sudahlah, paling juga besok dia kena hukum lagi dan lagi. 

Gadis itu mulai mengerjapkan matanya, namun apa daya dia tak tidur. Padahal tadinya dia sangat mengantuk, apalagi tidak ada drama dirinya ketiduran di kelas. 

Drrrttt.. 

"Halo.." 

"Ra..." Teriak Loli membuat Rara kesal. 

"Jangan teriak juga kali. Tuli ntar gue." Timpal Rara yang masih berbaring malas di ranjangnya. 

"Maaf.. Maaf.. Lo dimana? Gak datang acara sekolah?" tanya Loli. 

"Acara apaan sih. Kagak ada juga." 

"Lo mau gak naik kelas. Bukannya Pak Aslan udah peringati untuk datang karena bisa menambah nilai ujian kita nanti." 

Sontak Rara terduduk menepuk jidatnya. Bego banget dia sampai lupa, bisa dapat masalah lagi dirinya.

Rara dengan cepat tanpa mandi lebih dahulu, ia mengambil dress mini berwarna maroon, lalu mengenakannya. Tentu sebelumnya Rara menghias wajah polos miliknya. "Lo memang cantik." Pujinya sendiri. 

Tanpa pamitan Rara tergesa-gesa pergi menuju sekolahnya, bukan itu saja ia mengambil kunci mobil ayahnya. Bukan mobil menjadi masalah, tapi Rara belum mahir dalam menyetir. 

Dalam waktu kurang lebih 30 menit Rara sampai parkiran sekolah. Untung Loli menelponnya, kalau tidak bisa habis riwayat Rara. 

Saat Rara memasuki koridor sekolah, semua mata pria tertuju dengannya. Cowok mana sih yang gak tertarik dengan Rara, apalagi pesonanya memang memukau. 

Kalau boleh jujur Rara memang selalu mengutamakan penampilan, meski saat ini dia tidak pernah terlihat jalan dengan cowok manapun, kecuali dua nyamuk Edo dan Rama. Eits.. Jangan pikir Rara tidak punya pacar, dia punya namun  sayang harus LDR. 

"Woy.." Rara mengejutkan tiga sahabatnya. "Gimana gua cantik gak?" serunya sambil memutari tubuhnya. 

"Lo bukannya mikirin nilai, malah pamer body. Temui Pak Aslan sana absen." Mod Rara yang baik dratis berubah menjadi sangat buruk. Bagaimana tidak buruk, Loli selalu menyebut nama pria tak punya hati itu. 

"Ogah! Kurang kerjaan banget gua." Loli menggeleng samar, lagi was-was begini masih bisa Rara menunjukan kebencian.

Loli selalu khawatir dengan Rara nyaris tiap hari membuat masalah kepada guru tampannya itu. Kalau pikir lagi, Rara memang keterlaluan, ini bukan kesalahan pertama sahabatnya. 

"Ra, lo ntar gak naik kelas tiga loh. Gak malu?" Rara berdecak, kali ini ia mau tak mau menelan egonya untuk menemui guru paling dibencinya. 

Rara melangkahkan kakinya malas mencari Aslan, ia pergi ke ruang guru, tapi laki-laki itu tak tampak batang hidungnya. 

Lalu ia mencari lagi ke aula, masih juga belum temui. Dan sampai ia memiliki opsi lain mencari Aslan di perpustakaan, sebab ia tahu hobby guru itu berada disana. 

Rara mendengus kasar melihat sosok Aslan yang tengah duduk santai, sementara dia mencari pria itu seperti orang linglung kesana kemari. 

"Siang, Pak." Karena tak ingin mencari masalah lagi, ia berusaha bersikap baik walau sebenarnya merasa dongkol. 

Aslan mendongakkan kepalanya, pertama yang dia perhatikan  penampilan Rara. "Siang menjelang sore maksud kamu. Mau dinner dimana kamu?" 

Tuh kan! Baru Rara ingin berdamai ada saja yang komentarnya, ibarat Rara ini virus yang harus dibasmi. 

"Siapa yang mau dinner, saya mau ke acara sekolah makanya penampilan cantik." Terang Rara memamerkan senyum palsunya. 

Aslan menaiki alis satunya heran. "Sehat kamu?"

"Yah.. Sehatlah." 

"Tumben kamu bicara sopan sama saya." 

Sopan salah, enggak sopan diomeli. Mati aja lu Aslan! 

Rara menatap Aslan berharap laki-laki satu ini tidak memberikan hukuman atau paling tidak dia bisa naik kelas. "Manusia itu bisa berubah, pak. Termasuk saya, bapak gak senang kalau saya berubah." Aslan tak mudah termakan omongan Rara yang omong kosong baginya. 

"Tapi sayangnya saya gak percaya kamu berubah. Kedatangan kamu mau apa kesini? Kalau untuk absen, nama kamu udah saya hapus." Rara membuka lebar mulutnya kesal, ia menggepal ujung deres saking menahan emosi di dadanya. "Dan kamu siap-siap tinggal kelas." Aslan meninggalkan Rara. 

No.. No.. Bisa jantungan bokap kalau gini caranya. 

"ASLAN! LO JANGAN GILA DEH! POKOKNYA GUE UDAH HADIR!" Rara berlari meneriaki Aslan yang masih terlihat punggungnya. 

Tidak ada murid yang berani meneriaki gurunya, kecuali Rara. Dia bahkan bisa menarik rambut Aslan hingga rontok. "ASLAN! DASAR GURU SINTING LO!"

Semua mata tertuju kepada Rara yang menghujat Aslan. Beberapa murid berbisik membicarakannya, sudah menjadi hal lumrah Rara menggebu marah pada Aslan. 

"Sini." Rama menarik tangan Rara agar tidak semakin membicarakannya. "Ra, bang Aslan bisa panggil bokap lo lagi kalau gini ceritanya." Rara menghentakkan kakinya berulang kali meluapkan kekesalannya. 

"Menurut lo dia benar, gua udah baik banget. Argh.. Dia malah bilang gak hadir acara ini, emosional gak lo jadi gue." Gerutu Rara sejadi-jadinya. 

"Tapi, Ra--"

"Ah.. Diam! Jangan bela abang lo yang paliiiiing nyebelin sedunia." 

Sekarang mau bagaimana lagi, dia tak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah dan berharap Aslan berbaik hati menaikinya kelas. 

"Ra.. Ra..." Loli datang dengan terengah-engah seperti orang asma. Dia menghampiri Rara dengan muka panik. 

"Hemm.. Gua lagi gak mood, jadi tolong lo bicara soal yang baik-baik aja." Loli menggeleng samar, dia yakin Rara tidak akan suka mendengar hal ini. 

"Lol, lo jangan mancing harimau yang baru keluar kandang deh." Ledek Rama. Rara berdecak jengkel.

"Ish.. Diam! Tapi berita ini pasti buruk bagi lo." Rara menunduk lemas. 

Lagi.. Berita apa lagi yang harus dia dengar saat moodnya kurang baik. "Ya udah bilang aja berita buruknya apa?"

"Iya apaan, gua jadi penasaran." Sahut Rama.

"Bokap lo.."

"Iya, Bokap gua kenapa?" Rara terlihat malas mendengar apapun. 

"Bokap lo ada di ruang guru sama Pak Aslan." 

"What?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status